Anda di halaman 1dari 5

Jurnalisme Zaman Orba:

Membuka Jalur Informasi Dibawah Represi

Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
embel – embel “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain
itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Masa Jabatan Suharto Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin
diganti dengan demokrasi Pansasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan,
sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila
adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-
nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif,
penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.

Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam
berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan
akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan
pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat.
Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun
semakin pesat.Namunsangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka
cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan
dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila
ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya
akan mengancam penerbitannya.

Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu
melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat
pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang
sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan
bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali,
bahkan yang ada malah pembredelan

Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin
penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang
berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung
oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar
diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik
serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya,
berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang tentu rezim Soeharto.

Pembredelan Tempo serta perlawanannya terhadap pemerintah Orde Baru


Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara
menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (Aliansi
Jurnalis Independen, 1995 : 140) Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita
mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang
merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982 majalah
Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang
ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru
memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah.
Majalah ini
memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta
di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang
pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari
kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani
melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan
sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkanberkali-
kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan
itu. Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat
Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik dan strategi yang
digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua
adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya
sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang dating bertubi-tubi dari pemerintah tidak
meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.

Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti denganmendirikan
Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995.Perjuangan ini
membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelengguada pada zaman
Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelahjatuhnya Orde Baru.
Fungsi Dewan Pers pada masa Orde Baru

Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999,
dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya
untukmengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :(www.JurnalNasional.com)

1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga
masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasusyang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.

Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata.
Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah
Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers yang tidak
menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga
termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk
mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja
pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers
hanya formalitas saja.

Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power
of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai
kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C.Merrill, 1991, dalam Asep
Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat,pers juga bisa mempengaruhi
pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruhlapisan masyarakat baik itu pemerintah
maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan persmemang gagal meningkatkan kehidupan pers
nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu olehkekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa
memperjuangkan hak-haknya.

Tewasnya Wartawan Bernama Udin

Udin, yang punya nama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin, adalah wartawan surat kabar harian asal
Yogyakarta, Bernas. Semasa bekerja sebagai wartawan, Udin sudah banyak menulis laporan yang
membikin telinga penguasa panas. Sebelum tewas, Udin disibukkan dengan agenda peliputan pemilihan
Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001. Ia mengikuti tiap perkembangan informasi dengan
seksama. Pemilihan saat itu dianggap alot dan rumit. Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan
semuanya berlatarbelakang militer.

Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo. Keikutsertaan Sri Roso dalam
kontestasi pilkada cukup mengejutkan. Pasalnya, menurut pemberitahuan dari Danrem 072/Pamungkas,
Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar, Sri Roso bakal dipindahtugaskan ke daerah lain. Namun, yang terjadi
justru sebaliknya: Sri Roso turut serta dalam pertarungan menuju kursi kekuasaan. Masuknya Sri Roso ke
gelanggang membuka jalan bagi Udin untuk membongkar borok-borok pemerintahannya. Selama
memegang kendali pemerintahan, Sri Roso dianggap tidak kompeten dan penuh praktik KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme). Maka, jadilan laporan-laporan yang sarat kritik macam “Tiga Kolonel Ramaikan
Bursa Calon Bupati Bantul,” “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi
Pencalonan,” “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo,” hingga “Isak Tangis
Warnai Pengosongan Parangtritis.” Tak cuma menyerang Suroso, laporan Udin juga menampar Orde
Baru yang kala itu telah berada di senjakala kuasanya.

Yang paling bikin gempar tentu laporan Udin soal surat kaleng yang isinya menuturkan ada seorang
calon bupati yang diduga kuat bakal memberikan dana sebesar satu miliar rupiah kepada Yayasan
Dharmais milik Soeharto. Walaupun tidak dijelaskan siapa calon yang dimaksud, belakangan jelas bahwa
sosok tersebut adalah Sri Roso. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya “surat pernyataan” bersegel
yang ditulis dan ditandatangani oleh Sri Roso. Surat tersebut menjelaskan bahwa Sri Roso setuju
“membantu” pendanaan Yayasan Dharmais apabila terpilih sebagai Bupati Bantul periode 1996-2001.
Dengan segala laporan yang ditulisnya, Udin bukannya tanpa kekhawatiran. Ia sadar sedang melawan
tiran. Berkali-kali ia diikuti orang tak dikenal dan gerak-geriknya sering diawasi. Namun, rasa takut tak
menghentikan niatnya untuk menulis dan menyebarkan kebenaran. Keberanian itu pula yang
menuntunnya pada laporan terakhir tentang dugaan kasus korupsi pembangunan jalan. Tulisan yang
kelak diberi judul “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2 Km” tersebut terbit sehari sebelum Udin
meninggal. Isi laporannya: memblejeti kejanggalan proyek peningkatan jalan di ruas Tamantirto-
Pengkolan, Kasihan, Bantul.

Kasus Udin menemui jalan buntu. Polisi dinilai tak bekerja maksimal dalam mengusut tuntas
pembunuhan tersebut. dan pelakunya masih berkeliaran sampai saat ini.

Munculnya AJI (Aliansi Jurnalis Independen)

AJI lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Orde
Baru. Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, 21 Juni 1994. Ketiganya dibredel karena
pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa. Tindakan represif inilah yang memicu aksi
solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota.
Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis
dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani
Deklarasi Sirnagalih.

Sejumlah nama yang ikut menandatangani deklarasi itu antara lain, Goenawan Mohammad, Andreas
Harsono, Satrio Arismunandar, Bambang Harimurty, Aristides Katopo, Eros Jarot, dan Ayu Utami.

Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers,
menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.

Pada masa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, operasi organisasi ini di
bawah tanah. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis. Untuk menghindari tekanan
aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup. Sistem
kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif untuk menjalankan misi organisasi, apalagi pada
saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.

Selain demonstrasi dan mengecam tindakan represif terhadap media, organisasi yang dibidani oleh
individu dan aktivis Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan
Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI) Jakarta ini juga
menerbitkan majalah alternatif Independen, yang kemudian menjadi Suara Independen.

Gerakan bawah tanah ini menuntut biaya mahal. Tiga anggota AJI, yaitu Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan
Danang Kukuh Wardoyo dijebloskan ke penjara, Maret 1995. Taufik dan Eko masuk bui masing-masing
selama 3 tahun, Danang 20 bulan. Menyusul kemudian Andi Syahputra, mitra penerbit AJI, yang masuk
penjara selama 18 bulan sejak Oktober 1996.

Selain itu, para aktivis AJI yang bekerja di media dibatasi ruang geraknya. Pejabat Departemen
Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia juga tidak segan-segan menekan para pemimpin
redaksi agar tidak memperkerjakan mereka di medianya.

Konsistensi dalam memperjuangkan misi inilah yang menempatkan AJI berada dalam barisan kelompok
yang mendorong demokratisasi dan menentang otoritarianisme. Inilah yang membuahkan pengakuan
dari elemen gerakan pro demokrasi di Indonesia, sehingga AJI dikenal sebagai pembela kebebasan pers
dan berekspresi.

Anda mungkin juga menyukai