Guru Pembimbing :
Drs.Dedi Ibrahim, M.pd
Disusun Oleh :
TALITHA AZALIA SALSABILA
XII
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
makalah yang berjudul "Pengaruh Globalisasi Terhadap Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara" ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata pelajaran PPKN.
Keberhasilan penulis dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki,
untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2
dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan
berlakunya UU No.40 Tahun 1999. berbagai kendala yang membuat pers nasional
"terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers) yang berlaku di
era Orde baru tidak diperlukan lagi, siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan
penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.
Dan euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan
maupun masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan
maksud menjungjung asa demokrasi, sering terjadi "ide-ide" yang
permunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan
etika. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang
profesi kewartawanan dan pers pada umumnya.
Malah kalangan instansi pemerintahan swasta dan masyarakat ada yang
berpandangan sinis terhadap aktivitas jurnalistik yang dicap tidak lagi
menghormati hak-hak narasumber. Penampilan pers nasional/daerah pun banyak
menuai kritik dan dituding oleh masyarakat. Sementara disisi alin banyak contoh
kasus dan kejadian yang menimpa media massa, dan maraknya initmidasi seta
kekerasan terhadap wartawan
Pada tahun 2003-2004, perkara yang menarik perhatian public yaitu menimpa
dua mass media nasional Harian "Kompas" dan grup MBM "Tempo" digugat grup
PT Texmaco ke PN Jakarta Selatan. Kedua perkara tersebut kemudian dicabut
ketika proses perkaranya sedang berjalan dipersidangan. Dalam kasus "Rakyat
Merdeka", majelis hakim memutuskan bahwa pemred Rakyat merdeka dihukum
karena terbukti turut membantu penyebaran.
BAB II
PERS DI INDONESIA
A. Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam,
jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain.
Sesungguhnya tidak, jurnalistik menujuk pada proses kegiatan, sedangkan pers
berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik pers berarti proses
kegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat dan
3
menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni sura kabar, tabloid atau
majalah kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
BAB III
FUNGSI UTAMA DAN UNSUR-UNSUR PERS
4
Apa pun infromasi yang disebarluaskam pers hendaklah dalam kerangka
mendidik (to educate). Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut
berorientasi komersil untuk memperoleh keuntungan financial . namun
orientasi dan misi komersil itu, sama sekali tidak boleh mengurangi, apalgi
meniadakan fungsi dan tanggung jawab social, Seperti ditegaskan Wilbur
Schramm dalam men, messages, dan media (1973), bagi masyarakat, pers
adalah weatcher, teacher dan forum (pengamat, guru dan forum).
3. Pers sebagai koreksi ( to influence).
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislative, eksekutif, dan
yudikatif dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi
atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif agar kekuasaan
mereka tidak menjadi korup dan absolut.
4. Pers sebagai rekreasi (to intertain).
Fungsi keempat pers adalah meghibur, pes harus mampu memeankan
dirinya sebagai wahan rekreasi yang mnyennagkan seklaigus yang
menyehatkan bagi smeua lapisan masyarakat. Artinya apa pun pesan rekreatif
yang disajikan mulai dari cerita pendek sampai kepada teka-teki silang dan
anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif.
5. Pers sebagai mediasi (to mediate)
Mediasi artinya penghubung atau sebgai fasilatator atau mediator. Pers harus
mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain, peristiwa
yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu dengan eristiwa yang
lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain pada saat yang sama. Dalam
buku karya McLuhan, Understanding Media (19966) menyatakan pers adalah
perpanjang dan perluasan manusia (the extented of man)
B. Unsur-Unsur Pers
B.1. Landasan Pers
Menurut Keputusan Dewan Pers No.79/XIV/1974 tertanggal 1 Desember
1974 yang ditandatangani Menpen Mashuri, SH, pers nasional berpijak kepada
enam landasan. Pada zamn Orde Baru, enam landasan tersebut dijadikan semacam
rukun iman bagi para pengusaha pers dan kalangan praktisi jurnalisitk agar
tidak tersandung dan bebas dari ancaman perbredelan yang setiap saat mengahntui
mereka oleh hantu pemerintah.
Secara yuridis, ketika itu UU Pokok Pers No.21 1982 (sekarang UU pokok
pers No. 40/1999( memang dikenal dengan tegas menyatakan terhadap pers
nasional tidak dikenai pembredelan. Namun secara politis, pemerintah sering tak
menggubrisnya . pemrintah melalui Depatemen Penerangan bisa kapan saj
membrangus pers yang dianggapnya tidak sejalan dengan kebijakan pimpinan
nasional. Deppen pada waktu itu adalah depertemen yang paling ditakuti oleh
siapa pun yang berkecimplung dalam penerbitan pers nasional.
Dalam SK Dewan Pers 79/1974 ditegaskan, pers nasional berpijak kepada
enam landasan, yakni (1) landasan idiil adalah pancasila, (2) landasan
konstitusional adalah UUD 1945, (3) landasan strategis operasional adalah garis-
garis besar haluan negara (GBHN), (4) landasan yuridis formal adalah tata nilai
dan norma budaya agama yang beraku pada masyarakat bangsa indonesia, dan (6)
5
landasan etis opersioanl adalah kodi etik persatuan wartawan indoensia (PWI)
Namun yang menjadi permasalahan apakah SK Dewan Pers 79/1974 yang
dikeluarkan pada era pemerintahan otokratis itu masih relevan untuk dijadikan
rujukan bagi pers saat ini yang telah bernjak pada era demokratis?. Kami
berpendapat bahwa sebagian kecil landasan tersebut sudah tidak relevan.
Sedangkan untuk sebgain bear dampai kini masih tetap sangat relevan setelah
disesuaikan dengan perkembangan serta ketentuan yang berlaku.
Untuk yang tidak relevan, misalnya tentang landasan strategis opersional,
dalam era reformsai MPR tidak lagi menetapkan GBHN. Begitu juga dengan
landasan etis, keharusan untuk menginduk hanya kepada satu organisasi profesi
sudah sangt kadalruwarsa sebab kini wartawan boleh bergabung dengan salah satu
organisasi profesi pers mana saja yang diinginkannya.
Lantas apakah landasan pers nasional jadi menyusut dari enam menjadi lima
atau empat landasan, misalnya? Kami berpendapat, jumlah tidak mengalami
perubahan tetap enam landasan. Hanya isinya dan urutuannya saja yang diubah
serta disesuaikan. Bagaimanapun pers nasional perlu tetap memiliki landasan
untuk menghindari ironi, tirnai, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam
tumbuhnya sendiri.
6
unutk pers, dan UU Po0kok Penyiaran No.32/2002 untuk media radio siaran dan
media telivisi siaran. Sekedar actaatn, dalam UU Pokok Pers No.40/1999, pers
dalam arti media cetak berkala dan pers dalam arti media radio siaran berkala dan
media televsisi siaran berkala, diartikan sekaligus diperlakukan sama sehingga
menjadi rancu serta difungsional.
B.1.4. Landasan strategis Operasional
Landasan strategis operasional, mengacu kepada kebijakan redasional media
pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial
dan nasioanl. Setiap penerbitan pers harus memilki garis haluan manajerial dan
redaksional.
Garis haluan manajerial berkaitan erat dengan filosofis, visi, orientasi,
kebijakan dan kepentingan komersial. Garis haluan redaksional mangatur tentang
kebijakan pemberitaan atau sesustu yang menyangkut materi isi serta kemasan
penerbiutan media pers.
B.1.5. Landasan sosiologis Kultural
Landasan sosiologis kutural berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya
agama yang berlaju pada dan seklaigus dijunu8nmg tinggi oleh masyarakat
bangsa indonesia. Pers indonesia adalah pers naisonal yang sarat dimuati nilai
serta tanggung jawab. Pers kita bukanlah pers liberal. Dalam segala sikap dan
perilakunya, pers nasional dipengaruhi dan dipagari nilai-nilai kultural.
