Anda di halaman 1dari 13

Tugas KN

N
O

Masa
Perkembangan
Pers Daerah

Bukti Perkembangan Pers Daerah

Masa Pergerakan

Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia


berada di bawah penjajahan Belanda sampai saat
masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers masa
pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan
nasional.
Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo
pada tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang
dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi
sebagai alat perjuangan. Pers saat ini merupakan
corong dari organisasi pergerakan Indonesia.
Karena sifat dan isi pers pergerakan adalah anti
penjajahan, pers mendapatkan tekanan dari
pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara
pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah dengan
memberikan hak kepada pemerintah untuk menutup
usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa
pergerakan itu berdirilah kantor berita nasional
Antara pada tanggal 13 Desember 1937.

Masa
Jepang

Pada masa ini, pers nasional mengalami kemunduran


besar. Pers nasional yang pernah hidup di zaman
pergerakan,
secara
sendiri-sendiri
dipaksa
bergabung untuk tujuan yang sama, yaitu
mendukung kepentingan Jepang. Pers di masa
pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat
pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang.
Dan di akhir pemerintahan kolonial Jepang, pers
radio punya peran yang sangat signifikan. Ia turut
membantu penyebarluasan Proklamasi dan beberapa
saat sesudahnya dalam Perang Kemerdekaan. Dalam
masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus
dan beberapa surat kabar baru diterbitkan
meskipun masih dikontrol oleh Jepang. Selain itu
Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan
cabang kantor berita Domei. Pers yang terbit pada
masa ini
adalah Sinar Selatan(Semarang),
Pemandangan yang berganti nama menjadi

Penjajahan

Pembangoenan, di daerah jawa muncul surat kabar


Asia Raya, Tjahaja (yang merupakan gabungan dari
surat kabar Nicork Expres, Sipatahoenan, Sinar
Pasoendan dan Kaome Moeda), Sinar Matahari,
Sinar Baru,Suara Asia, Kana-Shimbun(dengan huruf
kana), Suara Muslimin Indonesia(bernafaskan
Islam), Padang Nippo, Sumatra Shimbun, Fadjar
Menyingsing,
Palembang
Shimbun,
Lampung
Shimbun, Seram Shimbun(berbahasa jepang),
Suara Kalimantan berubah menjadi Borneo
Shimbun, Pewarta Selebes
berubah menjadi
Selebes Shimbun, Djawa Shimbun dan Prajoerit.
Selain itu di masa ini juga hidup beberapa majalah,
diantaranya ; Pandji Pustaka, Djawa Baru,
Semangat Islam, Keboedajaan dan Panggoeng Giat
Gembira.
3

Masa Revolusi Fisik

Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945


sampai 1949. Masa itu adalah saat bangsa
Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan
yang berhasil diraihnya pada tanggal 17 Agustus
1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia
sehingga terjadilah perang mempertahankan
kemerdekaan.
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan.
Pers NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh
tentara pendudukan Sekutu dan Belanda. Pers ini
berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar
menerima kembali Belanda untuk bekuasa di
Indonesia.
Pers Republik, yang diterbitkan dan diusahakan
oleh orang Indonesia. Pers Republik disuarakan oleh
kaum
republik
yang
berisi
semangat
mempertahankan kemerdekaan dan menentang
usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar
menjadi alat perjuangan masa itu

Masa
Liberal

Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara


tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia
menganut system parlementer yang berpaham
liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam
liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan
pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran
politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa
pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers

Demokrasi

sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran


politik. Suember, Negara Baroe, Soera Oemoem,
Pembangunan,
Mimbar
Indonesia,
Independent(berbahasa
inggris),
Semangat
Merdeka, Tjermin Masyarakat, Pasifik, Pewarta
Deli, Mimbar Oemoem, Soematra Baroe, Soeloeh
Merdeka, Sinar Deli, Boeroeh Merdeka, Islam
Bedjoang,
Free
Indonesia,
Vrijheid(Bahasa
Belanda), Palembang Shimbun, Dll
Majalah yang muncul diantaranya Pahlawan,
Dharma, Kebangoenan Islam, Menara, Bebas,
Widjaja, Dll.
5

Masa
Demokrasi
Terpimpin

Masa
Demokrasi
Terpimpin
adalah
masa
kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1965).
Masa ini berawal dari keluarnya Dekrit Presiden 5
Juli 1955 untuk mengakhiri masa Demokrasi Liberal
yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa. Sejak itu mulailah masa Demokrasi
Terpimpin dengan mendasarkan kembali pada UUD
1945.
Sejalan dengan Demokrasi Terpimpin, pers nasional
dikatakan menganut konsep otoriter. Pers nasional
saat itu merupakan corong penguasa dan bertugas
mengagung-agungkan pribadi presiden, serta
mengindoktrinasikan manipol. Pers diberi tugas
menggerakkan aksi-aksi massa yang revolusioner
dengan
jalan
memberikan
penerangan,
membangkitkan jiwa, dan kehendak massa agar
mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan
pemerintah lainnya.
Pada masa ini, mucullah pers televisi. Awal mulanya
adalah dari keinginan untuk menyiarkan Pesta Olah
Raga Asia IV atau Asian Games IV. Setelah acara
ini berakhir, TVRI tidak dapat melanjutkan
siarannya karena belum tersedianya studio dan
keterlambatan persediaan film. Atas desakan
Yayasan Gelora Bung Karno dibangunlah studio
darurat
sebagai
studio
operasional
yang
memungkinkan TVRI siaran satu jam sehari. Pada
kemudian hari, TVRI semakin berkembang dan
hingga akhirnya kini sudah ada banyak stasiun
televisi swasta yang juga ikut melakukan kegiatan
pers.

Masa Orde Baru

Pers senantiasa mencerminkan situasi dan kondisi


masyarakatnya. Pers nasional pada masa Orde Baru
adalah salah satu unsur penggerak pembangunan.
Pemerintah Orde Baru sangat mengharapkan pers
nasional sebagai mitra dalam menggalakkan
pembangunan sebagai jalan memperbaiki taraf
hidup rakyat.Pada saat itu, pers menjadi alat vital
dalam mengkomunikasikan pembangunan. Karena
pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka
pers yang mengkritik pembangunan mendapat
tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat
terbuka dan mendukung pers, namun dalam
perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan
pers. Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan
pemerintah atau berlaku berani mengkritik
pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kita tentunya
masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah
Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya
akibat
pemberitaan
yang
kritis
terhadap
pemerintahan Orde Baru. Surat kabar yang ada
pada masa ini yaitu; Pedoman, Nusantara, Post
Indonesia, Bintang Timur, Warta Bhakti, Surabaya
Post,
Harian
Rakyat,
Revolusioner,
Merdeka,Angkatan Bersenjata, yang di iringi
dengan munculnya surat kabar di beberapa daerah
di Indonesia.

Masa Reformasi

Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional


kembali menikmati kebebasannya. Hal demikian
sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan
demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia.
Pemerintah
pada
masa
reformasi
sangat
mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya,
pada awal reformasi banyak sekali penerbitan pers
baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal
reformasi kemunculan pers ibarat jamur di musim
hujan.
Pada masa inilah marak bermunculan apa yang
disebut jurnalisme online. Kalau sebelumnya pers di
Indonesia masih didominasi oleh media cetak dan
media penyiaran, pada masa ini mulai banyak berdiri
sejumlah
jurnalisme
online.
Jurnalisme
ini
menggunakan sarana internet sebagai medianya.

