HIZBUL WATHAN
Disusun oleh :
Novia Cahyani
Dila Puspita
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN STKIP
MUHAMMADIYAH KUNINGAN TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr,Wb.
Segala puji bagi Allah SAW yang telah memberikan rahmat dan kenikmatan iman
dan Islam terhadap kita semua. Atas petunjuk-petunjukNya sebagaimana yang terkandung
di dalam AlQur’an dan AsSunnah, petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang di
ridhoi-Nya. Demikian juga penulis bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan
penulisan makalah yang sederhana ini, meskipun dalam penyusunannya penulis
mengalami berbagai kesuliatan karena masih terbatasnya pengetahuan penulisnamun,
berkat kerja keras akhirnya dapat terselesaikan dengan baik dengan judul
“ModelPembelajaran Reggio Emilia”.
Tidak lupa kami haturkan terimakasih kepada dosen pengampu matakuliah ini,
yang telah bersedia mengarahkan dan membimbing kami, dan kepada semua pihak yang
membantu terselesaikannya makalah ini. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Model-model Pembelajaran” yang dalam kesempatan ini
berbentuk makalah.
Tentunya dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekeliruan baik
secara penulisan maupun materi-materi yang dibahas didalamnya, oleh karena itu sangat
diharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan
penulisan makalah dimasa-masa berikutnya. Selebihnya semoga dengan adanya makalah
ini dapat menambah wawasan bagi pembaca secara umum.
Wassalamu’alaikumWr,Wb.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
A. Latar belakang................................................................................................................ 1
B. RumusanMasalah .......................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................ 2
A. Kesimpulan .............................................................................................................17
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Masa peleburan dan masa bangkit kembali kepanduan Hizbul Wathan adalah periode
penting dalam sejarah organisasi tersebut. Hizbul Wathan adalah organisasi kepanduan yang
didirikan pada tahun 1953 di Indonesia. Organisasi ini memiliki tujuan utama untuk membangun
karakter generasi muda yang kuat, bertanggung jawab, dan mencintai tanah air.
Pada masa peleburan, Hizbul Wathan menghadapi tantangan besar. Pada awal tahun
r.1960-an, pemerintah Indonesia melarang semua organisasi kepanduan karena dianggap
memiliki potensi untuk mengganggu stabilitas politik. Hal ini menyebabkan Hizbul Wathan
terpaksa dibubarkan dan kegiatan-kegiatannya dihentikan.
Namun, meski mengalami masa sulit, semangat dan tekad para anggota Hizbul Wathan
untuk memperjuangkan nilai-nilai kepanduan tidak pernah padam. Masa bangkit kembali
kepanduan Hizbul Wathan dimulai pada tahun 1998 setelah jatuhnya rezim otoriter di Indonesia.
Di bawah kepemimpinan baru, Hizbul Wathan berhasil bangkit kembali dan menghidupkan
kembali kegiatan-kegiatan kepanduan.
Masa bangkit kembali ini membawa perubahan signifikan dalam Hizbul Wathan.
Organisasi ini mulai fokus pada pembangunan karakter pemuda melalui kegiatan-kegiatan
kepanduan yang relevan dengan era modern. Hizbul Wathan juga berkomitmen untuk
berkontribusi dalam pembangunan masyarakat dan negara.
Dalam masa bangkit kembali kepanduan Hizbul Wathan, organisasi ini berhasil meraih
banyak prestasi. Mereka aktif dalam kegiatan sosial, lingkungan, dan pendidikan. Hizbul Wathan
juga menjadi wadah bagi pemuda untuk mengembangkan potensi diri dan keterampilan
kepemimpinan.
