Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketka reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan
kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No.40 Tahun 1999. berbagai
kendala yang membuat pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (surat izin usaha penerbitan pers)
yang berlaku di era Orde baru tdak diperlukan lagi, siapa pun dan kapan pun dapat menerbitkan
penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.
Dan euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun masyarakat
mengedepankan nuansa demokratsasi. Namun, dengan maksud menjungjung asa demokrasi, sering
terjadi "ide-ide" yang permunculannya acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan
etka. Bahkan cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan
dan pers pada umumnya.
Malah kalangan instansi pemerintahan swasta dan masyarakat ada yang berpandangan sinis terhadap
aktvitas jurnalistk yang dicap tdak lagi menghormat hak-hak narasumber. Penampilan pers
nasional/daerah pun banyak menuai kritk dan dituding oleh masyarakat. Sementara disisi alin banyak
contoh kasus dan kejadian yang menimpa media massa, dan maraknya initmidasi seta
kekerasan terhadap wartawan.
Pada tahun 2003-2004, perkara yang menarik perhatan public yaitu menimpa dua mass media nasional
Harian "Kompas" dan grup MBM "Tempo" digugat grup PT Texmaco ke PN Jakarta Selatan. Kedua perkara
tersebut kemudian dicabut ketka proses perkaranya sedang berjalan dipersidangan. Dalam kasus
"Rakyat Merdeka", majelis hakim memutuskan bahwa pemred Rakyat merdeka dihukum karena terbukt
turut membantu penyebaran.

Peningkatan kuanttas penerbitan pers yang tajam (booming), tdak disertai dengan pernyataan kualitas
jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Ada juga media
massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang
bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotsasi informasi seks. Tetapi tentu saja kita tdak dapat
melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media massa yang mencoba tampil dengan
elegan dan beretka, daripada yang menyajikan informasi sampah dan berselera rendah (bad taste).
Apakah benar pers nasional saat ini telah kebablasan?
Tinjauan teori.

BAB II
PERS DI INDONESIA
A. Pengertan Pers
Apa bedanya jurnalistk dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistk dan pers seolah
sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain.
Sesungguhnya tdak, jurnalistk menujuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan
dengan media. Dengan demikian jurnalistk pers berart proses kegaitan mencari, menggali,
mengumpulkan, mengolah, memuat dan menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni
sura kabar, tabloid atau majalah kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
B. Sejarah perkembangan pers.
Pada zaman pemerintahan Cayus Julius (100-44 SM) di negara Romawi, dipancangkan beberapa
papan tulis puth di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Papan tulis yang disebut
Forum Romanum itu berisi pengumuman-pengumuman resmi. Menurut isinya, papan
pengumuman ini dapat dibedakan atas dua macam. Pertama Acta Senatus yang memuat
laporan-laporan singkat tentang sidang-sidang senat dan keputusan-keputusannya. Kedua, Acta
Diurna Populi Romawi yang memuat keputusan-keputusan dari rapat-rapat rakyat dan berita-
berita lainnya. Acta Diurna ini merupakan alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat
berita-berita mengenai peristwa-peristwa yang perlu diketahui oleh rakyat.
C. Sejarah perkem bangan pers dunia (Eropa)
Sejarah perkembangan pers di dunia khusunya di eropa tak pernah jauh merupakan cerminan
dari pada zaman Romawi dan ditandai dengan lahir wartawan-wartawan pertama. Wartawan-
wartwan ini terdri atas budaj-budak belian yang leh pemiliknya diberi tugas mengumpulkan
informasi, berita-berita, bahkan juga menghadiri sidang-sidang senat dan melaporkan semua
hasilnya baik secara lisan maupun tulisan. Surat kabar cetakan pertama baru terbit pada tahun
1911 di Cina. Namanya King Pau, Surat kabar milik pemerintah yang diterbitkan dengan suatu
peraturan khusus dari Kaisar Quang Soo ini, isinya adalah keputusan-keputusan rapat-rapat
permusyawaratan dan berita-berita dari istana.
BAB III
FUNGSI UTAMA DAN UNSUR-UNSUR PERS
A. Fungsi Utama Pers.
Pada dasarnya, fungsi pers dapat dirumuskan menjadi 5 bagian yaitu 6:
1. Pers sebagai Informasi (to inform)
Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyapaikan informasi secepat-
cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setap informasi yang disampaikan
harus memenuhi kriteri dasar: actual, akurat, factual, menarik atau pentng, benar,
lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur adil, berimbang, relevan . bermanpaat dan ets.
