Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-
2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di
Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan
provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk
Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur,
dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh.
Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan
Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli
yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang
suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan
sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam
diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan
perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck
Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka
ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena
letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah
kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari
akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang
mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini
menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di
lain wilayah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islamisasi Adat (dari agama Hindu ke agama Islam)


Sebelum kedatangan Islam, penduduk Aceh pada umumnya mempunyai kepercayaan
tersendiri yang dikenal sebagai animisme, dinamisme, pemujaan hyang (dewa pencinta),
dan nenek moyang. System kepecayaan seperti ini sudah berlangsung cukup lama puluhan
abad lamanya. Seperti yang di kemukakan oleh seorang ilmuan Inggris dalam teorinya
bahwa asul mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya
roh atau jiwa, kemudian mereka memahami adanya mimpi dan kematian. Kumpulan
masyarakat primitif Aceh dahulu kala sudah terbentuk dengan sendirinya secara alami,
namun pada saat itu mereka sudah mengenal konsep penyembahan. PenTuhanan yang di
lakukan oleh masyararakat Aceh zaman dulu kala masih sangat sederhana, dimana bentuk
Tuhannya itu masih beraneka ragam, belum sistematis dan masih belum seragam. Dalam
kondisi seperti itu mereka menemukan cara penyembahan dan pengabdian yang di
kembangkan berdasarkan tingkat kecerdasan masyarakatnya, lalu kemudian mereka
mewariskan system kepercayaan model sederhana tersebut cukup lama dalam kurun waktu
berabab-abad lamanya hingga kemudian model atau system kepercayaan yang baru
mereka kenal, yaitu pada tingkat yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya dan system
kepercayaan yang baru ini lebih sistematis dan sudah mulai manganutnya secara massal,
dan Tuhannya mereka itu sudah memiliki nama yang seragam, yaitu penerimaah agama
Hindu dan sebagai kepercayaan yang baru.1
Perkembangan ketingkat ke berikutnya ke system kepercayaan baru Hindu ini,
menunjukan bahwa Aceh pada saat itu telah mengalami kontak budaya, baik yang terjadi
antara sesama masyarakat Nusantara ataupun hal itu juga datang langsung dari luar atau
bisa di katakan bahwa pengaruh perubahan itu datang langsung dari India. Berdasarkan
apa yang di kemukan oleh Joesoef Souyb (1983) bahwa Agama Brahma atau Hindu itu
lahir di negeri India 2000 tahun SM, dan agama ini telah berusia lebih kurang 4000 tahun
bersama manusia seluruh dunia. Dan penganut yang terbesarnya berada di Asia Tengah
dan Selatan. Sebagai perbandingan saja, bahwa Agama Yahudi (musa) di kenal oleh

1 https://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/dari-hinduisme-
hingga-islamisasi-di-aceh/

2
manusia semenjak 1200 tahun SM. Jadi manusia takala itu sudah di temani oleh agama
Hindu terlebih dahulu, atau bisa di katakan Agama Hindu ini adalah salah satu Agama
tertua di dunia dalam kategori agama berbentuk yang sistemastis.
Sebelum masyarakat Aceh menganut Agama Brahma ini, di kepulau Nusantara ini
adalah di tanah Jawa Agama Hindu berkembang pesat hinga menciptakan kerajaan besar
yang kuat, seperti kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pejajaran di Jawa bagian Barat. Dalam
Agama Hindu, manusia di posisikan ke beberapa tingkat golongan atau kasta-kasta di
antaranya; pertama kasta Brahma, yaitu kaum agamawan (pendeta-pendeta), kedua kasta
Syatria yaitu kaum bangsawan atau para raja-raja, ketiga kasta Waisya yaitu kasta kaum
saudagar, keempat kasta Sudra yaitu kasta orang kebanyakan pada umumnya (rakyat
jelata), kelima kasta Paria yaitu golongan yang di anggap rendah sekali atau sampah dan
tidak ada harganya sebagai manusia, dan biasanya kasta ini di tujukan untuk golongan dari
bangsa yang di taklukan oleh kekuasaan kerajaan Jawa terhadap beberapa daerah-daerah
di Nusantara, (penaklukan-ekspansi). Masyarakat Hindu di luar Jawa awalnya mereka
adalah manusia yang tidak berharga di mata penguasa Jawa karena mereka adalah
masyarakat taklukan Majapahit. Baru kemudian setelah sekian jangka waktu yang cukup
lama dari kasta yang hina ini naik ketingkat kasta atas.
Keuasaan Hindu yang di bawah naungan kerajaan Raja Majapahit mulai menujukan
kehebatanya yang kuat itu, kekuatan itu menyatu bersatu dalam tiga komponen menjadi
satu kekuatan, diataranya agama-bangsa Jawa-kerajaan menjelma menjadi kekuatan
politik yang kokoh. Sehingga hampir seluruh wilaya kepulauan Nusantara di kuasainya
melalui cara ekspansi. Tak luput juga Aceh pada tahun 1350 pernah ditaklukan dan di
kuasainya, pada saat itu kerajaan Samudra Pasai (Aceh) di gempur oleh kekuatan militer
Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, dan Majapahit menduduki
Samudra Pasai selama 4 tahun.
Pengaruh Hinduisme kedalam budaya Aceh memang sangat tranparan dan terasa
kuat. Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India.2 Menurut para kalangan
ahli sejarah, kedatangan orang-orang India ke Aceh diperkirakan pada awal abad Masehi.
Sedangkan pendapat S.M.Amin yang menyatakan bahwa pengaruh pertama terhadap

2 Cut Nyak Kusmiati, Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan Islam,
dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung: Al-Maarif, 1981)

3
bangsa Aceh datang dari bangsa India masuk diperkirakan 2.500 SM. Dan saat itu orang-
orang India telah banyak membuat perkampungan di Aceh.3 Orang Hindu datang dari
Hindia menepati sebelah barat laut pulau Sumatra, dan mereka tertarik dengan rempah-
rempah yang ada di Nusantara. Sambil berniaga orang Hindu itu, mengembangkan agama
dan kebudayaan mereka di bumi Nusantara, dan mereka bergaul serta kawin dengan
masyarakat setempat, sehingga pada abad ke 2 Masehi telah banyak orang Hindu yang
menetap di Nusantara.4
Sekitar tahun 500, di Aceh telah berdiri satu kerajaan yang dikenal sampai ke tingkat
internasional yang bernama Kerajaan Poli, kerajaan ini merupakan jelmaan dari eksistensi
kekuasaan hindu, dan mempunyai 136 perkampungan. Dalam tahun 518, Kerajaan Poli ini,
sudah mengirimkan utusannya ke Tiongkok yang waktu itu di bawah kekuasaan Dinasti
Liang. Kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli yang wilayah kekuasaannya meliputi hingga
ke Aceh Besar. Pengaruh Kerajaan Poli ini masih bisa kita temukan dari nama-nama
tempat di Aceh yang banyak sekali memakai istilah Hindu, seperti Indrapuri, Indraputra,
Gandapura, Kleng, Raja Dagang, dan lain sebaginya. Selain Kerajaan Poli di Sigli (Aceh)
ada beberapa kerajaan lagi yang menganut agama Hindu, diantaranya kerajaan Hindu
Indrapura, Kerajaan Ta Shi atau Tajik, dan kemudiannya Kerajaan Tajik ini bersatu dengan
Kerajaan Peureulak dengan memakai nama Ta Jihan.
Peradaban Hindu di Aceh menurut Junus Djamil dalam bukunya, menjelaskan bahwa
telah berdiri sebuah kerajaan di Peureulak sebelum kedatangan kebudayaan Islam,
Peureulak telah lama berdiri dan raja-raja yang memerintah negeri itu berasal dari turunan
raja-raja Negeri Siam (Syahir Nuwi).5 Kerajaan Peureulak yang terletak di Aceh Timur
(sekarang) semula berada dibawah kendali Kerajaan Sriwijaya (Palembang). Di mana
setelah kondisi politik dan pertahanan dalam negeri Sriwijaya melemah akibat serangan
dari Kerajaan Choli (India) dan juga Kerajaan Majapahit (Jawa), maka Kerajaan Peureulak
melepaskan diri dari kungkungan Kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi kerajaan yang
berdaulat penuh.

3 S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956)


4 Ismail Jakup, Sejarah Islam Di Indonesia, (Jakarta:Widjaya, t.th)
5 M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, (Banda Aceh: Ajdam I Iskandar
Muda, 1968)

4
Kerajaan Peureulak, jauh sebelum kedatangan Islam telah menjadi pusat perdagangan
internasional dengan pedagang-pedagang dari kerajaan-kerajaan lain di dunia. Mereka
datang dari berbagai penjuru Negeri, seperti dari Arab, India, Cina, Jawa, Malaka, Persia
dan sebagainya. Komoditas perdagangan yang ramai diperjualbelikan pada saat itu adalah
kayu manis, cengkeh, lada, pala, bunga pala, kayu gaharu, pakaian India, dan porselein
Cina. Kayu manis diimpor dari Ceylon dan Jawa, rempah-rempah diimpor dari Malaka,
dan kayu gaharu diimpor dari Timor. Sedangkan Kerajaan Peureulak sendiri adalah
penghasil komoditi lada sebagai andalannya. Hingga tidak heran kita bisa menemukan
dalam pepatah Aceh hingga sekrang meyebutkan watee katrok kapai barou pula lada,
(ketika kapal muatan barang datang pada saat itu pula baru lada di tanam) zaman
dahulukala pribahasa ini di ungkapkan untuk mereka yang tidak siap akan situasi
perkembangan bisnis karena mereka lalai kemudian rejekipun tidak didapatkan.
Karena jarak tempuh yang begitu lama dan jauh sampai berbulan-bulan dari negeri-
negeri belahan dunia lain untuk singgah ke Aceh, dan sebaliknya dari Aceh ke negeri Asal
para Saudagar-saudagar ini. Apalagi kodisi untuk berlayar kapal memerlukan ketepatan
angin yang pas, hal ini sering menjadi alasan kenapa para Saudagar ini memilih untuk
membuka kantor perwakilan di daerah Aceh sebagai persinggahan. Terkadang banyak di
antara mereka tidak mau pulang ke negeri asalnya, dan lebih memilih menjadi agen-agen
dangang untuk barang dari asal mereka dan merekapun tinggal menetap di Aceh serta
berasimilasi dengan penduduk pribumi, (perkawinan silang). Kemudian kondisi seperti ini
bagi saudagar-saudagar Arab mengunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan dan
menyebarluaskan agama Islam, hingga kumudian Agama Islam bisa mengalahkan
dominasi Agama Hindu di Aceh dan akhirnya berdirilah kesultanan Islam di Peureulak.
Di Bandar Peureulak mereka itu (orang Arab) pulang kembali ke negerinya, dan
tidak lama kemudian datang saudagar-saudagar Persi (Isfhan) dan Muslim India dari
Malabari dan dari Gujarat. Sejak dari masa itulah mereka terus datang ke Bandar
Peureulak hingga banyak orang Peureulak masuk Islam. Beberapa lama kemudian
daripada itu Meurah (raja) Peureulak dengan seluruh keluarga istana akhirnya masuk
agama Islam juga. Yang sebelumnya kerajaan Peureulak adalah kerajaan Hindu yang
berdasarkan pemberian gelar meurah pada para penguasa kerajaan, kemudian berubah
menjadi kerajaan Islam. Setelah menjadi kerajaan Islam banyak orang-orang Arab Parsi
dan Muslim India dari Malabari dan Gujarat bermukim di Bandar Peureulak.

5
Dalam proses Islamisasi rakyat Peureulak Aceh, terjadi pada tahun 820 M. dan pada
tahun 840 M berdirilah kesultanan Islam Peureulak dengan diangkatnya Sultan Maulana
Syaid Abdul Aziz sebagai pemimpinnya. Pada tahun 1042 berdirilah kerajaan Islam di
Pasai. Pada saat itu (1042 M) kerjaan Samudra kedatangan seorang pembaharu Islam, ia
benama Meurah Khair, sang pembaharu ini datang ke negeri Tanoh Data (sekarang sekitar
Cot Girek) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke pada raja Samudra.
Meurah Khair adalah berasal dari keluarga Sultan Mahmud Pereulak. Ia datang ke Negeri
Tanoh Data tidak hanya untuk mengembangkan Islam, akan tetapi ia juga mempunyai
target untuk membangun kerajaan Islam Samudra Pasai. Tujuan ini kemudian tercapai dan
ia menjadi raja yang pertama, dengan gelar Maharaja Mahdud Syah. Selain gelar ini yang
ia sandang, ia juga memiliki nama lokal yaitu Meurah Giri. Periode kekuasaanya adalah
1042-1078 M.
Pada tahun 1507 berdirilah kerajaan Aceh Darussalam yang di pimpin oleh Sultan
Ali Mughayat Syah. Pada tahun 1511 M adalah tahun dimana kerjaan-kerajaan Islam yang
berada di Aceh terintegrasi ke dalam Kekerajaan Aceh Darussalam. Deklarasi itegrasi ini
terjadi pada tanggal 20 februari 1511 M, dan menjadi Kerajaan Aceh Raya Darussalam.
Dialah Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan yang pertama yang memimpin Kerajaan
Aceh Raya Darussalam selama 1511-1530 M. Kerajaan Aceh Raya Darussalam dalam
proses perjalan waktu telah dipimpin oleh para Sultan-sultan sebanyak 28 orang, mulai
dari tahun 1511 sampai dengan 1937 M. dan sultan yang terakhir yang berkuasa adalah di
Kerajaan Aceh Raya Darussalam adalah Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1874-
1937 M).
Hal lain yang sangat penting juga adalah peran Ulama sebagai kunci Islam bisa
meluas keseluruh Aceh, bahkan dari Pasai-lah Islam di kaji oleh banyak kalangan
kemudian Islam dari Pasai Menyebar kawasan Asia Tenggara. Sehingga tidak heran bahwa
pada masa era emasnya itu Kerajaan Samudra Pasai telah di jadikan mercusuar ilmu
pengetahuan. Banyak orang yang datang ke negeri ini, mereka ada yang datang dari Jawa,
Sumatra Utara, malaka, bahkan pada tahun 1457 Kerajaan Patani menerima agama Islam
hasil usaha ulama Pasai. Beberapa ulama besar dan terkenal di masa kerajaan Islam di

6
Aceh telah melakukan perubahan besar, kemasyuran mereka ini hingga keluar negeri yang
telah meramaikan literatur kajian Islam Asia Tenggara.6

B.Kebudayaan Aceh
Sebagaimana pulau Jawa, Sumatera walaupun sedikit mengalami juga pengaruh
Hindu, akan tetapi pengaruh itu selalu ditekan oleh pengaruh Islam. Arab, Syam (Suriya
atau Sureen kata orang Aceh) yang banyak berdagang di pasar-pasar: mereka dalam
kepercayaan syariat Nabi Ibrahim yang senantiasa bertentangan dengan kepercayaan orang
Hindu.
Masa mulainya berlaku pengaruh Hindu itu belum juga dapat dikatakan dengan
tepat. Akan tetapi, dapat diduga sebelum tahun Masehi atau semenjak expansi Raja
Iskandar Zulkarnain ke Asia. Penduduk dari lembah sungai Indus dan Gangga lari ke
Sumatera atau Aceh (334-326 SM).
Aceh memang identik dengan Seuramoe Mekah (Serambi Mekah). Hal ini
dikarenakan Aceh sejak masa Kerajaan Aceh selalu menjalankan syariat Islam. Dahulu,
raja-raja Aceh menjalankan pemerintahan didampingi oleh Ulama-Ulama, sehingga
terdapat satu istilah populer Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, qanun
bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana. Yang artinya hukum adat ditangan
pemerintah dan hukum agama atau syariat ada di tangan para ulama, seperti peranan besar
Syeih Abdur Rauf Asyingkili pada masa Kerajaan Aceh sehingga terciptanya budaya-
budaya Islami. Namun, tidak semua budaya di Aceh murni berdasarkan syariat Islam, ada
beberapa budaya Aceh yang sampai saat ini masih sinkretisme antara budaya Hindu
dengan Budaya Islam seperti yang akan diuraikan sebagai berikut.
1. Perayaan Rabu Abeh di Barat-Selatan
Ritual Rabu Abeh atau disebut dengan Tolak Bala merupakan sebuah tradisi
masyarakat Aceh setiap tahun untuk menjauhi masyarakat Aceh dari musibah, baik
bencana alam maupun kenyamanan untuk masyarakat. Bulan Sapha dalam bahasa Aceh
atau lebih dikenal dengan bulan Safar merupakan bulan yang identik dengan Rabu Abeh
(Rabu akhir). Rabu abeh dilaksanakan pada hari terakhir bulan Safar. Ada beberapa alasan
kenapa diadakan Rabu Abeh, bahwa pada bulan Safar tersebut Nabi Muhammad Saw.

6 https://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/dari-hinduisme-
hingga-islamisasi-di-aceh/

7
mulai terkena sakit dan tidak lama kemudian pada bulan ketiga pada tahun itu, beliau
wafat. Sebagian besar masyarakat Aceh percaya bahwa pada bulan Safar mengandung
bencana, seperti pilek, flu, demam, demam berdarah (DBD) dan sebagainya. Oleh karena
itu, masyarakat bersyukur jika selamat sampai hari Rabu terakhir pada bulan itu. Bentuk
kesyukuran masyarakat Aceh ialah dengan cara berpergian ke laut atau sekedar berlibur,
melakukan doa bersama dipinggir pantai dan membawa bekalan untuk dimakan bersama-
sama dengan keluarga. Puncak pada perayaan ritual Rabu Abeh tersebut adalah ketika
menghanyutkan sesajen yang berupa nasi, sayur, lauk-pauk, dan buah-buahan kemudian
dihanyutkan ke air laut. Ada juga yang menghanyutkan kepala kerbau.
Masyarakat percaya akan diberikan keberkahan dan rezeki, dan terhindar dari segala
marabahaya sehingga masyarakat Aceh dapat hidup tenang dan tenteram. Ritual ini digelar
setiap tahun dan diyakini mampu menolak bala, dan ajang nazar bagi sejumlah warga.7

2.Pantangan-pantangan Berlaut (meulaot)


Pantang pergi ke laut 2 hari 1 hari kenduri laot dan 1 hari tiap-tiap hari jumat mulai
jam 6 pagi sampai jam 6 sore kecuali keadaan bahaya. Hari Jumat dilarang menangkap
ikan dengan pukat. Cara lain boleh dilakukan pada hari itu, tetapi dengan pukat tidak
dibenarkan, Hari Jumat digunakan sebagai hari gajian, dimana para awak pukat menerima
hasil jerih payah selama seminggu melaut. Hari itu juga dimanfaaatkan untuk memperbaiki
jaring pukat yang rusak, mencelup pukat dengan getah kulit bakau kulet bangka dan
menempel perahu yang dianggap bocor.
Ada ucapan-ucapan yang pantang dilakukan di laot, seperti menyebut nama gunung,
sebab ombak setinggi gunung akan menghempas mereka, juga tidak boleh menyebut tanah
manyang (tanah tinggi), dan juga pantang menyebut kata lheuh (lepas) sebab ikan yang
sudah tertangkap dapat lepas kembali,maka dipakai kata lain yang kurang bahaya yakni
leukanguntuk menyatakan hal yang harus dilepaskan digunakan kata leupah yang
berarti bebas.
Ada sejumlah kata-kata yang berbahaya kalau diucapkan di laut. Ini berlaku pula
untuk para Nelayan yang memakai pukat, dan sebagian untuk semua pelaut. Pantangan
yang tidak tertulis itu tersebar luas, terutama dikalangan nelayan di pulau Jawa bahkan
juga berlaku bagi banyak orang yang harus diindahkan kalau berburu. Di sekitar galuh

7 http://diliputnews.com/read/16409/masyarakat-aceh-barat-gelar-ritual-rabu-abeh.html

8
yang kuno itu ada beberapa tempat dilautan selama menangkap ikan tidak boleh
mengucapkan kalimat syahadat walaupun hanya sebagian, sebab ruh-ruh kerajaan berhala
dahulu dapat menjadi gelisah.8

3.Kanduri Laot
Waktu yang dipilih untuk kanduri (yang oleh para Nelayan pukat diharapkan akan
memberikan keberuntungan yang sama seperti kanduri blang diadakan oleh para petani).
Kanduri laot pada masa lalu dilakukan pada saat penangkapan ikan terpaksa dihentikan
disebabkan cuaca buruk, yakni perubahan dari musim timur ke musim barat. Waktu inilah
yang dimanfaatkan oleh Nelayan dipesisir utara dan timur Aceh, misalnya daerah pantai
Ule lheue di bagi dua untuk para Nelayan pukat yang satu mengadakan kenduri dalam
keunong 17, pada awal musim Barat (kira-kira bulan April), sedangkan yang lain dalam
keunong 5, pada awal musim Timur (kira-kira September).
Pelaksanaan kanduri laot, ada sesuatu yang unik, yaitu kepala kerbau isi dalam dan
tulang belulang dibungkus dengan kulit kerbau sembelihkan kemudian dibawa dengan
perahu berbendera merah kemudian ditenggelam kan ke laot dalam jarak yang tidak
terlalu jauh dari pantai. Setelah tulang tenggelam bendera diganti dengan warna putih
sekaligus mengisyaratkan para undangan di daratan sudah dapat memulai menyantap
hidangan yang disediakan. Menurut kepercayaan, para Nelayan bungkusan tulang belulang
kerbau itu akan dikerumi oleh ikan dan menjadi santapannya. Selama masih belum hilang
maka tulang belulang akan menjadi rumah ikan. Selama tujuh hari setelah kenduri tadi,
disekitar belulang ditenggelamkan siapapun tidak dibolehkan menangkap ikan disekitar
belulang yang ditenggelamkan. Karena lokasi itu merupakan tempat untuk ikan-ikan
bermain di lhok itu, bertelur dan menetaskan telurnya.
Pantangan tersebut seperti dilarang turun sehari penuh pada hari kenduri
berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari
jumat sejak terbit matahari hingga selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut
pada malam Jumat harus kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul
Fitri selama satu hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari
pertama sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang

8 http://maa.acehprov.go.id/?p=77

9
mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga selesai
penguburan.9

4.Upacara Peusijuek
Kata peusijuek (mendinginkan) barasal dari akar kata sijue yang berarti dingin.
Dingin atau sejuk, dalam negeri-negeri tertentu di daerah tropis berarti juga: kebahagiaan,
ketentraman, kedamaian panas (bahasa Aceh: seuuem) adalah serupa dengan
menimbulkan bencana. Jika seseorang memperoleh pengaruh-pengaruh panas atau
sedang berada dalam keadaan demikian, maka orang itu akan mencari obat-obat pendingin
untuk menghilangkan atau menolak pengaruh-pengaruh panas itu. Pada setiap umurnya,
manusia tidak terlepas dari pengaruh itu; oleh karenanya peusijue itu dilakukan pada
seluruh umur. Sebagai obat pendingin termasuk juga beras (bahasa Aceh:breueh) dan padi
(bahasa Aceh: pade), 2 butir telur mentah dan semangkok air yang dibubuhi kedalamnya
tepung beras sedikit (bahasa Aceh: teupong taweue). Dalam air itu dimasukkan juga
tumbuh-tumbuhan yang bersifat dingin, yaitu: on sisijue, on mane manoe dan naleueng
sambo; kadang kala dimasukkan juga on kala dan on pineueng mirah. Tumbuh-tumbuhan
itu diikat menjadi sebuah berkas kecil dan dengan itu dipercikkanlah orang yang hendak
didinginkan atau obyek itu. Kemudian orang tersebut disuntingkan (bahasa Aceh:
peusunteng) ketan kuning di belakang daun telinganya.10
Selain itu, biasanya acara peusijuek (menepung tawari) dilakukan masyarakat Aceh
sebagai bentuk syukur terhadap keselamatan dan kesuksesan meraih sesuatu, baik yang
berkaitan dengan benda maupun orang. Menurut Husin (1970) semua pesijuek ini
ditujukan sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT, atas nikmat yang diberikan-
Nya, sekaligus sebagai permohonan dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan
keselamatan hidup. Selain itu, peusijuek juga merupakan simbol adat untuk meminta maaf
kepada sesama atas suatu kesalahan dan kekhilafan.11

9 http://chaerolriezal.blogspot.com/2013/01/pengaruh-kebudayaan-hindu-dan-budha-
di.html
10 http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/2013/12/19/peusijuek-dalam-masyarakat-
aceh/
11 Muliadi Kurdi, Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosial Budaya
Dalam Masyarakat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004), hlm. 158

10
Beberapa pakar sejarah Aceh menyebutkan bahwa Peusijuk merupakan salah satu
peninggalan kebudayaan Hindu. Sejak masuknya Islam ke daratan Aceh, sebagian
kebiasaan atau adat masyarakat Aceh yang dianggap tidak bertentangan dengan Islam
masih dilestarikan dan diperbolehkan oleh para ulama pada zaman awal Islam di Aceh.
Sebagian praktik-praktik animisme dan ajaran Hindu juga masih diizinkan untuk
dipraktikkan dengan mengubah ritual-ritual tersebut sesuai dengan ajaran Islam, misalnya
jika dulu Peusijuk menggunakan jampi-jampi atau mantra, maka sekarang digantikan
dengan membacakan doa keselamatan dan keberkahan untuk orang yang akan di-Peusijuk.
Dalam perjalanannya, budaya Peusijuk ini mendapat banyak sorotan dari ulama-ulama
reformis. Peusijuk dianggap syirik dan tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan hadist.
Pertentangan terjadi antara ulama reformis dan ulama tradisional yang masih melakukan
tradisi ini dalam kesehariannya. Nyatanya, sampai sekarang, Peusijuek masih terus
bertahan dan dilestarikan keberadaannya oleh masyarakat Aceh, sebagai sebuah budaya
Islam. Mantra-mantra telah diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab atau disesuaikan
dengan momen dari Peusijuek tersebut. Peusijuek masih dilakukan baik oleh perorangan
maupun kelompok.12
Begitu juga acara belah kelapa saat peutreun aneuk miet (membawa keluar rumah bayi
pertama kali) juga merupakan tradisi-tradisi Hindu yang masih ada sampai sekarang dalam
kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga
merupakan tata cara berpakain Hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai
sekarang. Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam Islam, seperti pemujaan
terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat
dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan
budaya Hindu.
Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka (pintu air) tambak oleh petani
tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu yang masih dilakukan
sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik
yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus
dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang
dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini

12 http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/06/07/peusijuektradisi-warisan-leluhur-
masyarakat-aceh-566658.html

11
juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan
berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.13
Tari Seudati adalah nama tarian yang berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Seudati berasal dari kata syahadat, yang berarti bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori tribal war
dance atau tari perang, yang syairnya berusaha membangkitkan semangat pemuda Aceh
untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh karena itu, tarian ini sempat dilarang pada
zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi, sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan
menjadi kesenian nasional Indonesia.14

BAB III
KESIMPULAN

Pengaruh Hinduisme kedalam budaya Aceh memang sangat tranparan dan terasa kuat.
Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India. Menurut para kalangan ahli
sejarah, kedatangan orang-orang India ke Aceh diperkirakan pada awal abad Masehi.
Sedangkan pendapat S.M.Amin yang menyatakan bahwa pengaruh pertama terhadap
bangsa Aceh datang dari bangsa India masuk diperkirakan 2.500 SM. Dan saat itu orang-
orang India telah banyak membuat perkampungan di Aceh. Orang Hindu datang dari
Hindia menepati sebelah barat laut pulau Sumatra, dan mereka tertarik dengan rempah-
rempah yang ada di Nusantara. Sambil berniaga orang Hindu itu, mengembangkan agama
dan kebudayaan mereka di bumi Nusantara, dan mereka bergaul serta kawin dengan
masyarakat setempat, sehingga pada abad ke 2 Masehi telah banyak orang Hindu yang
menetap di Nusantara.
Dalam proses Islamisasi rakyat Peureulak Aceh, terjadi pada tahun 820 M. dan pada
tahun 840 M berdirilah kesultanan Islam Peureulak dengan diangkatnya Sultan Maulana

13 http://iskandarnorman.blogspot.com/2008/05/tradisi-hindu-dalam-budaya-aceh.html
14 Husni Thoyar, Pendidikan Agama Islam untuk SMP Kelas IX, (Jakarta: Pusat
Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional, 2011), hlm. 173.

12
Syaid Abdul Aziz sebagai pemimpinnya. Pada tahun 1042 berdirilah kerajaan Islam di
Pasai. Pada saat itu (1042 M) kerjaan Samudra kedatangan seorang pembaharu Islam, ia
benama Meurah Khair, sang pembaharu ini datang ke negeri Tanoh Data (sekarang sekitar
Cot Girek) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke pada raja Samudra.
Meurah Khair adalah berasal dari keluarga Sultan Mahmud Pereulak. Ia datang ke Negeri
Tanoh Data tidak hanya untuk mengembangkan Islam, akan tetapi ia juga mempunyai
target untuk membangun kerajaan Islam Samudra Pasai. Tujuan ini kemudian tercapai dan
ia menjadi raja yang pertama, dengan gelar Maharaja Mahdud Syah. Selain gelar ini yang
ia sandang, ia juga memiliki nama lokal yaitu Meurah Giri. Periode kekuasaanya adalah
1042-1078 M.

13
DAFTAR PUSTAKA

Cut Nyak Kusmiati, Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan Islam,
dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, Bandung: Al-Maarif, 1981
http://chaerolriezal.blogspot.com/2013/01/pengaruh-kebudayaan-hindu-dan-budha-di.html
http://diliputnews.com/read/16409/masyarakat-aceh-barat-gelar-ritual-rabu-abeh.html
http://iskandarnorman.blogspot.com/2008/05/tradisi-hindu-dalam-budaya-aceh.html
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/2013/12/19/peusijuek-dalam-masyarakat-
aceh/
http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/06/07/peusijuektradisi-warisan-leluhur-
masyarakat-aceh-566658.html
http://maa.acehprov.go.id/?p=77
https://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/dari-hinduisme-hingga-
islamisasi-di-aceh/
https://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/dari-hinduisme-hingga-
islamisasi-di-aceh/
Husni Thoyar, Pendidikan Agama Islam untuk SMP Kelas IX, Jakarta: Pusat Kurikulum
dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional, 2011.
Ismail Jakup, Sejarah Islam Di Indonesia, Jakarta:Widjaya, t.th
M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, Banda Aceh: Ajdam I Iskandar
Muda, 1968
Muliadi Kurdi, Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosial Budaya
Dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh: Yayasan Pena, 2004
S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, Jakarta: Soerongan, 1956

14

Anda mungkin juga menyukai