Anda di halaman 1dari 25

Pergerakan Pers

pada Zaman Orde


Baru
KELOMPOK 3:
Y U S U P FA Z R I S A J I D I N
YOGA ANGGARA
ANTON KURNADI
1).Pergerakan Pers pada Zaman Orde Baru
Pada zaman Orde Baru berita yang muncul harus mengikuti kemauan penguasa. Jika media
memberikan kritik kepada pemerintah maka akan dibredel. Seperti yang dialami oleh majalah Tempo, Detik
dan Editor. Tekanan yang begitu kuat membuat berita disebarkan dengan media alternatif yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, yang bertujuan agar masyarakat sadar akan hak-hak nya yang diambil oleh
penguasa.
Sebagian wartawan yang menjadi Korban dari peraturan pemerintah pada saat itu adalah Ahmad Taufik, Eko
Maryadi dan Danang Mardoyo. Mereka ditangkap oleh aparat pada bulan Maret 1995, karena menerbitkan
buletin dan suara independen, sebuah media alternatif yang mengkritis pemerintah pada saat itu.

PERGERAKAN PERS PADA ZAMAN ORDE BARU


Menurut Ahmad Taufik munculnya media alternatif adalah karena pemerintah sangat mengekang kebebasan pers dan
mengontrol perusahaan media.
contoh kasus bahwa pers tidak bebas menulis adalah ketika membongkar kejahatan harmoko (menteri penerangan) ketika
meminta bayaran kepada media untuk bisa tetap terbit. Dan kasus lain seperti ketika media masa tidak pernah memuat
kejahatan-kejahatan bisnis soeharto.
Wartawan Senior, Goenawan Mohamad menyatakan untuk menembus sensor orde baru adalah dengan cara berikut :
1. Mengirim koran kedalam forum diskusi ke daerah-daerah incaran mahasiswa
2. Membuat media alternatif dibawah tanah dengan internet
3. Menerbitkan buku cepat yang tidak di sensor yang isinya semacam reportase

PERGERAKAN PERS PADA ZAMAN ORDE BARU


Menurut pengamat media, Agus Subidyo, Pers bawah tanah pada pertengahan era 90an sangat
berperan dalam mengubah wajah Indonesia. Tulisan-Tulisan yang dimuat menumbuhkan kesadaran rakyat
mengenai kondisi Indonesia yang sesungguhnya. Puncaknya adalah ketika turunnya Soeharto dari kursi
kekuasaannya pada mei 1998.
Peran pers pada zaman Orde Baru sangat berpengaruh terhadap kejatuhan presiden Soeharto yang tidak
terlepas dari peran para aktifis pro demokrasi dan juga pers-pers alternatif.

PERGERAKAN PERS PADA ZAMAN ORDE BARU


1).Perbedaan Pers pada Masa Orde Lama dan Orde Baru

Perbedaan pers pada saat orde lama dan orde baru terletak pada fungsi, peranan, serta kebebasan yang
dimiliki oleh insan pers pada kedua masa tersebut.
Pada saat orde lama, pers dijadikan sebagai alat politik oleh pemerintah. Pada saat itu, pers diwajibkan
untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Misalnya, mereka diwajibkan untuk meliput
peristiwa konfrontasi Malaysia, pembebasasan Irian Barat, dll.

PERBEDAAN PERS PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU


Pada masa orde baru, awalnya pers diperlakukan dengan bebas. Akan tetapi, sejak peristiwa Malari 1974,
pers dibatasi oleh pemerintah masa orde baru. Sejak kejadian Malari 1974 itu juga, setiap pers itu harus
memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya surat ini, pers dilarang untuk
mengkritik pemerintah. Selain itu, pers juga diancam atau dibredel jika terbukti bersalah.

PERBEDAAN PERS PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU


3).Hubungan Pers dengan Pemerintah

Berbicara tentang hubungan Pemerintah dan media tidak bisa dilepaskan dari sistem pers yang dianut dalam
suatu negara. Pengertiannya ialah bahwa sistem pers yang dianut dalam suatu negara merupakan bagian atau
susbsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian suatu sistem
sosial dan politik . Oleh karena itu untuk mengetahui hubungan pemerintah dan media kita tidak bisa lepas
dari bentuk sistem sosial dan bentuk pemerintahan suatu negara dimana sistem pers itu berada dan berfungsi

HUBUNGAN PERS DENGAN PEMERINTAH


Ahmad Zaini Abar (1995) menjelaskan bahwa terdapat dua kutub untuk melihat hubungan pers, masyarakat
dan negara. Yang pertama adalah apabila negara menempat posisi doniman, berarti masyarakat mempati
posisi yang sub-ordinasi, maka pers cenderung berorientasi ke negara. Kutub yang lain mengatakan bahwa
apabila masyarakat menempati posisi “dominasi” dan negara menempati posisi “sub-ordinasi”, maka pers
lebih cenderung berorientasi ke masyarakat.