B.1.6. Landasan Etis Propesional.
Landasan etis propesional menginduk kepada kode etik profesi. Setiap
organisasi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers
bisa saja sepakat untuk hanya menginduk keada satu kode etik. Tetapi secara
filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terkait dan tunduk kepada
ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik
sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.
7
Profesionalime berarti isme atau paham yang menilai tinggi keahlian
profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat
utama untuk mencapai keberhasilan.
Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi enam ciri berikut:
a. Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan
pengalaman, pelatihan, atau pendidikan khsusus dibidangnya.
b. Mendapat gaji, honorium atau imbalan materi yang sesuai dengan
keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya.
c. Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan
dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode
etik profesi.
d. Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi
profesi yang sesuai dengan keahliannya.
e. Memiliki kecinaan dan dedikasi luar baiasa terhadap bidang pekerjaan
profesi yang dipilih dan ditekuninya.
f. Tidak semua orang mampu melaksankan pekerjaan profesi tersebut karena
untuk bisa menyelaminya mensyaratkan penguasaan keterampilan atau
keahlian tertentu.
BAB IV
PERS DAN POLITIK
8
dengan mandiri,. Dari sanalah, antara lain kebenaran, sebagai penyampai kisah
yang punya kredibilitas.
Pengakuan tersebut diperoleh tidak take of garanted. Tetapi secara berulang-
ulang, terus-menerus, diupayakan melalui pelbagai kode dan konvensi kebenaran
yang layak dipercaya khalayak. Kredibilitas. (McNair, The Sociology of
Journalism.1998).
D. Pers Kepentingan.
Benarkah media massa bebas kepentingan? Jawabanya :tidak! Medi massa
selalu terikat dan tumpang tindih dan sarat dengan pesan sponsor pemilik media,
agenda terselebung dewan redaktur atau pun pelampiasan idealisme si waratwan.
Ecenderungan pemberitaan media mssa akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa
sadar atau tidak, ia mampu membakar pertentangan antar suku, agama dan ras.
9
BAB V
POTRET PERS DI INDONESIA
10
Para ahli menyebut budaya dan masyarakat muktahir sebagi masyaakat yang
enuh engan medi (medai saturrated society). Masyarakat muktahir adalah
masyaraat yang dilimpahi dengan informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan
pesan-pesan visual, masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan
komersial.
Mayarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotisasi
media bagi masyarakat. narkotiasasi (narcotization) adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan efek negatif atau efek menyimpang
(dysfunction) dari medai massa. Istilah ini sebenarnya berasal dari Paul
F.Lazarsfeld dan Robert K Merton. Dalam eseinya, Mass Comuniation, Popular
Tate and Organized Social Action (1984), mereka menggunakan istilah
narkotizing Dysfunction untuk menyebeut konsekuensi sosial dari media massa
yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai peneyabab apatisme
politik dan keleusan massa.
11
BAB VI
KEBABASAN PERS ATAU KEBABLASAN PERS.
12
masih dalam proses pendewasaan. Dukup wajar jika di sana-sini masih jumpai
sejumlah kelemahan, distorsi atau malah penyewengan. Meski demikian,
memvonis pers sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga rasanya tak adil.
Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu menjadi gambaran masyarakat kita
sendiri? Barangkali, ada perlunya kita cermati pernytaan Prof, Stephen Hill,
Direktur UNESCO Indonesia. Menurutnya, media hanyalah alat legitimasi
perilaku dan tindakan bukan alat yang menciptakan keduanya.
Karena itulah, barangkali yang harus diuapayakan agar wajah pers tidak
seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu atau
keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas yang
boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung jawab, bukan
dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam membangun budaya harus
diletakkan pada penegmbangan kemampuan pekerja di media massa itu sendiri.
Dan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang ada di
negeri ini mamapu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus
kehilangan wibawanya.
Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda. Pers bisa
menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi
publik. Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan menguatkan budaya bangsa.
