Anda di halaman 1dari 12

IDEALISME, KOMERSIALISME, DAN PROFESIONALISME

PERS MENURUT UNDANG-UNDANG NO.40 TAHUN 1999

DISUSUN OLEH :

ABIMANYU SETIAWAN PUTRA (2071502641)


CAMILLA PUTRI GHAISANI (2071502617)
RAFLI RAHMANANDA (2071502674)
NUR SYAHARANI RHAMADHANI (2071502583)

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI


UNIVERSITAS BUDI LUHUR

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Hukum dan Kode Etik Komunikasi dengan judul “ Idealisme, Komersialisme, dan
Profesionalisme pers menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 “
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah Hukum dan Kode Etik Komunikasi yang telah memberikan tugas terhadap kami.
Kami jauh dari kata sempurna dan ini merupakan langkah yang baik untuk ke depannya. Oleh
karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami maka kritik dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi kami pada khususnya dan
pihak lain yang pada umumnya.

Jakarta, 6 November 2021


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pers merupakan suatu bentuk komunikasi dan jembatan dalam penyampaian
informasi yang akan menyebarkan pengetahuan, pengamalan dan menampilkan peristiwa-
peristiwa kehidupan masyarakat baik yang bersifat nasional maupun internasional. Selain itu,
pers juga merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam
masyarakat dan menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh
gambaran dan realita sosial tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok. Tidak dapat disangkal
bahwa media massa atau pers juga berperan penting dalam sejarah bangsa Indonesia hingga
saat ini. Salah satunya sebagai media informasi yang membangun karakter masyarakat. Pers
memiliki peran yang sangat besar dalam membangkitkan dan menguatkan semangat juang
rakyat Indonesia, baik ketika meraih kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan
tersebut. Pers kala itu menyebarkan informasi-informasi sekaligus mimpi untuk meraih
kemerdekaan Indonesia supaya dapat terbebas dari penjajahan. Dengan adanya publikasi,
pesan-pesan kemerdekaan dapat lebih tersampaikan kepada khalayak luas. Awal sejarah pers
di Indonesia dimulai sejak jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pers telah
dipergunakan oleh para pendiri bangsa sebagai alat perjuangan untuk memperoleh
kemerdekaan. Sejarah pers di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus terkait dengan kehidupan
sosial masyarakat, kebudayaan, dan politik. Hal tersebut berpengaruh dalam perkembangan
pers di Indonesia sehingga muncul pers Belanda, Pers Melayu - Tionghoa, pers masa
pendudukan Jepang dan pers setelah kemerdekaan Indonesia. Pers menyampaikan informasi
mengenai peristiwa atau kejadian di daerah yang tidak muncul ke permukaan masyarakat
agar dapat memberikan informasi yang cepat, akurat, dan sesuai dengan fakta yang ada.
Sehingga seorang jurnalis harus mampu bersikap obyektif dalam menjalankan tugasnya.
Idealisme seorang jurnalis menjadi taruhannya ketika ia harus berperang melawan nuraninya
sendiri. Berperang di antara tuntutan profesi dan kepentingan bisnis (keuntungan perusahaan
tempat ia bekerja) yang mengharuskannya membidik suatu peristiwa yang booming dan
layak dijual.
1.2. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian dari pers?
B. Peran dan Fungsi pers?
C. Apa pengertian dari Idealisme pers?
D. Apa pengertian dari Komersialisme Pers?

1.3 TUJUAN PENULISAN


A. Memberi tahukan kepada pembaca mengenai pers dan memaparkan fungsi serta peranan
pers.
B. Dapat mengajak pembaca untuk lebih memahami tentang pers.
C. Untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum dan Kode Etik Komunikasi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pers
Istilah Pers berasal dari Bahasa Belanda, yang dalam Bahasa Inggris berarti Press. Secara
harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau
publikasi secara dicetak (printed publication). Secara etimologis kata Pers (Belanda), Press
(Inggris), Presse (Prancis) berarti tekan atau cetak. Berasal dari Bahasa Latin, Pressare dari
kata Premere (tekan). Definisi terminologinya ialah media massa cetak disingkat media cetak.
Bahasa Belandanya drupes, bahasa Inggrisnya printed media atau printing press. Istilah pers
sudah lazim diartikan sebagai surat kabar (news paper) atau majalah (magazine) sering pula
dimasukkan pengertian wartawan di dalamnya.

B. Peran dan Fungsi Pers


Mengenai peran pers, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengaturnya di
dalam Pasal 6 yang kalau diperinci terdiri dari :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi
3. Mendorong terwujudnya supreasi hukum dan HAM
4. Menghormati kebhinekaan
5. Mengembangkan pendapat umum
6. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran
7. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran

Demikian pula fungsi pers juga diatur dalam Undang-Undang Pers'ini yakni sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta berfungsi juga sebagai lembaga
ekonomi. Suatu masyarakat yang take off menuju tarafkehidupan modem tidak akan terlepas
pula dari kemajuan di bidang jurnalistik. Di dalam fase transaksi seperti ini, wartawan
merupakan agents of modernisation. Seperti kata Herbert Passin, dalam arti yang
sesungguhnya modernisasi mencakup pula kebangkitan kelas komunikator professional di
dalam mana termasuk para opinion leaders dan innovation leaders (di Indonesia barangkali
bisa dimasukkan pemimpin-pemimpin politik dan kaum teknokrat).

C. Ciri-Ciri Pers
Menurut K. Baschwitz ada 5 ciri dari pers's yaitu :
- Publisitas, artinya pesan atau isi komunikasi pers terbuka untuk siapa saja.
- Universalitas, artinya isi atau acara dari pers tersebut bermacam-macam.
- Periodesitas, artinya teratur waktu terbit atau penayangannya.
- Aktualitas, artinya beritanya hangat, barn, segar ada aktualitas obyelctifdan aktualitas
subyektif
- Komersialitas, artinya pers mempunyai fungsi bisnis atau pers adalah sebuah komoditi.

D. Idealisme Pers

Untuk bisa memenuhi tuntutan amanah pasal 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, pers harus
bersikap ‘galak dan tegas’ dalam menjalankan fungsinya sebagai komunikator informasi
publik, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supresmasi hukum
dan hak asasi manusia. Lebih dari itu, pers juga dituntut untuk dapat melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta
memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam menjalankan amanah tersebut bukan tanpa
hambatan, saat di lapangan, wartawan sering dihadapkan pada godaan berupa tawaran
pemberian sejumlah uang agar ‘tutup mulut’ menyebarkan informasi negatif oknum tertentu
melalui media massa. Di lapangan sendiri tidak sedikit wartawan yang menggadaikan
ideliasmenya demi memanfaatkan hal tersebut, karena tergiur oleh tawaran materi yang
diberikan. Wartawan tersebut, menurut Zaenudin HM dalam bukunya yang berjudul The
Journalist termasuk wartawan amplop. Wartawan amplop adalah julukan negatif bagi
wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, yakni yang menerima uang dari sumber
berita, baik karena diberi maupun meminta dari para sumber berita. Lebih jelasnya, para
wartawan yang menerima pemberian berupa hadiah atau uang, baik karena diberi atau pun
meminta, yang berakibat tidak bebasnya menjalankan profesinya secara jujur dan objektif,
dengan menuliskan pemberitaan yang lebih bersifat iklan terselubung, atau setidaknya
menguntungkan si pemberi imbalan. Narasumber yang diberi uang berharap yang akan
diberitakan adalah sisi baiknya saja. Lebih dari itu, lanjut Zaenudin bercerita dalam bukunya,
banyak wartawan palsu yang tak bertanggungjawab – yang hanya karena sering bergaul
dengan wartawan – mengaku-ngaku sebagai wartawan, padahal oknum tersebut tidak bekerja
pada media massa. Mereka hanya berpura-pura sebagai wartawan untuk mencari uang yang
biasa dikeluarkan pihak pengundang atau sumber berita. Untuk wartawan palsu jenis ini
banyak sekali julukan yang melekat pada diri mereka, di antaranya WTS alias Wartawan
Tanpa Surat kabar. Julukan tersebut merupakan pelesetan dari sebutan WTS yang telah
dikenal umum sebelumnya yakni Wanita Trans Seksual atau lazim disebut banci. Selain itu,
ada juga yang menjuluki oknum wartawan sebagai ‘Muntaber’ alias muncul tanpa berita.
Karena mereka memang tidak memiliki media massa untuk mempublikasikan beritanya.
Lebih jahat, di Kabupaten Cianjur sering terdengar kabar, para wartawan palsu ini aktif
memasuki dinas-dinas maupun lembaga pemerintahan lainnya untuk mengorek sebuah kasus
negatif lembaga tersebut dan memeras oknum yang ada di dalamnya. Tidak hanya memeras
pada oknum yang melakukan tindakan negatif, wartawan palsu ini juga sering datang ke
berbagai instansi untuk meminta uang tanpa alasan yang jelas. Tentu saja, hal ini mencoreng
nama baik profesi wartawan. Hal itu juga didukung dengan kebiasaan sejumlah oknum
narasumber yang sering memberikan amplop pada siapa pun wartawannya. Seolah pemberian
amplop tersebut telah menjadi tradisi dan rahasia umum. Namun begitu, masih banyak juga
wartawan yang memiliki idealisme dan tetap bertahan memberitakan informasi secara ideal
dan berimbang demi kepentingan publik dan mematuhi UU Pokok Pers. Jika menghadapi
kondisi tersebut (diberi uang oleh sumber berita), banyak wartawan idealis yang menolak
amplop dan mengarahkan narasumber untuk pergi ke kantor dan mengalokasikan dana
tersebut untuk kepentingan langganan demi mendongkrak oplah perusahaan maupun iklan.
Hal tersebut, umumnya dianggap lebih mulia daripada menerima amplop. Menurut AS
Sumandiria, Idealisme sendiri adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk bisa
dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi
yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara.18 Jadi idealnya, seorang jurnalis harus
berjuang mempertahankan idealismenya dengan berbagai cara dalam menggapai cita-cita
yang tertuang dalam UU Pokok Pers.