HUBUNGAN PERS DENGAN PEMERINTAH


4).Konflik Pers dengan Pemerintahan

Seiring runtuhnya kekuasaan pemerintah orde lama dan digantikan dengan pemerintahan orde baru, kehidupan pers di
Indonesia pun perlahan memperoleh kebebasan. Kebebasan tersebut diperoleh setelah pemerintahan orde baru
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Undang-undang tersebut
mengatur bahwa pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan dan kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari
hak-hak dasar warga negara serta penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun.

KONFLIK PERS DENGAN PEMERINTAHAN


Pada kenyataannya, para penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang saling terkait. Dua izin
tersebut adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari
lembaga keamanan militer KOPKAMTIB.
Meskipun harus memiliki surat izin, ketegangan antara pers dengan pemerintah belum terlihat ketika
awal-awal pemerintahan orde baru. Pada masa awal pemerintahan orde baru, pers, dan pemerintah
memiliki hubungan yang harmonis. Hal ini terjadi karena pemerintah orde baru menjajikan akan
keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Kondisi tersebut disambut baik oleh insan pers sebab di
era pemerintahan yang lalu, yaitu orde lama, kondisi tersebut tidak didapatkan.

KONFLIK PERS DENGAN PEMERINTAHAN


Pers Indonesia di era orde baru sering disebut sebagai pers pancasila. Ciri pers pancasila adalah bebas dan bertanggung. Namun
sayangnya, kebebasan tersebut hanya didapat pada saat awal-awal pemerintahan orde baru saja.
Kebebasan pers memudar
Kebebasan pers mulai sirna ketika terjadi Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). Dalam peristiwa ini terjadi demonstrasi
besar-besaran Jakarta. Demonstrasi ini dipicu oleh kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Apabila dilihat lebih jauh, aksi
tersebut berakar dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi. Akibat peristiwa
tersebut banyak aktivis yang ditangkap. Tidak hanya aktivis, peristiwa tersebut juga berdampak pada kehidupan pers. David T. Hill
dalam bukunya Pers di Masa Orde Baru (2011), menjelaskan bahwa setelah Peristiwa Malari ada 12 pers yang kehilangan surat izin
terbit dan surat izin cetak atau bisa dibilang dibredel oleh pemerintah.

KONFLIK PERS DENGAN PEMERINTAHAN


Sejak Peristiwa Malari, pemerintah mulai memperhatikan dan menekan pers. Tekanan terhadap pers semakin terasa
ketika pemerintah orde baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers.
Undang-undang tersebut merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Apabila dalam
undang-undang nomor 11 tahun 1966 tidak mengatur surat izin penerbitan pers, maka dalam undang-undang nomor
21 tahun 1982 surat izin pers benar-benar diatur. Surat izin tersebut dikenal sebagai Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP). SIUPP dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. Departemen Penerangan dan SIUPP merupakan faktor
yang menjadi penghambat kebebasan pers pada masa orde baru. Perusahaan pers dituntut sejalan dengan kebijakan
pemerintahan orde baru.

KONFLIK PERS DENGAN PEMERINTAHAN


Apabila perusahaan pers tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah atau malah mengkritik kebijakan
pemerintah, maka SIUPP-nya akan dicabut (dibredel) oleh Departemen Penerangan. Meskipun begitu,
masih banyak perusahaan pers yang tetap mengkritik pemerintahan orde baru. Tempo, DeTik, dan Editor
merupakan perusahaan pers yang pernah dibredel oleh pemerintahan orde baru.

KONFLIK PERS DENGAN PEMERINTAHAN


Alat pemerintahan
Dalam buku Perkembangan Pers di Indonesia (2010) karya Akhmad Efendi, dijelaskan bahwa pada masa orde baru,
segala penerbitan pers berada dalam pengawasan pemerintah, yaitu melalui Departemen Penerangan. Apabila tetap
ingin hidup, maka pers harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintah orde baru. Pers seakan-akan
dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasannya. Sehingga pers tidak bisa menjalankan fungsinya yang
sesungguhnya, yaitu mengawasi kinerja pemerintah dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Penekanan terhadap pers
ini berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan pemerintah orde baru.

KONFLIK PERS DENGAN PEMERINTAHAN


5 Media Massa yang Diberedel di Era Orba
Majalah Tempo
Pembredelan majalah Tempo terjadi dalam dua waktu, pertama pada tahun 1982, dan kedua pada tanggal 21 Juni 1994.
Pembredelan periode pertama
Pada tahun 1982, majalah Tempo dibredel untuk pertama kalinya. Pembredelan ini terjadi karena Tempo dianggap terlalu
tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya pada masa itu, yaitu partai Golkar. Majalah Tempo kemudian
diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani sebuah pernyataan diatas kertas segel dengan Menteri Penerangan saat
itu, Ali Murtopo. Pada masa orde baru, terdapat lembaga bernama Departemen Penerangan yang bertugas mengawasi pers.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Pembredelan periode kedua
Setelah mengalami pembredelan pertama pada 1982, majalah Tempo kembali mengalami pembredelan pada 21 Juni 1994.
Pembredelan dilakukan pada oleh pemerintah, melalui Menteri Penerangan saat itu, Harmoko. Majalah Tempo yang terbit 7
Juni 1994 mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur seharga USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar.
Sepekan sebelumnya, majalah Tempo mengungkapkan pelipatgandaan harga kapal bekas sebesar 62 kali lipat.
Atas pemberitaan ini, Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto tentang pembelian kapal-kapal bekas dari
Jerman Timur yang bermasalah. Pembelian kapal perang tersebut dilakukan oleh Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu,
B.J. Habibie. Sedangkan pemerintah sendiri, dalam hal ini Menteri Keuangan Marie Muhammad, tak pernah merencanakan
pembelian tersebut.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Pada pembredelan periode kedua, pihak Tempo melakukan perlawanan dengan mangajukan gugatan ke
Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu banyak jurnalis yang mengecam sikap Departemen Penerangan
dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mendukung pembredelan majalah Tempo. Para jurnalis
ini kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk
kontrol informasi dan kontrol organisasi wartawan di tangan pemerintah. Selain itu, demonstrasi juga
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia terkait pembredelan tersebut.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Harian Sinar Harapan
Sinar Harapan merupakan surat kabar Indonesia yang kembali terbit setelah diberedel pada 1986 silam. Mulanya, surat kabar
ini terbit perdana pada 27 April 1961 di bawah pimpinan HG Rorimpandey sebagai Pemimpin Umum saat itu. Sinar Harapan
mulai dibredel oleh pemerintah pada 2 Oktober 1965 silam. Hal ini dilakukan agar peristiwa G 30 S-PKI saat itu tidak
diekspos secara bebas oleh media. Hanya media–media tertentu yang boleh diterbitkan, sebelum akhirnya pemerintah
mengizinkan Sinar Harapan untuk terbit kembali pada 8 Oktober 1965. Selang lima tahun setelah pemberedelan pertama
dilakukan, pada Juli 1970, pemerintah Orba kembali menyorot Sinar Harapan terkait pemberitaannya yang mengekspos
laporan Komisi IV mengenai korupsi. Pemerintah menganggap Sinar Harapan telah melanggar kode etik pers karena telah
mendahului pers akan hal tersebut.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Hampir satu tahun Sinar Harapan diperbolehkan terbit kembali, pada Januari 1974 terkait peristiwa “Malari” sejumlah
media kembali dibreidel oleh pemerintah termasuk Sinar Harapan. Hal ini dilakukan untuk mencegah pemberitaan yang
diterbitkan dapat memanaskan situasi politik pada masa itu. Hingga akhurnya, pada 4 Februari 1978 Sinar Harapan
diperbolehkan terbit kembali. Dari rangkaian pembredelan yang telah dialmai oleh Sinar Harapan. Yang paling
memukul ialah pembatalan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan) oleh pemerintah Soeharto pada Oktober 1986 akibat
Sinar Harapan `memuat headline “Pemerntah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Hal ini mengakibatkan,
selama 15 tahun lamanya Sinar Harapan dipaksa tidak boleh terbit. Dan kini, Sinar Harapan pun harus gulung tikar saat
zaman digitalisasi terus berkibar dan koran sudah sampai di senjakalanya.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Harian Indonesia Raya
Harian Indonesia Raya merupakan surat kabar nasional yang mengalami sua kali masa penerbitan, yakni pada masa pemerintahan Orde
Baru dan Orde Lama. Dalam kedua masa penerbitannya ini, tentu Harian Indonesia Raya pernah mengalami larangan terbit.
Pemberedelan atau larangan terbit dilakukan terkait peristiwa Malari yang mengekor pada larangan terbit tanpa batas waktu terhadap
sebelas surat kabar dan satu majalah berita, termasuk Harian Indonesia Raya.
Harian Indonesia Raya telah mengalami pencabutan Surat Izin Cetak sejak 21 Januari 1974 dan disusul dengan pencabutan Surat Izin
Terbit dua hari setelahnya. Melansir dari laman Jakarta.go.id, selama periade ini, dua pimpinannya mengalami penahanan, Mochtar
Lubis selama hampr 2,5 bulan sedangkan wakil pemimpin redaksi, Enggak Bahau’ddin ditahan selama hampr satu tahun. Penahanan
dilakukan karena kedua pimpinan tersebut diduga terlibat dalam Peristiwa Malari, sebelum akhirnya dibebaskan tanpa syarat.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Harian Indonesia Raya merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal dalam
pelaporan investigasi. Harian ini juga bersifat muckraking paper, yakni surat kabar yang melakukan
penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan
menyiarkannya dengan kritis. Surat kabar ini pun dapat dikatakan tipikal awal penerbitan pers yang mengarah
ke dalam bentuk investigasi. Hal itu dituliskan Santana K. Septiawan berjudul Jurnalisme Investigasi yang
diterbitkan 2009 di Jakarta oleh Yayasan Obor Indonesia.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Harian Rakyat
Harian Rakyat merupakan salah satu media massa Indonesia yang pertama kali terbit pada 31 Januari 1951. Dalam
perjalannanya, surat kabar yang memilki aliran jurnasme konfrontasi ini pernah mengalami pembredelan yang dilakukan
oleh pemerintah. Sebagai surat kabar yang mengambil aliran konfrontasi, Harian Rakyat selalu bertentangan dengan
berbagai pihak, begitu pula kalangan penguasa. Pemberitaan yang dianggap melanggar ketentuan pihak penguasa,
membuat Harian Rakyat ditutup. Penutupan pertama dilakukan dengan kisaran waktu 23 jam terhitung pada 13
September 1957 tepatnya pada pukul 21.00 hingga 14 September 1957 tepatnya pukul 20.00 bersama media lainnya.
(Taufik Rahzen, dkk. (2007). Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007). Yogyakarta: I. Boekoe).