Jurnalisme ini mempunyai beberapa kelebihan yang


tidak dimiliki oleh jurnalisme media cetak dan
media penyiaran.
Kelebihan itu adalah setiap individu memiliki
peluang untuk memperoleh informasi dari sumber
yang sangat luas. Kedua, jurnalisme online bisa
menyiarkan informasi dalam jumlah yang sangat
banyak dalam waktu yang sangat pendek. Yang
ketiga adalah bisa menggabungkan tulisan, gambar,
dan suara dalam satu kemasan (Abrar,2003:49).
Kelebihan itu yang dianggap sebagai tantangan
besar bagi para pelaku pers, terutama surat kabar.
Namun pada kenyataannya, jurnalisme online yang
sekarang sudah ada di Indonesia belum bisa
dikatakan mengancam keberadaan media cetak
secara besar. Sejauh ini, keberadaaan jurnalisme
media cetak dan jurnalisme online masih saling
melengkapi. Sebetulnya media surat kabar berada
pada posisi yang kuat untuk membangun masa depan
berdasarkan posisi unik mereka di masa lalu yang
cukup kuat dan telah mengakar di masyarakat luas.
Kehadiran berbagai media online diyakini hanya
akan meredefinisikan media cetak konvensional
(Grafika, 2000:11).
Jurnalisme online sendiri memliki kekurangan. Ia
kurang memiliki kredibilitas, sehingga apa yang
sudah orang lihat di internet belum tentu tepat.
Maka orang akan mencari-cari lagi dari sumber yang
kredibilitasnya tinggi, salah satunya lewat
pemberitaan media cetak dan media penyiaran.
Pada masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers.

Tugas KN
(Perkembangan Pers)
O

Caterina S. Lay

Kelas XII Aksel


SMAN I KPG

Perkembangan Pers di Indonesia


Sejak 17 Agustus 1945 sampai 5 juli 1959 Presiden Soekarno dekrit Presiden untuk kembali ke
UUD 1945, pers pada saat itu menggunakan sistem yang mirip dengan sistem barat, sekalipun
pada awalnya sebagai Pers perjuangan mendapat banyak bantuan dari pihak pemerintah.
Sejak 5 juli 1959 sampai 0ktober 1965 di bawah pimpinan Presiden Soekarno Indonesia di
jalankan dengan sistem demokrasi terpimpin. Pada saat itu sruktur politik dan kemasyarakatan
Indonesia berubah secara mendasar. Struktur politik yang baru ini membawa pula perubahan
dalam sistem pers kita.
Pada saat itu lenbaga SIT ( Surat Izin Tjetak) merupakan yang pertama kali dipakai di Indonesia
sejak masa penjajahan Belanda. Dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Di
Indonesia menuturkan bahwa gubernur Jendral Hindia- Belanda 1920 meminta nasihat pada
Dewan Hindia untuk memberlakukan sistem lisensi (ijin terbit) bagi pers Hindia-Belanda di tolak.
[8] Dewan menolak karna, kebebesan pers adalah sebagai akibat kebebasan hati nurani yang tak
dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, sehingga tidak dapat dihalangi.[9]
Selama rezim Soekarno pers Indonesia seakan-akan menganut sistem pers bertanggungjawab
sosial, namun pada kenyataannya yang di jalankan adalah sistem pers otoriter terselubung. Berita
tidak lagi dinilai harus menarik tetapi harus memiliki tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa
untuk menyelesaikan revolusi nasional.
Selama pemerintahan orde lama di bawah demokrasi terpimpinnya Soekarno itu, kebebasan pers
benar-benar di pasung. Pada masa ini kebebasan pers hanya angan-angan belaka, surat kabar
setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat.
Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah meletusnya peristiwa G30S PKI, sistem dan kehidupan politik
di Indonesia mengalami perubahan lagi. Tetapi perubahan politik yang terjadi hanya mengubah
sistem pers kita dari sistem pers yang terselubung ke sistem pers yang terang-terangan di bawah
kuasa Jenderal Soeharto yang diangkat menjadi Presiden RI ke 2 pada tahun 1967. Beliau
mecanangkan untuk melaksanakan UUd 1945 secara murni dan konsekuen.
Di bawah orde baru ini, pemerintah Indonesia benar-benar menganut sistem pers otoriter yang

