Anda di halaman 1dari 3

2.

1 Pers Masa Orde Lama


Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa
demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik
dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu
merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki
media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers
partisipan.
Keberadaan pers pada masa ini dilandasi oleh konstitusi Indonesia Serikat
dan UUDS. Dalam konstitusi RIS pasal 19 disebutkan setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Kemudian isi pasal ini
kembali dicantumkan dalam UUDS 1950 mencerminkan meskipun terjadi
pasang surut kehidupan pilitik, namun kebebasan pers dalam berpendapat
seharusnya tetap ada dalam konstitusi.
Pemerintah juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya
positif. Pemerintah membentuk dewan pers yang terdiri dari orang-orang
persurat kabaran, cendekiawan, serta pejabat-pejabat pemerintah. Adapun
dewan ini mempunyai tugas yaitu :
1. Pengertian undan-undang pers colonial.
2. pemberian dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia.
3. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia
Pers pada masa orde lama terbagi menjadi dua periode, yakni Periode
Demokrasi Liberal dan Periode Demokrasi Terpimpin. Seiring dengan
kembalinya bentuk negara dari negara federal menjadi negara kesatuan, maka
dimulailah pada masa ini sistem Demokrasi Liberal di Indonesia4 . Pers pada
masa Demokrasi Liberal ini merupakan suatu masa dimana Pers di Indonesia
mengalami masa kebebasan yang begitu besar, setiap orang asalkan memiliki
modal dapat memiliki sebuah surat kabar, sehingga ia bisa memiliki kebebasan
untuk mengeluarkan pendapatnya, tanpa harus terlebih dahulu mengurus
perizinan.
Pada masa Demokrasi Liberal ini dapat digambarkan sebagai suatu
lembaran hitam dalam sejarah pers kita, karena untuk memperoleh pengaruh
dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliaran-
aliaran politik yang saling bertentangan menyalahgunakan “freedom of the
press”, kadangala melampaui batas-batas kesompanan. Malahan mendekati
caracara yang biasanya dilakukan oleh pers di negara-negara liberal seperti
Amerika Serikat.
Para Wartawana kita dalam masa Liberal ini banyak yang dihinggapi oleh
jiwa liberalistis dan penyakit sinisme. Presiden Sukarn sendiri menkonstatir di
masa ini timbulnya lima macam krisis dalam masyarakat kita, yaitu krisis
kewibawaan, krisis politik, krisis pandangan dalam Angkatang Bersenjata dan
krisis moril.
Pada masa Demokasi Liberal ini Koran-koran sangat banyak
bermunculan mulai dari surat kabar Belanda , seperti Java Bode, de Locomotief,
Algemeen Indisch Dagblad de Preanger Bode, Nieuwgier dan Nieuwe Courant.
Koran-koran Belanda tersebut diberikan kebebasan untuk mengeluarkan segala
macam pendapat, seperti dalam masalah Irian Barat banyak surat kabar
Belanda, mendukung kebijaksanaan Pemerintah Belanda.
Selain itu pada masa ini surat kabar mengalami oplah yang cukup besar,
namun demikian oplah yang cukup besar ini adalah bukan oplah surat kabar
dalam bidang politik, ekonomi, dll. Namun ternyata ialah surat kabar yang
berlatar belakang surat kabar berbau porno, seks, dll. Sementara Surat Kabar
politik, hukum, dan ekonomi kalah telak.
Karena pada masa itu masyarakat lebih tertarik pada hal yang berbau
sensualitas dan seks, akibat ialah banyak surat kabar yang mengalami kelesuan
dan banyak yang kemudian mengalami gulung tikar.
Pada zaman Demokrasi Liberal ini juga ada gejala-gejala atau pertanda
yang menunjukkan bahwa waktu itu pers banyak dibuat membuat fitnah,
mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang atau keluarga, tanpa
memikirkan ukuran-ukuran sopan-santun dan tatakrama. Justru karenanya,
orangpun lalu saling menanya sampai dimana kebebasan pers dapat
dilaksanakan, dan bila tidak ada btasnya, niscaya akan merupakan anarki.
Hingga Tahun 1957 Pers Indonesia mengalami periode kebebasan Pers,
namun setelah Pemberontakan PRRI dan Permesta, serta kegagalan
Konstituante merancang Undang-Undang Dasar baru, dan dekrit Presiden
Soekano. Maka kemudian mulai muncul beberapa pembredelan terhadap
beberapa majalah yang dinilai berbahaya. Dengan latar belakang kondisi politik
dan keamanan di atas berdasarkan ketentuan SOB, penindakan keras yang
meningkat terhadap pers dengan sendirinya tidak dapat dihindarkan. Pada bulan
September 1957, tidak kurang dari 13 pnerbitan pers di Jakarta terkena
pembredelan sekaligus. Mereka adalah Harian Rakyat, Pedoman, Indonesia
Raya, Bintang Timur, Keng Po, Djiwa Baru, Merdeka, Pemuda, Jawa Bode,
Abadi, dan Kantor Berita Antara INPS serta Aneta
Pada bulan April 1958, Pemerintah melarang semua Koran-koran
berbahasa China. Di Medan, Koran-koran yang ditutup adalah The Sumatra
Times, New China Times, Sumatra Bin Poh, Hwa Choa Jit Poh, dan Democratic
Daily News. Di Ujung Pandang, terdapat empat surat kabar : Kuo Min-Tang,
Chiao Seng Phao, Daily Chronicle dan Daily Telegraph. Puncaknya ialah
keluarnya Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno.

Anda mungkin juga menyukai