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Penutupan atau pencabutan izin terbit selanjutnya terjadi pada 16 Juli 1959. Hal ini dilakukan karena Harian Rakyat memuat
pernyataan CC PKI pada 3 Juli dengan judll “Penilaian Sesudah Satu Tahun Kabinet Kerdja, Komposisi, Tidak Mendjamin
Pelaksanaan Program 3 Pasal, Perlu Segera Diretul”. Penutupan kedua ini terjadi selama satu bulan, sebelum akhirnya
diizinkan terbit kembali pada 2 Agustus 1959. Selang beberapa bulan, tepatnya 2 November 1959, Harian Rakyat kembali
dibreidel oleh Penguasa Perang. Alasan pembredelan kali ini tidak begitu jelas, dari pembredelan ini mencuatnya aksi
perluasan peredaran Harian Rakyat yang dipimpin oleh para petinggi PKI yaitu D. N. Aidit, M.H Lukman, serta aktivis
lainnya yang turun langsung ke lapangan. Pada 9 Desember 1959, pembredelan kembali terjadi pada surat kabar ini. Alasan
pembredelan pun kembali tidak dijelaskan sehingga menimbulkan protes dan desakan agar Harian Rakyat dizinkan kembali
dan banyak pihak yang mendesak untuk memberikan izin terbit terhadap surat kabar ini, agar dapat terbitt kembali pada 23
Desember 1959.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Selang dua tahun setelah melakukan pembredelan tersebut, pada 3 Februari 1961, Harian Rakyat kembali
ditutup oleh Penguasa Perang Jakarta Raya. Dengan alasan pemuatan sambutan ketua CC PKI D.N Aidit pada
hari jadi ke-10 koran Harian Rakyat. Dalam pidatonya, Aidit mengajukan tuntutan struktur cabinet dan
menyinggung masalah demokrasi serta kebebasan politik. Bagi Penguasa Perang, hal ini dapat mengganggu
kestabilan politik Indonesia saat itu. Pada 3 Oktober 1965, akhirnya surat kabar ini mengalami akhir
perjalanannya setelah terjadinya peristiwa G30S-PKI. Tidak hanya bubar, banyak para aktisi dan partai
pendukung surat kabar tersebut yang dipenjara dan dibunuh.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH


Harian Abadi
Harian Abadi merupakan surat kabar harian yang diterbitkan oleh Partai Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Surat
kabar yang terbit pada 1974 ini memiliki tujuan untuk menyuarakan aspirasi umat islam Indonesia yang mayoritas berhimpun di
dalam Partai Masyumi. Surat kabar harian ini pun pernah merasakan dibreidel oleh pemerintah. Pembredelan dilakukan terkait
pemberitaan peristiwa Malari pada 1974 silam. Akibat pembredelan ini, sebagian wartawan Harian Abadi ditampung di Koran pelita.
Tak hanya Harian Abadi yang dibredel akibat peritiwa tersebut, melainkan tujuh surat kabar lainnya pun mengalami hal yang serupa.
Sekadar informasi, Malari merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

PERS YANG DIBREDEL PEMERINTAH

Anda mungkin juga menyukai