2. Pers sebagai Edukasi (to educate).
Apa pun infromasi yang disebar luaskam pers hendaklah dalam kerangka mendidik (to
educate). Sebagai lembaga ekonomi, pers memang dituntut berorientasi komersil untuk
memperoleh keuntungan fnancial. Namun orientasi dan misi komersil itu, sama sekali
tdak boleh mengurangi, apalagi meniadakan fungsi dan tanggung jawab social, Sepert
ditegaskan Wilbur Schramm dalam men, messages, dan media (1973), bagi masyarakat,
pers adalah weatcher, teacher dan forum (pengamat, guru dan forum).
3. Pers sebagai koreksi ( to infuence).
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislatve, eksekutf, dan yudikatf dalam
kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan
legislatf, eksekutf dan yudikatf agar kekuasaan mereka tdak menjadi korup dan
absolut.
4. Pers sebagai rekreasi (to inter tain).
Fungsi keempat pers adalah meghibur, pes harus mampu memeankan dirinya sebagai
wahan rekreasi yang mnyennagkan seklaigus yang menyehatkan bagi smeua lapisan
masyarakat. Artnya apa pun pesan rekreatf yang disajikan mulai dari cerita pendek
sampai kepada teka-teki silang dan anekdot, tdak boleh bersifat negatf apalagi
destruktf.
5. Pers sebagai mediasi (to mediate)
Mediasi artnya penghubung atau sebgai fasilatator atau mediator. Pers harus mampu
menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang lain, peristwa yang satu dengan
peristwa yang lain, orang yang satu dengan eristwa yang lain, atau orang yang satu
dengan orang yang lain pada saat yang sama. Dalam buku karya McLuhan,
Understanding Media (19966) menyatakan pers adalah perpanjang dan perluasan
manusia (the extented of man).
B. Unsur-Unsur Pers
B.1. Landasan Pers
Menurut Keputusan Dewan Pers No.79/XIV/1974 tertanggal 1 Desember 1974 yang
ditandatangani Menpen Mashuri, SH, pers nasional berpijak kepada enam landasan. Pada
zamn Orde Baru, enam landasan tersebut dijadikan semacam rukun iman bagi para
pengusaha pers dan kalangan praktsi jurnalisitk agar tdak tersandung dan bebas dari
ancaman perbredelan yang setap saat menghantui mereka oleh hantu pemerintah.
Secara yuridis, ketka itu UU Pokok Pers No.21 1982 (sekarang UU pokok pers No. 40/1999(
memang dikenal dengan tegas menyatakan terhadap pers nasional tdak dikenai
pembredelan. Namun secara polits, pemerintah sering tak menggubrisnya. Pemerintah
melalui Depatemen Penerangan bisa kapan saja membrangus pers yang dianggapnya tdak
sejalan dengan kebijakan pimpinan nasional. Deppen pada waktu itu adalah depertemen
yang paling ditakut oleh siapa pun yang berkecimplung dalam penerbitan pers nasional.
Dalam SK Dewan Pers 79/1974 ditegaskan, pers nasional berpijak kepada enam landasan,
yakni (1) landasan idiil adalah pancasila, (2) landasan konsttusional adalah UUD 1945, (3)
landasan strategis operasional adalah garis-garis besar haluan negara (GBHN), (4) landasan
yuridis formal adalah tata nilai dan norma budaya agama yang beraku pada masyar akat
bangsa indonesia, dan (6) landasan ets opersioanl adalah kodi etk persatuan wartawan
indoensia (PWI). Namun yang menjadi permasalahan apakah SK Dewan Pers 79/1974 yang
dikeluarkan pada era pemerintahan otokrats itu masih relevan untuk dijadikan rujukan bagi
pers saat ini yang telah bernjak pada era demokrats? Kami berpendapat bahwa sebagian
kecil landasan tersebut sudah tdak relevan.
Sedangkan untuk sebgain bear dampai kini masih tetap sangat relevan setelah disesuaikan
dengan perkembangan serta ketentuan yang berlaku. Untuk yang tdak relevan, misalnya
tentang landasan strategis opersional, dalam era reformsai MPR tdak lagi menetapkan
GBHN. Begitu juga dengan landasan ets, keharusan untuk menginduk hanya kepada satu
organisasi profesi sudah sangt kadalruwarsa sebab kini wartawan boleh bergabung dengan
salah satu organisasi profesi pers mana saja yang diinginkannya.
Lantas apakah landasan pers nasional jadi menyusut dari enam menjadi lima atau empat
landasan, misalnya? Kami berpendapat, jumlah tdak mengalami perubahan tetap enam
landasan. Hanya isinya dan urutuannya saja yang diubah serta disesuaikan. Bagaimanapun
pers nasional perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, trnai, dan
bahkanhegemoni kekuasaan dalam tumbuhnya sendiri.
B.1.1. Landasan Idiil.
Yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artnya, selam ideologi negara tdak digant, suka
atau tdak suka, pers nasional harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai iedeologi
nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber segala sumber
hukum.
Di negara manapun, pers sangat dipengaruhi dan sangat bergantung pada ideologi serta
sistem politk yang dianut negar bersangkutan. Dalam negara monarki, lahir dan
berkembang pers monarki. Dalam negara liberal, lahir dan berkembang pers liberal
kapitalistk. Lalu dalam negara majemuk sepert di Indonesia, apakah ets mengambangkan
pers liberal kapitalisitk yang berorientasi komersial semata dan hanya mengabdi kepada
pemilik modal?
B.1.2. Landasan Konsttusional.
Landasan konsttusional, berart menujuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan
amandemen dan ketetapan-ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat,
berkumpul, dan kebebasan menyatakan pikiran, pendapat baik lisan ataupun tulisan.
UUD bukanlah kitab suci yang tak boleh digant atau direvisi. UUD tdak perlu disakralkan.
Dangat berbahaya apabila UUD hanya dijadikan alat ritual. UUD harus dijadikan senanriasa
aktual. Pers nasional harus memiliki pijakan konsttusional agar tak kehilangan kendali serta
jat diri dalm kompetsi era global.
B.1.3. Landasan Yuridis Formal.
Landasan yuridis formal, mengacu kepada UU Pokok Pers No.40/1999 untuk pers, dan UU
Po0kok Penyiaran No.32/2002 untuk media radio siaran dan media telivisi siaran. Sekedar
actaatn, dalam UU Pokok Pers No.40/1999, pers dalam art media cetak berkala dan pers
dalam art media radio siaran berkala dan media televsisi siaran berkala, diartkan sekaligus
diperlakukan sama sehingga menjadi rancu serta difungsional.
B.1.4. Landasan strategis Operasional
Landasan strategis operasional, mengacu kepada kebijakan redasional media pers masing-
masing secara internal yang berdampak kepada kepentngan sosial dan nasioanl. Setap
penerbitan pers harus memilki garis haluan manajerial dan redaksional.
Garis haluan manajerial berkaitan erat dengan flosofs, visi, orientasi, kebijakan dan
kepentngan komersial. Garis haluan redaksional mangatur tentang kebijakan pemberitaan
atau sesustu yang menyangkut materi isi serta kemasan penerbiutan media pers.
B.1.5. Landasan sosiologis Kultural
Landasan sosiologis kutural berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang
berlaju pada dan seklaigus dijunu8nmg tnggi oleh masyarakat bangsa indonesia. Pers
indonesia adalah pers naisonal yang sarat dimuat nilai serta tanggung jawab. Pers kita
bukanlah pers liberal. Dalam segala sikap dan perilakunya, pers nasional dipengaruhi dan
dipagari nilai-nilai kultural.
B.1.6. Landasan Ets Propesional.
Landasan ets propesional menginduk kepada kode etk profesi. Setap organisasi pers harus
memiliki kode etk. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat untuk hanya
menginduk keada satu kode etk. Tetapi secara flosofs, setap organisasi pers harus
menyatakan terkait dan tunduk kepada ketentuan kode etk. Ini berar t tap organisasi pers
boleh memiliki kode etk sendiri, boleh juga menyepakat kode etk bersama.
B.2. Pilar penyangga pers
Pers itu ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila bertumpu pada
tga pilar penyangga utama yang satu sama lian berfungsi saling menopang, tritunggal/
ketga pilar itu ialah:
1. Idealisme
2. Pada pasal 6 UU Pokok pers No.40/1999, pers nasional melaksanakan peranann sebagai
berikut:
1) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
2) Menegaskan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak asasi manusia serta
menghormat kebhinekaan.