E. Komersialisme Pers

Pers tidak cukup hanya mempunyai idealisme. Sebagai lembaga ekonomi pers harus
dijalankan dengan merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efisiensi, dan
produktivitas. Secara manajerial, perusahaan pers harus memetik keuntungan dan sejauh
mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apa pun sajian pers tak bisa dilepaskan
dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Dengan
berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa secara konsisten mencapai cita-cita
yang ideal.19 Hal itu dipertegas oleh pasal 3 ayat (2) UU Pokok Pers No. 40/1999, yang
menyatakan pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. 20 Hal tersebut
menjelaskan bahwa pers merupakan lembaga ekonomi. Sesuai dengan prinsip ekonomi pers
harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Pada
pelaksanaannya di lapangan, kegiatan yang dilaksanakan media massa (pers) dalam rangka
menghasilkan keuntungan bagi sebuah perusahaan di antaranya melaksanakan kegiatan
pemasaran untuk menjual produk jurnalistik berupa eksemplar koran kepada tangan pembaca
yang merupakan konsumen utama surat kabar. Selain itu juga bekerja sama dengan berbagai
perusahaan yang mempercayai surat kabar tersebut sehingga mau mempromosikan
produknya melalui iklan di surat kabar itu dengan kontrak dan biaya tertentu. Berbagai
kegiatan massal seperti jalan sehat, peringatan hari besar, maupun berbagai perlombaan juga
dilaksanakan untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan pers. Selain itu, keuntungan
juga bisa didapatkan dengan cara memilih pangsa pasar dan menyediakan rubrik tetap yang
diinginkan pasar. Sebenarnya antara idealisme dan komersialisme sangat bertolak
belakangan. Namun demi tercapainya cita-cita kedua hal tersebut harus bersinergi. Lebih
serius menanggapi hal tersebut, Mohammad Shoelhi dalam bukunya yang berjudul
Komunikasi Internasional, Perspektif Jurnalistik mengemukakan idealisme tanpa
komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Karena jika pers mengutamakan segi idealisme saja,
pers tidak akan hidup lama. Sedangkan jika perusahaan pers hanya mengutamakan segi
komersialisme, pers hanya akan menjadi budak bagi pembayarnya. Kedua hal tersebut bisa
bersatu dengan dibantu oleh topangan profesionalisme.

