N
O
Masa
Perkembangan
Pers Daerah
Masa Pergerakan
Masa
Jepang
Penjajahan
Masa
Liberal
Demokrasi
Masa
Demokrasi
Terpimpin
Masa
Demokrasi
Terpimpin
adalah
masa
kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1965).
Masa ini berawal dari keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1955 untuk mengakhiri masa Demokrasi Liberal
yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa. Sejak itu mulailah masa Demokrasi
Terpimpin dengan mendasarkan kembali pada UUD
1945.
Sejalan dengan Demokrasi Terpimpin, pers nasional
dikatakan menganut konsep otoriter. Pers nasional
saat itu merupakan corong penguasa dan bertugas
mengagung-agungkan pribadi presiden, serta
mengindoktrinasikan manipol. Pers diberi tugas
menggerakkan aksi-aksi massa yang revolusioner
dengan
jalan
memberikan
penerangan,
membangkitkan jiwa, dan kehendak massa agar
mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan
pemerintah lainnya.
Pada masa ini, mucullah pers televisi. Awal mulanya
adalah dari keinginan untuk menyiarkan Pesta Olah
Raga Asia IV atau Asian Games IV. Setelah acara
ini berakhir, TVRI tidak dapat melanjutkan
siarannya karena belum tersedianya studio dan
keterlambatan persediaan film. Atas desakan
Yayasan Gelora Bung Karno dibangunlah studio
darurat
sebagai
studio
operasional
yang
memungkinkan TVRI siaran satu jam sehari. Pada
kemudian hari, TVRI semakin berkembang dan
hingga akhirnya kini sudah ada banyak stasiun
televisi swasta yang juga ikut melakukan kegiatan
pers.
Masa Reformasi
Tugas KN
(Perkembangan Pers)
O
Caterina S. Lay
keras, sekeras rezim sebelumya. Karena apabila suatu media tidak mematuhi peraturan yang di
tetapkan pada saat itu maka pemerintah dapat mencabut SIUPP ( Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)
media bersangkutan.
Setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi sejak dilengserkannya Soeharto dari tahta
kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia kembali ke keadaannya ketika kita
berada di era 1945 1959. Pad masa itu sedikit banyak kebebasan untuk berpikir dan tidak di
batasi oleh rambu-rambu sensor atau larangan-larangan, meskipun pada tahun 1957 mulai muncul
lembaga SIT di Jakarta.
B. J. Habibie yang pada saat itu menggantikan Soeharto sebagai Presiden boleh dikatakan
presiden RI pertama yang giat membuka untuk menadi Indonesia yang bersistem Demokrasi.
Sejak itu pers Indonesia kembali ke sistem pers ketika egara ita menganut sistem demokrasi
Parlemen pada tahun 1950an, yaitu sistem pers Liberal Barat.[10]
Kebebasan pers pada masa sekarang ini menganut kebebasan pers yang bertanggung jawab
dibawah kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebebasan pers disini dimaksudkan
perpaduan yang ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa untuk tidak
berbuat yang semena-mena sesuai dengan kemampuan dan kekuatan serta kekuasaan media massa
a. Pers masa pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda sampai saat
masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari
kebangkitan nasional.
Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang
dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat ini
merupakan corong dari organisasi pergerakan Indonesia.
Karena sifat dan isi pers pergerakan adalah anti penjajahan, pers mendapatkan tekanan dari
pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah dengan
memberikan hak kepada pemerintah untuk menutup usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa
pergerakan itu berdirilah kantor berita nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
b. Pers masa penjajahan Jepang
Pada masa ini, pers nasional mengalami kemunduran besar. Pers nasional yang pernah hidup di
zaman pergerakan, secara sendiri-sendiri dipaksa bergabung untuk tujuan yang sama, yaitu
mendukung kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat
pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang.
Dan di akhir pemerintahan kolonial Jepang, pers radio punya peran yang sangat signifikan. Ia turut
membantu penyebarluasan Proklamasi dan beberapa saat sesudahnya dalam Perang Kemerdekaan.
c. Pers masa Revolusi Fisik
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah saat bangsa
Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17
Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang
mempertahankan kemerdekaan.
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan.
Pers NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda.
Pers ini berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk bekuasa
di Indonesia.
