Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH SEJARAH PERS INDONESIA ERA ORDE LAMA

DAN DEMOKRASI TERPIMPIN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pers Nasional

Disusun oleh:

Kelompok 5

1. Laode Muhammad Akbar Hibatullah 11190511000028

2. Fiki Darnaes 11190511000011

3. Ahmad Dwiantoro 11190511000006

4. Muhammad Luthfi 11190511000002

5. Aji Reza Mahendra 11190511000030

6. Abdul Rouf Ade Segun 11160510000275

JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2020 M
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pers menjadi bagian penting dalam perjalanan sebuah bangsa, sejak awal masa
Kolonial Belanda Pers telah memberi warna tersendiri kepada bangsa Indonesia,
bahkan pada masa pergerakan Pers digunakan sebagai sarana untuk penentangan
terhadap penguasa kolonial dan untuk menyuarakan cita-cita Indonesia Merdeka.
Demikian pula di masa Indonesia Revolusi Fisik Pers telah menjadi sebuah alat
perjuangan yang demikian besar pengaruhnya, sebab melalui pers semua kehendak
dapat disalurkan kepada khalayak ramai.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa
pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan.
Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java
Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini
dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia
Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia
menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang
penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak
tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam
putih
Kemudian memasuki masa Pemerintahan Orde Lama Pers mengalami peranan
yang berbeda bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. pada masa Orde
Lama ini Pers dibagi ke dalam dua masa yaitu masa Demokrasi Liberal dan masa
Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Pers pada masa orde lama ini akan
dikemukakan dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja media pers pada era orde lama dan demokrasi terpimpin?
2. Apa saja isi konten media pers pada era orde lama dan demokrasi terpimpin?
3. Siapa saja tokoh penggerak pers pada era orde lama dan demokrasi terpimpin?
4. Bagaimana korelasi konteks politik dengan pers pada era orde lama dan demokrasi
terpimpin?
5. Bagaimana korelasi konteks sosial masyarakat dengan pers pada era orde lama dan
demokrasi terpimpin?
6. Apa saja momen-momen penting perkembangan pers pada era orde lama dan
demokrasi terpimpin?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Media Pers Pada Masa Orde Lama dan Demokrasi Terpimpin
Pers di era setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945 terjadi
pengambilalihan semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan
berupaya menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa
republik itu bernama Berita Indonesia yang terbit di Jakarta sejak 6 September 1945.
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan
masih sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan
pergolakan di beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum
menarik diri masih terjadi. Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti
Belanda yang dilancarkan oleh surat kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga
menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia, di antaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh
Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya), serta Padjajaran dan Persatoean
(Bandung). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam empat halaman,
dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim. 1
Pada Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras
405.000 eksemplar. Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi
hanya 81 dengan tiras 283.000 eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda
Kedua yang terjadi pada Desember 1948. Sementara, jangkauan tiras berubah dari
500 menjadi 5.000 eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin
memperkuat semangat kebangsaan, mempertajam teknik ber-polemik, dan mulai
memperlihatkan peningkatan semangat partisan. Dunia internasional mengakui
Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat pada Desember 1949. Surat
kabar Indonesia Raya sendiri, kali pertama terbit di Jakarta, dengan nomor pertama
yang tiba di tangan pembaca, berselang dua hari sesudah peristiwa penandatanganan
pengakuan kedaulatan Indo-nesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Sementara,
lebih dari setahun sebelumnya yakni 29 Nopember 1948, di Jakarta juga telah terbit
harian Pedoman yang dibawahi oleh Rosihan Anwar, Harian Merdeka yang telah
terbit sejak 1 Oktober 1945 dan Indo-nesia Merdeka yang terbit sejak 4 Oktober
1945.2

1
Akhmad Efendi, Perkembangan Pers di Indonesia, Alprin, 2020, Hlm. 14
2
Akhmad Efendi, loc. cit
Kondisi pers Indonesia sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di
masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran,
lantaran beritanya melulu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa
kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah
beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-
hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau
ketinggalan barang sehari pun dalam mengikuti berita perkembangan negaranya yang
baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan
kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif
bagi para pengelola media massa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai
marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak
intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari
memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan
mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di
Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang,
ditunjuk sebagai ketuanya. Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di
masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak
Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan
Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat
berbagai berita penting dari seluruh tanah air. 3
Hanya saja, pada tahun-tahun awal kemerdekaan, pers dan wartawan di Indonesia
masih diliputi suasana penuh tantangan akibat dari berlarut-larutnya revolusi dan
masih manifesnya penjajah untuk kembali ke Indonesia. Dapat dikatakan bahwa
setelah kemerdekaan, semangat yang menjiwai perjuangan kemerdekaan mulai luntur,
terjadi persaingan keras antarkekuatan politik. Pers In-donesia ikut larut dalam arus
ini, terjadi perubahan watak dari pers perjuangan menjadi pers partisipan. Pers
sekadar menjadi corong partai politik. Meskipun pers bersifat partisipan, bisa
dikatakan periode ini adalah masa bahagia yang singkat buat kebebasan pers,
khususnya untuk wartawan politik. Inilah akhir periode kebebasan pers di Indo-nesia
dan awal rezim Orde lama berkuasa.4
Sebagai founding fathers, Soekarno sebenarnya menjamin kebebasan pers dalam
Pasal 28 UUD 1945. Menteri Penerangan waktu itu, Amir Sjariffudin, pada Oktober

3
Ibid, 15
4
Ibid, 16.
1945 menegaskan kembali melalui maklu-matnya bahwa penyelenggaraan pemerin-
tahan harus bersendikan asas pers merdeka. Oleh karena itu, kebijakan komunikasi
dan penerangan yang dianut pemerintah dijan-jikan sebagai berikut: "Pikiran
masyarakat umum (public opinions) itulah sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan
rakyat. Pers yang tak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat, tetapi
hanya pikiran beberapa orang yang berkuasa. Maka, asas kita ialah pers harus
merdeka." Sejarah membuktikan, pers masa perjuangan waktu itu bahu-membahu
mendukung pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Akan tetapi, setelah
Belanda pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah, pembredelan mulai
dilakukan.Tafsir pemerintah atas kemerdekaan pers hanya digunakan untuk
memperkuat status quo dibandingkan membangun keseimbangan sebagai kontrol
publik terhadap pemerintah. 5
Surat kabar Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara menjadi saksi atas
pengingkaran janji pemerintah di masa kepemimpinan Soekarno. Pergolakan politik
yang terus terjadi menyebabkan Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang
berlaku di Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk mengubah
demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Sepanjang periode Demokrasi
Terpimpin dan diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang, pers pun
mengalami era terpimpin ini. Presiden Soekarno memerintahkan pers agar setia
kepada ideologi Nasakom serta memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat.
Soekarno tidak ragu-ragu untuk melarang surat kabar yang menentangnya. Di bawah
Soekarno, surat kabar yang dikelola oleh kaum komunis tumbuh subur. Muncul
perlawanan dari kelompok surat kabar sayap kanan nasionalis, yang
mengatasnamakan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). 6
Konflik antara surat kabar sayap kanan dengan surat kabar kelompok kiri tidak
terelakkan. Soekarno ternyata lebih memilih kaum kiri, dan surat kabar kaum kanan
yang anti komunis dilarang terbit. Periode Demokrasi Terpimpin umumnya dikatakan
sebagai periode terburuk bagi sejarah perkembangan pers di Indonesia. Hal ini bisa
dimaklumi karena persepsi, sikap, dan perlakuan penguasa terhadap pers Indonesia
telah melampaui batas-batas toleransi. Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang
pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini
publik. Pers seakan-akan dilihat sebuah senapan yang siap menembakkan peluru

5
Loc. cit
6
Ibid, 17.
(informasi) ke arah massa atau khalayak yang tak berdaya. Pers dianggap sebagai alat
"revolusi" yang besar pengaruhnya untuk menggerakkan atau meradikalisasi massa
untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Dalam masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno
lebih cenderung memperlakukan pers sebagai extension of power-nya. Tahun-tahun
tersebut dapat digambarkan sebagai berkuasanya pers komunis dan pers simpatisan-
simpatisannya.
Sementara, pers lainnya yang berada dalam posisi kontra terhadap rezim
Soekarno, menolak Manipol, dan pers Liberal, diasingkan atau menuai pembredelan.
Dominasi pers komunis dan simpatisan-simpatisannya dalam peta ideologi pers In-
donesia tahun 1957-1965 merupakan konsekuensi-konsekuensi logis dari semangat
kuat dan meningkatnya pengaruh politik PKI dan Soekarno. Namun, posisi pers pada
tahun-tahun itu berubah secara radikal sejak peristiwa berdarah G30S/PKI. Karena,
dalam masa selanjutnya, terhitung tanggal 1 Otober 1965, seluruh pers yang dianggap
sebagai simpatisan PKI dilarang terbit untuk selama-lamanya oleh penguasa rezim
baru saat itu di bawah Soeharto. Kedudukan pers dalam sistem Demokrasi Terpimpin.
Seperti yang kita ketahui, bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno
menempati posisi sentral dalam kehidupan politik nasional. Beliau memanfaatkan
kharisma yang ia miliki, pertentangan politik dan kepentingan di dalam negeri, serta
kemampuan berpidato yang memukau, untuk memperkokoh kedudukannya. Terhadap
media massa, pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar, dalam artian
diupayakan untuk mendukung keberadaan pemerintah serta kebijakan-kebijakannya.
Hal ini berkaitan dengan misi yang dijalankan oleh pers itu sendiri, yaitu menjadi
saluran informasi bagi pemerintah dan masyarakat. Pers juga dipandang sebagai
sarana pembentuk opini publik yang luas. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini, pers
diatur secara ketat dan harus berfungsi sebagai alat revolusi pemerintah.7

2.2 Isi Konten Media Pers Pada Era Orde Lama Dan Demokrasi Terpimpin
Perkembangan Pers di Indonesia
1. Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya
pemerintahan kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahasa belanda

7
Ibid, 18.
kemudian masyarakat Indo Raya dan Cina juga menerbitkan surat kabar dalam
bahasa Belanda, Cina dan bahasa daerah.
Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique
Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan
surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel.
Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang diterbitkan
dalam bahasa Belanda, 27 surat kabar berbahasa Indonesia dan satu surat kabar
berbahasa Jawa.

2. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)


Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945. Orang-orang surat kabar (pers)
Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan
dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini
menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang
beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers
Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai
diberlakukannya izin penerbitan pers.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita
Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni
Aneta dan Antara. Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu: Asia
Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, Tjahaya di
Bandung.

3. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)


Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke
UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap
kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin
Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri
Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI
ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif
seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan
pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus
ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian
Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan
Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap
surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati
peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun
1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh
E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian
Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada
hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap
ketat dan dilakukan secara sepihak.

4. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama


Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang
jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila.
Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan
antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang
pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984),
pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan
tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers
pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab
dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan
objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan
keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang
dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga
negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak
diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih
delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas
Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde
Lama).
5. Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi.
Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor
kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah
rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah
bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati
kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan
demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi
banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di
Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa
kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers
sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi
disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana
tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers
nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum
dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan
benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan


mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber
informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini
digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai
mnejadi saksi di pengadilan.8
2.3 Tokoh Penggerak Pers pada masa Orde Lama
1. H. Rosihan Anwar
H. Rosihan Anwar merupakan tokoh pers, sejarawan, sastrawan, dan budayawan
Indonesia. Rosihan merupakan salah seorang yang produktif menulis. Beliau memulai
karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan Jepang tahun
1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-
1961). Kemudian pada tahun 1961, koran Pedoman miliknya dibredel penguasa. Pada
masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia
(1968-1974). Tahun 1973, Rosihan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III,
bersama tokoh pers Jakob Oetama. Namun kurang dari setahun setelah Presiden
Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya, koran Pedoman miliknya ditutup.9
2. Ani Idrus
Ani Idrus adalah seorang wartawati sekaligus pendiri Harian Waspada bersama
suaminya, H. Mohamad Said, pada 1947. Tokoh bidang pers itu berasal dari
Sawahlunto, Sumatera Barat. Dia lahir pada 25 November 1918 dan wafat di kota
Medan, Sumatera Utara, pada 9 Januari 1999. Melihat jejak kariernya, Ani Idrus
memulai profesi sebagai wartawan pada 1930 dan mulai menulis untuk majalah Panji
Pustaka Jakarta, demikian sebagaimana dikutip Antara News. Bersama sang suami
pada 1947, dia menerbitkan Harian Waspada. Ani juga merambah segmen pembaca
wanita, pada 1949, dengan menerbitkan majalah Dunia Wanita. Beliau juga termasuk
dalam salah satu tokoh pendiri PWI, Persatuan Wartawan Indonesia, tahun 1951.10
3. Djawoto
Djawoto adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan ia
menekuni ilmu ekonomi dan politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi
wartawan dengan membaca setiap hari. Bukunya "Jurnalistik dalam Praktik"

8
Aulia ‘Ulya “Pers Indonesia dari Masa ke Masa”, diakses dari
https://www.kompasiana.com/auliaulya/5517f336a333118107b6615d/pers-indonesia-dari-masa-ke-
masa, pada tanggal 19 Oktober 2020 pukul 20.15.
9
Harits Tryan Akhmad, “HPN 2020, Ini Deretan Tokoh Pers Nasional yang Berpengaruh di
Indonesia”, diakses dari https://nasional.okezone.com/read/2020/02/08/337/2165284/hpn-2020-ini-
deretan-tokoh-pers-nasional-yang-berpengaruh-di-indonesia?page=2, pada tanggal 19 Oktober 2020
pukul 21.30.
10
Dipna Videlia Putsanra, “Siapa Ani Idrus yang Jadi Google Doodle 25 November Hari Ini?, diakses
dari https://tirto.id/siapa-ani-idrus-yang-jadi-google-doodle-25-november-hari-ini-emgG, pada tanggal
19 Oktober 2020 pukul 21.45.
adalah hasil pengalaman pekerjaannya sehari-hari. Sejak tahun 1928 Djawoto
sudah mulai menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan
Jepang. Selama PD II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di kantor berita
Domei, satu-satunya kantor berita yang diizinkan hidup selama pendudukan
Jepang. Pada tahun 1945 Kantor Berita Antara dibuka kembali dan Djawoto
kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota
Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto
dipilih menjadi pemimpin Redaksi. Djawoto bahkan pernah beberapa kali terpilih
menjadi Ketua PWI mulai dari 1948, 1950 dan 1951. Dan baru menjadi ketua lagi
ketika PWI mengadakan kongres di Makassar pada 16 Mei 1961. 11 Sebagai
anggota Dewan Kehormatan PWI, Djawoto bersama H. Agus Salim menyusun
untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.
4. Mochtar Lubis
Lahir di Padang, Sumatra Barat, 7 Maret 1922 – meninggal di Jakarta, 2 Juli
2004 pada umur 82 tahun, adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama
asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan
penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan
dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan
majalah sastra Horizon bersama-sama kawan-kawannya. Pertengahan 1950-an,
Mochtar Lubis dipenjara. Pemimpin harian Indonesia Raya itu dituduh
berkomplot dengan Zulkifli Lubis dalam ketegangan yang terjadi di Sumatera. Ia
mendekam dalam tahanan Orde Lama selama sepuluh tahun. Pengalamannya itu
ia tulis dalam Catatan Subversif (1980).12

5. Petrus Kanisius Ojong


Pada awalnya, PK Ojong bekerja sebagai guru di SD Budi Mulia di Mangga
Besar Jakarta. Ojong mempelajari mengenai jurnalistik pada tahun 1946, ketika
dia bergabung dengan Star Weekly, sebuah mahalan untuk komunitas Tionghoa-
Indonesia. Dia memulai kariernya sebagai kontributor dan akhirnya menjadi
redaktur pelaksana hingga Star Weekly dibubarkan pemerintah karena ulasan luar
11
Koran Sulindo, “Djawoto: Tokoh Pers yang Dihapus dari Sejarah Indonesia”, diakses dari
https://koransulindo.com/djawoto-tokoh-pers-yang-dihapus-dari-sejarah-indonesia/, pada tanggal 19
Oktober 2020 pukul 21.59.
12
Irfan Teguh, “Mochtar Lubis: Pembangkang Dua Rezim yang Tak Gentar Berpolemik”, diakses dari
https://tirto.id/mochtar-lubis-pembangkang-dua-rezim-yang-tak-gentar-berpolemik-edqg, pada tanggal
19 Oktober 2020 pukul 22.15.
negeri yang ditulis Ojong dinilai mengkritik kebijakan pemerintah. Antara tahun
1946-1951, Ojong merupakan anggota redaksi surat kabar harian Keng Po dan
mingguan Star Weekly. Kedua media yang dibangunnya itu, pada 1961, diberedel
pemerintah Sukarno. Di masa pasca-pemberedelan ini, PT Saka Widya berdiri dan
Ojong jadi direkturnya. Saka Widya saat itu bergerak dalam bidang penerbitan
buku.13 Pada tahun 1963, Ojong bersama dengan Jakob
Oetama mendirikan majalah Intisari, cikal bakal dari harian Kompas. Pada tahun
1965, mereka mendirikan harian Kompas yang menjadi harian nasional Indonesia
hingga saat ini. Pada tahun 1970 hingga akhir hidupnya, PK Ojong merupakan
pimpinan umum dari PT Gramedia yang bergerak di bidang penerbitan.

2.4 Konteks Politik Pers Pada Masa Orde Lama dan Demokrasi Terpimpin

Pada masa Orde Lama merupakan masa Demokrasi Liberal yang banyak
didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer.
Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari partai politik. Beberapa partai
politik memiliki berbagai media atau Koran sebagai corong partainya. Pada masa itu
pers dikenal sebagai pers partisipan,14 karena keberadaan pers pada masa Orde Lama
dilandasi oleh konstitusi Indonesia Serikat dan (UUDS). Dalam konstitusi (RIS) pasal
19 disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan dan mengeluarkan pendapat.
Kemudian isi pasal ini dicantumkan dalam UUDS 1950 meskipun terjadi pasang surut
kehidupan politik, namun kebebasan pers dalam berpendapat seharusnya tetap ada
dalam konstitusi.15

2.4.1 Politik Pers Masa Demokrasi Liberal

Pada masa ini Pers digunakan oleh Partai Politik terutama sebagai sebuah alat
propaganda politik terutama menjelang Pemilu 1955, oplah dan penerbitan surat kabar
mengalami peningkatan yang demikian pesat, dibandingkan periode sebelumnya. Hal
ini disebabkan para politikus menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik
perhatian umum dan dukungan umum.

13
Petrik Matanasi, “P.K. Ojong Pendiri Kompas: Mengajar, Menulis, Mengabarkan Indonesia”,
diakses dari https://tirto.id/pk-ojong-pendiri-kompas-mengajar-menulis-mengabarkan-indonesia-dCrW,
pada tanggal 19 Oktober 2020 pukul 22.40.
14
Hasan, Pengertian dan Sejarah Pers. http:/hasangunawan23- pers.blogspot.co.id/ diunduh pada
tanggal 3 Maret 2017, pukul 08.50.
15
Ibid
Menurut Hatta, surat kabar yang telah menjadi suara golongan politik tertentu
tidak mengurangi kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai suatu
kesatuan, pers adalah suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan
pendapat yang berlainan tentang masalah-masalah negara dan masyarakat. Tetapi
tambahnya, dalam proses pembangunan, kedudukan dan peranan pers nasional tidak
semata-mata menjadi anggota perasaan umum atau terompet perasaan umum,
melainkan mendorong perasaan umum itu untuk menginsafi dasar-dasar
perekonomian negara dan masyarakat.16
Namun kemudian, hasil-hasil yang terjadi ketika pers menjadi organ partai politik
ialah praktek-praktek dimana pemerintah memberikan dukungan kepada pers yang
menyokongnya di satu pihak dan menghambat mereka yang menentangnya. Surat-
surat kabar yang mendukung suatu kabinet biasanya akan memperoleh pesanan besar
dari kantor-kantor pemerintah, mendapat kredit untuk membeli perangkat keras, dan
lebih disukai bila ada undangan untuk ikut delegasi-delegasi ke luar negeri,
sebaliknya wartawan-wartawan koran lawan akan mendapat larangan terbit.17
Sebelum UU Pokok Pers akhirnya disahkan pada tanggal 12 Desember 1966, pers
Indonesia masih menghadapi peraturan-peraturan yang dirasa menekan oleh para
wartawan. Perkembangan politik besar peranannya dalam melahirkan peraturan-
peraturan itu.18 Diantara peraturan-peraturan tersebut, dapat dikemukakan antara lain
peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer
pada 14 september (Peraturan KSAD selaku Penguasa Militer
No.PKM/001/0/1956).19

2.4.2 Politik Pers Masa Demokrasi Terpimpin

Akhirnya, pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5


Juli 1959 yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD
1945 sebagai dasar negara. Masa ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin.
Pada masa ini, pers nasional menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong
penguasa yang harus mendukung kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers

16
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia (Triyinco: Jakarta, 1946), hlm. 101
17
Tim LSPP, Media Sadar Publik, (Jakarta: Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005), hlm. 176
18
Ibid, hlm. 179
19
Taufik. loc. cit. hlm. 179.
berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa dalam memberikan informasi dan
mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan manipol dan setiap
kebijakan pemerintah.20
Penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui sistem regulasi represif.
Dalam upaya mengkonsolidasi kekuasaannya, Soekarno dengan ketat mengontrol pers
dan berusaha membuat pers menjadi jinak dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober
1960, dalam kapasitasnya sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno
mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan pers harus mendaftarkan diri terlebih
dahulu untuk mendapatkan SIT (Surat Ijin Terbit)21. Agar ijin tersebut diperoleh, pers
harus memenuhi persyaratan tertentu seperti, loyal kepada manifesto politik
Soekarno, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme,
federalisme, dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi diharuskan
menandatangani dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan kewajiban
untuk setia pada program manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri. Tujuannya ialah
menjadikan pers sebagai alat pendukung, pembela, dan penyebar manifesto politik
Soekarno22.
Akibatnya, pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol
Soekarno. Wartawan Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin
sebagai pers manipol. Setelah harian Indonesia Raya dilarang terbit pada tahun 1961,
Mochtar Lubis, sang editor dipenjara di Madiun bersama PM Sutan Sjahrir,
Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, dan Soebadio
Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh Presiden Soekarno
Soekarno kemudian menempatkan percetakan swasta di bawah pengawasan
pemerintah berdasarkan Peraturan Administrasi Militer Tertinggi no.2/1961. Pada
tanggal 15 Mei 1963, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pemberian
wewenang kepada Menteri Penerangan untuk menangani pedoman pers. Lalu, pada
tanggal 12 September 1962, kantor berita Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit
Presiden no.307/1962.23
Tak menyerah, pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar
Berita Yudha. Pada bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan
Peraturan Nomor 29 yang menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9 partai

20
Semma, Pers di Indonesia, (Jakarta:LP3ES, 2008), hlm. 114
21
Ibid, hlm. 105
22
Ibid, hlm. 106
23
Ibid, hlm. 106
politik yang ada. Aturan tersebut merupakan upaya Soekarno untuk mengintegrasikan
surat kabar agar partai-partai politiklah yang pertama mengontrol surat kabar.24
Masa Demokrasi Terpimpin ini Pemerintah Soekarno mulai cenderung condong
untuk bersahabat dengan negara-negara Komunis atau negara-negara blok Timur.
Maka akibatnya Partai Komunis Indonesia (PKI) mengalami masa kedigdayaan
karena senantiasa disokong oleh Pemerintah. Organ-organ Pers PKI dan
pendukungnya seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti di Jakarta,
kemudian ditambah dengan Gelora Indonesia dan Kebudayaan Baru yang juga terbit
di Ibukota, belum terhitung sejumlah mingguan Trompet Masyarakat di Surabaya;
Harian Harapan dan Gotong Royong di Medan; dan di berbagai kota lainnya, dengan
sendirinya ikut memanaskan dan mematangkan sistuasi revolusioner25.
Taktik ofensif PKI yang radikal semakin membuatnya dekat dengan Presiden
Soekarno seperti dalam Masalah Irian Barat serta Konfrontasi dengan Federasi
Malaysia, ketegangan dengan Amerika Serikat telah dimanfaatkan benar oleh PKI
untuk mendapatkan dukungan umum26. Selain itu di desa-desa, anggota PKI
melancarkan aksi agitasi dan propaganda memerangi tujuh setan desa, akibatnya di
beberapa tempat sering terjadi kerusuhan diantara rakyat dan ABRI serta orang-orang
yang terhasut oleh PKI27.
Taktik ofensif PKI juga mendapat perlawanan dari kalangan Pers Anti PKI.
Perlawanan terhadap PKI tersebut berkisar pada lahirnya Manifesto Kebudayaan, aksi
boikot film-film barat, dan masalah penyederhanaan Partai. Pada waktu itu juga
terjadi pula polemik sengit antara Berita Indonesia dan Merdeka serta koran-koran
anti-PKI lainnya dengan Harian Rakyat dan penyokongnya bermula dari pandangan
Presiden yang menyatakan tidak puas dengan sistem kepartaiaan yang ada dan
menginginkan rektruiasasi. Khawatir dengan hal itu PKI menyerang pihak-pihak yang
menyatakan setuju dengan usulan itu.
Pertentangan dalam jajaran pers Indonesia meluaskan sorotan dan kesadaran
masyarakat terhadap ofensif PKI di berbagai bidang, termasuk pers. Penyusupan PKI
dan penyokongnya di organisasi-organisasi pers seperti PWI, SPS, Antara dan lain-
lain menimbulkan kecemasan di kalangan luas. Setelah Pemerintah menutup sejumlah