F. Profesionalisme Pers

Menurut Alex Sobur dalam Etika Pers: Profesionalisme dengan Nurani dalam Shoelhi ada
lima hal yang menjadi struktur sikap yang diperlukan bagi setiap jenis profesi yang tercakup
dalam profesionalisme. Hal tersebut di antaranya adalah Pertama, profesional dalam
menggunakan organisasi atau kelompok profesional sebagai kelompok referensi utama.
Tujuan-tujuan dan aspirasi profesional bukan diperuntukkan bagi seorang majikan atau status
lokal dari masyarakat setempat; kesetiaannya adalah pada bidang tugas. Kedua, profesional
dalam melayani masyarakat dengan baik. Ia alturuistik yang mengutamakan kepentingan
umum. Ketiga, profesional dalam mengemban kepedulian dan rasa terpanggil dalam bidang
tugasnya. Komitmen ini memperteguh tanggung jawabnya dalam melayani masyarakat. Ia
melaksanakan profesinya karena merasakan komitmen yang mendalam. Keempat, profesional
dalam memelihara rasa otonomi. Ia bebas mengorganisasikan pekerjaannya saat berada
dalam kendala-kendala tertentu dan mengambil keputusan-keputusan profesional. Kelima,
profesional dalam mengatur dirinya sendiri dan mengontrol perilakunya sendiri. Dalam
menghadapi kerumitan dan persyaratan keterampilan, hanya rekan-rekan seprofesinya yang
mempunyai hak dan wewenang untuk melakukan penilaian.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian tentang Manajemen Pers: Antara Idealisme dan


Komersialisme yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,
pers sebagai organisasi tidak dapat dipisahkan dengan penerapan manajemen, baik
sebagai ilmu maupun sebagai seni agar dapat mencapai tujuan per situ sendiri. Kedua,
keberadaan dan dinamika pers saat ini tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan pers
masa lalu, yakni pers pra kemerdekaan yang berorientasi pada alat perjuangan, pers era
kemerdekaan yang secara perlahan mengarah kepada lembaga ekonomi dan
kemasyarakatan yang cenderung mengedepankan komerialitas dan sedikit mengabaikan
idealitas. Ketiga, kebebasan pers tidak dapat diartikan sebagai kemerdekaan untuk
menjalankan kegiatan jurnalistik secara bebas, akan tetapi kebebasan tersebut harus
tunduk pada hukum tunduk kode etik jurnalistik. Keempat, pers yang baik adalah pers
yang mampu dikelola (manage) dengan menyeimbangkan antara tuntutan idealisme dan
komersialisme.

B. SARAN
- Pengertian pers yang ada di Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers secara
implisit hanya menjelaskan media cetak dan media elektronik, sehingga perlu ditambah
media online di dalamnya, mengingat undang-undang tersebut adalah ketentuan umum di
bidang pers.
- Peran dan fungsi pers sangat besar, sehingga perlu terus ditingkatkan terutama sebagai
kontrol di masyarakat dan negara, untuk itu segala bentuk upaya pembatasan ruang gerak
pers tersebut harus dilawan.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.universitasjurnalistik.com/2020/12/tiga-pilar-penyangga-pers.html
http://jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/FAJ/article/view/619
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar/article/download/294/249/
http://elearning.iainkediri.ac.id/pluginfile.php/196352/mod_resource/content/1/Sistem
%20Pers%20Indonesia.pdf
http://jurnal.ubl.ac.id/index.php/KP/article/download/697/674
https://media.neliti.com/media/publications/81875-ID-peran-dan-fungsi-pers-menurut-
undang-und.pdf
https://repository.unja.ac.id/14899/4/BAB%20I.pdf
https://www.academia.edu/18360104/Makalah_Pers

Anda mungkin juga menyukai