3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat akurat, dan
benar.
4) Melakukan pengawasan, kritk, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentngan umum.
5) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Profesionalime berart isme atau paham yang menilai tnggi keahlian profesional
khususnya, atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk
mencapai keberhasilan. Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi enam
ciri berikut:
a. Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman,
pelathan, atau pendidikan khsusus dibidangnya.
b. Mendapat gaji, honorium atau imbalan materi yang sesuai dengan keahlian, tngkat
pendidikan, atau pengalaman yang diperolehnya.
c. Seluruh sikap, perilaku dan aktvitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi
oleh keterikatan dirinya secara moral dan etka terhadap kode etk profesi.
d. Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang
sesuai dengan keahliannya.
e. Memiliki kecinaan dan dedikasi luar baiasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang
dipilih dan ditekuninya.
f. Tidak semua orang mampu melaksankan pekerjaan profesi tersebut karena untuk
bisa menyelaminya mensyaratkan penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu.
BAB IV
PERS DAN POLITIK
A. Hubungan Pers dan Politk Tinjauan History.
Pada era reformasi saat ini, ada fenomena yang menarik kaitannya politk dan pers. Banyak
wartawan ikut serta terjun ke dunia politk. Para wartawan kini bukan hanya memberitakan
pendidikan politk dua+dua=empat. Mereka juga ingin menjadi balon (bakal calon) yang ingin
memimpin dan menjadi pemimpin.
B. Hubungan Pers dan Politk Kini.
Maka itu, jika wartawan kini berpolitk terang- terangan memang punya sejarahnya. Jika mereka
menjadi corong rakyat bukanlah hal yang tdak mugkin. Jika mereka mematut-matut diri di rapat
partai politk, tdak perlu heran bahkan, jika mereka nant ikut bergoyang dombret, dipanggung
kampanye, janaan ditertawakan. Pun untuk yang menjadi peserta who want to be president?
Kenapa tdak?
Duduk perkaranya tnggal di soal, bisakah ia melaksanakan tugas kewartawanan dengan baik?
Bukankah wartawan punya tugas yang cukup berat? wartawan harus berpegang teguh pada
kebenaran dan seta kepada rakyat tegas Bill Kovach dan Tom Rosendstel (2001). Wartawan
bekerja demi kemaslahatan publik. Ia tdak boleh gampang was-was dan berpihak pada urusan
selain berita. Kerja memverifkasi beritanya, selain harus transparan dan sistemats, mest
independen. Tidak selingkuh dengan partai poitk atau penguasa atau pengusaha. Sebab bisakah
mengharapkan wartawan meliput secara benar orang yang memiliki hubungan personal, intm
dan loyalitas dengannya? Harus ada jarak personal agar wartawan. Bisa meliput dan menilai
berita dengan mandiri,. Dari sanalah, antara lain kebenaran, sebagai penyampai kisah yang
punya kredibilitas.
Pengakuan tersebut diperoleh tdak take of garanted. Tetapi secara berulang-ulang, terus-
menerus, diupayakan melalui pelbagai kode dan konvensi kebenaran yang layak dipercaya
khalayak. Kredibilitas. (McNair, The Sociology of Journalism.1998).
B.1. Pers negatf dan positf.
Tatkala angin reformasi berhembus dengan kencang, koridor demokrasi pun perlahan tetapi
past mulai terkuak. Ruang publik yang sebelumnya penuh dengan jaring laba-laba kekuasaan
yang setap saat bisa membelenggu kebebasan pers Indonesai. Suara-suara alternatf yang
sekian lama mengendap dibalik bilik kebisuan publik tba-tba menyeruak, sepert burung yang
lepas dari sangkarnya, terbang kesana kemari.
B.2. Kalau kita coba lukiskan perkembangan pers Indonesia akhir-akhir ini, paling tdak ada
beberapa hal pentng yang menujukan perubahan wajah pers pasca-Soeharto.
Pertama, deregulasi media yang dilakukan rezim pasca-Soeharto sepert ditandai dengan
dipermudahnya memperoleh izin dan dicabutnya sistem SIUPP telah menyebabkan maraknya
penerbitan pers. Sayangnya peningkatan kuanttas media, belum dengan sendirinya disertai oleh
perbaikan kualitas jurnalismenya. Sementara media yang cenderung partsan terus melakukan
sensasionalisme bahasa sepert tampak lewat pemilihn judul (headline) yang bombants atau
desain cover yang norak, majalah dan tabloid hiburan justru melakuakn vulgariasasi dan
erotsasi informasi seks. Kalau bisa diebut sebagai pers negatf, sepert itulah kriterianya.