24
Ibid, hlm. 106
25
Said Tribuana, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, (Jakarta:CV Haji
Masagung, 1988) hlm. 89
26
Taufik, Loc. Cit, hlm. 105
27
Ibid. hlm. 106
Koran Anti-PKI, PKI justru memperbesar jaringan penerangan dan propagandanya
dengan menerbitkan koran-koran baru28.
Sementara itu, untuk membendung taktif ofensif PKI. maka pada 1 September
1964 didirikan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) di lingkungan surat kabar, radio
dan televisi, anggota-anggota BPS adalah Hismawara Darmawati, Joenoes Lubis,
Asnawi idris dll. Koran-koran yang merupakan simpatisan PKI terdiri dari Pikiran
Rakyat, Suara Merdeka, Tempo, Waspada, Mimbar Umum, dll.
Pemerintah di waktu itu, telah mendapat tekanan dari orang-orang Komunis yang
duduk dalam pemerintahan, sehingga memutuskan untuk dalam bulan Februari 1965,
melarang semua aktivitas dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS,
namun demikian golongan-golongan anti BPS tetap belum puas mereka menuntut
diadilinya gembong-gembong BPS karena merupakan gembong-gembong CIA.
Adapun lawan politik BPS adalah koran-koran PKI/PNI seperti Harian Rakyat,
Bintang Timur, Suluh Indonesia, dll. Sepanjang tahun 1964, saling menyerang di
dalam pers nasional terjadi antara Merdeka yang mengecam front Nasional dan Suluh
Indonesia yang mendukung Front Nasional29. Selain itu muncul juga fitnahan bahwa
anggota BPS adalah agen CIA akibatnya BPS kemudian dibubarkan oleh Presiden
Soekarno pada 17 Desember 1964, akibatnya para wartawan yang masuk ke dalam
BPS dipecat dari keanggotaan mereka dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
kemudian surat-surat kabar yang bergabung ke dalam BPS dibekukan30.

2.5 Pengaruh pers terhadap sosial masyarakat di era orde lama & demokrasi
terpimpin.
Pers pada masa ini merupakan suatu masa di mana pers di Indonesia mengalami
kebebasan yang begitu besar. Setiap orang yang memiliki modal dapat memiliki
sebuah surat kabar sehingga bebas untuk mengeluarkan pendapatnya tanpa harus
terlebih dahulu mengurus perizinan. Pers pada masa ini umumnya mewakili aliran-
aliran politik yang banyak bertentangan bahkan disalahgunakan untuk menebar fitnah,
mencaci maki, menjatuhkan martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan
ukuran sopan-santun dan tatakrama. Hingga pada awal tahun 1960 penekanan
kebebasan pers diawali dengan peringatan langkah-langkah tegas yang akan

28
Semma. Loc. Cit. hlm. 109
29
Tribuana Said. Ibid. hlm 79
30
Ibid. hlm 80
dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak
menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional.
Dalam order demokrasi yang demikian, media memperlihatkan sebuah fungsi
politik khusus. Pertama, mereka tidak terikat untuk menyediakan forum politik yang
tak berkesudahan. Asumsi liberal adalah bahwa rakyat bukanlah binatang politik, dan
bahwa politik harus dilihat sebagai sebuah instrumen, sebagai cara mencapai tujuan.
Ketika media berfungsi mengadakan sebuah forum politik, seharusnya tujuan mereka
yaitu pertama, agar masyarakat dapat memilih mereka-mereka yang menginginkan
jabatan dan untuk menghakimi mereka-mereka yang kini sedang menjabat. Kedua,
untuk meyediakan platform bagi kelompok-kelompok kepentingan untuk
mempublikasikan klaim-klaim dan keprihatinan mereka. Ini berarti menginformasikan
pada masyarakat tentang rencana-rencana dan pencapaian-pencapaian calon wakil
mereka, itu juga berarti mencerminkan tingkatan ide-ide dan pandangan yang
berkembang dalam kelompok mereka, mempersoalkan mereka-mereka yang
melakukan sesuatu atas nama rakyat.
Kebebasan pers pada masa ini didefinisikan sebagai sebuah medium di mana
perbedaan ide dan opini dapat dimuat; ia bukanlah agen bagi satu macam pandangan
atau propaganda negara. Media dianggap ‘bebas’ ketika ia tidak dikontrol secara
terpusat. Satu pun kontrol atas konten, mencerminkan kerugian bagi kebebasan.
Pada masa Demokrasi Liberal ini dapat digambarkan sebagai suatu lembaran
hitam dalam sejarah pers kita, karena untuk memperoleh pengaruh dan dukungan
pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliaran-aliaran politik yang
saling bertentangan menyalahgunakan “freedom of the press”, kadangala melampaui
batas-batas kesompanan. Malahan mendekati cara-cara yang biasanya dilakukan oleh
pers di negara-negara liberal seperti Amerika Serikat. Pada masa ini Koran-koran
sangat banyak bermunculan mulai dari surat kabar Belanda , seperti Java Bode, de
Locomotief, Algemeen Indisch Dagblad de Preanger Bode, Nieuwgier dan Nieuwe
Courant. Koran-koran Belanda tersebut diberikan kebebasan untuk mengeluarkan
segala macam pendapat, seperti dalam masalah Irian Barat banyak surat kabar
Belanda, mendukung kebijaksanaan Pemerintah Belanda.
Para Wartawana kita dalam masa Liberal ini banyak yang dihinggapi oleh jiwa
liberalistis dan penyakit sinisme. Presiden Sukarn sendiri menkonstatir di masa ini
timbulnya lima macam krisis dalam masyarakat kita, yaitu krisis kewibawaan, krisis
politik, krisis pandangan dalam Angkatang Bersenjata dan krisis moril. Selain itu
pada masa ini surat kabar mengalami oplah yang cukup besar, namun demikian oplah
yang cukup besar ini adalah bukan oplah surat kabar dalam bidang politik, ekonomi,
dll. Namun ternyata ialah surat kabar yang berlatar belakang surat kabar berbau
porno, seks, dll. Sementara Surat Kabar politik, hukum, dan ekonomi kalah telak
Karena pada masa itu masyarakat lebih tertarik pada hal yang berbau sensualitas dan
seks, akibat ialah banyak surat kabar yang mengalami kelesuan dan banyak yang
kemudian mengalami gulung tikar.
Pada zaman Demokrasi Liberal ini juga ada gejala-gejala atau pertanda yang
menunjukkan bahwa waktu itu pers banyak dibuat membuat fitnah, mencaci maki,
menjatuhkan martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran-ukuran
sopan-santun dan tatakrama. Maka kemudian mulai muncul beberapa pembredelan
terhadap beberapa majalah yang dinilai berbahaya. Dengan latar belakang kondisi
politik dan keamanan, penindakan keras yang meningkat terhadap pers dengan
sendirinya tidak dapat dihindarkan. Pada bulan September 1957, tidak kurang dari 13
pnerbitan pers di Jakarta terkena pembredelan sekaligus. Mereka adalah Harian
Rakyat, Pedoman, Indonesia Raya, Bintang Timur, Keng Po, Djiwa Baru, Merdeka,
Pemuda, Jawa Bode, Abadi, dan Kantor Berita Antara INPS.
Akhirnya pada era demokrasi terpimpin, akibat kegagalan Konstituante
menyusun Undang-undang dasar baru, maka kemudian Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, maka kemudian Indonesia memasuki era-baru
yaitu era Demokrasi Terpimpin. Media Massa harus diarahkan untuk mendorong aksi
massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki
keyakinan yang teguh tentang sosialisme agar dukungan bagi kelangsung Revolusi
dan peranannya dalam pembangunan nasional dapat terwujud.
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan
masih sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan
pergolakan di beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum
menarik diri masih terjadi. Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti
Belanda yang dilancarkan oleh surat kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga
menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia, diantaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh
Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya), serta Padjajaran dan Persatoean
(Bandung). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam empat halaman,
dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim. Pada Desember
1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar.
Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81 dengan tiras
283.000 eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi
pada Desember 1948. Sementara, jangkauan tiras berubah dari 500 menjadi 5.000
eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat
kebangsaan, mempertajam teknik berpolemik, dan mulai memperlihatkan peningkatan
semangat partisan.
Akibatnya, pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol
Soekarno. Wartawan Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin
sebagai pers manipol. Setelah harian Indonesia Raya dilarang terbit pada tahun 1961,
Mochtar Lubis, sang editor dipenjara di Madiun bersama PM Sutan Sjahrir,
Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, dan Soebadio
Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh Presiden Soekarno.
Kantor berita Antara selanjutnya berada dalam pengaruh kaum komunis, seiring
dengan semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian
sampai pada taraf kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan bersifat pro-
komunis. Surat kabar milik PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya meningkat menjadi
75.000 eksemplar pada tahun 1964 dan terus meningkat menjadi 85.000 eksemplar
pada tahun 1965. Hal ini kemudian mendorong para wartawan dari 10 surat kabar
yang tergabung dalam BPS (Barisan Pendukung Soekarno) gigih menentang PKI.
Pertentangan ini terlihat jelas pada isi berita harian Rakyat milik PKI melawan harian
Merdeka milik B.M. Diah. Namun, Soekarno ternyata lebih memihak PKI karena
menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai landasan kekuasaan daripada kaum
nasionalis. Sehingga pada bulan Februari dan Maret tahun 1965, 17 surat kabar yang
tergabung dalam BPS dilarang terbit.
Pada masa ini pula, muncul saluran televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI
yang awalnya digunakan untuk menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun,
setelah menayangkan acara tersebut, TVRI belum dapat meneruskan siarannya,
karena tidak adanya studio khusus dan keterlambatan persediaan film. Lalu, atas
desakan Yayasan Gelora Bung Karno, pemerintah membangun studio darurat sebagai
studio operasional TVRI yang memungkinkan siaran TVRI selama satu jam setiap
harinya, hingga akhirnya jam siaran TVRI terus bertambah dan pada tanggal 12
November 1962, TVRI mulai mengudara secara reguler setiap hari. TVRI berperan
sentral dalam proses komunikasi politik pemerintah. TVRI adalah medium untuk
mempromosikan program-program pemerintah, memperteguh konsensus nasional
tentang budaya nasional, pentingnya pembangunan, tertib hukum, dan menjaga
kemurnian identitas bangsa. TVRI lebih banyak diperlakukan sebagai alat propaganda
pemerintah untuk propaganda politik ke dalam dan ke luar negeri, serta medium
konsolidasi kekuasaan dan monopoli informasi oleh pemegang kekuasaan.
Pada masa ini juga pemerintah melarang penerbitan surat-surat kabar yang tidak
menggunakan huruf latin. Hal ini berarti melarang penerbitan pers yang menggunakan
aksara Cina. Jumlah surat kabar dan oplah pada tahun 1960 hampir tidak berbeda
dengan tahun sebelumnya. pada tahun 1959, oplah 94 surat kabar harian mencapai
1.036.500 lembar sedang oplah 273 jenis penerbitan lainnya berjumlah sedikir di atas
tiga juta lembar. Pada tahun 1960, jumah surat kabar harian mencapai 97 dengan
oplah sebanyak 1.0905000, sedang jumlah berbagai jenis penerbitan lainnya adalah
230 penerbitan dengan oplah sebanyak 3.350.000 lembar per terbit.

2.6 momen-momen penting perkembangan pers pada era orde lama dan
demokrasi terpimpin
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD
1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor
berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po
dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda
Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14,
antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa
dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan
memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya:
keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri
Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar,
majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang
diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa
perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith
dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-
badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar
perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai
jenis media dan saluran yang tersedia.
Sejarah pers bangsa Indonesia pada masa orde lama sangatlah panjang dan
banyak sekali peristiwa-peristiwayang terjadi didalamnya. Setelah penyerahan
kedaulatan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil
alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berusaha
menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada masa itu adalah
surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 6 September
1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober
1945, harian Indonesia Merdeka pada tanggal 4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh
Rosihan Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada
tanggal 29 Desember 1949 di Jakarta.
Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga
tahun 1959, Indonesia menetapkan menganut paham demokrasi liberal. Sesuai
namanya, pada masa ini, pers nasional sangat menikmati kebebasan pers yang
dimilikinya, terutama bagi wartawan politik. Pada masa ini pers nasional mengalami
perubahan fungsi dari pers perjuangan menjadi pers partisan yang menjadi corong
partai politik.
DAFTAR PUSTAKA

Aulia ‘Ulya “Pers Indonesia dari Masa ke Masa”, diakses dari


https://www.kompasiana.com/auliaulya/5517f336a333118107b6615d/pers-
indonesia-dari-masa-ke-masa, pada tanggal 19 Oktober 2020 pukul 20.15.
Efendi Akhmad, Perkembangan Pers di Indonesia, Jakarta: Alprin, 2020
Hasan, Pengertian dan Sejarah Pers. http:/hasangunawan23- pers.blogspot.co.id/
diunduh pada tanggal 3 Maret 2017, pukul 08.50.
Koran Sulindo, “Djawoto: Tokoh Pers yang Dihapus dari Sejarah Indonesia”, diakses
dari https://koransulindo.com/djawoto-tokoh-pers-yang-dihapus-dari-
sejarah-indonesia/, pada tanggal 19 Oktober 2020 pukul 21.59.
Matanas Petrik i, P.K. Ojong Pendiri Kompas: Mengajar, Menulis, Mengabarkan
Indonesia, diakses dari https://tirto.id/pk-ojong-pendiri-kompas-mengajar-
menulis-mengabarkan-indonesia-dCrW, pada tanggal 19 Oktober 2020 pukul
22.40.
Semma, Pers di Indonesia, Jakarta:LP3ES, 2008
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, Jakarta: Triyinco, 1946
Teguh Irfan, “Mochtar Lubis: Pembangkang Dua Rezim yang Tak Gentar
Berpolemik”, diakses dari https://tirto.id/mochtar-lubis-pembangkang-dua-
rezim-yang-tak-gentar-berpolemik-edqg, pada tanggal 19 Oktober 2020
pukul 22.15.
Tim LSPP, Media Sadar Publik, Jakarta: Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, Jakarta: Haji
Masagung, 1988
Tryan Akhmad Harits, “HPN 2020, Ini Deretan Tokoh Pers Nasional yang
Berpengaruh di Indonesia”, diakses dari
https://nasional.okezone.com/read/2020/02/08/337/2165284/hpn-2020-ini-
deretan-tokoh-pers-nasional-yang-berpengaruh-di-indonesia?page=2, pada
tanggal 19 Oktober 2020 pukul 21.30.
Videlia Putsanra Dipna, “Siapa Ani Idrus yang Jadi Google Doodle 25 November
Hari Ini?, diakses dari https://tirto.id/siapa-ani-idrus-yang-jadi-google-
doodle-25-november-hari-ini-emgG, pada tanggal 19 Oktober 2020 pukul
21.45.

Anda mungkin juga menyukai