keras, sekeras rezim sebelumya. Karena apabila suatu media tidak mematuhi peraturan yang di
tetapkan pada saat itu maka pemerintah dapat mencabut SIUPP ( Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)
media bersangkutan.
Setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi sejak dilengserkannya Soeharto dari tahta
kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia kembali ke keadaannya ketika kita
berada di era 1945 1959. Pad masa itu sedikit banyak kebebasan untuk berpikir dan tidak di
batasi oleh rambu-rambu sensor atau larangan-larangan, meskipun pada tahun 1957 mulai muncul
lembaga SIT di Jakarta.
B. J. Habibie yang pada saat itu menggantikan Soeharto sebagai Presiden boleh dikatakan
presiden RI pertama yang giat membuka untuk menadi Indonesia yang bersistem Demokrasi.
Sejak itu pers Indonesia kembali ke sistem pers ketika egara ita menganut sistem demokrasi
Parlemen pada tahun 1950an, yaitu sistem pers Liberal Barat.[10]
Kebebasan pers pada masa sekarang ini menganut kebebasan pers yang bertanggung jawab
dibawah kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebebasan pers disini dimaksudkan
perpaduan yang ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa untuk tidak
berbuat yang semena-mena sesuai dengan kemampuan dan kekuatan serta kekuasaan media massa
a. Pers masa pergerakan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda sampai saat
masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari
kebangkitan nasional.
Setelah munculnya pergerakan modern Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang
dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat ini
merupakan corong dari organisasi pergerakan Indonesia.
Karena sifat dan isi pers pergerakan adalah anti penjajahan, pers mendapatkan tekanan dari
pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah dengan
memberikan hak kepada pemerintah untuk menutup usaha penerbitan pers pergerakan. Pada masa
pergerakan itu berdirilah kantor berita nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
b. Pers masa penjajahan Jepang
Pada masa ini, pers nasional mengalami kemunduran besar. Pers nasional yang pernah hidup di
zaman pergerakan, secara sendiri-sendiri dipaksa bergabung untuk tujuan yang sama, yaitu
mendukung kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat
pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang.
Dan di akhir pemerintahan kolonial Jepang, pers radio punya peran yang sangat signifikan. Ia turut
membantu penyebarluasan Proklamasi dan beberapa saat sesudahnya dalam Perang Kemerdekaan.
c. Pers masa Revolusi Fisik
Periode revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah saat bangsa
Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya pada tanggal 17
Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia sehingga terjadilah perang
mempertahankan kemerdekaan.
Saat itu, pers terbagi menjadi dua golongan.

Pers NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan Belanda.
Pers ini berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali Belanda untuk bekuasa
di Indonesia.
Pers Republik, yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia. Pers Republik
disuarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan
menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi alat perjuangan masa itu.
d. Pers masa Demokrasi Liberal
Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia
menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam
liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili
aliran politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah
menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
e. Pers masa Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1965). Masa ini
berawal dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1955 untuk mengakhiri masa Demokrasi Liberal
yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Sejak itu mulailah masa Demokrasi
Terpimpin dengan mendasarkan kembali pada UUD 1945.
Sejalan dengan Demokrasi Terpimpin, pers nasional dikatakan menganut konsep otoriter. Pers
nasional saat itu merupakan corong penguasa dan bertugas mengagung-agungkan pribadi
presiden, serta mengindoktrinasikan manipol. Pers diberi tugas menggerakkan aksi-aksi massa
yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan, membangkitkan jiwa, dan kehendak
massa agar mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainnya.
Pada masa ini, mucullah pers televisi. Awal mulanya adalah dari keinginan untuk menyiarkan
Pesta Olah Raga Asia IV atau Asian Games IV. Setelah acara ini berakhir, TVRI tidak dapat
melanjutkan siarannya karena belum tersedianya studio dan keterlambatan persediaan film. Atas
desakan Yayasan Gelora Bung Karno dibangunlah studio darurat sebagai studio operasional
yang memungkinkan TVRI siaran satu jam sehari. Pada kemudian hari, TVRI semakin
berkembang dan hingga akhirnya kini sudah ada banyak stasiun televisi swasta yang juga ikut
melakukan kegiatan pers.
f. Pers masa Orde Baru
Pers senantiasa mencerminkan situasi dan kondisi masyarakatnya. Pers nasional pada masa Orde
Baru adalah salah satu unsur penggerak pembangunan. Pemerintah Orde Baru sangat
mengharapkan pers nasional sebagai mitra dalam menggalakkan pembangunan sebagai jalan
memperbaiki taraf hidup rakyat.
Pada saat itu, pers menjadi alat vital dalam mengkomunikasikan pembangunan. Karena
pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka pers yang mengkritik pembangunan mendapat
tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat terbuka dan mendukung pers, namun dalam
perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan pers. Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan
pemerintah atau berlaku berani mengkritik pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah
Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya akibat pemberitaan yang kritis terhadap
pemerintahan Orde Baru.
g. Pers masa Reformasi
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasannya. Hal demikian

sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia.
Pemerintah pada masa reformasi sangat mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal
reformasi banyak sekali penerbitan pers baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi
kemunculan pers ibarat jamur di musim hujan.
Pada masa inilah marak bermunculan apa yang disebut jurnalisme online. Kalau sebelumnya pers
di Indonesia masih didominasi oleh media cetak dan media penyiaran, pada masa ini mulai banyak
berdiri sejumlah jurnalisme online. Jurnalisme ini menggunakan sarana internet sebagai medianya.
Jurnalisme ini mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh jurnalisme media cetak
dan media penyiaran.
Kelebihan itu adalah setiap individu memiliki peluang untuk memperoleh informasi dari sumber
yang sangat luas. Kedua, jurnalisme online bisa menyiarkan informasi dalam jumlah yang sangat
banyak dalam waktu yang sangat pendek. Yang ketiga adalah bisa menggabungkan tulisan,
gambar, dan suara dalam satu kemasan (Abrar,2003:49).
Kelebihan itu yang dianggap sebagai tantangan besar bagi para pelaku pers, terutama surat kabar.
Namun pada kenyataannya, jurnalisme online yang sekarang sudah ada di Indonesia belum bisa
dikatakan mengancam keberadaan media cetak secara besar. Sejauh ini, keberadaaan jurnalisme
media cetak dan jurnalisme online masih saling melengkapi. Sebetulnya media surat kabar berada
pada posisi yang kuat untuk membangun masa depan berdasarkan posisi unik mereka di masa lalu
yang cukup kuat dan telah mengakar di masyarakat luas. Kehadiran berbagai media online
diyakini hanya akan meredefinisikan media cetak konvensional (Grafika, 2000:11).
Jurnalisme online sendiri memliki kekurangan. Ia kurang memiliki kredibilitas, sehingga apa yang
sudah orang lihat di internet belum tentu tepat. Maka orang akan mencari-cari lagi dari sumber
yang kredibilitasnya tinggi, salah satunya lewat pemberitaan media cetak dan media penyiaran.
Pada masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

1. Awal Kemerdekaan (1942-1945)


Masa transisi pertama berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945, yakni selama penjajahan
Jepang. Selama periode ini situasi politik Indonesia mengalami perubahan yang radikal. Dalam era
ini juga pers Indonesia belajar tentang kemapuan media massa sebagi alat mobilisasi massa untuk
tujuan tertentu. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga
mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.
Dalam masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru
diterbitkan meskipun masih dikontrol oleh Jepang. Selian itu Jepang juga mendirikan Jawa
Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada
di Indonesia yaitu Aneta dan Antara. Selain itu surat kabar cina juga hadir dengan nama Kung
Yung Pao.
Pers yang terbit pada masa ini adalah Sinar Selatan(Semarang), Pemandangan yang berganti
nama menjadi Pembangoenan, di daerah jawa muncul surat kabar Asia Raya, Tjahaja (yang
merupakan gabungan dari surat kabar Nicork Expres, Sipatahoenan, Sinar Pasoendan dan Kaome
Moeda), Sinar Matahari, Sinar Baru,Suara Asia, Kana-Shimbun(dengan huruf kana), Suara
Muslimin Indonesia(bernafaskan Islam), Padang Nippo, Sumatra Shimbun, Fadjar Menyingsing,
Palembang Shimbun, Lampung Shimbun, Seram Shimbun(berbahasa jepang), Suara Kalimantan
berubah menjadi Borneo Shimbun, Pewarta Selebes berubah menjadi Selebes Shimbun, Djawa

Shimbun dan Prajoerit.


Selain itu di masa ini juga hidup beberapa majalah, diantaranya ; Pandji Pustaka, Djawa Baru,
Semangat Islam, Keboedajaan dan Panggoeng Giat Gembira.
2.
Setelah Indonesia Merdeka /ORLA (1945-1959)
Pers pada era ini masih sekedar menjadi corong partai politik. Penguasa Demokrasi Terpimpin
memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini
publik. karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai seluruh pers, yang dalam
praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tetapi
untuk revolusi kekuasaan rezim itu sendiri.
penguasa untuk benar-benar menjinakkan pers di dalam cengkeraman kekuasaannya. Bagi
penerbit yang tidak bersedia menandatangani perjanjian yang di buat penguasa, otomatis dilarang
melanjutkan penerbitannya. Para penanggung jawab surat kabar dan majalah yang masih ingin
mempertahankan idealismenya, kebanyakan tidak bersedia menandatanganinya dan menutup
sendiri penerbitannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa ini penguasa lebih cenderung
memperlakukan pers sebagai extension of power-nya (ekstensi dari kekuatan penguasa tersebut ).
Pada masa tersebut dapat digambarkan sebagai berkuasanya pers komunis dan pers simpatisansimpatisipannya.
Surat kabar yang ada di masa ini adalah Thaja, Soeara Asia, Berita Indonesia, Merdeka, Rakyat,
Suember,
Negara
Baroe,
Soera
Oemoem,
Pembangunan,
Mimbar
Indonesia,
Independent(berbahasa inggris), Semangat Merdeka, Tjermin Masyarakat, Pasifik, Pewarta Deli,
Mimbar Oemoem, Soematra Baroe, Soeloeh Merdeka, Sinar Deli, Boeroeh Merdeka, Islam
Bedjoang, Free Indonesia, Vrijheid(Bahasa Belanda), Palembang Shimbun, Dll
Majalah yang muncul diantaranya Pahlawan, Dharma, Kebangoenan Islam, Menara, Bebas,
Widjaja, Dll.
3.
Masa Orde Baru (1959-1998)
Pada awal pemerintahan Orde baru ini, pers mendapatkan ruang yang cukup bebas. Meskipun
demikian pada tahun 1970, pemerintah mulai campur tangan dalam pemilihan ketua Persatuan
Wartawan Indonesia. Pembredelan media massa yang terjadi setelah peristiwa Malapetaka 15
Januari 1974 (Malari), mengakibatkan pers yang tadi nya kuat menjadi lemah. Pers Indonesia
semakin bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebagian surat kabar dilarang
terbit. Selain itu pemerintahan Orde Baru berhasil meningkatakan pertumbuhan ekonomi yang
berimbas pada semakin terbukanya pasar bagi surat kabar. Hanya saja sebagian besar pers yang
dapat mengembangkan bisnisnya harus berhati-hati dalam mengutarakan pandangan politik agar
tidak bertentangan dengan penguasa.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan
sambil menerapkan sistem perijinan.Pemerintah juga tidak menjamin dengan tegas kebebasan pers
di Indoensia,hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan
PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian. Dalam pemerintahan Orde
Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan
dan atau pembredeilan dari pemrintah, yaitu ; eufeumisme (mengungkapkan fakta secara sopan),

