Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH MASA PELEBURAN DAN MASA BANGKIT KEMBALI KEPANDUAN

HIZBUL WATHAN

Dosen Pengampu : YOGA PRAYOGA. M.Pd

Disusun oleh :

Novia Cahyani

Dila Puspita
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN STKIP
MUHAMMADIYAH KUNINGAN TAHUN 2023

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr,Wb.

Segala puji bagi Allah SAW yang telah memberikan rahmat dan kenikmatan iman
dan Islam terhadap kita semua. Atas petunjuk-petunjukNya sebagaimana yang terkandung
di dalam AlQur’an dan AsSunnah, petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang di
ridhoi-Nya. Demikian juga penulis bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan
penulisan makalah yang sederhana ini, meskipun dalam penyusunannya penulis
mengalami berbagai kesuliatan karena masih terbatasnya pengetahuan penulisnamun,
berkat kerja keras akhirnya dapat terselesaikan dengan baik dengan judul
“ModelPembelajaran Reggio Emilia”.

Tidak lupa kami haturkan terimakasih kepada dosen pengampu matakuliah ini,
yang telah bersedia mengarahkan dan membimbing kami, dan kepada semua pihak yang
membantu terselesaikannya makalah ini. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Model-model Pembelajaran” yang dalam kesempatan ini
berbentuk makalah.

Tentunya dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekeliruan baik
secara penulisan maupun materi-materi yang dibahas didalamnya, oleh karena itu sangat
diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan
penulisan makalah dimasa-masa berikutnya. Selebihnya semoga dengan adanya makalah
ini dapat menambah wawasan bagi pembaca secara umum.
Wassalamu’alaikumWr,Wb.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………............................................................................ ii

DAFTAR ISI …………...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1

A. Latar belakang................................................................................................................ 1

B. RumusanMasalah .......................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Sejarah Kepanduan Di Indonesia....................................................................................3.

B. Kebagkitan Hizbul Wathan..............................................................................................9.

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 15

A. Kesimpulan .............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 19


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Masa peleburan dan masa bangkit kembali kepanduan Hizbul Wathan adalah periode
penting dalam sejarah organisasi tersebut. Hizbul Wathan adalah organisasi kepanduan yang
didirikan pada tahun 1953 di Indonesia. Organisasi ini memiliki tujuan utama untuk membangun
karakter generasi muda yang kuat, bertanggung jawab, dan mencintai tanah air.

Pada masa peleburan, Hizbul Wathan menghadapi tantangan besar. Pada awal tahun
r.1960-an, pemerintah Indonesia melarang semua organisasi kepanduan karena dianggap
memiliki potensi untuk mengganggu stabilitas politik. Hal ini menyebabkan Hizbul Wathan
terpaksa dibubarkan dan kegiatan-kegiatannya dihentikan.

Namun, meski mengalami masa sulit, semangat dan tekad para anggota Hizbul Wathan
untuk memperjuangkan nilai-nilai kepanduan tidak pernah padam. Masa bangkit kembali
kepanduan Hizbul Wathan dimulai pada tahun 1998 setelah jatuhnya rezim otoriter di Indonesia.
Di bawah kepemimpinan baru, Hizbul Wathan berhasil bangkit kembali dan menghidupkan
kembali kegiatan-kegiatan kepanduan.

Masa bangkit kembali ini membawa perubahan signifikan dalam Hizbul Wathan.
Organisasi ini mulai fokus pada pembangunan karakter pemuda melalui kegiatan-kegiatan
kepanduan yang relevan dengan era modern. Hizbul Wathan juga berkomitmen untuk
berkontribusi dalam pembangunan masyarakat dan negara.

Dalam masa bangkit kembali kepanduan Hizbul Wathan, organisasi ini berhasil meraih
banyak prestasi. Mereka aktif dalam kegiatan sosial, lingkungan, dan pendidikan. Hizbul Wathan
juga menjadi wadah bagi pemuda untuk mengembangkan potensi diri dan keterampilan
kepemimpinan.

Masa peleburan dan masa bangkit kembali kepanduan Hizbul Wathan merupakan
perjalanan yang menggambarkan ketahanan dan semangat perjuangan organisasi dalam
menghadapi tantangan dan mengembangkan diri. Melalui upaya yang gigih dan komitmen yang
kuat, Hizbul Wathan terus menjadi kekuatan positif dalam membentuk karakter generasi muda
Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Kepanduan Di Indonesia ?


2. Bagaimana Kebagkitan Hizbul Wathan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penyusunannya makalah ini adalah:

1. Mengetahui Sejarah Kepanduan Di Indonesia


2. Mengetahui Kebagkitan Hizbul Wathan
BAB II

SEJARAH KEPANDUAN DI INDONESIA

A. KEPANDUAN

Kepanduan sebagai bentuk gerakan pemuda-pemudi menurut anggapan umum didirikan


tahun 1908 oleh Lord Robert Baden Powell yang dihormati sebagai Bapak Kepanduan
Sedunia. Tujuan : pembangunan mental, moral dan jasmaniah dan latihan-latihan untuk
menjadi warga negara yang baik.

Tetapi sifat gerakan kepanduan putra pribumi di Indonesia (sebagai tanah jajahan)
tidaklah sama. Kepanduan Indonesia menyimpan pengaruh pergerakan (kemerdekaan)
nasional umum. (N.I.P.V.) Nederlandsch Indische Padvinders Vereeneging ialah perhimpunan
kepanduan di Hindia Belanda di bawah pimpinan dan mayoritas golongan Belanda (didirikan
tahun 1917). Kepanduan bangsa Indonesia, dengan sendirinya, mengikuti arah perkembangan
cita-cita nasional.

J.P.O. (Javansche Padvinders Organisatie), perhimpunan kepanduan Indonesia yang


pertama (1916) bermaksud pula menjadi tempat pembibitan (ketentaraan Mangkunegaran).
Setelah tahun 1920 timbul banyak sekali kepanduan Indonesia sebagai cabang (onderbow)
perkumpulan-perkumpulan orang dewasa, unsur politik nasional terkandung di dalamnya. PKI
terutama di Semarang, membentuk kepanduan beranggotakan murid-murid dari sekolah-
sekolah rakyat. Banyak timbul kelompok-kelompok kecil kepanduan yang berhubungan
dengan PKI. Perhimpunan-perhimpunan lain pun tak ketinggalan. Algemene Studie Club
dengan N.P.O.-nya (Nationale Padvinders Organisatie); SI dengan SIAP (Serikat Islam
Afdeling Pandu); MUHAMMADIYAH mempunyai HIZBUL WATHAN; Budi Oetomo
membentuk Nationale Padvinderij; J.J. dengan J.J.P.-nya (Jong Java Padvinderij, kemudian
menjadi Pandu Kebangsaan); Jong Islamiten Bond dengan Napity (Nationale Islamitische
Padvinderij); Pemuda Indonesia dengan INPO (Indonesische Pemuda Sumatera); kaum teosof
menggerakkan J.I.P.O. (Jong Indonesische Padvinders Organisatie); PBI dengan Surya
Wirawan. Taman Siswa mendirikan Siswa Proyo; ada pula Al-Kasyaf wal Fajri.

Dalam tahun 1927 di bawah pimpinan Sunario, SH dibentuk Persaudaraan Antar Pandu
Indonesia (PAPI), tanda hasrat persatuan yang hidup dan berkembang di kalangan kaum
terjajah. Bertambah banyaknya kepanduan Indonesia menarik perhatian (yang mengandung
kekhawatiran) N.I.P.V. Anggaran Dasarnya dilonggarkan (1928) dengan maksud agar
kepanduan-kepanduan Indonesia suka menggabungkan diri dengan N.I.P.V. Hanya J.I.P.O.
yang menggunakan kesempatan itu. Lain-lainnya tetap di luar, berkembang ke arah cita-cita
Indonesia Bersatu. Badan federasi yang pertama terbentuk PAPI. Selaras dengan
perkembangan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang mengadakan fusi (1929) PAPI pun
tidak bertahan. Diadakan konperensi pengurus-pengurus besar kepanduan Indonesia 15
Desember 1929. Diputuskan dalam prinsip mengadakan dua badan fusi : KEPANDUAN
NASIONAL dan KEPANDUAN ISLAM. (*selanjutnya KEPANDUAN BANGSA
INDONESIA – KBI).

Dalam masa pendudukan Jepang semua orgsnisasi kepanduan tidak diperbolehkan;


diganti dengan bentukan seperti Seinendan, Keibondan dan lain-lainnya, (PERGERAKAN
INDONESIA – JEPANG*).

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pergerakan kepanduan Indonesia hidup


kembali dan berkembang menanjak. Dalam, tahun 1954 tercatat tujuh puluh satu (71)
organisasi kepanduan dengan jumlah anggota lebih kurang seratus sembilan puluh empat ribu
(=194.000) pandu putra dan empat puluh satu ribu (=41.000) pandu putri. Menurut jumlah
anggotanya HIZBUL WATHAN menduduki tempat paling atas, disusul berturut-turut oleh
Anshor, Pandu Rakyat Indonesia, KBI, Pandu Islam Indonesia dsb. Banyaknya perkumpulan
kepanduan memerlukan badan kerjasama dan koordinasi yang terwujud dengan pembentukan
Ipindo (Ikatan Pandu Indonesia, 16 September 1951). Jambore Nasional pertama diadakan
pada hari peringatan sepuluh tahun Indonesia Merdeka (17 Agustus 1955) di Karang Taruna –
Pasar Minggu, Jakarta, yang diikuti dari berbagai suku bangsa Indonesia. Ipindo dalam bulan
Mei 1960 direorganisasi dan diganti nama PERKINDO (Persatuan Kepanduan Indonesia).
Sejak tahun 1961 semua organisasi Kepanduan di Indonesia diganti dengan satu nama yaitu
Pramuka singkatan dari Praja Muda Karana.
B. KEPANDUAN BANGSA INDONESIA (KBI)

Konperensi pengurus besar kepanduan-kepanduan Indonesia (Desember 1925) – setelah


usaha-usaha yang terdahulu tidak membawa hasil – memutuskan dalam prinsip menyetujui
pembentukan badan fusi kepanduan. Sebagai kelanjutan didirikan Komisi Besar (Februari
1930) yang mempersiapkan rencana organisasi persatuan kepanduan nasional. Asas-asas
kepanduan dunia (mengajarkan permainan, memperluas perasaan, pikiran, dan tabiat,
mendidik warga negara yang baik yang bekerja untuk rakyat dan tanah air, dsb.) akan diikuti
dan disesuaikan dengan adat-istiadat dan kepribadian bangsa Indonesia yang bercita-cita
mencapai Indonesia Merdeka.

Setelah rencana-rencana disetujui oleh perkumpulan-perkumpulan yang bersangkutan,


maka berdirilah KEPANDUAN BANGSA INDONESIA (KBI, awal 1931). Badan fusi ini
mulai melangkah dengan lima puluh tujuh (=57) cabang. KBI berdiri sendiri, terlepas dari
INDONESIA MUDA sebagai badan fusi perhimpunan-perhimpunan pemuda. Pandu KBI
mengenakan kain leher Merah Putih yang juga menjadi warna panji-panjinya. Seperti juga
perkembangan dalam pergerakan pemuda, di luar KBI masih banyak (gabungan)
perkumpulan-perkumpulan kepanduan lain, yang telah ada dan yang timbul baru. Kepanduan-
kepanduan yang berasaskan Islam (Hizbul Wathan, SIAP, Napity, Al-Kasyaf wal Fajri)
membentuk federasi. Dalam tahun 1933 didirikan Kepanduan Rakyat Indonesia yang dalam
penangkapan tahun 1935 ikut terlibat. Meskipun demikian, keinsyafan akan perlunya
persatuan tetap hidup. Usaha-usaha ke arah itu dijalankan dan berhasil pula. *BADAN
PUSAT PERSAUDARAAN KEPANDUAN INDONESIA (BPPKI)

BADAN PUSAT PERSAUDARAAN KEPANDUAN INDONESIA (BPPKI)

Federasi kepanduan didirikan bersama oleh KBI, SIAP, Napity dan Hizbul Wathan
(April 1938). Diputuskan akan mengadakan perkemahan besar umum dengan mengajak serta
kepanduan-kepanduan di luar federasi. Perundingan mengenai hal itu, yang diperlukan
diadakan dengan pengurus besar berbagai perhimpunan kepanduan (Desember 1938).

Sementara itu usaha untuk menarik lebih banyak perkumpulan kepanduan ke dalam
federasi terus djalankan dan berhasil. Pada tgl. 10 Februari 1941 berlangsung konperensi
kepanduan di Solo yang mengambil berbagai keputusan, antara lain dinyatakan bahwa badan
federasi terbuka untuk semua kepanduan Indonesia; perkemahan akan diselenggarakan pada
bulan Juli 1941 dan dinamakan Perkemahan Kepanduan Indonesia Umum; kepanduan-
kepanduan yang bergabung dalam N.I.P.V. (Nederlandsch Indische Padvinders Vereeneging).
D. Gerakan Kepanduan – HIZBUL WATHAN

Dari ENSIKLOPEDI UMUM (1962/1967-1971/1973 – Kanisius, Yogyakarta) dapat


dikutip dan diangkat kesaksian dan pernyataan sejarah sebagai berikut: “ MUHAMMADIYAH
sejak berdirinya maju pesat; jumlah anggotanya naik cepat. Berhasil mendirikan banyak
rumah sekolah, memberikan kursus-kursus agama, mendirikan poliklinik, perumahan anak
yatim-piatu, dll. Pengajaran modern untuk anak-anak perempuan sangat diperhatikan.
Bagian wanitanya AISYIYAH, berdiri sendiri. Gerakan pemudanya ialah Kepanduan
HIZBUL WATHON.”

Pernyataan dan kesaksian sejarah Hizbul Wathan juga terukir di dalam ENSIKLOPEDI
ISLAM (Jilid-2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) sebagai berikut, “HIZBUL WATHAN
(Arab=pembela tanah air), nama barisan pandu (sekarang pramuka) Muhammadiyah. Hizbul
Wathan berazaskan: 1) Agama Islam dengan maksud: (a) Memasukkan pelajaran agama
Islam dalam Undang-Undang dan Perjanjian Hizbul Wathan dan dalam syarat mencapai
tingkat kelas; (b) Memperdalam dan meresapkan jiwa Islam dalam latihan kepanduan dan
memajukan amal ibadat sehari-hari; 2) Ilmu Jiwa, yang dipakai dalam kegiatan belajar dan
bermain; 3) Kemerdekaan dalam bekerja dan latihan. Tujuan dan maksud Hizbul Wathan
adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang
berarti.”

HIZBUL WATHAN pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan oleh KH. Mas
Mansur di Surabaya pada tahun 1916 setelah ia meninggalkan organisasi Nahdatul Wathan
yang dibentuknya bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Muhammadiyah mengambil nama itu menjadi perkumpulan pandunya yang didirikan


pada tahun 1918 di Yogyakarta. Gagasan pembentukan barisan kepanduan Hizbul Wathan
dalam Muhammadiyah muncul dari KH. Ahmad Dahlan sekitar tahun 1916 ketika beliau
kembali dari perjalanan tabligh di Surakarta pada pengajian SAFT (Sidiq, Amanah, Fathonah,
Tabligh) yang secara rutin diadakan di rumah KH. Imam Mukhtar Bukhari. Di kota tersebut
beliau melihat anak-anak JPO (Javansche Padvinders Organisatie) dengan pakaian seragam
sedang latihan berbaris di halaman pura Mangkunegaran. Sesampainya di Yogyakarta, beliau
membicarakannya dengan beberapa muridnya, antara lain Sumodirjo dan Sarbini, dengan
harapan agar pemuda Muhammadiyah juga dapat diajar tentang kepanduan guna berbakti
kepada Allah Swt. Sejak pembicaraan itu mulailah Sumodirjo dan Sarbini merintis berdirinya
di dalam Muhammadiyah. Kegiatan pertama banyak diarahkan pada latihan baris-berbaris,
olah raga, dan pertolongan pertama pada kecelakaan. Pada setiap Ahad sore para peserta
dilatih dengan kegiatan-kegiatan di atas, pada malam Rabu mereka diberikan bekal
keagamaan. Dari cikal bakal itu lahirlah Hizbul Wathan pada tahun 1918, pada waktu itu
bernama Padvinder Muhammadiyah. Kemudian, karena dianggap kurang relevan, atas usul H.
Hadjid nama itu ditukar menjadi Hizbul Wathan.

Susunan pengurus dan personalianya yang pertama adalah: Ketua H. Mukhtar Bukhari,
Wakil Ketua H. Hadjid, Sekretaris Sumodirjo, Keuangan Abdul Hamid, Organisasi Siraj
Dahlan, Komando Sarbini dan Damiri. Untuk memajukan Padvinder Muhammadiyah ini, para
pengurus mengambil pedoman pelajaran dari JPO Surakarta.

Setelah tahun 1924 Hizbul Wathan berkembang di Jawa, bahkan telah dapat melebarkan
sayapnya ke luar Jawa. Cabang-cabang baru Hizbul Wathan kian banyak berdiri. Cabang
pertama yang berdiri di luar Jawa ialah di Sumatra Barat, yang dibawa oleh wakil-wakil yang
menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta pada tahun 1928. Dalam
kesempatan itu wakil-wakil tadi tinggal beberapa lama di Yogyakarta setelah Kongres usai
guna mempelajari dan ikut latihan kepanduan; dengan modal itu mereka mengembangkan
kepanduan di daerah yang mengutusnya.

Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta tanah air
kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan yang bertekad ikut serta
dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping itu, latihan-latihan kepanduan
mempunyai andil yang besar dalam melatih kader-kader bangsa dalam menghadapi kaum
kolonial yang sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-latihan itu ternyata
membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan Hizbul Wathan ini muncul
sederetan tokoh yang cukup handal, seperti Sudirman, KH. Dimyati, Surono, Ki Bagus
Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik, Suharto, M.
Sudirman, Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain. (Ensiklopedi Islam, I.B. Van HOEVE, Jilid
II, hal. 119-120)

Ketika Jepang masuk, secara organisatoris Hizbul Wathan lebur, sesuai dengan kehendak
Jepang yang membubarkan segenap organisasi yang ada pada waktu itu. Meskipun demikian,
aktivis-aktivis Hizbul Wathan tetap berkiprah dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh
Jepang seperti Keibondan, Seinendan, PETA, Hizbullah, dan sebagainya.

Dalam organisasi-organisasi tersebut malah para anggota Hizbul Wathan memegang


peranan yang penting.

Setelah Kemerdekaan Indonesia, para pemuda banyak diarahkan untuk memperkuat


persatuan dan kesatuan bangsa. Segala perkumpulan pandu yang ada sebelumnya dilebur dan
disatukan dalam satu wadah kepanduan yaitu Kesatuan Kepanduan Indonesia. Dalam rapat
yang diadakan di Surakarta pada tgl. 27-30 Desember 1945 diputuskan pembentukan Pandu
Rakyat Indonesia yang menyatukan segenap pandu yang ada di Indonesia dalam satu naungan
guna mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan
yang masih amat muda pada saat itu.

Beberapa tahun kemudian situasi politik mulai berubah dan Pandu Rakyat Indonesia
yang dibentuk pada tahun 1945 dirasakan tidak begitu efektif lagi. Oleh karena itu, pada tahun
1950 Hizbul Wathan mulai diaktifkan lagi. Sejak itu Hizbul Wathan mulai merata kembali
anggota-anggotanya dan organisasinya secara umum di samping mengembangkannya ke
seluruh tanah air di mana Muhammadiyah ada. Kegiatan tersebut berjalan terus sampai
terbitnya Keputusan Presiden no.238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka yang
mengharapkan agar segenap organisasi kepanduan yang ada di Indonesia meleburkan diri
dalam perkumpulan Pramuka.

Dalam rangka memenuhi seruan tersebut, maka gerakan kepanduan Hizbul Wathan
dalam suratnya tgl. 8 Juni 1961 kepada Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka menyatakan
bersedia meleburkan diri dalam perkumpulan Gerakan Pramuka. Surat tersebut ditandatangani
oleh HM. Mawardi dan H. Amin Luthfi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Majlis
Hizbul Wathan Yogyakarta.

Sebagai anak dari organisasi Muhammadiyah, Hizbul Wathan terkait erat dengan cita-
cita Muhammadiyah. Hal ini tercermin dari Keputusan Kongres tahun 1938 yang menyatakan
bahwa sebagai pemuda Muhammadiyah, anak-anak Hizbul Wathan harus membiasakan diri
mengamalkan pekerjaan dalam Muhammadiyah, mereka harus siap menolong dan berjasa
untuk keperluan Muhammadiyah khususnya dan agama Islam umumnya.

Keanggotaan Hizbul Wathan terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat I disebut tingkat athfal
yang diperuntukkan bagi anak-anak berumur 6-12 tahun, yang dibedakan lagi Athfal Melati,
Athfal Bintang Satu dan Athfal Bintang Dua. Tingkat II disebut Pengenal, umur 12-17 tahun,
yang terdiri dari Tangga I kelas III, Tangga II kelas II, Tangga III kelas I. Di atasnya lagi ada
tingkat Penghela, untuk 17 tahun ke atas. Perbedaan yang ada dalam tingkat ditentukan oleh
kemampuan masing-masing anggota dalam latihan dan pelajaran.

KEBANGKITAN HW

A. KEBANGKITAN KEMBALI HW SEBAGAI ORTOM MUHAMMADIYAH

Semenjak dikumandangkannya dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan


konstituante dan menetapkan kembali ke UUD 1945, Bung Karno berhasil mengambil jalan
pintas membabat habis dan mematikan “rasionalitas”, menggantinya dengan menancapkan
tonggak-tonggak sejarah “irasionalitas” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelompok-kelompok rasional dikejar-kejar, ditangkap, disekap dan dipenjarakan tanpa proses
hukum (peradilan).

Hanya dalam kurun waktu lima tahun (1959-1965) berjalan dia bisa memperoleh dan
memenuhi segala keinginan dan hasrat nafsu pribadinya melalui cara-cara yang irasional.
Dengan berselancar di atas perahu REVOLUSI BELUM SELESAI, dia kibarkan bendera
REVOLUSI TERPIMPIN berlandaskan MANIPOL USDEK. Dia transit sebentar di dermaga
MPRS, menyampaikan pidato yang memekakkan telinga pendengarnya. Dari pidato yang
heboh itu tidak ada yang mampu memberikan tanggapan, tidak ada interupsi apalgi
interpelasi. Lalu berselancar lagi dengan energi baru sebagai presiden, mandataris MPRS dan
menyandangkan blanket baru berlogo PEMIMPIN BESAR REVOLUSI.

Sebagai presiden/mandataris MPRS, Bung Karno yang mengemban amanat penderitaan


rakyat (AMPERA), membutuhkan banyak aksesoris tambahan berupa simbol-simbol
kekuasaan dan gelaran-gelaran guna memperkuat “gezag” juga sebagai alat untuk
melanggengkan kekuasaan. Tidak usah repot melalui perdebatan yang a lot di MPRS baginya,
memperoleh kedudukan sebagai pemimpin besar revolusi (Indonesia/PBR).
Hanya dengan modal pidato ke pidato yang lainnya, dia bisa mendapatkan kedudukan
sebagai panglima tertinggi (PANGTI), sebagai penguasa perang tertinggi (PEPERTI), sebagai
mandataris MPRS sekaligus pemimpin besar revolusi (PBR).

Tidaklah sulit bagi Bung Karno memeras MANIPOL (Manifestasi Politik) menjadi
USDEK yang dipidatokan pada tanggal 17 Agustus 1959, memeras Pancasila menjadi
“trisila”, diperas lagi menjadi “ekasila” yang sama dengan “gotong royong” sebagai
pengejawantahan “Sosialisme Indonesia”, kemudian memeras IPOLEKSOSBUD (Ideologi,
politik, sosial, dan budaya) menjadi NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunisme) diaduk-
aduk dan diperas menjadi satu “nasakom”. Terhadap yang satu terakhir ini
MUHAMMADIYAH tidak ikut alias menolak secara halus dengan memberikan gelar kepada
Bung Karno sebagai NAHKODA AGUNG. Menjelang ke puncak kedikdayaannya pada tahun
1961, menyematkan gelar pada dirinya sebagai PANDU TERTINGGI atau PRAMUKA
TERTINGGI di atas SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO Ke-IX sebagai PANDU
AGUNG.
B. PANDU AGUNG

Malam itu Kamis, 9 Maret 1961 para pemimpin pandu yang mewakili lebih dari 60
organisasi kepanduan di seluruh Indonesia telah hadir di Istana Merdeka Jakarta, atas
panggilan PENGUASA PERANG TERTINGGI SOEKARNO. Pada jam 20.00 WIB Bung
Karno menyampaikan pidato (pemberangusan) di hadapan para pemimpin Pandu Indonesia
itu, yang beberapa kalimat pokok (nya) dikutip di bawah ini:

“Saya harap agar supaya kepanduan-kepanduan ini organisasi-organisasinya


meleburkan diri dan oleh karena tadi saya berkata “satu”, maka saya sebagai presiden,
panglima tertinggi, PEPERTI, mandataris dari pada MPRS, bahkan yang oleh MPRS
dinamakan pemimpin besar revolusi, akan melarang sesuatu kepanduan di luar daripada
yang satu ini. Nanti kalau sudah dilebur kepanduan-kepanduan ini, hanya ada satu, di luar
yang satu ini tidak —— dilarang.

—————————————————–(selanjutnya)——————————————–

Tadi sudah saya katakan kita ini berdiri di atas USDEK. Kepribadian Indonesia,
namanya pun harus satu nama yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Dan saya kira
nama itu nama PRAMUKA adalah baik, jadi nanti, hanya ada satu organisasi PRAMUKA.
Saya sebagai presiden sebagai panglima tertinggi, sebagai mandataris, sebagai
PEPERTI, sebagai pemimpin besar revolusi, sebagai yang diberikan titel kepada saya oleh
MPRS, memperintahkan sekarang kepada seluruh kepanduan Indonesia, untuk meleburkan
diri di dalam organisasi baru yang bernama PRAMUKA. Dengan saya sendiri sebagai
PANDU TERTINGGI atau PRAMUKA TERTINGGI, dengan dibantu oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono.

Bung Karno menekankan perintahnya itu agar pada tanggal 17 Agustus 1961, sudah
berbaris PRAMUKA di seluruh wilayah Indonesia. Tidak ada yang berani membantah karena
sebelumnya sudah diumumkan SOB (Staat van oorlog en beleg) Negara dalam keadaan
perang dan darurat perang.

Semuanya berjalan menuruti kehendak sang pemimpin besar revolusi tidak ada lagi
yang bertanya apalagi menolak ataupun membantah. Dan pada tanggal 20 Mei 1961
dikeluarkan KEPRES No. 238 tahun 1961 tentang GERAKAN PRAMUKA yang diktum ke-
3nya berbunyi:
Ketiga : Badan-badan lain yang sama, yang sama sifatnya atau yang menyerupai
perkumpulan GERAKAN PRAMUKA dilarang adanya.

Tidak ada celah bagi para pemimpin pandu untuk menyampaikan koreksi, menghindar
atau melarikan diri dari sergapan kepres yang melumpuhkan itu. Walaupun dalam tradisi
patriotic ada pilihan “fight or flight”. Maka meleburlah pandu-pandu dalam PRAMUKA
termasuk persyarikatan segera setelah pidato Bung Karno tanggal 9 Maret 1961 itu,
mengeluarkan maklumat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomer: 302/IV-a/’61,
Hal : Hizbul Wathan (HW) sesudah adanya perintah peleburan organisasi kepanduan.

Isi maklumat itu dikutip amarnya sebagai berikut:

Hizbul Wathan adalah merupakan sebagian gerakan dalam organisasi Muhammadiyah.

Pemimpin Pusat Muhammadiyah memutuskan :


1. Mematuhi dan memenuhi perintah tersebut.

2. Mentiadakan organisasi Hizbul Wathan.


3. Menunjuk saudara-saudara MH. Mawardi, Muh. Sumitro, H. Muh. Luthfie dan HA.
Dwidjo Suparto untuk membereskan segala sesuatunya berkenaan dengan perintah Negara
tersebut. Maklumat ini dikeluarkan pada 15 Maret 1961/28 Syawal 1380 H.

Dalam menutup pidatonya, Bung Karno mengingatkan kembali kepada para pemimpin
pandu agar setelah ini para pemimpin pandu memalingkan pandangannya ke arah Sri Sultan
Hamengkubuwono selaku Pandu Agung. Namun pandu Hizbul Wathan seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, memalingkan dan
mengarahkan pandangannya ke arah “KIBLAT”. Hal ini dilakukan semata-mata karena
perintah Allah “…..dan berpalinglah/tinggalkan orang-orang yang bodoh itu”. Marjinalisasi
telah terjadi, maka GK-HW patuh menjalani siklusnya (metafor) sebagai “as-habul kahfi”
sampai datangnya pertolongan Allah (selama 40 tahun).

C. ZAMAN BERUBAH

Seiring perjalanan waktu, musim berganti musim dan zaman pun berubah. Rezim
Demokrasi Terpimpin tidak bertahan lama (1961-1965) karena kekuasaan dijalankan secara
otoritarian, tiranik, yang melarang masuknya segala yang berbau rasionalitas. Kekuasaan
USDEK hanya bertumpu pada 3 (tiga) kekuatan yaitu: Bung Karno sendiri, PKI dan ABRI –
dengan Soekarno sebagai penyeimbang. Ini berarti PKI berhadapan secara diagonal terhadap
ABRI plus kekuatan rasional (Islam). Ketika PKI mendesakkan tuntutannya untuk
membangun “angkatan ke-5” mempersenjatai “buruh dan tani” maka goyahlah si
penyeimbang dan meletuslah tragedi nasional G30S/PKI – maka ambruklah rezim Soekarno
yang kemudian disebut sebagai pemerintah ORDE LAMA (ORLA). Dan PRAMUKA pun tak
sempat digerakkan untuk menopang gelombang revolusi yang belum selesai menuju
masyarakat “sosialis” ala Indonesia (ala Bung Karno).

Datangnya musim gugur di akhir September kelabu (1965) – gugurnya para Pahlawan
Revolusi (1945) akibat pengkhianatan G30S/PKI – menyulut jiwa patriotik kaum
Muhammadiyah. Pada tanggal 2 Oktober 1965 Ketua PP Muhammadiyah Kyai Ahmad
Badawi mengumandangkan amanat bela negara dalam satu kalimat yang singkat-jelas-tegas: –
“Menumpas G30S/PKI adalah ibadah !”. Amanat bela negara yang dimaknai sebagai perintah
harian itu membawa angin segar perubahan.
Musim semi pun datang menggantikan musim gugur. Kekuasaan berpindah tangan dari
Soekarno ke Soeharto, dari penguasa otoritarian ke tangan penguasa yang sentralistik – yang
kemudian disebut sebagai ORDE BARU (ORBA). Begitulah perubahan demi perubahan
datang silih berganti. Dari tangan Pak Harto ke tangan B.J. Habibie – lalu berpindha ke
tangan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur – terus berpindah lagi ke tangan Megawati
Soekarno Putri – dan masih di era Reformasi (1998) kekuasan berpindah tangan lagi ke
Soesilo Bambang Yudhoyono yang lebih dikenal dengan sebutan SBY.

Pertanyaannya sekarang, selama masa 37 tahun itu “dimanakah PRAMUKA?”.


Jawabnya sangat sederhana. Pramuka dipelihara oleh PENGUASA, merupakan harta karun –
merupakan kekayaan perpolitikan Indonesia. PRAMUKA menyimpan potensi besar sebagai
pemilih pemula untuk memenangkan Pemilihan Umum bagi Partai Penguasa. Bahkan oleh
Partai Politik yang berkuasa sekaran – dibuatkan “sangkar emas” dalam bentuk Undang-
Undang Pramuka.
D. KEBANGKITAN HIZBUL WATHAN

Berawal dari Amien Rais Guru Besar UGM Yogyakarta yang mewacanakan perlunya
segera dilakukan suksesi kepemimpinan nasional, di dalam sidang Tanwir Muhammadiyah
tahun 1993 di Surabaya. Bola panas itu terus digelindingkan tanpa waktu jedah, – membentur
dan membakar kisi-kisi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Belenggu Normalisasi
Kehidupan Kampus dalam bentuk Badan Keamanan Kampus dibongkar dan dilepaskan,
sehingga mahasiswa memperoleh kembali kebebasan dan kemerdekaan berkumpul dan
berserikat, mengemukakan gagasan dan pendapat yang eksploratif. Angin panas reformasi tak
dapat dibendung memasuki pintu-pintu istana, meruntuhkan kekuasan Pak Harto.

Momentum inilah yang digunakan oleh seorang Pandu Hizbul Wathan –Amien Rais–
mendorong Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membangkitkan kembali Gerakan
Kepanduan Hizbul Wathan. Sense of Urgency dan kearifan intelektual – spiritual para
pimpinan Muhammadiyah – memutuskan dan menetapkan KEBANGKITAN Gerakan
Kepanduan Hizbul Wathan (1999). Pertolongan Allah sudah datang, setelah terpinggirkannya
semua yang harus dipinggirkan oleh rezim orde baru.
E. DALAM ORTOM MUHAMMADIYAH
URGENCY – dalam keadaan dan kebutuhan mendesak – tuntutan yang sangat kuat dari
sejarah perjuangan dan pengabdian Persyarikatan Muhammadiyah kepada Ibu Pertiwi, Hizbul
Wathan harus ada dan bangkit kembali. Sejak didirikannya pada 6 Juni 1918 oleh Sang
Pencerah – KH. Ahmad Dahlan – Pandu Hizbul Wathan diberi ruang yang amat strategis
untuk melaksanakan pendidikan bagi anak-anak, remaja/pemuda dan orang dewasa di LUAR
SEKOLAH dan LUAR RUMAH.

Dari Ensiklopedi Umum – Kanisius 1962/1967 Jakarta Hal. 720 dapat dikutip catatan
sebagai berikut:

“MUHAMMADIYAH, organisasi Islam beraliran maju, didirikan di Yogyakarta oleh


Kyai Haji Ahmad Dahlan (November 1912)”. ….selanjutnya …. pengajaran modern untuk
anak-anak dan perempuan sangat diperhatikan. Gerakan wanitanya AISYIYAH, berdiri
sendiri. Gerakan pemudanya ialah kepanduan HIZBUL WATHON….selanjutnya, halaman
549….

“Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pergerakan kepanduan hidup kembali dan


berkembang menanjak. Dalam tahun 1954 tercatat tujuh puluh organisasi kepanduan dengan
jumlah anggota lebih kurang seratus sembilan puluh empat ribu putra dan empat puluh satu
ribu pandu putri. Menurut jumlah anggotanya Hizbul Wathan menduduki tempat yang paking
atas, disusul berturut-turut oleh Anshor…dst.”

Dari Ensiklopedi Islam – I.B. Van HOEVE Jilid II hal. 119-120 dikutip catatan sebagai
berikut:

“HIZBUL WATHAN (Arab=pembela tanah air), nama barisan pandu Muhammadiyah.


Hizbul Wathan berazaskan: 1) Agama Islam dengan maksud: (a) Memasukkan pelajaran
agama Islam dalam Undang-Undang dan Perjanjian Hizbul Wathan dan dalam syarat
mencapai tingkat kelas; (b) Memperdalam dan meresapkan jiwa Islam dalam latihan
kepanduan dan memajukan amal ibadat sehari-hari; 2) Ilmu Jiwa, yang dipakai dalam
kegiatan belajar dan bermain; 3) Kemerdekaan dalam bekerja dan latihan. Tujuan dan
maksud Hizbul Wathan adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak menjadi
orang Islam yang berarti.”

“Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta tanah
air kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan yang bertekad ikut serta
dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping itu, latihan-latihan
kepanduan mempunyai andil yang besar dalam melatih kader-kader bangsa dalam
menghadapi kaum kolonial yang sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-
latihan itu ternyata membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan Hizbul
Wathan ini muncul sederetan tokoh yang cukup handal, seperti Sudirman, KH. Dimyati,
Surono, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik,
Suharto, M. Sudirman, Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain.”

DENGAN mencermati secuil pendekatan lintasan sejarah perjuangan, pengabdian,


kesetiaan dan ruh cintanya kepada tanah air – menempatkan Hizbul Wathan bukan sebagai
“pandu pohon pisang”, yang sekali berbuah maka selesailah tugasnya.

Sekali pandu tetap memandu sepanjang hayatnya. Semakin maju peradaban, semakin
kompleks masalah yang dihadapinya. Ruang pengabdian yang berupa MAJLIS tidak lagi
mencukupi untuk mengelola wilayah pendidikan di luar sekolah dan di laur rumah – di alam
terbuka sebagai kampus kehidupan sosial. Dan oleh sebab itulah kehadiran/kebangkitan HW
sebagai organisasi otonom (ORTOM) dalam Muhammadiyah harus di “follow up” tidak
untuk diperdebatkan dari sisi manapun.
F. FOLLOW UP

“Follow UP”, sebuah kata yang cukup populer terkait dengan pelaksanaan suatu
keputusan. Follow up mengandung makna perintah melaksanakan keputusan yang telah
ditetapkan, mengikuti terus menerus perkembangannya, mengidentifikasi kendala-kendala
yang menyertainya dan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan sehingga terwujudnya
“keputusan” itu.

Hizbul Wathan mengemban perintah melaksanakan keputusan persyarikatan yang


menetapkan sebagai ORTOM dengan pikulan beban dan tanggungjawab yang amat berat –
serta tanggungan resiko finansial dan nonfinansial. Dalam melaksanakan keputusan itu
dengan patrol system (beregu/berjamaah) melangkahkan derap kakinya, menjejakkan kedua
kakinya di atas “tanah realitas” sosial. Dari rekam penjelajahan di atas realitas sosial itu
ditemukan berbagai “ketimpangan” – “Iritan” – kalau tidak boleh dikatakan sebagai
kerusakan, antara lain:

1. Pendidikan di “rumah” bagi generasi bangsa usia sekolah tidak terselenggara dengan baik
– terabaikan karena kedua orang tua sibuk mencari nafkah. Atau bahkan kedua orang tua
sibuk di luar rumah mencari kekayaan semata-mata ingin jadi orang kaya.
2. Lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) hanya bisa transfer of knowledge. Ketika
kebudayaan dipisahkan dari pendidikan di era reformasi ini, pendidikan nasional kita
kehilangan arah bahkan hanyut ke arah globalisasi. Bersamaan dengan itu UNAS (Ujian
Nasional) yang terus dipertahankan telah melahirkan perjokian dan kebiasaan nyontek
yang mematikan daya kreativitas.

3. Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) menyebabkan iritan pada dunia pendidikan
nasional, membuka celah diskriminasi.

Itulah sedikit gambaran kerusakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di


sektor pendidikan, belum di sektor ekonomi, politik dan pelayanan sosial yang menyuburkan
korupsi berjamaah dan perusakan ekologis yang sangat parah (urgent). Manusia Indonesia
dewasa ini sedang terjebak dalam krisis multi dimensional yang nampak ke permukaan dalam
berbagai gejolak pertikaian antar suku di Papua, pertarungan geng motor di Jakarta,
pertarungan karena sengketa tanah di Sumatera Selatan dan last but not least ambruknya
wibawa sosial politisi dan partai-partai politik yang digantikan oleh KPKI terhadap keadaan
seperti ini – kepada pandu Hizbul Wathan kita tentu tidak bisa berkata lain kecuali “follow
up”.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Para pemimpin negeri kita sampai sekarang masih terus mengarahkan pandangannya ke
depan, mengejar mimpi terbentuknya modern state, tanpa mau sesekali menoleh dan
mengarahkan pandangannya ke belakang. Padahal di belakang sana – di balik gemerlapnya
pembangunan fisik berkat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, tidak kurang dari 30
(tiga puluh) juta penduduk negeri ini terjerembab dalam lembah kemiskinan. Mereka itu
adalah kaum buruh, petani dan nelayan. Hal ini terjadi karena sektor pendidikan harus tunduk
pada keangkuhan kebijakan publik. Maka catatan yang bisa saya sajikan adalah sebagai
berikut:

1. Singsingkan lengan baju, bekerja dengan sungguh-sungguh menetapi JANJI PANDU –


berbakti, mengabdi dan mengawal ibu pertiwi tanpa henti.

2. Pandu itu adalah gerakan, maka bersegeralah bergerak ke wilayah pendidikan di luar
sekolah dan rumah. Arahkan anak-anak bangsa ini, dengan model pendidikan yang
bertumpu pada masyarakat dan budaya Indonesia (kurang lebih 90% masyarakat
Indonesia beragama Islam) di alam terbuka agar tidak hanyut dalam arus globalisasi.

3. Pendidikan non formal di alam terbuka dilakukan untuk menanamkan kepercayaan dalam
jiwa anak-anak bangsa bahwa keadaan di negeri ini dapat diperbaiki. Setiap insan PANDU
harus yakin dan dapat meyakinkan rakyat bahwa nasib kita di tangan kita sendiri.
Keyakinan ini bukanlah keyakinan kosong yang didorong oleh mimpi-mimpi palsu. Kita
harus yakin benar, negeri ini mempunyai potensi besar menunggu dikerahkan bagi
pembangunan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat.

4. PANDU tidak boleh memusuhi pemerintah ketika melihat kelemahan-kelemahan,


kekurang-arifan dan kealphaan dalam pimpinan nasional yang baru. Sebab di balik itu
terdapat potensi yang sedang berkembang untuk memberikan pimpinan yang penuh
bertanggungjawab dan penuh pengabdian untuk kemajuan bangsa.

5. Hizbul Wathan bukan musuh Pramuka, tapi “teman sejawat” dalam pengabdian cinta
tanah air. Pendidikan formal di alam terbuka, secara bersama dan bahu membahu
memandu rakyat agar dapat menumbuhkan inisiatif-inisiatif, inspirasi-inspirasi, sikap rela
berkorban serta tanggungjawab yang diperlukan untuk mengubah nasib bangsa.

6. Dalam menghadapi dan memanage berbagai gejolak kehidupan bermasyarakat dan


berbangsa, mengesampingkan unsur POAC dan kembali ke unsur lama NTNT / NKNK
(Niat Tandang Niat Tandang / Niat Kerja Niat Kerja).

7. Perkuat pembangunan “Qobilah” di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) karena kita


sadar bahwa dalam menyempurnakan kehidupannya, manusia terus menerus mengasah
akalnya di Perguruan TInggi untuk menciptakan pengetahuan ilmiah baru di samping yang
sudah ada. Kepada para calon intelektual itu kita ratakan “Kode Kehormatan Pandu HW”
sebagai tata nilai (budaya) yang dipegang teguh.

Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui dan Maha Adil,
menciptakan langit dan bumi dan segala isi yang terkandung di dalamnya, adalah untuk
memenuhi segala kebutuhan yang wajar umat manusia. Manusia tidak boleh
menggunakannya secara melampaui batas. Apa yang tersedia di alam raya ini, tidak untuk
memuaskan nafsu keserakahan manusia. Itulah sebabnya Hizbul Wathan terus bekerja,
berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Fastabiqul Khairat.
IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Kenang-kenangan HW, 1961

2. Ensiklopedi Umum, Kanisius, 1967-1973

3. Ensiklopedi Islam, Intermedia, 1993

4. https://hizbulwathan.or.id/kebangkitan-hw-dan-sejarah-kepanduan-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai