Anda di halaman 1dari 2

Abdurrachman Surjomihardjo

Sejarah Pers di Indonesia

Bab II Pers di Indonesia, Ikhtisar Perkembangan sampai 1945

Pers Belanda

Perkembangan sejarah pers Belanda sampai akhir abad ke-19 di Hindia Belanda bertalian erat
dengan suasana masyarakat kolonial. Sebagai daerah jajahan, penduduk yang dipentingkan ialah
penduduk Belanda. Namun, mereka tidak diperintah melalui badan perwakilan, seperti di ibu
negerinya. Para pejabat kompeni Belanda memerintah dengan otoriter dan mempertahankan sistem
kasta, sebagai ciri masyarakat kolonial, dalam mengatur kehidupan dan penghidupan di Hindia
Belanda. Suatu media massa, yang dapat membuka kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat
umum terhadap kebijakan pemerintah, tidak mendapat izin untuk terbit. (hlm. 25)

Pers Indonesia (hlm 61)

Perkembangan pers daerah dan bahasa Melayu terdapat dalam sejarah uraian awal tentang pers di
Indonesia pada tahun 1909, oleh E.F.E Dowes Dekker ( di kemudian hari lebih dikenal sebagai Dr.
Danudirdja Setiabudi) yang waktu itu menjadi redaktur pembantu surat kabar Bataviaasch niewsblad
di Jakarta. Ia menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting dari pada pers Belanda,
karena pers itu langsung dapat menarik pembaca-pembaca bumiputra.

Dalam waktu singkat, pers itu dapat meluas ke segala arah, sungguhpun kecepatan perkembangan
dipengaruhi oleh pers Belanda dan Melayu-Tionghoa di Indonesia. Pers Belanda itu sendiri
mengalami perjuangan yang panjang untuk tercapainya kebebasan pers.

Perkembangan pers bumiputra atau yang berbahasa Melayu menimbulkan pemikiran di kalangan
pemerintah kolonial untuk menerbitkan sendiri surat kabar berbahasa melayu yang cukup besar dan
dengan sumber-sumber pemberitaan yang baik. Ciri-ciri pers berbahasa Melayu ialah lingkungan
pembacanya yang dituju atau yang menjadi langganan.

Pertama, surat kabar yang berisi berita atau karangan yang jelas hanya untuk golongan keturunana
Tionghoa, seperti terjadi dengan surat kabar yang terbit di Jakarta, Surabaya dan beberapa yang
terbit di Semarang.

Kedua, surat kabar berbahasa Melayu, yang dibiayai dan dikerjakan oleh orang-orang Tionghoa,
namun lingkungan pembacanya terutama penduduk bumiputra.

Ketiga, surat kabar yang terutama dibaca oleh kedua golongan itu. Menurut Douwes Dekker, secara
kronologis surat kabar berbahasan Melayu yang tertua ialaha Bintang Soerabaja (1861). Siinya selalu
menentang pemerintah dan berpengaruh di kalangan orang-orang Tionghoa dari partai modern di
Jawa Timur. Lain surat kabar di Surabaya yang senada ialah Pewarta Soerabaja 91902), dengan
pembaca terbanyak golongan Tionghoa. Pemimpin redaksi kedua surat kabar itu masing-masing
ialah Courant dan H. Homer.

Pelopor pers nasional ialah Medan Prijaji (waktu itu terbit sebagai mingguan). Sesuai dengan
namanya, Medan Prijaji merupakan suara golongan priyayi, lingkungan pembaca yang ingin dicapai
ialah “anak Hindia”. Pemimpin redaksinya adalah R.M. Tirtoadisuryo. Terbiit pada tahun 1907 dam
sejak 1910 sebagai harian. Surat kabat penting di semarang ialah Warna Warta di bawah pimpinan
J.P.H Pangemanan. Karena seringnye menyerang pemerintah, redakturnya beberapa kali diadili
karena tulisan-tulisannya.

Di Jakarta, menjelang abad ke-20 terbit Taman Sari (1898) di bawah F. Wiggers, Pemberita Betawi
(1874) dipimpin oleh J. Hendriks. Di Bandung, Raden Ngabehi Tjitro adiwinoto sejak 1894 memimpin
Pewarta Hindia, sedangkan di Semarang Bintang Pagi (1907) dan Sinar Djawa (1899) masing-masing
dipimpin The MO Hoat dan Sie Hang Ling. Bintang Pagi populer di kalangan Tionghoa modern karena
oposisinya yang keras terhadap pemerintahan Manchu.

Sebuah penerbitan yang khusus ditujukan kepada kaum wanita adalah Poetri Hindia (1907) dipimpin
oleh R. Tirtokoesoemo. Juga Soeloeh Keadilan dan Soeloeh Pengajar terbit di Jakarta dengan
pimpinan Raden Sosro Danoekoesoemo.

Perkembangan surat kabar di Indonesia itu kecuali dipengaruhi oleh pers Belanda, juga karena
adanya penerbitan-penerbitan dan percetakan-percetakan yang dimiliki orang-orang Belanda dan
Tionghoa di Kota-kota terpenting. Keadaan itu merupakan petunjuk munculnya unsur-unsur
perubahan masyarakat kota, terutama di Jawa. Hal itu tentu bertalian pula dengan makin
berkembangnya ekonomi, terutama perdagangan yang memerlukan konsumen dan nasabah.

Mungkin sekali Raden Mas tirtoadisuryo seorang pengusaha pertama Indonesia yang bergerak di
bidang penerbitan dan percetakan. Ia juga dianggap sebagai wartawan Indonesia yang pertama-
tama menggunakan surat kabar sebagai alat untuk membentuk pendapat umum. Rupa dan andam
(opmaak) suratkabar yang diterbitkan memberi kesan menyegarkan pada zaman itu, karena
pemuatan karangan, warta berita, pengumuman, iklan dan sebagainya disusun secara baru. Sebagai
haluan surat kabar Medan Prijaji (1907) tercantum di bawah judul dengan huruf tabal “organ boeat
sebagai bangsa yang terperentah di HO (Hindia Olanda) tempat akan memboeka swaranya anak-
Hindia”. Kota Bandung merupakan tempat lahirnya Medan Prijaji itu.

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang
diri Tirtoadisuryo sebagai berikut:

Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo, ada seorang wartawan modern yang menarik
perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R. M.

Anda mungkin juga menyukai