Jurnalisme rekaman (mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber berita dan tidak
mengertikannya sendiri), dan Jurnalisme amplop (pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber
berita).
Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para
pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat
berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham. Pada awal tahun 1990an pemerintah mulai
bersikap terbuka, begitupun dengan pers meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini
merupakan pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas
menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.
Surat kabar yang ada pada masa ini yaitu; Pedoman, Nusantara, Post Indonesia, Bintang Timur,
Warta Bhakti, Surabaya Post, Harian Rakyat, Revolusioner, Merdeka,Angkatan Bersenjata, yang
di iringi dengan munculnya surat kabar di beberapa daerah di Indonesia.
4. Era Reformasi.
Pers Indonesia mengalami perkembangan yang pesat setelah era reformasi. Bersamaan
dengan turunnya Suharto, pers Indonesia memasuki babak baru dengan dibukannya pintu
kebebasan. pers Indonesia menikmati kebebasannya setelah bertahun-tahun berada di bawah
pimpinan pemerintah yang otoriter. Hal ini membuktikan, bahwa pers merupakan tolak ukur
demokrasi di sebuah Negara. Kalau persnya bebas, maka demokrasi di negara tersebut berjalan
dengan baik. Sejalan dengan kebebasan pers, maka demokrasi di Indonesiapun mulai berkembang.
Pintu kebebasan pers sebenarnya dimulai ketika pemerintah Presiden Habibie yang
menggantikan Suharto melalui Menteri Penerangan M Yunus Yosfiah menghapuskan SIUPP
(Surat Ijin Penerbitan Pers) pada tahun 1998. Hingga akhirnya aturan itu dihapus sama sekali.
SIUPP dianggap sebagai momok pers Indonesia, karena pemerintah bisa membredel sebuah media
dengan cara mencabut SIUPP-nya. SIUPP adalah bukti kebijakan represif pemerintah terhadap
pers. Padahal, kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Pokok Pers yang menyatakan
pemerintah tidak bisa membredel pers. Inilah bentuk arogansi pemerintah yang mengabaikan UU
untuk melanggengkan kekuasaan. Pemerintah menganggap kebebasan pers bisa membahayakan
pemerintah. Kebijakan membuka kebebasan pers itu kemudian diikuti presiden berikutnya, KH
Abdurahman Wahid yang membubarkan Departemen Penerangan.
Dengan dihapusnya SIUPP, pers Indonesia kemudian berkembang pesat. Siapa saja bisa
menerbitkan koran, tabloid, majalah dan media lain, tanpa harus melewati aturan yang berbelit,
cukup dengan membentuk badan usaha. Maka bermunculanlah berbagai macam media cetak
dengan bermacam isi. Berita-berita yang sebelumnya dilarang untuk diberitakan, kini tidak
dilarangan lagi. Masalah yang berkaitan dengan SARA dan masalah pribadi bisa jadi konsumsi
berita. Pers pun ramai memberitakan masalah pribadi seorang pejabat. Bukan itu saja, informasi
yang tak jelas pun bisa menjadi berita. Tak jelas berapa jumlah media yang terbit pascapenghapusan SIUPP itu, tapi diperkirakan mencapai angka 900. Kebanyakan diantaranya
berbentuk tabloid mingguan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Pers Indonesia mengalami eforia merayakan kebebasannya, setelah sebelumnya dikekang oleh
pemerintah. Ratusan media itu berlomba untuk membuat berita yang menarik untuk disuguhkan
kepada masyarakat. Masayarakat pun antusias menyambutnya, karena mereka haus berita-berita
yang berani menyerang pemerintah. Selama ini mereka ingin tahu berita yang datang dari
pemerintah. Setelah kebebasan diperoleh, pers bergerak sangat cepat. Masalah yang sebelumnya
tidak boleh diberitakan, tanpa ada halangan lagi bisa dimuat dengan lengkap dan jelas, tanpa ada

yang melarang. Era 1998 2000 adalah saat pers Indonesia menikmati kebebasan dengan
sebebas-bebasnya. tanpa ada yang mengontrol. Media yang berani itu kemudian berkembang
pesat. Sebuah tabloid Oposisi di Surabaya mencapai tiras yang fantastis, 1.000.000 eksemplar
sekali terbit. Hebatnya lagi, tabloid ini dicetak serentak di berbagai kota, Surabaya, Jakarta, Solo,
Medan, Makassar dan kota besar lainnya

Anda mungkin juga menyukai