Namun pada sisi lain, pers juuga bisa melumpuhkan, menjadi alat perusak taatnan
kehidupan, bahkan disintegrsaikan bangsa. Untuk itulah, seklai lagi, sangat
dibutuhkan, satu titik temu dan kesamaan pandang mengani sosok pers nasional.
13
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebebasan pers yang sedang kita nikmati sekarang memunculkan hal-hal yang
sebelumnya tidak diperkirakan. Suara-suara dari pihak pemerintah misalnya, telah
menanggapinya dengan bahasanya yana khas; kebebasana pers di ndoesia telah
kebablasan! Sementara dari pihak asyarakat, muncul pula reaksi yang lebih
konkert bersifat fisik.
Barangakali, kebebasana pers di Indonesia telah mengahsilkan berbagai ekses.
Dan hal itu makin menggejala tampaknya arena iklim ebebasan tersebut tidak
dengan sigap diiringi dengan kelengakapan hukumnya. Bahwa kebebasan pers
akan memunculkan kebabasan, itu sebenarnya merupakan sebuah konsekuensi
yan wajar. Yang kemudan harus diantisipasi adalah bagaimana agar kebablasan
tersbeut tidak kemudian diterima sebagai kewajaran.
B. Saran.
Peningkatan Kualitas Pers.
Bersamaan dengan peningkatan perlindungan terhadap kemerdekaan pers,
lembaga pers harus selalu menyempurnakan kinerjannya sehingga mampu
menyampaikan informasi yang akurat, tepat, cepat, dan murah kepada seluruh
masyarakat.
Sudah saatnya lembaga pers terus menyempurnakan diri dalam menyampaikan
informasi, dengan selalu melakukan penelitian ulang sebelum menyiarkannya,
melakukan peliputan berimbang terutama untuk berita-berita konflik agar
masyarakat memperoleh informasi lebih lengkap untuk turut menilai masalah
yang sedang terjadi.
Penyempurnaan kualitas pers merupakan kerja keras yang dilakukan hari demi
hari untuk kepentingan masyarakat.
Pendidikan melek media mengembalikan titik berat upaya pembedayaan
sepenuhnya ada di diri si khalayak media (pembaca, pendenganr dan pemiras).
Orang-orang yang melek media (Media Literari People) jelas akan saenantiasa jeli
dan kritis terhadap media.
Program Media Literacy dimaksudkan mendidik kahlayak suapaya senantiasa
bersiakp kritisa terhadap infrmasi apapun yang ai teriam dari media. Media
Litercy juga menanankan pentingnya kebiasaan untuk bersikap selektif atassetiap
mata acara yang akan ditonton atau setiap berita yang akan dibaca. Sebab oarang-
rang yang krang terdidik dalam memahami medialah yang lebih rentan bagi
bentuk bentuk manipulasi yang halus.
Paling tidak ada lima unsur yang fundamental dalam pendidikan media
literacy. Yakni, kesadaran terhadap dampak media; pamahaman terhadap proses
komunikasi massa; strategis untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan
media; pemahaman terhadap isi media sebagai tekad yang menyajikan pandangan
bagi kehidupan dan budaya kita; dan kesanggupan untuk menikmati, memahami
dan mengapresiasi isi media.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
Effendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Cetakan
Pertama. Bandung: Citra Aidya Bakti.
Hamzah, A, I Wayan Suandra dan BA Manalu. 1987. Delik-Delik Pers di
Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Media Sarana Pers.
Oetama, Jakob. 1987 Perspektif Pers di Indonesia. Cetakan Pertama.
Jakarat:LP3ES.
Sumadiria, As Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. Bandung. Simbiosa Rekatama
Media.
Sudibyo, Agus dkk. Kabar-Kabar Kebencian.Jakarta: Insistut Studi Arus
Informasi.2001
Koran HU Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu, 9 Febuari 2002.
_____________________, Edisi Rabu 8 Mei 2002.
_____________________, Edisi Selasa, 7 Mei 2002.
16
17