Pers Republik, yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia. Pers Republik
disuarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan
menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu.
d. Pers masa Demokrasi Liberal
Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia
menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam
liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili
aliran politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah
menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
e. Pers masa Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1965). Masa ini
berawal dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1955 untuk mengakhiri masa Demokrasi Liberal
yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Sejak itu mulailah masa Demokrasi
Terpimpin dengan mendasarkan kembali pada UUD 1945.
Sejalan dengan Demokrasi Terpimpin, pers nasional dikatakan menganut konsep otoriter. Pers
nasional saat itu merupakan corong penguasa dan bertugas mengagung-agungkan pribadi
presiden, serta mengindoktrinasikan manipol. Pers diberi tugas menggerakkan aksi-aksi massa
yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan, membangkitkan jiwa, dan kehendak
massa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainnya.
Pada masa ini, mucullah pers televisi. Awal mulanya adalah dari keinginan untuk menyiarkan
Pesta Olah Raga Asia IV atau Asian Games IV. Setelah acara ini berakhir, TVRI tidak dapat
melanjutkan siarannya karena belum tersedianya studio dan keterlambatan persediaan film. Atas
desakan Yayasan Gelora Bung Karno dibangunlah studio darurat sebagai studio operasional
yang memungkinkan TVRI siaran satu jam sehari. Pada kemudian hari, TVRI semakin
berkembang dan hingga akhirnya kini sudah ada banyak stasiun televisi swasta yang juga ikut
melakukan kegiatan pers.
f. Pers masa Orde Baru
Pers senantiasa mencerminkan situasi dan kondisi masyarakatnya. Pers nasional pada masa Orde
Baru adalah salah satu unsur penggerak pembangunan. Pemerintah Orde Baru sangat
mengharapkan pers nasional sebagai mitra dalam menggalakkan pembangunan sebagai jalan
memperbaiki taraf hidup rakyat.
Pada saat itu, pers menjadi alat vital dalam mengkomunikasikan pembangunan. Karena
pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka pers yang mengkritik pembangunan mendapat
tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat terbuka dan mendukung pers, namun dalam
perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan pers. Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan
pemerintah atau berlaku berani mengkritik pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah
Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya akibat pemberitaan yang kritis terhadap
pemerintahan Orde Baru.
g. Pers masa Reformasi
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasannya. Hal demikian
sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia.
Pemerintah pada masa reformasi sangat mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal
reformasi banyak sekali penerbitan pers baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi
kemunculan pers ibarat jamur di musim hujan.
Pada masa inilah marak bermunculan apa yang disebut jurnalisme online. Kalau sebelumnya pers
di Indonesia masih didominasi oleh media cetak dan media penyiaran, pada masa ini mulai banyak
berdiri sejumlah jurnalisme online. Jurnalisme ini menggunakan sarana internet sebagai medianya.
Jurnalisme ini mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh jurnalisme media cetak
dan media penyiaran.
Kelebihan itu adalah setiap individu memiliki peluang untuk memperoleh informasi dari sumber
yang sangat luas. Kedua, jurnalisme online bisa menyiarkan informasi dalam jumlah yang sangat
banyak dalam waktu yang sangat pendek. Yang ketiga adalah bisa menggabungkan tulisan,
gambar, dan suara dalam satu kemasan (Abrar,2003:49).
Kelebihan itu yang dianggap sebagai tantangan besar bagi para pelaku pers, terutama surat kabar.
Namun pada kenyataannya, jurnalisme online yang sekarang sudah ada di Indonesia belum bisa
dikatakan mengancam keberadaan media cetak secara besar. Sejauh ini, keberadaaan jurnalisme
media cetak dan jurnalisme online masih saling melengkapi. Sebetulnya media surat kabar berada
pada posisi yang kuat untuk membangun masa depan berdasarkan posisi unik mereka di masa lalu
yang cukup kuat dan telah mengakar di masyarakat luas. Kehadiran berbagai media online
diyakini hanya akan meredefinisikan media cetak konvensional (Grafika, 2000:11).
Jurnalisme online sendiri memliki kekurangan. Ia kurang memiliki kredibilitas, sehingga apa yang
sudah orang lihat di internet belum tentu tepat. Maka orang akan mencari-cari lagi dari sumber
yang kredibilitasnya tinggi, salah satunya lewat pemberitaan media cetak dan media penyiaran.
Pada masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Jurnalisme rekaman (mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber berita dan tidak
mengertikannya sendiri), dan Jurnalisme amplop (pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber
berita).
Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para
pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat
berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham. Pada awal tahun 1990an pemerintah mulai
bersikap terbuka, begitupun dengan pers meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini
merupakan pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas
menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.
Surat kabar yang ada pada masa ini yaitu; Pedoman, Nusantara, Post Indonesia, Bintang Timur,
Warta Bhakti, Surabaya Post, Harian Rakyat, Revolusioner, Merdeka,Angkatan Bersenjata, yang
di iringi dengan munculnya surat kabar di beberapa daerah di Indonesia.
4. Era Reformasi.
Pers Indonesia mengalami perkembangan yang pesat setelah era reformasi. Bersamaan
dengan turunnya Suharto, pers Indonesia memasuki babak baru dengan dibukannya pintu
kebebasan. pers Indonesia menikmati kebebasannya setelah bertahun-tahun berada di bawah
pimpinan pemerintah yang otoriter. Hal ini membuktikan, bahwa pers merupakan tolak ukur
demokrasi di sebuah Negara. Kalau persnya bebas, maka demokrasi di negara tersebut berjalan
dengan baik. Sejalan dengan kebebasan pers, maka demokrasi di Indonesiapun mulai berkembang.
Pintu kebebasan pers sebenarnya dimulai ketika pemerintah Presiden Habibie yang
menggantikan Suharto melalui Menteri Penerangan M Yunus Yosfiah menghapuskan SIUPP
(Surat Ijin Penerbitan Pers) pada tahun 1998. Hingga akhirnya aturan itu dihapus sama sekali.
SIUPP dianggap sebagai momok pers Indonesia, karena pemerintah bisa membredel sebuah media
dengan cara mencabut SIUPP-nya. SIUPP adalah bukti kebijakan represif pemerintah terhadap
pers. Padahal, kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Pokok Pers yang menyatakan
pemerintah tidak bisa membredel pers. Inilah bentuk arogansi pemerintah yang mengabaikan UU
untuk melanggengkan kekuasaan. Pemerintah menganggap kebebasan pers bisa membahayakan
pemerintah. Kebijakan membuka kebebasan pers itu kemudian diikuti presiden berikutnya, KH
Abdurahman Wahid yang membubarkan Departemen Penerangan.
Dengan dihapusnya SIUPP, pers Indonesia kemudian berkembang pesat. Siapa saja bisa
menerbitkan koran, tabloid, majalah dan media lain, tanpa harus melewati aturan yang berbelit,
cukup dengan membentuk badan usaha. Maka bermunculanlah berbagai macam media cetak
dengan bermacam isi. Berita-berita yang sebelumnya dilarang untuk diberitakan, kini tidak
dilarangan lagi. Masalah yang berkaitan dengan SARA dan masalah pribadi bisa jadi konsumsi
berita. Pers pun ramai memberitakan masalah pribadi seorang pejabat. Bukan itu saja, informasi
yang tak jelas pun bisa menjadi berita. Tak jelas berapa jumlah media yang terbit pascapenghapusan SIUPP itu, tapi diperkirakan mencapai angka 900. Kebanyakan diantaranya
berbentuk tabloid mingguan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Pers Indonesia mengalami eforia merayakan kebebasannya, setelah sebelumnya dikekang oleh
pemerintah. Ratusan media itu berlomba untuk membuat berita yang menarik untuk disuguhkan
kepada masyarakat. Masayarakat pun antusias menyambutnya, karena mereka haus berita-berita
yang berani menyerang pemerintah. Selama ini mereka ingin tahu berita yang datang dari
pemerintah. Setelah kebebasan diperoleh, pers bergerak sangat cepat. Masalah yang sebelumnya
tidak boleh diberitakan, tanpa ada halangan lagi bisa dimuat dengan lengkap dan jelas, tanpa ada
yang melarang. Era 1998 2000 adalah saat pers Indonesia menikmati kebebasan dengan
sebebas-bebasnya. tanpa ada yang mengontrol. Media yang berani itu kemudian berkembang
pesat. Sebuah tabloid Oposisi di Surabaya mencapai tiras yang fantastis, 1.000.000 eksemplar
sekali terbit. Hebatnya lagi, tabloid ini dicetak serentak di berbagai kota, Surabaya, Jakarta, Solo,
Medan, Makassar dan kota besar lainnya