0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan3 halaman
Dokumen ini membahas tentang pers masa Orde Lama di Indonesia. Pada masa itu, pers berperan sebagai alat propaganda partai politik dan dimiliki langsung oleh beberapa partai. Kebebasan pers dijamin dalam konstitusi namun pada masa Demokrasi Liberal sering dilampaui batas dan menimbulkan gejala negatif. Pemerintah kemudian mulai membatasi kebebasan pers melalui pembredelan media tertentu.
Dokumen ini membahas tentang pers masa Orde Lama di Indonesia. Pada masa itu, pers berperan sebagai alat propaganda partai politik dan dimiliki langsung oleh beberapa partai. Kebebasan pers dijamin dalam konstitusi namun pada masa Demokrasi Liberal sering dilampaui batas dan menimbulkan gejala negatif. Pemerintah kemudian mulai membatasi kebebasan pers melalui pembredelan media tertentu.
Dokumen ini membahas tentang pers masa Orde Lama di Indonesia. Pada masa itu, pers berperan sebagai alat propaganda partai politik dan dimiliki langsung oleh beberapa partai. Kebebasan pers dijamin dalam konstitusi namun pada masa Demokrasi Liberal sering dilampaui batas dan menimbulkan gejala negatif. Pemerintah kemudian mulai membatasi kebebasan pers melalui pembredelan media tertentu.
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan. Keberadaan pers pada masa ini dilandasi oleh konstitusi Indonesia Serikat dan UUDS. Dalam konstitusi RIS pasal 19 disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Kemudian isi pasal ini kembali dicantumkan dalam UUDS 1950 mencerminkan meskipun terjadi pasang surut kehidupan pilitik, namun kebebasan pers dalam berpendapat seharusnya tetap ada dalam konstitusi. Pemerintah juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya positif. Pemerintah membentuk dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat kabaran, cendekiawan, serta pejabat-pejabat pemerintah. Adapun dewan ini mempunyai tugas yaitu : 1. Pengertian undan-undang pers colonial. 2. pemberian dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia. 3. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia Pers pada masa orde lama terbagi menjadi dua periode, yakni Periode Demokrasi Liberal dan Periode Demokrasi Terpimpin. Seiring dengan kembalinya bentuk negara dari negara federal menjadi negara kesatuan, maka dimulailah pada masa ini sistem Demokrasi Liberal di Indonesia4 . Pers pada masa Demokrasi Liberal ini merupakan suatu masa dimana Pers di Indonesia mengalami masa kebebasan yang begitu besar, setiap orang asalkan memiliki modal dapat memiliki sebuah surat kabar, sehingga ia bisa memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya, tanpa harus terlebih dahulu mengurus perizinan. Pada masa Demokrasi Liberal ini dapat digambarkan sebagai suatu lembaran hitam dalam sejarah pers kita, karena untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliaran- aliaran politik yang saling bertentangan menyalahgunakan “freedom of the press”, kadangala melampaui batas-batas kesompanan. Malahan mendekati caracara yang biasanya dilakukan oleh pers di negara-negara liberal seperti Amerika Serikat. Para Wartawana kita dalam masa Liberal ini banyak yang dihinggapi oleh jiwa liberalistis dan penyakit sinisme. Presiden Sukarn sendiri menkonstatir di masa ini timbulnya lima macam krisis dalam masyarakat kita, yaitu krisis kewibawaan, krisis politik, krisis pandangan dalam Angkatang Bersenjata dan krisis moril. Pada masa Demokasi Liberal ini Koran-koran sangat banyak bermunculan mulai dari surat kabar Belanda , seperti Java Bode, de Locomotief, Algemeen Indisch Dagblad de Preanger Bode, Nieuwgier dan Nieuwe Courant. Koran-koran Belanda tersebut diberikan kebebasan untuk mengeluarkan segala macam pendapat, seperti dalam masalah Irian Barat banyak surat kabar Belanda, mendukung kebijaksanaan Pemerintah Belanda. Selain itu pada masa ini surat kabar mengalami oplah yang cukup besar, namun demikian oplah yang cukup besar ini adalah bukan oplah surat kabar dalam bidang politik, ekonomi, dll. Namun ternyata ialah surat kabar yang berlatar belakang surat kabar berbau porno, seks, dll. Sementara Surat Kabar politik, hukum, dan ekonomi kalah telak. Karena pada masa itu masyarakat lebih tertarik pada hal yang berbau sensualitas dan seks, akibat ialah banyak surat kabar yang mengalami kelesuan dan banyak yang kemudian mengalami gulung tikar. Pada zaman Demokrasi Liberal ini juga ada gejala-gejala atau pertanda yang menunjukkan bahwa waktu itu pers banyak dibuat membuat fitnah, mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran-ukuran sopan-santun dan tatakrama. Justru karenanya, orangpun lalu saling menanya sampai dimana kebebasan pers dapat dilaksanakan, dan bila tidak ada btasnya, niscaya akan merupakan anarki. Hingga Tahun 1957 Pers Indonesia mengalami periode kebebasan Pers, namun setelah Pemberontakan PRRI dan Permesta, serta kegagalan Konstituante merancang Undang-Undang Dasar baru, dan dekrit Presiden Soekano. Maka kemudian mulai muncul beberapa pembredelan terhadap beberapa majalah yang dinilai berbahaya. Dengan latar belakang kondisi politik dan keamanan di atas berdasarkan ketentuan SOB, penindakan keras yang meningkat terhadap pers dengan sendirinya tidak dapat dihindarkan. Pada bulan September 1957, tidak kurang dari 13 pnerbitan pers di Jakarta terkena pembredelan sekaligus. Mereka adalah Harian Rakyat, Pedoman, Indonesia Raya, Bintang Timur, Keng Po, Djiwa Baru, Merdeka, Pemuda, Jawa Bode, Abadi, dan Kantor Berita Antara INPS serta Aneta Pada bulan April 1958, Pemerintah melarang semua Koran-koran berbahasa China. Di Medan, Koran-koran yang ditutup adalah The Sumatra Times, New China Times, Sumatra Bin Poh, Hwa Choa Jit Poh, dan Democratic Daily News. Di Ujung Pandang, terdapat empat surat kabar : Kuo Min-Tang, Chiao Seng Phao, Daily Chronicle dan Daily Telegraph. Puncaknya ialah keluarnya Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno.