Anda di halaman 1dari 13

SURAT-SURAT KABAR PADA MASA HINDIA BELANDA

tahun 1744 Bataviasche Nouvelles,


tahun 1828 Javasche Courant di Jakarta yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita
lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa.
tahun 1828 Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan berita-berita
umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).
tahun 1828 Soerabajasch Advertantiebland yang kemudian berganti menjadi Soerabajasch
Niews en Advertantiebland.
tahun 1828 Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche Courant.
tahun 1828 Soematra Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe.
tahun 1828 Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Tahun 1885 Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor),
Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar
berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.
Sejarah
Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari bisa menjadi momen suka cita atau
polemik. Yang disebut terakhir lebih sering dibicarakan.
Alasannya sederhana. Tanggal tersebut disahkan oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan
Presiden Nomor 5 Tahun 1985, merujuk pada hari ulang tahun dari Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), organisasi profesi wartawan yang dianggap sebagai pertama di Indonesia,
didirikan pada 9 Februari 1946.
Klaim tersebut dianggap bermasalah karena dua alasan. Pertama, PWI bukanlah organisasi
wartawan pertama di Indonesia, mengingat sejak era pergerakan sudah berdiri perkumpulan-
perkumpulan wartawan lain, misalnya Inlandsche Journalisten Bond yang didirikan Mas
Marco Kartodikromo pada 1914.
Kedua, bijakkah menentukan 1946 sebagai titik awal pers Indonesia? Bagaimana dengan
peran pers Indonesia sebelum kemerdekaan, atau, geliat pers golongan non-pribumi seperti
kelompok Belanda dan Cina peranakan; apakah mereka akan dieliminasikan begitu saja
dalam narasi sejarah pers Indonesia?

Terlepas dari latar belakang politis dan historis penentuan Hari Pers Nasional, rasanya tidak
salah untuk kini memahami lebih jauh peranan pers Belanda dalam narasi sejarah Indonesia.
Apakah mereka selalu menjadi antagonis, seperti hal-hal lain yang memiliki label Belanda di
dalamnya, dalam sejarah? Atau mereka memang pantas terlupakan karena dianggap tidak ada
sangkut paut dengan apa yang disebut pers Indonesia nasionalis, yang konfrontatif dan
revolusioner?
Apa pun argumennya, orang-orang Belanda adalah yang pertama memperkenalkan aktivitas
pers modern di Indonesia. Tepatnya di Batavia, ketika Belanda mulai membangun pijakan
permanen untuk melanggengkan hegemoninya di Nusantara pada awal abad ke-17 silam.
Hal itu bermula, menurut sejarawan kolonial Frederik de Haan, dari inisiatif pegawai
“Kompeni” Serikat Dagang Hindia Timur (VOC), Jan Pieterszoon Coen untuk menggagas
terbitan internal, namanya Memorie der Nouvelles, kira-kira tahun 1619. Terbitan itu berisi
informasi ringkas mengenai kegiatan perdagangan di pos-pos dagang Belanda dan diedarkan
di kalangan pegawai VOC. Bentuknya berupa kertas folio empat halaman yang isinya ditulis
tangan.
Sedangkan apa yang disebut sebagai koran pertama Belanda, bahkan mungkin koran pertama
di dunia, adalah Courante uyt Italien, Duytslandt, &c.yang terbit di Amsterdam pada Juni
1618.
Negeri Belanda abad ke-17 adalah surga para pemikir bebas Eropa. Kebebasan berekspresi di
Belanda menyebabkan industri percetakan berkembang pesat, bahkan banyak buku terlarang
negara lain dapat dicetak dengan bebas di sana.
Namun, kebebasan itu tidak berlaku di koloni-koloni dagangnya. Nyaris tidak ada catatan
mengenai koran-koran Belanda di Nusantara sejak munculnya Memorie der Nouvelles sampai
seabad lewat setelahnya ketika Gubernur Jenderal VOC yang liberal, Gustaaf Willem Baron
von Imhoff, mengizinkan dicetaknya Bataviasche Nouvelles en Politique
Raisonnementes pada 1745. Pemrakarsanya adalah pegawai VOC bernama Jan Erdman
Jordens dan lisensi terbitnya pun diberikan untuk jangka waktu tiga tahun.
Bataviasche Nouvelles merupakan produk mesin cetak yang telah masuk ke Hindia beberapa
dekade sebelumnya. Ia terbit empat halaman seminggu sekali. Selain berisikan informasi-
informasi pemerintahan VOC, ia juga memuat aneka ragam berita hiburan dan iklan lelang,
serta karangan-karangan singkat mengenai sejarah koloni Belanda di Hindia dan gerejanya.
Sejarawan Kasijanto Sastrodinomo dalam tulisannya, “Media dan Monopoli Dagang”, terbit
di jurnal Wacana vol. 10 (2008), menulis bahwa Bataviasche Nouvelles mencoba
menghindari debat politik karena relasinya yang begitu dekat dengan penguasa, dan hidup
matinya terbitan tersebut sangat ditentukan oleh kemauan petinggi-petinggi
VOC. Bataviasche Nouvelles begitu populer, sampai Tuan-tuan XVII, kelompok dewan
direktur VOC di Amsterdam, memutuskan untuk membredelnya karena khawatir koran
tersebut berpotensi membocorkan informasi rahasia perusahaan.
Pada 20 Juni 1746, Bataviasche Nouvelles berhenti cetak. Kasijanto berpendapat setidaknya
VOC mensyaratkan tiga hal dari koran yang mendapatkan izin terbitnya. Pertama, harus
bersih dari politik. Kedua, tidak mengganggu kepentingan pejabat. Dan ketiga, tidak
menggerus arus keuntungan VOC.
Syarat-syarat tersebut sebenarnya telah dilengkapi oleh Bataviasche Nouvelles, namun entah
kenapa ia dibredel. Baru pada 1776, terbit koran kedua bernama Vendu Nieuws di Batavia
yang memberitakan iklan-iklan lelang dan dikenal di kalangan kaum pribumi sebagai “Soerat
Lelang”. Koran tersebut diawasi ketat oleh VOC dan terbit sampai tahun 1809, di saat VOC
sendiri telah kolaps pada 31 Desember 1799.
Koran Belanda baru muncul kembali pada 1828 dengan nama Javasche Courant, yang
sebelumnya bernama Bataviasche Courant dan merupakan penerus dari koran-koran
pemerintah di masa Daendels (Bataviasche Koloniale Courant) dan Raffles (Java
Government Gazette). Javasche Courantyang terbit di Batavia menjadi corong suara resmi
pemerintah kolonial Hindia Belanda dan juga membuka wadah bagi siapa pun yang ingin
membagikan pengetahuan mereka tentang Hindia untuk ikut berkontribusi menulis di
dalamnya.
Satu hal yang menarik dari Javasche Courant adalah bahwa ia ikut mempelopori pers modern
Jepang. Pada 1862, pemerintah Tokugawa mencetak Kanpan Batabia Shimbun, yang dari
namanya sudah terlihat bahwa koran tersebut berkiblat pada Batavia; walau tidak berumur
panjang. Dan memang koran berkala pertama Jepang tersebut menerjemahkan berita-berita
dari Javasche Courant, khususnya berita-berita internasional seperti dari Inggris, Amerika
Serikat, dan Rusia, untuk kalangan pembaca Jepang.
Pertengahan abad ke-19 merupakan titik tolak dinamika pers Belanda. Javasche
Courant memang terbukti digdaya, ia terus terbit sampai Hindia Belanda runtuh oleh Jepang
tahun 1942. Namun, kelonggaran kebijakan pers dan munculnya kelas intelektual Belanda
yang berani mengambil posisi oposisi terhadap pemerintah kolonial di abad ke-19 lantas
memunculkan fenomena baru: pers Belanda independen
SURAT-SURAT KABAR PADA MASA HINDIA BELANDA

tahun 1744 Bataviasche Nouvelles,


tahun 1828 Javasche Courant di Jakarta yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita
lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa.
tahun 1828 Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan berita-berita
umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).
tahun 1828 Soerabajasch Advertantiebland yang kemudian berganti menjadi Soerabajasch
Niews en Advertantiebland.
tahun 1828 Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche Courant.
tahun 1828 Soematra Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe.
tahun 1828 Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Tahun 1885 Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor),
Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar
berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.
Mengenal Pers Masa Kolonial dan Orde Lama
Penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang di Indonesia memiliki peran penting
dalam membentuk pola dan corak pers di negeri ini. Belanda juga disebut sebagai pemicu
hadirnya dunia pers di Indonesia,dan telah mempelopori dunia pers Indonesia, karena
mediamasa belum ditemukan di Indonesia sebelum kehadiran mereka ketanah air .Awal mula
adanya dunia pers di Indonesia.

Demikian halnya dengan Jepang, sebab selama kurun waktu sekitar 350 tahun, kedua negara
tersebut pernah menjajah Indonesia, sehingga segala bentuk kebijakan atas pengelolaan
negara, termasuk dalam dunia pers juga mewarnai Indonesia.

Maka pada masa itu, fase penjajahan pers bisa digolong kepada dua fase, yakni fase pada
masa Hindia Belanda dan fase pada masa Pemerintahan Jepang.

Kedua negara ini, memiliki aturan dan ketentuan sendiri tentang pola dan corak pers yang
diperbolehkan terbit di Indonesia kala itu. Sebab, sebagai negara penjajah, pers yang
diterbitkan adalah berorientasi pada upaya untuk mempertahankan kekuasaan, disamping
untuk mensosialisasikan program pemerintahan yang dinilai baik, dan mendukung kebijakan
negara.

Pers Pada Masa Penjajahan Belanda


Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita- berita
resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan
di Surabaya terbit koran Soerabajash Advertentiebland pada tahun 1835 yang kemudian
namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland.

Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant dan di


Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara
Melajoe. Terbitnya surat kabar saat pada penjajahan Belanda ini, juga terjadi di sejumlah kota
lain, seperti di Makassar. Kala itu terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland.

Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih
merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali
terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum
diperiksa oleh penguasa setempat.

Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa
Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-
Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayudan Tjahaja Moelia, Pemberitaan
Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar berbahasa Jawa Bromartani yang terbit di Solo.

Meski terbit surat kabar di masa kolonial Belanda kala itu tidak mempunyai arti secara
politik, karena isinya hanya iklan dan hiburan, akan tetapi aturan tentang penerbitan oleh
Pemerintah Hindia Belanda sedemikian ketat.

Peraturan Pertama mengenai pers dikeluarkan pada tahun 1856. Aturan ini bersifat bersifat
“pengawasan preventif” sebagaimana tertuang dalam RR (KB 8 April 1856 Ind.Stb.No74).
Isinya menyebutkan bahwa isi semua karya cetak sebelum diterbitkan dikirim terlebih dahulu
kepada pemerintahan setempat, pejabat justisi dan Algemene Secretarie oleh pencetak atau
penerbitnya dengan ditanda tangani.

Pada tahun 1906 Pemerintah Hindia Belanda mengubah aturan tentang ketentuan pers ini
sebagaimana tertuang dalam KB 19 Maret 106 Ind.Stb.No.270. Aturan ini bersifat
“pengawasan represif”, yakni pencetak atau penerbit diharusnya menyerahkan koran yang
telah dicetak kepada pejabat setempat, maksimal 24 jam setelah terbit atau diedarkan.
Keberadaan pers di masa Pemerintahan Kolonial Belanda nampaknya mengalami
perkembangan, sehingga koran yang terbit kala itu, berkembang dari sekadar berisi iklan
lelang dan hiburan, menjadi media publik yang berisi berita tentang kebijakan pemerintahan.
Perkembangan ini, membuat pemerintah mengeluarkan ketentuan baru, pada tahun 1931 yang
disebut “Persbreidel Ordonnantie”, yakni pada 7 September 1931 .

Ketentuan ini, menegaskan adanya larangan penerbitan bagi pers yang dinilai bisa
mengganggu ketertiban umum dan melanggar kekuasaan pemerintahan Belanda kala itu .
SURAT-SURAT KABAR PADA MASA HINDIA BELANDA

tahun 1744 Bataviasche Nouvelles,


tahun 1828 Javasche Courant di Jakarta yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita
lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa.
tahun 1828 Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan berita-berita
umum yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant).
tahun 1828 Soerabajasch Advertantiebland yang kemudian berganti menjadi Soerabajasch
Niews en Advertantiebland.
tahun 1828 Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche Courant.
tahun 1828 Soematra Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe.
tahun 1828 Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.
Tahun 1885 Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor),
Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar
berbahasa Jawa, Bromatani yang terbit di Solo.
Dalam dua dekade itu, saya mencatat sekitar 180 jenis suratkabar beredar di Batavia
(Jakarta). Suratkabar-suratkabar itu tidak terbit harian tapi seminggu sekali, dua minggu
sekali, atau seminggu tiga kali. Baru belakangan terbit setiap hari yang dimulai oleh
suratkabar Perniagaan. Terbatasnya sumber daya menjadi alasan utama. Di masa itu sebuah
suratkabar ada yang dikerjakan kurang dari 10 orang.

Sirkulasi merupakan andalan utama bagi kelangsungan hidup suratkabar tersebut. Tapi
sirkulasi sangat terbatas. De Locomotief misalnya, salah satu suratkabar terkemuka zaman
itu, sirkulasinya hanya 25 ribu eksemplar, Soerabaiaasch Handelsblat 20 ribu eksemplar, Java
Bode 18 ribu eksemplar. Suratkabar-suratkabar yang dikelola priyayi Jawa atau Melayu,
misalnya Pemandangan, Pewarta Deli, atau Soeara Oemoem, oplahnya di bawah enam ribu.
Lainnya masih di bawah 1.000 eksemplar.

Suratkabar-suratkabar ini umumnya terdiri dari empat halaman, kurang lebih seukuran
tabloid zaman ini. Sebagian besar berisi pengumuman lelang, perjalanan kapal laut, lembaran
negara yang berisi kebijakan pemerintah, dan informasi lainnya. Teknologi fotografi belum
dipakai di kalangan suratkabar Hindia Belanda, maka sebagai ilustrasi, dipakai gambar-
gambar dengan teknik etsa atau lithographi (Suratkabar Amerika Serikat mulai memakai foto
ketika terjadi perang saudara pada pertengahan abad 19). Teknik etsa dapat menduplikasi
gambar sampai ratusan dan telah lama dikenal di kalangan para pelukis Eropa yang datang ke
Hindia Belanda, untuk merekam atau menggambar peta, alam, lingkungan dan kehidupan di
daerah ini sejak abad ke 17.

Lewat suratkabar-suratkabar tua ini kita dapat melihat karya-karya C.W.M van de Velde,
C.W. Mieling, Johan Nieuhoff, J.C. Rapard, J. Hondius, dan lainnya. Master gambar dibuat
di atas lempengan logam, yang ditoreh dengan ujung besi yang tajam, sehingga menghasilkan
sebuah gambar.

Suratkabar-suratkabar yang beredar masa itu terbagi dalam empat bahasa: Tionghoa-Melayu,
Belanda, Jawa dan Arab. Ssuratkabar berbahasa Belanda dan Tionghoa-Melayu paling
dominan. Edward C. Smith dalam buku A History of Newspaper Suppression in Indonesia,
menulis bahwa perkembangan pers di sini dipetakan dalam tiga golongan: pers Belanda, pers
Cina dan belakangan pers pribumi.
Tradisi suratkabar di Hindia Belanda dimulai sekitar 1615 di Batavia oleh orang Belanda.
Gubernur Jendral Jan Pieterszon Coon memprakarsai suratkabar tulisan tangan Memorie der
Nouvelles. Suratkabar atau entah apalah namanya ini, menyalin berita-berita yang didapatkan
dari suratkabar-suratkabar negeri Belanda. Perkembangan lebih modern baru terjadi pada 14
Maret 1688, ketika pemerintah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menerbitkan
suratkabar dengan teknologi cetak. VOC sangat berhati-hati. Mereka mengontrolnya dengan
ketat, agar tak menabrak kepentingan bisnis dan monopoli rempah-rempah yang
dilakukannya di Hindia Belanda. Suratkabar-suratkabar di masa awal ini lebih mirip sebagai
laporan pemerintah, ketimbang mengikuti prinsip jurnalisme.
Perubahan politik pada 1811, ketika Inggris berhasil menaklukkan Prancis—ketika itu
Belanda menjadi bagian dari kerajaan Prancis—membuat Inggris masuk ke wilayah jajahan
Belanda. Dari Batavia mereka menerbitkan suratkabar Java Government Gazette, suratkabar
berbahasa Inggris, yang isinya sangat berbeda dengan suratkabar-suratkabar sebelumnya. Di
sini banyak orang bisa menyumbang tulisan. Isinya pun boleh kritik dan parodi terhadap
pemerintah.
Pada Agustus 1816 Inggris mengembalikan kekuasaannya pada penguasa semula. Java
Government Gazette pun tamat riwayatnya. Pada 20 Agustus 1816 Belanda menerbitkan
Bataviasche Courant kemudian pada 1827 terbit pula Bataviasch Advertentieblad. Suratkabar
Belanda paling lama bertahan adalah Javasche Courant (pertama terbit 1828 dan bertahan
hingga 1942).
Dalam pelacakan antara 1900-1920 di Perpustakaan Nasional, saya tak menemukan
dokumentasi Java Bode. Suratkabar ini terbit pertama kali 11 Agustus 1852 --salah satu
suratkabar terbesar di zamannya. Kemungkinan besar, menurut Edward C. Smith, pada
periode ini Java Bode mengalami kesulitan ekonomi.
Suratkabar berbahasa Tinghoa-Melayu adalah sisi lain yang memainkan peran penting dalam
perkembangan pers dan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Tionghoa-Melayu,
sering juga disebut Melayu-Rendah atau Melayu-Betawi, adalah istilah yang ditujukan pada
kaum peranakan yang berbahasa Melayu dengan logat Cina. Mereka tak dapat berbahasa
Belanda dan tapi juga tak fasih berbahasa Mandarin atau dialek Tio Ciu, Hakka, dan Hokkian
–tiga etnik Tionghoa yang jumlahnya cukup besar di Indonesia. Wartawan-wartawan
Tionghoa-Melayu terkenal termasuk Kwee Kek Beng, Kwee Hing Tjiat, Houw Tek Kong,
dan Tjoe Bou San.
Beberapa suratkabar Tionghoa-Melayu adalah Sin Po, Perniagaan, Keng Po, Hong Po, Bin
Seng, Kung Yen, Matahari dan Bintang Tiong Hoa. Menurut Soebagijo I.N., wartawan
Antara yang banyak menulis sejarah pers Indonesia, suratkabar Tionghoa-Melayu ini punya
hubungan luas dengan kaum pergerakan. W.R. Supratman, pecipta lagu Indonesia Raya,
sempat bekerja sebagai wartawan Sin Po. Supratman pula yang melaporkan terjadinya
Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 lewat Sin Po.
Sin Po terbit pertama kali 1910 dan mampu bertahan dibredel rezim Presiden Soekarno pada
2 April 1958. Keng Po bersama 14 suratkabar lainnya, termasuk Indonesia Raya pimpinan
Mochtar Lubis, dibredel lebih awal pada 21 Februari 1958.
Di awal abad 20 tumbuh apa yang kita kenal dengan "pers perjuangan" yang dikelola oleh
para aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dr. Wahidin Sudirohusodo umpamanya
memimpin majalah Guru Desa, yang diterbitkan organisasi Boedi Oetomo. Majalah ini
memuat berita tentang kemajuan pertanian, perdagangan dan kehidupan rakyat. Belakangan
dr. Wahidin mengelola Retnodoemilah, suratkabar umum berbahasa Jawa, yang isinya antara
lain menyangkut masalah sastra, sosial dan ekonomi. Suratkabar lainnya adalah Djawi
Kando, Bromortani dan Darmo Kando, Oetoesan Melajoe.
Menurut SoebagijoI.N, suratkabar pertama yang sepenuhnya dimodali dan dipimpin orang
Indonesia adalah Medan Prijaji, pemrakarsanya Raden Djokomono alias Raden
Tirtohadisoerjo, mahasiswa Stovia yang jadi tokoh rekaan dalam tetralogi Pulau Buru karya
novelis Pramoedya Ananta Toer. Tirtohadisoerjo pernah jadi redaktur Bintang Betawi dan
Suluh Keadilan. Medan Prijaji pada 1910 menjadi harian. Mottonya “Orgaan boeat bangsa
jang terperentah di Hindia Olanda. Tempat akan memboeka swaranja anak Hindia.”
Pada 1933, wartawan Saeroen, mendirikan suratkabar Pemandangan. Pernah menulis dalam
suratkabar ini antara lain pemikir dan pemimpin pergerakan Indonesia seperti Soekarno,
Moh. Hatta, Moh. Natsir, Tjipto Mangunkusumo. Dr. Soetomo, Mohammad Husni Thamrin
dan lainnya. Parada Harahap, seorang wartawan otodidak mendirikan Bintang Timoer, H.O.S
Tjokroaminoto memimpin Oetoesan Hindia.
Umumnya suratkabar ini diterbitkan sebagai alat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka
melakukan provokasi dan pembelaan terhadap penindasan rakyat setempat oleh penguasa
Belanda. Pengalaman di lapangan selaku wartawan, memperkaya empati para aktivis itu
terhadap nasib orang banyak. Dalam buku Sekilas Perjuangan Suratkabar, tokoh pendidikan
Ki Hajar Dewantoro mengatakan dia mengenal dunia pergerakan kerakyatan, yang berkaitan
dengan masalah sosial politik, justru dari dunia pers. Ia salah seorang redaktur suratkabar
Kaoem Moeda dan Bintang Betawi.

KLIPING SEJARAH
SURAT-SURAT KABAR
PADA MASA HINDIA BELANDA

Disusun oleh :
Nama : FALIH ROMADHON
No. Absen : 18
Kelas : XI IPS 4

SMA NEGERI 1 MAYONG


TP 2018 / 2019

KLIPING SEJARAH
SURAT-SURAT KABAR
PADA MASA HINDIA BELANDA

Disusun oleh :
Nama : HENDRI SOFIYAN
No. Absen : 20
Kelas : XI IPS 4

SMA NEGERI 1 MAYONG


TP 2018 / 2019

Anda mungkin juga menyukai