Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia

A. Awal Kemerdekaan (1942-1945)


Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa
beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista),
beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan
Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan
sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan
pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat
antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar
Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
A. Setelah Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
1. Penyebaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh
wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha
wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan
September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa
Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya,
seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya,
RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto,
Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada
tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional
sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan
dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan
distribusi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai
akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di
Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang
Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang.
Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping
surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama
atau berganti nama.

1. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI


Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan
pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang mendirikan
surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya (Minahasa)
tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di daerah
terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki oleh tentara
Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan
pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI ini. Hal itu
disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat pemerintahan RI ada
di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo,
dan Surabaya.
Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional,
karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa. Kalangan
pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa kini dan
masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan wadah guna
mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9
Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau
Surakarta.
1. Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik bertambah
berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami pengekangan dan
penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba langsung
menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan, sekaligus
menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak penguasa
Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda.
Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus politik adu
dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat
luas.
Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut
pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang
yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini
berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI
yang baru tersebut.
Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948
penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum
separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan penahanan
terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa itu jumlah
wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan dipenjarakan sebagai
tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar kota dan ada juga yang
ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka
tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan.

Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti; kalangan pers
dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah
tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan
membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
A. Masa Orde Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan
surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat
kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga
banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan
surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit dengan
teratur.
Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan
dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik
daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain
disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang
lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran
RDV mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan
percetakan koran bangsa Indonesia.
Matinya majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar
disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional, teknis
peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya
koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk.
Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia
ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan.
Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala
bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan
yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran
kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber
pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi
Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan
permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah
permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab
surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu
jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah
dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh
penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi
Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada
paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS,
dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang
bisa diberi SIT dan SIC.

BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk
menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti Melik
BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos (Naionalis, Agama, Sosialis).
Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha
mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS
hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi
Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan
hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu
diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya
Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia.
Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan
Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.
Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
a. Disiplin kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat
pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan.
b. Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
c. Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah
control atas tiap anggota.
Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar
Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan
MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh
konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.
Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal
12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari
UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ sendiri.
Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya,
amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk
bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi
berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah
diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers
Pancasila.
Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers
nasional. Pada tahap ini upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif
antara pers, masyarakat dan pemerintah.

A. Masa Orde Baru dan Era Reformasi


Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto
sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus
tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto,
kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna
membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik
(termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak
sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan
konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers.
Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu
ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas
penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang
kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan
pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi pers yang
bebas dan bertanggung jawab, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan
pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan
bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan
pada rezim orde baru.
Tak ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan salah
satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum dan Demokrasi,
bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan hukum perlu ada
keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu, kebebasan pers, hak wartawan
dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan informasi harus dipenuhi, dihormati,
dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD 45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat,
berkumpul dan berpendapat.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada
tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik
ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa
reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara
penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan
memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan
memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau
mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya,
antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang

berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan


tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa
dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media
baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam
mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang
demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang
penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang
benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus
dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat
dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung
memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh
seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa
mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali
tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan
hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang
bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah
menjadi kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan
berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita
provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan
melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang
sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya
liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga
makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental
dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media
massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat
ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk
menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers di
Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi, yaitu
berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan teori tanggung
jawab sosial.
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang tidak
dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini,

teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga
argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas.
Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan
kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk
menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan
hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung
jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan
kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena
dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di
bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers
Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan
kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan
negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers
nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola
(sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus
tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan
pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat
mengapresiasikan apa yang diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai