Anda di halaman 1dari 20

Fitya Maulina Nugroho (13/345855/SP/25568) Hanifa Eka Ramadhyani (13/345985/SP/25599) Mutia Silviani Alfakhah (13/346021/SP/25613) Ryma Aulia Praharsiwi

(13/346032/SP/25619) Salma Dewi Nugraheni (13/346522/SP/25622) Lintang Cahyaningsih (13/349616/SP/25827) Primadika Dwijantara (13/353210/SP/25962)

Sebelum meraih kemerdekaan, Indonesia telah dijajah

oleh banyak negara, salah satunya adalah Jepang. Kedatangan Jepang ke Indonesia dipicu dengan adanya Perang Dunia II, yang diawali penyerangan Jepang ke Pearl Harbour, Hawaii pada 7 Desember 1941. Pendudukan Jepang di Indonesia memberikan banyak dampak, baik dari segi ekonomi, sosial, politik, budaya maupun militer. Di bidang politik, Jepang memberikan dampak cukup besar, salah satunya mencakup kebebasan pers di Indonesia.

Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam bukunya The

Elements of Journalism, merumuskan bahwa jurnalisme, yang menjadi sumber kekuatan pers nasional, harus mengutamakan kebenaran. Namun, pada masa pendudukan Jepang, hal ini mengalami penyelewengan. Pers yang seharusnya digunakan sebagai media penyebar informasi masyarakat justru digunakan sebagai media pencitraan Jepang.

Secara harfiah, pers berarti cetak, yang dapat

dimaknai sebagai informasi yang dicetak. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa seperti koran, radio, televisi dan film yang mengutarakan informasi kepada publik.

Sejarah keberadaan pers di Indonesia tak bisa

dipisahkan dari kehadiran Bangsa Eropa. Pasalnya, sebelum kehadiran mereka, belum ditemukan adanya media massa dalam bentuk surat kabar maupun radio, televisi dan film di Indonesia. Dr. De Haan dalam bukunya, Oud Batavia, mengungkapkan bahwa sejak abad ketujuhbelas, di Batavia sudah terdapat banyak surat kabar yang terbit secara berkala yang umumnya memberitakan tentang bangsa-bangsa Eropa seperti Perancis, Belanda, dan Inggris.Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu dunia pers sudah mulai dirintis di Eropa

Keberadaan surat kabar berkala terbitan Bangsa Eropa

tersebut memicu semangat pemerintah kolonial dan mulai pertengahan abad ketujuhbelas, muncul banyak surat kabar terbitan penguasa dalam negeri. Namun, hingga abad kesembilanbelas, seluruh surat kabar yang muncul masih menggunakan Bahasa Belanda. Pada tahun 1907, muncul sebuah surat kabar yang dikelola sepenuhnya oleh kaum pribumi, bernama Medan Prijaji. Kemunculan surat kabar ini menandakan permulaan Bangsa Indonesia menggunakan pers sebagai salah satu media berpolitik.

Hadirnya Medan Prijaji mengobarkan semangat

pergerakan bangsa. Media massa mulai digunakan sebagai sarana pergerakan dan pembangkit semangat rakyat. Beberapa aktivis pergerakan kemudian terinspirasi oleh kehadiran Medan Prijaji dan mulai menerbitkan surat kabar mereka sendiri, contohnya Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dengan surat kabar Oetoesan Hindia.

Karena banyaknya penentangan terhadap pemerintah

menggunakan surat kabar sebagai media, maka dibuatlah undang-undang yang mengatur tentang kebebasan pers oleh Belanda. Melalui pemberlakuan undang-undang tersebut, tokoh-tokoh politik Indonesia yang rajin bersuara melalui media massa seperti Soekarno, Syahrir dan Moh. Hatta dibuang ke Boven Digul. Hal itu dilakukan Gubernur Jenderal De Jonge karena tulisan-tulisan mereka dinilai memusuhi pemerintah HindiaBelanda.

Setelah kekuasaan Belanda di Indonesia diserahkan pada Jepang,

kebebasan pers di Indonesia makin tak diakui. Jepang yang berusaha masuk dengan cara memikat hati Bangsa Indonesia justru menggunakan politik dan media massa sebagai media pencitraan. Gerakan 3A (Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia) yang diusung Jepang menjadi dasar pencampurtanganan mereka dalam berbagai bidang di Indonesia. Jepang mencoba menarik simpati rakyat Indonesia supaya mendapat dukungan dalam menghadapi Perang Asia Timur Raya. Jepang menyatakan diri sebagai saudara tua Indonesia yang akan membantu mengusir Belanda. Dengan dasar-dasar tersebut, Jepang memulai kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi keadaan sosial dan politik Indonesia. Kebijakankebijakan tersebut diharapkan dapat memperbaiki citra Jepang di mata rakyat Indonesia.

Salah satu kebijakan Jepang dalam menghimpun simpati

rakyat adalah dengan menggunakan media massa seperti surat kabar. Pada masa pendudukan Jepang, dilakukan pembatasan pers, sehingga tak ada lagi pers yang bersifat independen. Pada awal masa pendudukannya, Jepang mengeluarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1942 mengenai izin terbit. Para tokoh-tokoh pergerakan yang melanggar undangundang tersebut dengan menerbitkan surat kabar pergerakan dijebloskan ke dalam penjara. Banyak surat kabar dibredel karena tak sesuai dengan keinginan Jepang. Pembatasan pers yang dilakukan Jepang jauh lebih ketat dibandingkan pembatasan pers yang diberlakukan Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, hanya ada beberapa

surat kabar yang diperbolehkan beredar, antara lain Asia Raya, Tjahaja dan Sinar Matahari yang juga merupakan bentukan Jepang. Asia Raya merupakan surat kabar yang diterbitkan oleh Barisan Pemuda Asia Raya pimpinan Sukarjo Wiryopranoto. Ia menggunakan Bahasa Indonesia dalam penulisannya.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Asia Raya terus

terbit dan membahas tentang sistem pemerintahan baru yang dijalankan oleh rakyat Indonesia. Surat kabar ini terus memberitakan hal-hal penting seputar keadaan di Jepang, seperti pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Pada 7 September 1945, Asia Raya edisi terakhir diterbitkan. Penghentian penerbitan surat kabar ini dikarenakan terjadinya pergantian pemerintahan Indonesia kembali ke Belanda.

Asia Raya merupakan salah satu media propaganda

Jepang dalam menjalankan visinya dan merupakan salah satu surat kabar yang hanya memberitakan halhal baik seputar pemerintahan Jepang dan tidak memberitakan hal-hal negatif seperti kejahatan perang Jepang. Dari segi bahasa, Asia Raya sering menggunakan bahasa pro-Jepang. Ia menggunakan kata-kata sifat yang berlebihan untuk menggambarkan keadaan. Jepang sering disebut sebagai yang berani dan kuat, sedangkan sekutu sebagai yang ragu-ragu dan lemah.

Selain Asia Raya, Jepang turut mengawasi media

penerbitan melalui surat kabar Tjahaja. Semua surat kabar yang berada di Bandung dan sekitar Jawa Barat ditutup oleh Jepang dan disatukan menjadi surat kabar Tjahaja. Surat kabar ini berada di bawah pengawasan Sandenbu. Di Yogyakarta, diterbitkan surat kabar bernama Sinar Matahari. Setelah pendudukan Jepang berakhir, Sinar Matahari berganti nama menjadi Kedaulatan Rakyat.

Seluruh surat kabar yang mempunyai izin terbit dari

Jepang merupakan surat kabar pro-Jepang. Nama-nama yang digunakan sebagai judul surat kabar pun menegaskan besarnya peranan Jepang dalam surat kabar tersebut. Seperti :
Asia Raya, merupakan penyimbolan visi Jepang untuk

menyatukan Asia. Tjahaja menyimbolkan salah satu poin dari gerakan 3A, Jepang Cahaya Asia. Sinar Matahari menyimbolkan Jepang yang biasa disebut Nippon, negeri cahaya matahari yang juga berasal dari kebudayaan rakyat Jepang yang biasa menyembah matahari.

Kebebasan pers tidak dihargai pada masa pemerintah

Jepang. Pers yang seharusnya berfungsi sebagai penyebar informasi justru dialihfungsikan sebagai media pencitraan Jepang. Kebebasan pers yang sangat terbatas selama masa penjajahan justru sekarang benar-benar bebas. Jika pada masa penjajahan Jepang hanya ada lima surat kabar yang diakui, sekarang berkembang menjadi lebih dari 358 media penerbitan. Selain media cetak, media massa lainnya juga tak kalah berkembang. Hingga saat ini, terdapat puluhan stasiun televisi dan ribuan stasiun radio, baik swasta, komunitas maupun milik pemerintah.

Banyaknya jumlah media massa di Indonesia sekarang

menunjukkan kebebasan pers yang semakin diakui. Sekarang hampir tak dijumpai pembredelan-pembredelan seperti pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Hal ini juga karena diberlakukannya Undang-Undang No. 40 tahun 1999 di era reformasi tentang kebebasan pers yang berdasar pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Setelah diberlakukannya undang-undang ini, media massa berkembang dengan sangat pesat. [Yang ini gak usah dihafal gpp]*)Banyak pihak mendirikan perusahaan media massa, baik yang berupa stasiun televisi, stasiun radio, penerbitan maupun melalui film, foto dan media baru. Akses terhadap informasi-informasi penting dapat diperoleh dengan mudah, cepat dan murah.

Karena undang-undang kebebasan pers yang

diberlakukan, media massa sekarang sudah tak perlu takut lagi menantang kebijakan pemerintah. Banyak dari mereka yang secara terang-terangan mengkritik sikap pemerintah, tentunya sesuai dengan asas kebenaran yang dipandang secara fungsional. Kebebasan pers yang diperoleh media massa sekarang ini membuat status sosial seseorang tak lagi dipandang sebagai penutup mulut.

Pers atau media massa mulai dikenal Bangsa Indonesia sejak zaman

penjajahan Belanda. Pada masa pendudukan Belanda, pers mulai digunakan sebagai media penghimpun suara rakyat dan penentang kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda. Banyak dilakukan pembredelan surat kabar karena terang-terangan melakukan penentangan pada pemerintah. Berbeda dengan zaman pendudukan Belanda, pada pendudukan Jepang, surat kabar yang memiliki izin terbit hanya mereka yang pro-Jepang. Media massa pun menjadi sarana pencitraan Jepang dengan pelarangan penerbitan bagi mereka yang menentang. Jepang digambarkan sebagai sosok yang luar biasa hebat dalam media-media tersebut. Pada masa pemerintahan modern seperti sekarang, kebebasan pers diakui sejak era reformasi. Tak ada lagi faktor-faktor yang dapat menghambat independensi media massa. Mereka bebas memberitakan kebenaran asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Hal ini membuat media tak jarang terang-terangan menentang sikap yang diambil pemerintah. Dengan berlakunya kebebasan pers, rakyat dapat menerima informasi dengan cepat, mudah dan murah.

Kovach, Bill & Rosentiel, Tom (2007).The Elements of

Journalism Surjomihardjo, Abdurrachman (2002).Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas http://www.sejarahpers.com

Anda mungkin juga menyukai