Kedua, maraknya apa yang disebut sebagai media baru (new media) dikalangan masyarakat
kita akhir-akhir ini. Untuk menyebut di antaranya adalah internet dan teknologi multmedia yang
semakin canggih. Akses internet membawa budaya baru dalam pemanfaatan waktu luang
(leisure tme). Dengan Internet, batas-batas ruang dan waktu telah musnah. Dan banyak lagi nilai
manfaat dan nilai positf yang bisa diambil dan digunakan oleh pengguna media, demi efsiensi
dan efektf kegiatan sehari-hari, tak berlebih jika kategori pers sepert adalah pers positf.
Ketga, menguatnya fenomena aoa yang dikenal sebagai tesisi imprealisme media. Fenomena
ini disebablan globaliasi media transnasional dan invasi produk hiburan impor yang menguasasi
pasar media dalam negeri.
B.3. Pers Kepentngan.
Benarkah media massa bebas kepentngan? Jawabannya : tdak! Media massa selalu terikat dan
tumpang tndih dan sarat dengan pesan sponsor pemilik media, agenda terselebung dewan
redaktur atau pun pelampiasan idealisme si waratwan. Kecenderungan pemberitaan media mssa
akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa sadar atau tdak, ia mampu membakar pertentangan
antar suku, agama dan ras.

BAB V
POTRET PERS DI INDONESIA
A. Permasalahan dalam kebebasan pers.
Kebebasan pers yang muncul pada masa era reformasi ini ternyata membawa permasalahan
baru. Peningkatan kuanttas penerbitan pers yang tajam (booming), tdak disertai dengan
pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada
pers nasional. Sepert kecurigaan pada praktek "jurnalisme preman", "jurnalisme pelintran",
jurnalisme omongan", dan tudingan-tudingan negatve lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul
(headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotsasi informasi seks. Tetapi tentu
saja kita tdak dapat melakukan generalisasi, harus diakui, bahwa masih banyak media massa
yang mencoba tampil dengan elegan dan beretka, daripada yang menyajikan informasi sampah
dan berselera rendah (bad taste).
Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot, bahkan ada yang menyebut pers kebablasan
adalah karena kurang profesionalnya jajaran aratwannya, kekurangan yang paling uatam adalah
soal kemampuan memahami permasalahan yang akan diberitakan dan teknis ketermapilan
menuliskannya. Untuk itu, wartawan di era refor masi perlu menguasai pengetahuan umum,
skill, dan kepandaan menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang komperhensif dan
partsipatf. Memang aer reforamsi melahirkan dilema, masyarakat belum mamahami betul apa
itu kebebasan pers serta apa yang akan dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum
sadar sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentngan kalangan pers sendiri, sebab
secara tdak langsung ataupun langsung pers nasional merupakan bagian yang tdak dapat
dipisahkan dari pembangunan bangsa dan negara.
B. Masyarakat yang jenuh media.
Para ahli menyebut budaya dan masyarakat muktahir sebagi masyarakat yang penuh dengan
media (media saturrated society). Masyarakat muktahir adalah masyaraat yang dilimpahi dengan
informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual, masyarakat yang dibanjiri
informasi dan pesan-pesan komersial.
Mayarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan narkotsasi media bagi
masyarakat. narkotasasi (narcotzaton) adalah sebuah istlah yang digunakan untuk
menggambarkan efek negatf atau efek menyimpang (dysfuncton) dari medai massa. Istlah ini
sebenarnya berasal dari Paul F.Lazarsfeld dan Robert K Merton. Dalam eseinya, Mass
Comuniaton, Popular Tate and Organized Social Acton (1984), mereka menggunakan istlah
narkotzing Dysfuncton untuk menyebeut konsekuensi sosial dari media massa yang sering
diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai peneyabab apatsme politk dan keleusan
massa.
BAB VI
KEBABASAN PERS ATAU KEBABLASAN PERS.
A. Menilik wajah pers kita: antar kebebasan dan kebablasan.
Apa yang pantas kita perbincangkan wajah pers nasional saat ini? Ada yang mengatakan, pers
kita tengah memasuki sebuah era baru, era penuh kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan
pada konstalasi politk dan konsttusi nasional, yang memungkinkan para insan pers tdak lagi
harus merasa jeli oleh kemungkinan kena brendel atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-
nya dicabut. Eurofa kebebasan ini mewabah di mana-mana. Usaha penerbitan bermunculan bak
cendawan di musim hujan.
Namun, pada saat bersamaan muncul juga pendapat bahwa kebebasan pers kita sudah
kelewatan, alias kebablasan. Dalam hal ini pers dianggap sudah keluar dari batas kepatutan atas
peran yang dimainkannya. Di san-sini muncul suara keluhan dan nada ketr masyarakat, yang
pada intnya bermuara pada keprihatanan terhadap pemberitaan media massa yang sebagian
diantaranya terkesan tdak lagi mempertmbangkan dampaknya pada khslayak dan tadanya
unsur prioritas pemberitaan.
Berbicara tentang pers, tentulah kita harus memasukan semua jenis media massa, mulai dari
cetak, elektronik, hingga cyber media. Tak bisa dibantah, keprihatnan publik ada benarnya.
sejumlah fakta sudah demikian terbuka untuk bisa dijadikan alasan. Di ketga jenis media massa
tersebut, kita bisa menyaksikan sejumlah distorsi dan penyelewengan-penyelewengan fungsi
pers, mulai dari pemberitaan yang tdak akurat, kurang memerhatkan unsur cover both side,
diabaikannya kaidah-kaidah kode etk jurnalistk (KEJ), hingga seringnya terjadi praktk pemeasan
dan intmidasi oleh insan pers.
Yang tak kalah menyeramkan adalah tayangan televisi dan internet, yang bukan saja dianggap
mengeksploitasi pornograf dan kekerasan sehingga dianggap meresahkan masyarakat, tetapi
juga sudah mengganggu dan merampas kenyamanan publik yang menjadi objek pembereritaan
itu sendiri.ada baiknya coba kita hitung, adakah kerugian psikologis yang dialami seseorang yang
sengaja dijebak menajdi objek dalam sebuiah acara yang seolah- olah dirinya dikejar-kejar
hantu atau menjadi seorang tersangka dalam sebuah tndak kriminal.
Bisa juga disodorkan kasus adegan syur Yahya Zaini dan Maria Eva. Apakah ini pertanda bahwa
wajah pers kita demikian buruknya? Kita memang harus berani mengatakan bahwa dalam
dinamikanya, pers kita masih dalam proses pendewasaan. Dukup wajar jika di sana-sini masih
jumpai sejumlah kelemahan, distorsi atau malah penyewengan. Meski demikian, memvonis pers
sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga rasanya tak adil.
Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu menjadi gambaran masyarakat kita sendiri?
Barangkali, ada perlunya kita cermat pernytaan Prof, Stephen Hill, Direktur UNESCO Indonesia.
Menurutnya, media hanyalah alat legitmasi perilaku dan tndakan bukan alat yang menciptakan
keduanya. Karena itulah, barangkali yang harus diuapayakan agar wajah pers tdak seburuk
sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah ttk temu atau keseimbangan antara
kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu
harus dibuat dengan tanggung jawab, bukan pengekangan. Tanggung jawab media dalam
membangun budaya harus diletakkan pada penegmbangan kemampuan pekerja di media massa
itu sendiri.Dan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika memang perangkat hukum yang ada di
negeri ini mamapu mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus kehilangan
wibawanya.
Bagaimana pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda. Pers bisa menjadi faktor kunci yang
memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi publik. Menumbuhkan rasa optmisme, dan
bahkan menguatkan budaya bangsa. Namun pada sisi lain, pers juuga bisa melumpuhkan,
menjadi alat perusak taatnan kehidupan, bahkan disintegrsaikan bangsa. Untuk itulah, seklai
lagi, sangat dibutuhkan, satu ttk temu dan kesamaan pandang mengani sosok pers nasional.
B. Ancaman Kebebasan Pers.
Ancaman terberat bagi kemerdekaan pers d Indonesia saat ini justru dari kelompok massa.
Walaupun ada ancaman dari pemerintah, polisi, maupun tentara, namun ancaman tersebut dari
lembaga-lembaga tersebut atau perorangn dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena
mereka punya pemimpin, yang bisa dimintai pertanggungjawaban, dan lembaga-lembaga itu
mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan rujukan.
Ancaman lain terhadap kemerdekaan pers adalah tdak kalah pentngnya adalah dari peraturan
perundangan lainnya, khususnya KUH pidana dan KUH perdata.peristwa yng menimpa Tempo,
Koran Tempo, Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga bagi
masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak hukum yang ebih memilih
peraturan perundangan di luar UU no.40/1999 tentang Pers, dari pada menggunanakn uu Pers
itu sendiri, dalam menyelesaikan masalah pemberitaan.
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebebasan pers yang sedang kita nikmat sekarang memunculkan hal-hal yang sebelumnya tdak
diperkirakan. Suara-suara dari pihak pemerintah misalnya, telah menanggapinya dengan
bahasanya yana khas; kebebasana pers di ndoesia telah kebablasan! Sementara dari pihak
masyarakat, muncul pula reaksi yang lebih konkert bersifat fsik.
Barangakali, kebebasana pers di Indonesia telah mengahsilkan berbagai ekses. Dan hal itu makin
menggejala tampaknya arena iklim ebebasan tersebut tdak dengan sigap diiringi dengan
kelengakapan hukumnya. Bahwa kebebasan pers akan memunculkan kebabasan, itu sebenarnya
merupakan sebuah konsekuensi yang wajar. Yang kemudan harus diantsipasi adalah bagaimana
agar kebablasan tersbeut tdak kemudian diterima sebagai kewajaran.
B. Saran.
Peningkatan Kualitas Pers.
Bersamaan dengan peningkatan perlindungan terhadap kemerdekaan pers, lembaga pers harus
selalu menyempurnakan kinerjannya sehingga mampu menyampaikan informasi yang akurat,
tepat, cepat, dan murah kepada seluruh masyarakat.
Sudah saatnya lembaga pers terus menyempurnakan diri dalam menyampaikan informasi,
dengan selalu melakukan penelitan ulang sebelum menyiarkannya, melakukan peliputan
berimbang terutama untuk berita-berita konfik agar masyarakat memperoleh informasi lebih
lengkap untuk turut menilai masalah yang sedang terjadi.
Penyempurnaan kualitas pers merupakan kerja keras yang dilakukan hari demi hari untuk
kepentngan masyarakat. Pendidikan melek media mengembalikan ttk berat upaya
pembedayaan sepenuhnya ada di diri si khalayak media (pembaca, pendenganr dan pemiras).
Orang-orang yang melek media (Media Literari People) jelas akan saenantasa jeli dan krits
terhadap media.
Program Media Literacy dimaksudkan mendidik kahlayak suapaya senantasa bersiakp kritsa
terhadap infrmasi apapun yang ai teriam dari media. Media Litercy juga menanankan pentngnya
kebiasaan untuk bersikap selektf atassetap mata acara yang akan ditonton atau setap berita
yang akan dibaca. Sebab oarang-orang yang krang terdidik dalam memahami medialah yang
lebih rentan bagi bentuk bentuk manipulasi yang halus.
Paling tdak ada lima unsur yang fundamental dalam pendidikan media literacy. Yakni, kesadaran
terhadap dampak media; pamahaman terhadap proses komunikasi massa; strategis untuk
menganalisis dan mendiskusikan pesan-pesan media; pemahaman terhadap isi media sebagai
tekad yang menyajikan pandangan bagi kehidupan dan budaya kita; dan kesanggupan untuk
menikmat, memahami dan mengapresiasi isi media.

DAFTAR PUSTAKA
Efendy, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Cetakan Pertama. Bandung: Citra
Aidya Bakt.
Hamzah, A, I Wayan Suandra dan BA Manalu. 1987. Delik-Delik Pers di Indonesia. Cetakan Pertama.
Jakarta: Media Sarana Pers.
Oetama, Jakob. 1987 Perspektf Pers di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarat: LP3ES.
Sumadiria, As Haris. 2005. Jurnalistk Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sudibyo, Agus dkk. Kabar-Kabar Kebencian. Jakarta: Insistut Studi Arus Informasi.2001
Koran HU Pikiran Rakyat, Edisi Sabtu, 9 Febuari 2002.
_____________________, Edisi Rabu 8 Mei 2002.
_____________________, Edisi Selasa, 7 Mei 2002.

Anda mungkin juga menyukai