Haryadi juga menyebutkan pada akhir 1945 kondisi pers Indonesia menguat dengan terbitnya
beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka
(Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia. Tahun-tahun selanjutnya
media cetak koran berkembang dengan mengalami berbagai perubahan fungsi dan peranannya.
Perubahan ini dapat pula disebut perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut
adalah :
1. Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.
2. Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan
partai-partai politik yang mendanainya.
3. Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana
masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.
4. Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.
5. Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang
kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga
sekarang ini.
C. Peran Pers dan Media Cetak Koran Dalam Kemunculan Era Reformasi
Seperti kita ketahui era Reformasi dimulai setelah runtuhnya Orde Baru yang dipimpin Suharto.
Kala kepempimpinan Suharto ini eksistensi pers yang dalam kasus ini dikhususkan pada media
cetak koran mengalami keterpurukan.
Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah
Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi
tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai
politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai
politik.
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1
Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah
penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung
ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya.
Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers
seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun
1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang
pemerintah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru.
Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa. Tindakan
represif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara
merata di sejumlah kota.
Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100 orang yang terdiri dari
jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka
menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik
atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta
mengumumkan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalis Independen).
Pada masa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, operasi organisasi
ini di bawah tanah. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis. Untuk
menghindari tekanan aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan
secara tertutup. Sistem kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif untuk menjalankan
misi organisasi, apalagi pada saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.
Pada dasarnya munculnya artikel-artikel yang mengkritik masa pemerintahan Suharto dan
timbulnya aksi para jurnalis yang menandatangani Deklarasi Sirnagalih merupakan bentuk
perjuangan pers untuk mereformasi diri sendiri. Ada reformasi struktural dalam tubuh pers sendiri
untuk memblow up kejahatan-kejahatan Orde Baru meskipun pada akhirnya media cetak atau
koran harus mengalami pembredelan.
Justru ketika terjadi reformasi dari diri pers muncul itulah yang menjadi awal terjadinya overall
reformasi dalam diri bangsa. Kritik-kritik yang disampaikan serta aksi-aksi yang protes yang
diwakili oleh kaum pers merupakan suara rakyat juga. Ketika kebenaran mengenai kebobrokan
rezim Suharto terkuak melalui pers dan media cetak koran terbentuklah opini publik yang
menyetujui keharusan pergantian rezim Suharto. Pada puncaknya terjadi aksi-aksi demontrasi
yang bersifat langsung (tidak lagi melalui pers dan surat kabar) guna menuntut adanya reformasi
di segala bidang.
D. Kesimpulan
Pers atau media massa memiliki banyak fungsi dan peranan salah satunya adalah pembentuk opini
publik berdasar pada berita yang dimuat. Namun justru ketika Orde Baru fungsi pers semakin
menurun karena media massa memang sengaja dibungkam sehingga tidak dapat dengan leluasa
mengungkap fakta yang terjadi.
Hal inilah yang menimbulkan keprihatinan dari dalam diri pers sehingga pers memberanikan diri
mengadakan reformasi struktural secara internal, dimana pers mulai melakukan penentangan-
penentangan atas penindasan fungsi mereka. Aksi penentangan ini dimulai dengan menerbitkan
sejumlah artikel yang mengkritik kebijakan-kebijakan rezim Suharto yang menyengsarakan rakyat
kemudian disusul dengan penandatanganan Deklarasi Sirnagalih yang berisi tuntutan pers agar
tidak dikekang.
Reformasi internal inilah yang dijadikan awal adanya tuntutan reformasi secara keseluruhan oleh
rakyat karena setelah mengetahui kebenaran akan bobroknya rezim Suharto, terbentuklah opini
publik yang mengharuskan pergantian era. Pada dasarnya tuntutan rakyat hanyalah sederhana yaitu
hidup lebih pantas dan lebih bebas sehingga pada puncaknya tuntutan yang pada awalnya diwakili
oleh pers menjadi nyata dengan munculnya aksi-aksi demonstrasi secara langsung guna menuntut
adanya reformasi di segala bidang.