Masa peleburan dan masa bangkit kembali kepanduan Hizbul Wathan merupakan
perjalanan yang menggambarkan ketahanan dan semangat perjuangan organisasi dalam
menghadapi tantangan dan mengembangkan diri. Melalui upaya yang gigih dan komitmen yang
kuat, Hizbul Wathan terus menjadi kekuatan positif dalam membentuk karakter generasi muda
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
A. KEPANDUAN
Tetapi sifat gerakan kepanduan putra pribumi di Indonesia (sebagai tanah jajahan)
tidaklah sama. Kepanduan Indonesia menyimpan pengaruh pergerakan (kemerdekaan)
nasional umum. (N.I.P.V.) Nederlandsch Indische Padvinders Vereeneging ialah perhimpunan
kepanduan di Hindia Belanda di bawah pimpinan dan mayoritas golongan Belanda (didirikan
tahun 1917). Kepanduan bangsa Indonesia, dengan sendirinya, mengikuti arah perkembangan
cita-cita nasional.
Dalam tahun 1927 di bawah pimpinan Sunario, SH dibentuk Persaudaraan Antar Pandu
Indonesia (PAPI), tanda hasrat persatuan yang hidup dan berkembang di kalangan kaum
terjajah. Bertambah banyaknya kepanduan Indonesia menarik perhatian (yang mengandung
kekhawatiran) N.I.P.V. Anggaran Dasarnya dilonggarkan (1928) dengan maksud agar
kepanduan-kepanduan Indonesia suka menggabungkan diri dengan N.I.P.V. Hanya J.I.P.O.
yang menggunakan kesempatan itu. Lain-lainnya tetap di luar, berkembang ke arah cita-cita
Indonesia Bersatu. Badan federasi yang pertama terbentuk PAPI. Selaras dengan
perkembangan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang mengadakan fusi (1929) PAPI pun
tidak bertahan. Diadakan konperensi pengurus-pengurus besar kepanduan Indonesia 15
Desember 1929. Diputuskan dalam prinsip mengadakan dua badan fusi : KEPANDUAN
NASIONAL dan KEPANDUAN ISLAM. (*selanjutnya KEPANDUAN BANGSA
INDONESIA – KBI).
Federasi kepanduan didirikan bersama oleh KBI, SIAP, Napity dan Hizbul Wathan
(April 1938). Diputuskan akan mengadakan perkemahan besar umum dengan mengajak serta
kepanduan-kepanduan di luar federasi. Perundingan mengenai hal itu, yang diperlukan
diadakan dengan pengurus besar berbagai perhimpunan kepanduan (Desember 1938).
Sementara itu usaha untuk menarik lebih banyak perkumpulan kepanduan ke dalam
federasi terus djalankan dan berhasil. Pada tgl. 10 Februari 1941 berlangsung konperensi
kepanduan di Solo yang mengambil berbagai keputusan, antara lain dinyatakan bahwa badan
federasi terbuka untuk semua kepanduan Indonesia; perkemahan akan diselenggarakan pada
bulan Juli 1941 dan dinamakan Perkemahan Kepanduan Indonesia Umum; kepanduan-
kepanduan yang bergabung dalam N.I.P.V. (Nederlandsch Indische Padvinders Vereeneging).
D. Gerakan Kepanduan – HIZBUL WATHAN
Pernyataan dan kesaksian sejarah Hizbul Wathan juga terukir di dalam ENSIKLOPEDI
ISLAM (Jilid-2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) sebagai berikut, “HIZBUL WATHAN
(Arab=pembela tanah air), nama barisan pandu (sekarang pramuka) Muhammadiyah. Hizbul
Wathan berazaskan: 1) Agama Islam dengan maksud: (a) Memasukkan pelajaran agama
Islam dalam Undang-Undang dan Perjanjian Hizbul Wathan dan dalam syarat mencapai
tingkat kelas; (b) Memperdalam dan meresapkan jiwa Islam dalam latihan kepanduan dan
memajukan amal ibadat sehari-hari; 2) Ilmu Jiwa, yang dipakai dalam kegiatan belajar dan
bermain; 3) Kemerdekaan dalam bekerja dan latihan. Tujuan dan maksud Hizbul Wathan
adalah membimbing anak-anak dan pemuda supaya kelak menjadi orang Islam yang
berarti.”
