Pulau Jawa
diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Komunikasi Lintas Budaya
Dosen Pengampu :
Dra. Noorshanti Sumarah, M.I.Kom
Disusun Oleh :
Guntur Megantoro
Adek Dwi Setyawan
Kurnia Sandy Effata
Zulfikar Dedi Isdaryanto
Mochammad Bahtiar Adi Sukmana
3. Daftar Anggota
No Nama, NBI
Kurnia Sandy Effata
1
NBI : 1151400999
Zulfikar Dedi Isdaryanto
2
NBI : 1151400964
Mochammad Bahtiar Adi Sukmana
3
NBI : 1151400975
Adek Dwi Setyawan
4
NBI : 1151400979
Guntur Megantoro
5
NBI : 1151400960
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Wayang Kulit sebagai media penyebaran
Agama Islam di Pulau Jawa ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan
juga kami berterima kasih pada Ibu Dra. Noorshanti Sumarah, M.I.Kom selaku Dosen mata
kuliah Komunikasi Lintas Budaya yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai indahnya sebuah agama dan budaya. Kami juga menyadari bahwa
di dalam makalah ini terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan dating.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Terima Kasih.
Tim Penyusun
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB II PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
BAB IV PENUTUP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
1.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
PENDAHULUAN
Wayang kulit merupakan kesenian tradisional rakyat Indonesia yang mampu bertahan
dan dapat diakui eksistensinya melampaui lintas zaman dan benua. Jika menengok sejarah
budaya Jawa, wayang kulit sudah berkembang sejak abad ke-15 dan hingga saat ini masih
banyak penggemarnya meskipun dari kalangan tertentu. Wayang kulit adalah bentuk
kesenian yang menampilkan adegan drama bayangan boneka yang terbuat dari kulit
binatang, berbentuk pipih, diwarna dan bertangkat. Yang dimainkan oleh seorang dalang
dengan menyuguhkan kisah-kisah atau cerita-cerita klasik seperti Ramayana dan
Mahabarata. Yang kental dengan budaya Hindu-India yang diadaptasikan dengan budaya
Jawa.
Dalam Kesenian wayang kulit terdapat dua entitas penting yang selalu dinamis
mengikuti perubahan zaman dan isu ditengah masyarakat yaitu sosok Dalang dan Lakon
(tokoh yang diperankan). Dalang sebagai aktor yang memainkan boneka dengan
mengarahkan penonton pada sebuah kisah yang ingin dituju. Seorang dalang yang hebat,
tidak hanya cakap dalam bercerita dan memainkan boneka, akan tetapi juga mampu
mengarahkan alur doktrinisasi terhadap penonton. Sehingga pementasan wayang kulit
tidak hanya sebatas hiburan rakyat semata.
Sedangkan lakon adalah tokoh dalam cerita yang diperankan dalam suata pagelaran.
Lakon ini sangat dipengaruhi unsur budaya lokal klasik dan budaya luar. Lakon yang
dipengaruhi budaya lokal didasarkan pada kisah-kisah leluhur dan hasil kreasi dalang
pendahulu, seperti Semar, Gareng, Petrok dan Bagong. Sedangkan lakon yang berasal
dari budaya luar seperti yang dikisahkan dalam kisah Ramayana dan Mahabarata dengan
lakon Rama, Rahwana, hingga Pandawa Lima dan seterusnya.
Saat ini untuk pertunjukan wayang sendiri memang kurang diminati oleh masyarakat kita,
karena banyak pilihan hiburan lain. Mungkin wayang kulit mereka anggap membosankan.
Seolah wayang kulit sudah memasuki masa sekarat. Berbeda dengan tahun 1950-an, ketika
wayang kulit masih rutin naik panggung Taman Hiburan Rakyat Sriwedari Solo. Saat itu
masih banyak masyarakat yang berbondong-bondong menontong wayang kulit sampai pagi.
Mereka sangat menikmati salah satu seni khas tradisional jawa ini. Bahkan tidak sedikit
masyarakat yang hafal cerita wayang, baik cerita Bharatayuda, maupun cerita Ramayana.
Tokoh-tokoh punakawan menjadi bintang hiburan kala itu. Akan tetapi seiring
berkembangnya jaman, kemajuan teknologi, informasi, dan hiburan. Membuat beberapa
kesenian tradisional Indonesia tak dilirik lagi oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah
kesenian wayang kulit. Tak banyak lagi yang menggandrungi kesenian tradisional ini.
Terlebih melestarikannya dengan mempelajari kesenian yang berasal dari kulit ini.
1.3 Tujuan
Agar meemahami mengapa Agama Islam menjadikan Wayang Kulit sebagai media
dakwah
1.4 Manfaat
PEMBAHASAN
Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai suatu konstruksi sosial
dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara
mensejarah. Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya
perbedaan budaya di kalangan masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah
indonesia hingga Indonesia disebut sebut sebagai negara seribu pulau. Hal ini patutlah
membuat kita sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan
kita. Akan tetapi pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan
menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti
masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda
asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma-norma) yang
berlaku dari suatu daerah.
Oleh karena itu, disini manfaatnya kita perlu belajar mengenai komunikasi lintas budaya.
Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan lintas bangsa, lintas bangsa disini yang
dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara Indonesia
Wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelmu masehi
(Ir. Sri Mulyono, 1979). Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa
pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam
bentuk arca atau gambar.
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber inspirasi dalam menggambar wujud
tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber
aslinya telah hilang. di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah hyang, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman
dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun merti desa agar panen berhasil atau pun
agar desa terhindar dari segala mala (mara bahaya).
Di tahun (898 - 910) Masehi wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih
ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung:
Sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara
terjemahan kasaran-nya kira-kira seperti ini : (menggelar wayang untuk para hyang
menceritakan tentang bima sang kumara).
Tidak jauh berbeda dengan masa Animisme yang percaya bahwa alam memiliki jiwa atau
ruh. Definisi dari dinamisme memiliki arti tentang kepercayaan terhadap benda-benda di
sekitar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib. Dalam Ensiklopedi umum, dijumpai
definisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif yang ada pada zaman sebelum
kedatangan agama Hindu di Indonesia.
Dinamisme disebut juga dengan nama preanimisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap
benda atau makhluk mempunyai daya dan kekuatan. Maksud dari arti tadi adalah kesaktian
dan kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan diyakini mampu memberikan manfaat
atau marabahaya. Kesaktian itu bisa berasal dari api, batu-batuan, air, pepohonan, binatang,
Pada zaman Hindu, bentuk pertunjukan wayang berkembang begitu pesat. Setelah Agama
Hindu mulai masuk, berkembang, dan berakulturasi dengan kebudayaan bangsa Indonesia,
memberikan warna pada pertunjukan wayang di Indonesia. Pada tahun 903M, kitab
Ramayana berhasil di sadur kedalam Bahasa Jawa Kuno yang tujuannya di gunakan untuk
mengkomunikasikan nilai-nilai Hindu yang terkandung dalam cerita Ramayana tersebut.
Pertunjukan Wayang yang semula digunakan sebagai media pertunjukan wayang yang
semula digunakan sebagai media pemujaan Hyang, kemudian berkembang menjadi media
komunikasi ajaran agama. Sejak saat Ini kisah Pewayangan juga tidak lagi menggunakan
cerita nenek moyang, tetapi mulai menggunakan cerita Mahabarata dan Ramayana (Ir. Sri
Mulyono, 1982:60).
Pertunjukan wayang di tempatkan sebagai suatu pertunjukan yang adiluhung yang tidak
hanya berperan dalam kehidupan spiritual dan rohani masyarakat, tetapi juga sebagai media
hiburan, media pendidikan, dan penanaman nilai-nilai agama Hindu walaupun pada masa itu
format pertunjukan wayang masih sangat sederhana. Pada masa itu dalang sangat begitu
disegani. Dalang dalam pertunjukan pada masa itu juga mempunyai kemampuan mengadopsi
cerita pahlawan-pahlawan dan dewa-dewa pada kesusatraan India seperti Mahabarata dan
Ramayana, kemudian dicampurkan dengan mitos-mitos kuno mengenai nenek moyang.
Sehingga tanpa disadari masyarakat Indonesia menganggap bahwa pahlawan-pahlawan
Ramayana dan Mahabarata itu sebagai nenek moyangnya. Pertunjukan wayang untuk
pemujaan terhadap Hyang masih dilakukan dengan menggunakan cerita Mahabarata dan
Ramayana pada waktu itu.
Pertunjukan wayang di Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di
Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan
bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa. Pertunjukan wayang di Jawa sama
dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia menduga bahwa wayang merupakan
ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis buku lainnya yang mengatakan bahwa
wayang berasal dari India (Dr.W Rassers).
Dalam pertunjukan wayang, kehadiran Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong selalu dinanti-
nanti para penonton. Keempatnya merupakan karakter khas dalam wayang Jawa Punakawan.
Pendekatan ajaran islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama tokoh
punakawan. Barang kali tak banyak orang yang tahu kalau nama-nama tokoh pewayangan,
seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebenarnya berasal dari bahasa Arab.
Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya "siap sedia".
Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab Ismar. tokoh
semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada, ia selalu
tampil sebagai penasihat.
Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan atau kebagusan. Petruk berasal
dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Ada yang berpendapat kata petruk diadaptasi
dari kata Fatruk kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, " Fat-ruk kulla maa
siwallaahi" (tinggalkan semua apapun yang selain Allah).
Jika Punakawan ini disusun secara berurutan Semar, Gareng, Petruk, Bagong secara
harfiah bermkna " Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan
kejelekan".
Tokoh ulama yang besar peranannya dalam melakukan penyebaran islam melalui
kesenian wayang, menopang berdirinya kerajaan Demak, yang dikenal dengan sebutan Wali
Sanga (sembilan wali).
Pada awal kemunculannya, kesenian wayang kayu lahir dan berkembang di wilayah
pesisir utara pulau Jawa. pada awal abad ke-17 dimana kerajaan Islam tertua di pulau jawa
tumbuh disana, dengan menggunakan bahasa sunda dalam dialognya. Menurut legenda yang
berkembang, sunan kudus menggunakan bentuk wayang golek awal ini untuk menyebarkan
islam dimasyarakat.
Pada periode penyebaran agama islam di Jawa para mubaligh (wali songo) dalam
menjalankan dakwah islam telah memakai alat berupa Wayang Kulit. Salah seorang Wali
Songo yang piawai memainkan wayang kulit sebagai media penyebaran islam adalah Sunan
Kalijaga. Mengingat cerita itu sarat dengan unsur Hindu-Budha, maka Sunan Kalijaga
berusaha memasukkan unsur-unsur islam dalam pewayangan. Ajaran-ajaran dan jiwa
keislamanitu dimasukan sedikit demi sedikit. Bahkan lakon atau kisah dalam pewayangan
tetap mengambil cerita Pandawa dan Kurawa yang mengandung ajaran kebaikan dan
keburukan.
Kondisi inilah yang mendorong para mubaligh merombak bentuk wayang kulit dan
memasukkan unsur baru berupa ajaran islam dengan membuat "Pakem Pewayangan baru"
yang bernafaskan Islam, seperti cerita Jimat Kalimasodo, atau dengan cara menyelipkan
Menurut adat kebiasaan, setiap tahun diadakan perayaan maulid Nabi di serambi Masjid
Demak yang di ramaikan dengan rebana (terbangan0, gamelan dan pertunjukan wayang kulit.
Untuk menarik rakyat, di serambi dihiasi beraneka ragam hiasan bunga-bungaan yang indah.
Dalam pertunjukan wayang, dalang mempunyai peranan paling utama sehingga mereka
harus menguasai teknik perkeliran (pertunjukan wayang kulit) dengan baik di bidang seni
sastra, seni karuwitan, seni menggerakan boneka-boneka wayang kulitnya, maupun
penjiwaan karakter wayang serta harus terampil dalam membawakan lakon-lakon.
Dalang sebagai juru dakwah harus mampu melaksanakan tugasnya dalam memberi
penerangan agama. Untuk melaksanakan tujuan dakwah melalui pemayangan dan agar
mudah diterima oleh masyarakat, maka para mubaligh menggunakan simbol atau falsafat.
Gambaran yang jelas dapat dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh dalang yakni
menceritakan perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan.
Salah satu perlengkapan yang disebut Gunungan atau kayon yang memiliki makna
simbolis. Kayon menyerupai jantung manusia. Hal ini mengandung falsafah bahwa dalam
kehidupan umat islam, jantung hatinya harus senantiasa berada di masjid.
Kreativitas para wali memanfaatkan budaya setempat sebagai media penyebaran islam
yang efektif tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan perkembangan islam di pulau
jawa. Selain itu para wali juga berjasa dalam mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk
kesenian pentas yang merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah berakar
jauh ke masa lalu dan cukup banyak mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan dari masa
ke masa.
Sunan Gresik juga mengajarkan nilai-nilai kesabaran, nilai moral, keadilan, tanggung
jawab, dan etika yang baik yang dilakukan dalam kehidupan sehari-harinya dan disampaikan
kepada masyarakat melalui dakwahnya. Wayang yang digunakan oleh sunan gresik
merupakan Wayang kulit.Sehingga dakwah yang dilakukan oleh sunan Gresik ini mudah
sekali diterima, dipahami, dan dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sunan Giri menyampaikan dakwahnya sambil berlayar, beliau menyiarkan agama Islam
kepada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal ditanah air nusantara ini. Pada
saat itu Sunan Giri mengusulkan agar peresmian Masjid Demak ini diresmikan pada hari
jum'at yang sekaligus akan melaksanakan sholat jum'at berjamaah di masjid tersebut dalam
penyampaian dakwah Sunan Giri ini menggunakan wayang kulit pada peresmian Masjid
Demak, dalam peresmian ini Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak diiringi
dengan pertunjukan wayang kulit, namun wayang kulit yang digunakan Sunan Kalijaga ini
ditolak dan tidak disetujui oleh Sunan Giri, karena wayang kulit yang digunakan oleh Sunan
kalijaga ini berbentuk manusia dan dalam ajaran islam yang bergambar manusia itu haram
hukumnya. Setelah itu Sunan Kalijaga mengubah wayang kulitnya menjadi berbeda lagi dan
tidak bisa dikatakan sebagai gambar manusia lagi, dan akhirnya Sunan Giri ini menjadikan
wayang kulit in sebagai media menyampaikan dakwah.
Sunan Muria, dalam penyampaian dakwahnya beliau menggunakan cara yang halus,
dakwahnya ini disampaikan lebih utama kepada masyarakat pedesaan, pedagang, nelayan,
dan rakyat jelata. Dalam penyampaian dakwah beliau menggunakan kesenian gamelan dan
wayang kulit sebagai alat dakwah untuk menyampaikan ajaran agama islam kepada
masyarakat.
Wayang dan kepercayaan Masyarakat, pada zaman sekarang ini kalau bicara masalah
wayang sebenarnya tidak bisa terlepas dari kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat,
terutama masyarakat pedesaan. Disana banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu
lakon atau cerita tertentu untuk pertunjukkan wayang. Ada anggapan yang hidup dalam
masyarakat bahwa lakon Bharatayuda tidak boleh dipentaskan dalam upacara perayaan
pernikahan. hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat bahwa kalau pantangan tersebut
dilanggar, mereka yakin bahwa keluarga pengantin tersebut akan mengalami kesusahan
dalam hidupnya, semisal terjadinya perceraian, mendapat malapetaka, dan lain sebagainya.
Dalam pentas wayang yang ditujukan untuk suatu upacara lakon yang dipentaskan harus
disesuaikan dengan tujuan upacara tersebut. Untuk upacara bersih desa , yang bertujuan
untuk syukuran atau selamatan sesudah panen, cerita yang dipertunjukkan adalah kondure
dewi sri (pulangnya dewi sri). Lain lagi kalau pentas wayang untuk upacara ruwatan lakon
yang di gelar biasanya adalah batara kala. Demikian juga dengan upacara lainnya.
HASIL OBSERVASI
Pewawancara : Apakah penyebaran Agama Islam melalui Wayang Kulit ada yang dilakukan
di daerah Surabaya?
Narasumber : Di Surabaya penyebaran Agama Islam tidak melalui Wayang Kulit tetapi
melalui perdagangan yang dimulai di pelabuhan. Jadi penyebarang yang
dilakukan pertama kali di Jawa Tengah tepatnya di Demak dan di sekitarnya
Narasumber : Kebanyakan dari dulu sampai sekarang yang di angkat ceritanya tentang
keadaan sosial sesaui zamannya. Mengangkat cerita-cerita politik dan segala
macam cerita baik buruk. Kejahatan dan keserakahan yang digambarkan dalam
Mahabarata adalah Kurawa, kebaikan digambarkan oleh Pandhawa. Pandhawa
sendiri mewakili dari karakter yang memiliki nilai seperti Pancasila
Pewawancara : Siapa yang pertama kali menyebarkan Agama Islam melalui Wayang Kulit?
Narasumber : Raden Syahid, awalnya beliau perampok, tapi uangnya tidak dipakai maksiat
atau yang buruk tetapi diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Awal
mula saat merampok beliau Islamnya tidak sungguh-sungguh lalu bertemu
dengan Sunan Bonang dan akhirnya beliau tobat lalu mempelajari Islam dan
akhirnya menyebarkan Agama Islam melalui budaya yaitu Wayang Kulit.
Berubahnya nama Raden Syahid stelah menjadi kesunanan menjadi Sunan Kali
Jogo. Sunan Kali Jogo ialah satu-satunya yang menyebarkan Agama Islam
melalui budaya. Waktu menjadi Raden Syahid masih belum mengenal Wayang
setelah menjadi Sunan Kali Jogo beliau memahami Wayang dan melakukan
penyebaran tersebut. Setalah itu penyebarang Agama Islam dilanjutkan murid
Sunan Kali Jogo
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Penyebaran Agama Islam melalui Wayang Kulit tidak ada yang dilakukan di Surabaya,
tetapi hanya di Jawa Tengah. Awal mula penyebaran yang dilakukan Sunan Kali Jogo
akhirnya dilanjutkan oleh murid-muridnya.
Mulyono, Sri. 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Haji Masagung
Hazeu, G.A.J. 1897. Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel.
Mulyono, Sri. 1982:60. Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Haji
Masagung
http://irmaamaliaputri.blogspot.co.id/2014/12/penyebaran-islam-melalui-wayang.html