“TABEL PERBANDINGAN KEBEBASAN PERS ERA SEBELUM REFORMASI DAN
PASCA REFORMASI” TAHUN 2022 A. Pengertian Pers Secara etimologis, kata persdalam bahasa Belanda, atau press dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin, yaitu pressare dari kata premere yang berarti tekan atau cetak. Dalam pengertian umum, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan I. Taufik dalam bukunya Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Menurutnya, pers adalah suatu alat yang terdiri dari dua lembar besi atau baja yang di antara kedua lembar tersebut dapat diletakkan suatu barang (kertas), sehingga apa yang hendak ditulis atau digambar akan tampak pada kertas tersebut dengan cara menekannya. Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 13 disebutkan bahwa pers memiliki dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, pers adalah seluruh media baik elektronik maupun cetak yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, ulasan, laporan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Dalam arti sempit, pers hanya terbatas media cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, bulletin dan majalah. Secara yuridis formal, pengertian pers disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang pers yang menjelaskan bahwa “pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis jalur yang tersedia.” B. Pers Pada Masa Orde Baru Setelah lepas dari masa Orde Lama dimana pers yang saat itu sangat dibatasi dan di bawah ancaman pencabutan surat izin terbit. Pada awal kekuasaan Orde Baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka – cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan Orde Lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa Orde Baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring apalagi mengenai pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya. Pada masa Orde Baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui Departemen Penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan Orde Baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat. “Pada masa Orde Baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak adakebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan. Pada tahun 1994, media massa seperti Tempo dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang anti rezim Soeharto. Pada masa Orde Baru ini, pers seperti dikekang dan hanya menjadi alat pemerintah untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Pers dalam masa Orde Baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Meskipun Orde Baru telah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan di awal pemerintahannya, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu dan mendapat tekanan dari segala aspek. Pers saat itu hanya dijadikan sebagai pelindung bagi kepentingan pemerintah saja. C. Pers Pada Masa Reformasi Pers pun tidak hanya diam dengan keadaan pada masa Orde Baru yang semakin mengekang dan membatasi pers, mereka mulai melawan pemerintah dengan menertbitkan tulisan– tulisan dan kritikan – kritikan pedas pada pemerintah saat itu. Dan pada tahun 1998 masyarakat luas, rakyat Indonesia mulai muak dengan Orde Baru, terjadilah peristiwa Mei yang melahirkan Reformasi. Reformasi adalah bentuk rasa tidak puas rakyat akan pemerintahan Orde Baru yang dipandang korup dan otoriter, dan bagi pers sendiri setelah tumbangnya Orde baru membawa angin segar bagi kelangsungan dunia pers sendiri. Pers pun semakin tumbuh dan menjadi bagian penting di dalam masyarakat, peran pers sangatlah penting bagi penyebarluasan informasi dan sebagai media kontrol masyarakat dan pemerintah. Pada masa reformasi ini banyak media – media baru yang lahir, baik cetak maupun elektronik yang tumbuh semakin cepat. Mengisi peran penting dalam masyarakat sebagai peyeimbang dan “penyambung lidah” antara rakyat kecil dan penguasa. Dan selain reformasi membawa dampak kebebasan bagi dunia pers, sayangnya pers juga mengalami perkembangan yang cenderung kearah negative juga, seperti isi pemberitaan yang terkadang “liar” dan memojokkan salah satu pihak dikarenakan liberalisasi telahmasuk dalam tubuh pers. Berita yang bermuatan SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antar Golongan) sering dimuat oleh media – media yang tidak bertanggung-jawab. Mayoritas media pers telah terbawa arus kebebasan dan hanyut dalam industri media. Yang kita butuhkan sekarang adalah pers yang bertanggung- jawab. Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan Negara (pemerintah), ataukepentinganrakyat. Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik terhadap pemimpinnya dapat terwujud. D. Kesimpulan Memang di setiap masa dan zaman pers Indonesia semakin tumbuh dan berkembang. Pada era Orde Baru, pers dibatasi dan mendapat pengawasan yang sangat ketat dan dibayang-bayangi pencabutan ijin terbit bila tidak sejalan dengan pemerintah saat itu. Pers hanya dijadikan alat kontrol dan alat pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Pers hanya diperbolehkan memberitakan hal-hal yang baik saja bila mengenai pemerintahan. Dan pers saat itu kehilangan independensi dan jadi dirinya. Di saat reformasi bergulir, dunia pers pun manyambutnya dengan suka cita. Dengan kembalinya kebebasan pers, pers pun seperti terlahir kembali di Indonesia. Muncul media – media baru yang baik media cetak maupun elektronik yang semakin meramaikan dunia pers Indonesia. Dan salah satu akibatnya, mucul industri media yang menjadikan pers tidak hanya sebagai sarana “penyambung” antara rakyat kecil dan pemimpinnya, tetapi juga sebagai ladang industri yang terkadang di luar kaidah- kaidah pers. Banyak berita- berita yang memuat unsur SARA dan sering memojokkan salah satu pihak. Dan pers lebih banyak dijadikan menjadi ladang uang bagi pengusaha- pengusaha, dibandingkan peran aslinya untuk mendidik. Memang tidak semua media pers seperti itu, akan tetapi mayoritas media massa saat ini lebih mementingkan kepentingan mereka dan mengabaikan peran pers yang sesungguhnya yakni pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, sesuai pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Setiap masa memiliki kekurangan dan kelebihan masing- masing. Pada masa Orde baru pers bisa lebih tertib dan teratur. Di sisi lain memang pers lebih tertekan dan kurangnya kebebasan saat itu. Pada masa reformasi, pers seperti terlahir kembali dan tumbuh dengan sangat cepat karena adanya kebebasan pers. Di sisi lain, daampak kebebasan itu menimbulkan liberlisasi pers yang mengakibatkan semua berita pers seprti bebas dan “liar” serta kurang terkontrol, yang mengakibatkan banyak media pers yang kehilngan jati dirinya sebagai pers dan hanya menjadi budak dalam industri media saat ini.