Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti; kalangan pers
dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak TNI di daerah-daerah
tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan dengan
membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
A. Masa Orde Bru (1959-1998)
Di masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh menerbitkan
surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan dari siapapun. Melalui surat
kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan pendapat dan perasaannya, sehingga
banyak Koran dan majalah muncul di masa ini dan mereka saling berlomba menerbitkan
surat kabar dan majalah sekalipun namyak yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit dengan
teratur.
Koran-koran bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan
dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih baik
daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal ini antara lain
disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai aparat distribusi yang
lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran
RDV mempunyai peralatan cetak yang jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan
percetakan koran bangsa Indonesia.
Matinya majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar
disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional, teknis
peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping itu munculnya
koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat keadaan semakin buruk.
Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak bersedia
ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau disingkirkan.
Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan berpolitik dalam segala
bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan
yang salah satunya adalah pers dan alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran
kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber
pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi
Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan
permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah
permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab
surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu
jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah
dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh
penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi
Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati pada
paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui PWI, SPS,
dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat menentukan siapa yang
bisa diberi SIT dan SIC.
BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk
menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti Melik
BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos (Naionalis, Agama, Sosialis).
Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha
mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS
hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi
Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi pegangan dan
hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena itu perlu
diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti namanya
Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia.
Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan
Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.
Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
a. Disiplin kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat
pribadi dengan patuh pada indtruksi atasan.
b. Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
c. Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah
control atas tiap anggota.
Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar
Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan
MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh
konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.
Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal
12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari
UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak per situ sendiri.
Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya,
amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk
bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi
berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan ekonomi, telah
diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers
Pancasila.
Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers
nasional. Pada tahap ini upaya yang dialkukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif
antara pers, masyarakat dan pemerintah.
teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga
argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas.
Kedua, sensor memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan
kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk
menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan
hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung
jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan
kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena
dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di
bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers
Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan
kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan
negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers
nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola
(sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus
tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan
pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat
mengapresiasikan apa yang diinginkan.