HIZBUL WATHAN pada mulanya adalah nama madrasah yang didirikan oleh KH. Mas
Mansur di Surabaya pada tahun 1916 setelah ia meninggalkan organisasi Nahdatul Wathan
yang dibentuknya bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Susunan pengurus dan personalianya yang pertama adalah: Ketua H. Mukhtar Bukhari,
Wakil Ketua H. Hadjid, Sekretaris Sumodirjo, Keuangan Abdul Hamid, Organisasi Siraj
Dahlan, Komando Sarbini dan Damiri. Untuk memajukan Padvinder Muhammadiyah ini, para
pengurus mengambil pedoman pelajaran dari JPO Surakarta.
Setelah tahun 1924 Hizbul Wathan berkembang di Jawa, bahkan telah dapat melebarkan
sayapnya ke luar Jawa. Cabang-cabang baru Hizbul Wathan kian banyak berdiri. Cabang
pertama yang berdiri di luar Jawa ialah di Sumatra Barat, yang dibawa oleh wakil-wakil yang
menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta pada tahun 1928. Dalam
kesempatan itu wakil-wakil tadi tinggal beberapa lama di Yogyakarta setelah Kongres usai
guna mempelajari dan ikut latihan kepanduan; dengan modal itu mereka mengembangkan
kepanduan di daerah yang mengutusnya.
Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta tanah air
kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan yang bertekad ikut serta
dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping itu, latihan-latihan kepanduan
mempunyai andil yang besar dalam melatih kader-kader bangsa dalam menghadapi kaum
kolonial yang sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-latihan itu ternyata
membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan Hizbul Wathan ini muncul
sederetan tokoh yang cukup handal, seperti Sudirman, KH. Dimyati, Surono, Ki Bagus
Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik, Suharto, M.
Sudirman, Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain. (Ensiklopedi Islam, I.B. Van HOEVE, Jilid
II, hal. 119-120)
Ketika Jepang masuk, secara organisatoris Hizbul Wathan lebur, sesuai dengan kehendak
Jepang yang membubarkan segenap organisasi yang ada pada waktu itu. Meskipun demikian,
aktivis-aktivis Hizbul Wathan tetap berkiprah dalam organisasi-organisasi yang didirikan oleh
Jepang seperti Keibondan, Seinendan, PETA, Hizbullah, dan sebagainya.
Beberapa tahun kemudian situasi politik mulai berubah dan Pandu Rakyat Indonesia
yang dibentuk pada tahun 1945 dirasakan tidak begitu efektif lagi. Oleh karena itu, pada tahun
1950 Hizbul Wathan mulai diaktifkan lagi. Sejak itu Hizbul Wathan mulai merata kembali
anggota-anggotanya dan organisasinya secara umum di samping mengembangkannya ke
seluruh tanah air di mana Muhammadiyah ada. Kegiatan tersebut berjalan terus sampai
terbitnya Keputusan Presiden no.238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka yang
mengharapkan agar segenap organisasi kepanduan yang ada di Indonesia meleburkan diri
dalam perkumpulan Pramuka.
Dalam rangka memenuhi seruan tersebut, maka gerakan kepanduan Hizbul Wathan
dalam suratnya tgl. 8 Juni 1961 kepada Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka menyatakan
bersedia meleburkan diri dalam perkumpulan Gerakan Pramuka. Surat tersebut ditandatangani
oleh HM. Mawardi dan H. Amin Luthfi, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Majlis
Hizbul Wathan Yogyakarta.
Sebagai anak dari organisasi Muhammadiyah, Hizbul Wathan terkait erat dengan cita-
cita Muhammadiyah. Hal ini tercermin dari Keputusan Kongres tahun 1938 yang menyatakan
bahwa sebagai pemuda Muhammadiyah, anak-anak Hizbul Wathan harus membiasakan diri
mengamalkan pekerjaan dalam Muhammadiyah, mereka harus siap menolong dan berjasa
untuk keperluan Muhammadiyah khususnya dan agama Islam umumnya.
Keanggotaan Hizbul Wathan terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat I disebut tingkat athfal
yang diperuntukkan bagi anak-anak berumur 6-12 tahun, yang dibedakan lagi Athfal Melati,
Athfal Bintang Satu dan Athfal Bintang Dua. Tingkat II disebut Pengenal, umur 12-17 tahun,
yang terdiri dari Tangga I kelas III, Tangga II kelas II, Tangga III kelas I. Di atasnya lagi ada
tingkat Penghela, untuk 17 tahun ke atas. Perbedaan yang ada dalam tingkat ditentukan oleh
kemampuan masing-masing anggota dalam latihan dan pelajaran.
KEBANGKITAN HW
Hanya dalam kurun waktu lima tahun (1959-1965) berjalan dia bisa memperoleh dan
memenuhi segala keinginan dan hasrat nafsu pribadinya melalui cara-cara yang irasional.
Dengan berselancar di atas perahu REVOLUSI BELUM SELESAI, dia kibarkan bendera
REVOLUSI TERPIMPIN berlandaskan MANIPOL USDEK. Dia transit sebentar di dermaga
MPRS, menyampaikan pidato yang memekakkan telinga pendengarnya. Dari pidato yang
heboh itu tidak ada yang mampu memberikan tanggapan, tidak ada interupsi apalgi
interpelasi. Lalu berselancar lagi dengan energi baru sebagai presiden, mandataris MPRS dan
menyandangkan blanket baru berlogo PEMIMPIN BESAR REVOLUSI.
Tidaklah sulit bagi Bung Karno memeras MANIPOL (Manifestasi Politik) menjadi
USDEK yang dipidatokan pada tanggal 17 Agustus 1959, memeras Pancasila menjadi
“trisila”, diperas lagi menjadi “ekasila” yang sama dengan “gotong royong” sebagai
pengejawantahan “Sosialisme Indonesia”, kemudian memeras IPOLEKSOSBUD (Ideologi,
politik, sosial, dan budaya) menjadi NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunisme) diaduk-
aduk dan diperas menjadi satu “nasakom”. Terhadap yang satu terakhir ini
MUHAMMADIYAH tidak ikut alias menolak secara halus dengan memberikan gelar kepada
Bung Karno sebagai NAHKODA AGUNG. Menjelang ke puncak kedikdayaannya pada tahun
1961, menyematkan gelar pada dirinya sebagai PANDU TERTINGGI atau PRAMUKA
TERTINGGI di atas SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO Ke-IX sebagai PANDU
AGUNG.
B. PANDU AGUNG
Malam itu Kamis, 9 Maret 1961 para pemimpin pandu yang mewakili lebih dari 60
organisasi kepanduan di seluruh Indonesia telah hadir di Istana Merdeka Jakarta, atas
panggilan PENGUASA PERANG TERTINGGI SOEKARNO. Pada jam 20.00 WIB Bung
Karno menyampaikan pidato (pemberangusan) di hadapan para pemimpin Pandu Indonesia
itu, yang beberapa kalimat pokok (nya) dikutip di bawah ini:
—————————————————–(selanjutnya)——————————————–
Tadi sudah saya katakan kita ini berdiri di atas USDEK. Kepribadian Indonesia,
namanya pun harus satu nama yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Dan saya kira
nama itu nama PRAMUKA adalah baik, jadi nanti, hanya ada satu organisasi PRAMUKA.
Saya sebagai presiden sebagai panglima tertinggi, sebagai mandataris, sebagai
PEPERTI, sebagai pemimpin besar revolusi, sebagai yang diberikan titel kepada saya oleh
MPRS, memperintahkan sekarang kepada seluruh kepanduan Indonesia, untuk meleburkan
diri di dalam organisasi baru yang bernama PRAMUKA. Dengan saya sendiri sebagai
PANDU TERTINGGI atau PRAMUKA TERTINGGI, dengan dibantu oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono.
Bung Karno menekankan perintahnya itu agar pada tanggal 17 Agustus 1961, sudah
berbaris PRAMUKA di seluruh wilayah Indonesia. Tidak ada yang berani membantah karena
sebelumnya sudah diumumkan SOB (Staat van oorlog en beleg) Negara dalam keadaan
perang dan darurat perang.
Semuanya berjalan menuruti kehendak sang pemimpin besar revolusi tidak ada lagi
yang bertanya apalagi menolak ataupun membantah. Dan pada tanggal 20 Mei 1961
dikeluarkan KEPRES No. 238 tahun 1961 tentang GERAKAN PRAMUKA yang diktum ke-
3nya berbunyi:
Ketiga : Badan-badan lain yang sama, yang sama sifatnya atau yang menyerupai
perkumpulan GERAKAN PRAMUKA dilarang adanya.
Tidak ada celah bagi para pemimpin pandu untuk menyampaikan koreksi, menghindar
atau melarikan diri dari sergapan kepres yang melumpuhkan itu. Walaupun dalam tradisi
patriotic ada pilihan “fight or flight”. Maka meleburlah pandu-pandu dalam PRAMUKA
termasuk persyarikatan segera setelah pidato Bung Karno tanggal 9 Maret 1961 itu,
mengeluarkan maklumat keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomer: 302/IV-a/’61,
Hal : Hizbul Wathan (HW) sesudah adanya perintah peleburan organisasi kepanduan.
Dalam menutup pidatonya, Bung Karno mengingatkan kembali kepada para pemimpin
pandu agar setelah ini para pemimpin pandu memalingkan pandangannya ke arah Sri Sultan
Hamengkubuwono selaku Pandu Agung. Namun pandu Hizbul Wathan seperti yang
diamanatkan oleh Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, memalingkan dan
mengarahkan pandangannya ke arah “KIBLAT”. Hal ini dilakukan semata-mata karena
perintah Allah “…..dan berpalinglah/tinggalkan orang-orang yang bodoh itu”. Marjinalisasi
telah terjadi, maka GK-HW patuh menjalani siklusnya (metafor) sebagai “as-habul kahfi”
sampai datangnya pertolongan Allah (selama 40 tahun).
C. ZAMAN BERUBAH
Seiring perjalanan waktu, musim berganti musim dan zaman pun berubah. Rezim
Demokrasi Terpimpin tidak bertahan lama (1961-1965) karena kekuasaan dijalankan secara
otoritarian, tiranik, yang melarang masuknya segala yang berbau rasionalitas. Kekuasaan
USDEK hanya bertumpu pada 3 (tiga) kekuatan yaitu: Bung Karno sendiri, PKI dan ABRI –
dengan Soekarno sebagai penyeimbang. Ini berarti PKI berhadapan secara diagonal terhadap
ABRI plus kekuatan rasional (Islam). Ketika PKI mendesakkan tuntutannya untuk
membangun “angkatan ke-5” mempersenjatai “buruh dan tani” maka goyahlah si
penyeimbang dan meletuslah tragedi nasional G30S/PKI – maka ambruklah rezim Soekarno
yang kemudian disebut sebagai pemerintah ORDE LAMA (ORLA). Dan PRAMUKA pun tak
sempat digerakkan untuk menopang gelombang revolusi yang belum selesai menuju
masyarakat “sosialis” ala Indonesia (ala Bung Karno).
Datangnya musim gugur di akhir September kelabu (1965) – gugurnya para Pahlawan
Revolusi (1945) akibat pengkhianatan G30S/PKI – menyulut jiwa patriotik kaum
Muhammadiyah. Pada tanggal 2 Oktober 1965 Ketua PP Muhammadiyah Kyai Ahmad
Badawi mengumandangkan amanat bela negara dalam satu kalimat yang singkat-jelas-tegas: –
“Menumpas G30S/PKI adalah ibadah !”. Amanat bela negara yang dimaknai sebagai perintah
harian itu membawa angin segar perubahan.
Musim semi pun datang menggantikan musim gugur. Kekuasaan berpindah tangan dari
Soekarno ke Soeharto, dari penguasa otoritarian ke tangan penguasa yang sentralistik – yang
kemudian disebut sebagai ORDE BARU (ORBA). Begitulah perubahan demi perubahan
datang silih berganti. Dari tangan Pak Harto ke tangan B.J. Habibie – lalu berpindha ke
tangan KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur – terus berpindah lagi ke tangan Megawati
Soekarno Putri – dan masih di era Reformasi (1998) kekuasan berpindah tangan lagi ke
Soesilo Bambang Yudhoyono yang lebih dikenal dengan sebutan SBY.
Berawal dari Amien Rais Guru Besar UGM Yogyakarta yang mewacanakan perlunya
segera dilakukan suksesi kepemimpinan nasional, di dalam sidang Tanwir Muhammadiyah
tahun 1993 di Surabaya. Bola panas itu terus digelindingkan tanpa waktu jedah, – membentur
dan membakar kisi-kisi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Belenggu Normalisasi
Kehidupan Kampus dalam bentuk Badan Keamanan Kampus dibongkar dan dilepaskan,
sehingga mahasiswa memperoleh kembali kebebasan dan kemerdekaan berkumpul dan
berserikat, mengemukakan gagasan dan pendapat yang eksploratif. Angin panas reformasi tak
dapat dibendung memasuki pintu-pintu istana, meruntuhkan kekuasan Pak Harto.
Momentum inilah yang digunakan oleh seorang Pandu Hizbul Wathan –Amien Rais–
mendorong Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membangkitkan kembali Gerakan
Kepanduan Hizbul Wathan. Sense of Urgency dan kearifan intelektual – spiritual para
pimpinan Muhammadiyah – memutuskan dan menetapkan KEBANGKITAN Gerakan
Kepanduan Hizbul Wathan (1999). Pertolongan Allah sudah datang, setelah terpinggirkannya
semua yang harus dipinggirkan oleh rezim orde baru.
E. DALAM ORTOM MUHAMMADIYAH
URGENCY – dalam keadaan dan kebutuhan mendesak – tuntutan yang sangat kuat dari
sejarah perjuangan dan pengabdian Persyarikatan Muhammadiyah kepada Ibu Pertiwi, Hizbul
Wathan harus ada dan bangkit kembali. Sejak didirikannya pada 6 Juni 1918 oleh Sang
Pencerah – KH. Ahmad Dahlan – Pandu Hizbul Wathan diberi ruang yang amat strategis
untuk melaksanakan pendidikan bagi anak-anak, remaja/pemuda dan orang dewasa di LUAR
SEKOLAH dan LUAR RUMAH.
Dari Ensiklopedi Umum – Kanisius 1962/1967 Jakarta Hal. 720 dapat dikutip catatan
sebagai berikut:
Dari Ensiklopedi Islam – I.B. Van HOEVE Jilid II hal. 119-120 dikutip catatan sebagai
berikut:
“Peranan Hizbul Wathan banyak terlihat pada sektor penanaman semangat cinta tanah
air kepada para pemuda. Dari benih-benih itu menjelmalah kekuatan yang bertekad ikut serta
dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di samping itu, latihan-latihan
kepanduan mempunyai andil yang besar dalam melatih kader-kader bangsa dalam
menghadapi kaum kolonial yang sedang mencengkeramkan kukunya di Indonesia. Latihan-
latihan itu ternyata membuahkan hasil yang baik di kalangan pemuda. Dari barisan Hizbul
Wathan ini muncul sederetan tokoh yang cukup handal, seperti Sudirman, KH. Dimyati,
Surono, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Adam Malik,
Suharto, M. Sudirman, Sunandar Priyosudarmo, dan lain-lain.”
Sekali pandu tetap memandu sepanjang hayatnya. Semakin maju peradaban, semakin
kompleks masalah yang dihadapinya. Ruang pengabdian yang berupa MAJLIS tidak lagi
mencukupi untuk mengelola wilayah pendidikan di luar sekolah dan di laur rumah – di alam
terbuka sebagai kampus kehidupan sosial. Dan oleh sebab itulah kehadiran/kebangkitan HW
sebagai organisasi otonom (ORTOM) dalam Muhammadiyah harus di “follow up” tidak
untuk diperdebatkan dari sisi manapun.
F. FOLLOW UP
“Follow UP”, sebuah kata yang cukup populer terkait dengan pelaksanaan suatu
keputusan. Follow up mengandung makna perintah melaksanakan keputusan yang telah
ditetapkan, mengikuti terus menerus perkembangannya, mengidentifikasi kendala-kendala
yang menyertainya dan memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan sehingga terwujudnya
“keputusan” itu.
1. Pendidikan di “rumah” bagi generasi bangsa usia sekolah tidak terselenggara dengan baik
– terabaikan karena kedua orang tua sibuk mencari nafkah. Atau bahkan kedua orang tua
sibuk di luar rumah mencari kekayaan semata-mata ingin jadi orang kaya.
2. Lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) hanya bisa transfer of knowledge. Ketika
kebudayaan dipisahkan dari pendidikan di era reformasi ini, pendidikan nasional kita
kehilangan arah bahkan hanyut ke arah globalisasi. Bersamaan dengan itu UNAS (Ujian
Nasional) yang terus dipertahankan telah melahirkan perjokian dan kebiasaan nyontek
yang mematikan daya kreativitas.
3. Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) menyebabkan iritan pada dunia pendidikan
nasional, membuka celah diskriminasi.
PENUTUP
KESIMPULAN
Para pemimpin negeri kita sampai sekarang masih terus mengarahkan pandangannya ke
depan, mengejar mimpi terbentuknya modern state, tanpa mau sesekali menoleh dan
mengarahkan pandangannya ke belakang. Padahal di belakang sana – di balik gemerlapnya
pembangunan fisik berkat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, tidak kurang dari 30
(tiga puluh) juta penduduk negeri ini terjerembab dalam lembah kemiskinan. Mereka itu
adalah kaum buruh, petani dan nelayan. Hal ini terjadi karena sektor pendidikan harus tunduk
pada keangkuhan kebijakan publik. Maka catatan yang bisa saya sajikan adalah sebagai
berikut:
2. Pandu itu adalah gerakan, maka bersegeralah bergerak ke wilayah pendidikan di luar
sekolah dan rumah. Arahkan anak-anak bangsa ini, dengan model pendidikan yang
bertumpu pada masyarakat dan budaya Indonesia (kurang lebih 90% masyarakat
Indonesia beragama Islam) di alam terbuka agar tidak hanyut dalam arus globalisasi.
3. Pendidikan non formal di alam terbuka dilakukan untuk menanamkan kepercayaan dalam
jiwa anak-anak bangsa bahwa keadaan di negeri ini dapat diperbaiki. Setiap insan PANDU
harus yakin dan dapat meyakinkan rakyat bahwa nasib kita di tangan kita sendiri.
Keyakinan ini bukanlah keyakinan kosong yang didorong oleh mimpi-mimpi palsu. Kita
harus yakin benar, negeri ini mempunyai potensi besar menunggu dikerahkan bagi
pembangunan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat.
5. Hizbul Wathan bukan musuh Pramuka, tapi “teman sejawat” dalam pengabdian cinta
tanah air. Pendidikan formal di alam terbuka, secara bersama dan bahu membahu
memandu rakyat agar dapat menumbuhkan inisiatif-inisiatif, inspirasi-inspirasi, sikap rela
berkorban serta tanggungjawab yang diperlukan untuk mengubah nasib bangsa.
Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui dan Maha Adil,
menciptakan langit dan bumi dan segala isi yang terkandung di dalamnya, adalah untuk
memenuhi segala kebutuhan yang wajar umat manusia. Manusia tidak boleh
menggunakannya secara melampaui batas. Apa yang tersedia di alam raya ini, tidak untuk
memuaskan nafsu keserakahan manusia. Itulah sebabnya Hizbul Wathan terus bekerja,
berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Fastabiqul Khairat.
IV. DAFTAR PUSTAKA
4. https://hizbulwathan.or.id/kebangkitan-hw-dan-sejarah-kepanduan-di-indonesia/