Anda di halaman 1dari 2

NARIA NINDYA DEWATI/13/12 IPS 1

Sejarah Pers Indonesia


Pers merupakan usaha pengumpulan dan penyiaran berita yang ada sejak zaman
Romawi Kuno. Di Indonesia sendiri, pers pada masa pergerakan nasional digunakan untuk
mengkritik pemerintahan kolonial Belanda. Orde reformasi membawa pengaruh besar bagi pers
Indonesia. Pers yang dahulu sangat dibatasi kini berkembang pesat menjadi sarana komunikasi
dan pengawasan atas jalannya sistem pemerintahan. Pers juga merupakan sarana terciptanya
demokrasi dan kebebasan mengeluarkan pendapat yang diatur dalam pasal 28 dan 28F
Undang-Undang Dasar 1945.

Perkembangan pers di Indonesia diawali pada masa kolonial Belanda sekitar abad ke 17
dengan terbitnya beberapa Koran dan surat kabar di Batavia bernama Kort Bericht Eropa atau
disebut berita singkat eropa yang memuat berita dari Polandia, Perancis, Jerman, Belanda,
Spanyol, Inggris dan Demark. Setelah itu terbit surat kabar lain dengan bahasa belanda seperti
Bataviase Nouvelles, Vendu Nieuws dan Bataviasche Koloniale Courant. Selain sebagai media
penyalur informasi dan pendokumentasi peristiwa yang terjadi, surat kabar yang diterbitkan
Belanda digunakan Belanda untuk mempropagandakan kekuasaannya di Indonesia.

Pada tahun 1903 terbit surat kabar “Medan Prijaji” dengan Tirtohadisoerjo sebagai
pendirinya. Surat kabar ini merupakan surat kabar pertama yang dikelola oleh pribumi sendiri
yang tentunya disambut hangat oleh bangsa Indonesia untuk memperjuangkan pergerakan
nasional. Tak hanya itu, Sarekat Islam juga menerbitkan harian Oetosan Hindia yang disusul
dengan terbitnya surat kabar lain seperti “Api, halilintar dan nyala” oleh Semaun, “Guntur
bergerak dan Hinda Bergerak” oleh Ki Hajar Dewantara, dan “Suara rakyat dan Sinar Merdeka”
oleh Soekarno pada 1926. Dalam penulisannya, surat kabar karya pribumi ini membicarakan
mengenai kesengsaraan pribumi akibat kolonialisme Belanda.

Masa penjajahan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942-1945 berdampak pada pers
Indonesia. Jepang mendirikan Jawa Shibun Kai dan cabang kantor domei yang menggabungkan
dua kantor berita agar pengawasannya lebih efektif. Pada masa ini juga terbit beberapa media
harian seperti Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia si Surabaya, dan Tjahaya
di Bandung. Konten yang dimuat pada surat kabarpun diisi dengan propaganda-propaganda
dan pujian terhadap pemerintah Jepang guna kepentingan Perang Asia Timur Raya.

Dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia pada 1945 tokoh nasionalis dan
wartawan ikut serta dalam kegiatan kenegaraan, seperti Soekarno, Moh.Hatta, Sukardjo
Wirjopranoto, Iwa Kusumasumatri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi,
Adam Malik, B.M Diah, Sayuti Melik, Sutan Syahrir, dan beberapa tokoh lain.
Pasca Kemerdekaan Indonesia, berita Proklamasi disebarluaskan melalui surat kabar,
dan radio. Pers Indonesia pada pasca kemerdekaan mengalami perkembangan, seperti
didirikannya Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945, berdirinya Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946, dan berkembangnya kantor-kantor surat
kabar di berbagai daerah di Indonesia. Namun sayangnya, setelah kedatangan sekutu ke
Indonesia pers yang sedang berkembang saat itu dibatasi.

Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers di Indonesia
semakin sulit dan berat. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu amat sangatlah
terhambat karena pihak Belanda melakukan penyerangan terhadap kantor-kantor surat berita
dan menangkap para pemimpin redaksi dan wartawan.

Di masa orde lama atau demokrasi terpimpin dalam kurun waktu 1959-1965 keluar
larangan berpolitik dan mengeluarkan pendapat. Saat itu tiap penerbit wajib mengajukan
permohonan SIT (Surat Izin Terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak) sebagai pengesahan adanya
kegiatan penyiaran.

Langkah awal dalam merumusakan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar negara
Pancasila dan UUD 1945 yaitu dengan dikeluarkannya MPRS No.XXXII/MPRS/1966 pada 6 Juli
1966 dan UU No.11/1966 sebagai undang-undang pokok pers. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto pers sangat dibatasi demi kepentingan pemerintah, konten yang dibuat tidak
boleh bertentangan pemerintah, dan memperkuat status quo.

Runtuhnya rezim Soeharto pada 1998 merupakan awal kebebasan pers di Indonesia.
Pada masa ini pers telah memainkan perannya sebagai media komunikasi antara rakyat dengan
pemerintah, penyebarluasan informasi dalam penentuan sikap, memfasilitasi opini public dan
mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.

Pers yang bebas dan bertanggung jawab merupakan salah satu komponen esensial dari
masyarakat yang demokratis. Pers dalam hal ini haruslah memberikan berita yang objektif agar
tidak terjadi ketimpangan informasi antara rakyat dan jalannya pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai