Anda di halaman 1dari 30

REFLEKSI PEMIKIRAN SELO SOEMARDJAN TERHADAP PERUBAHAN

SOSIAL DI INDONESIA

Diajukan guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Teori Sosial Indonesia

Dosen pengampu: Dr. Nasiwan, M.Si

Disusun oleh:

Agung Sarjanto (16416241018)

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2018

1
Kata Pengantar

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur kehadirat ALLAH SWT


berkat rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas penulisan
makalah Mata Kuliah Teori Sosial Indonesia tentang “Refleksi Pemikiran
Selo Soemardjan Terhadap Perubahan Sosial Di Indonesia”. Sesuai judul
yang telah disebutkan, dalam penulisan ini memaparkan mengenai biografi
Selo Soemardjan, pemikiran- pemikiran tentang perubahan sosial, serta
materi-materi lain yang berkaitan dengan topik tersebut.

Tujuan dari penulisan makalah ini, selain untuk memenuhi tugas


akhir mata kuliah Teori Sosial Indonesia juga dilakukan sebagai sarana
pembelajaran. Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah ilmiah tentang Refleksi


Pemikiran Selo Soemardjan Terhadap Perubahan Sosial Di Indonesia ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Yogykarta, 14 Desember 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 1
BAB I .................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 2
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 2
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................. 3
C. TUJUAN PENULISAN ........................................................................................ 3
BAB II ................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4
A. Biografi Selo Soemardjan..................................................................................... 4
B. Pengertian Perubahan Sosial Selo Soemardjan ................................................. 5
C. Faktor- Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perubahan Sosial ................. 7
1). Penyebab perubahan yang bersumber dari dalam (internal) masyarakat antara lain :7
2). Penyebab perubahan yang bersumber dari luar ( eksternal ) masyarakat antara lain: 9
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jalannya Perubahan Sosial ................. 10
2). Faktor -faktor Penghambat ...................................................................................... 12
E. Gerakan Reformasi 1998 Sebagai Tonggak Perubahan Sosial di Indonesia . 15
BAB III ............................................................................................................................. 25
PENUTUP ........................................................................................................................ 25
A. KESIMPULAN ....................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 27

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Idealisme para ilmuwan sosial di Indonesia adalah mengakarkan


teori-teori ilmu sosial dari fakta empiris di masyarakat sendiri atau
indigenisasi ilmu-ilmu sosial. Kebanyakan kita menggunakan ataupun
menyunting teori-teori dari Barat, akan tetapi tanpa disadari bahwa
teori-teori tersebut tidak sesuai dengan kultur yang ada di Indonesia,
sehingga teori-teori tersebut kurang maksimal bahkan tidak dapat
memecahkan permasalahan bangsa Indonesia. Untuk melakukannya
seorang ilmuan harus dapat mensiasati perangkap ’ideologi’, sistem
kekuasaan, dan metodologi mapan yang lahir dari fakta empiris dan
sejarah masyarakat Barat. Ini bukanlah sebuah kemustahilan. Sebab,
beberapa ilmuwan sosial dengan gemilang telah melakukan terobosan
indigenisasi ilmu-ilmu sosial melalui karya-karya monumental bagi
peletakan pondasi keilmuan sosial yang berurat-akar dari masyarakat
Indonesia. Banyak tokoh-tokoh asli Indonesia yang memberikan
kontribusi melalui pemikiran-pemikirannya dalam bidang ilmu sosial
namun lebih dikesampingkan. Pemikiran-pemikiran tersebut dibuat
sesuai dengan masalah dan kondisi yang ada di Indonesia, alhasil dalam
hal tersebut pemikiran tersebut juga bisa digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia. Tokoh pemikir teori
sosial Indonesia tersebut salah satunya adalah Selo Soemardjan. Selo
Soemardjan telah memberikan konsep- konsep tentang perubahan sosial
yang konsep tersebut sesuai dengan kondisi maupun keadaan yang ada
di Indonesia, sehingga konsep tersebut bisa di gunakan untuk
memecahkan segala permasalahan bangsa Indonesia. Dalam

2
pemikirannya tersebut Soemardjan (1982), mengemukakan bahwa
perubahan sosial dan perubahan kebudayaan mempunyai aspek yang
sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu cara penerimaan
cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat
memenuhi kebutuhannya. Untuk mempelajari perubahan pada
masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya
perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu
perubahan masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap
sudah tidak lagi memuaskan. Berawal dari teori tersebut disini akan
menjelaskan bagaimana suatu proses perubahan sosial di Indonesia
pada tahun 1998 atau dikenal sebagai masa reformasi bisa menjadi
tonggak perubahan sosial di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut dapat kita rumuskan masalah:
1. Bagaimana biografi Selo Soemardjan?
2. Bagaimana pengertian perubahan sosial menurut Selo Soemardjan?
3. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan ?
5. Bagaimana hubungan perubahan sosial dengan gerakan reformasi
1998?
C. TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah tersebut makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui latar belakang atau biografi Selo Soemardjan.
2. Untuk mengetahui pengertian perubahan sosial menurut Selo
Soemardjan.
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
perubahan sosial.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya
proses perubahan sosial.
5. Untuk mengetahui hubungan perubahan sosial dengan gerakan
reformasi 1998 yang terjadi di Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Selo Soemardjan


Selo Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyarakat di
Indonesia sebagai bapak sosiologi, ilmu yang digelutinya sejak beliau
menempuh pendidikan tingginya untuk memperoleh gelar doktor. Selo
Sumardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915, merupakan pendiri
sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan
(kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen
sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Nama Selo
Sumardjan sangat melekat dengan sosiologi. Pada tahun 1956 beliau
memeperoleh kesempatan menuntut Ilmu di Cornell University,
Amerika Serikat. Di sinilah beliau menunjukan kehebatanya, hanya
dalam kurung waktu kurang dari empat tahun beliau boleh pulang ke
tanah air dengan menyandang gelar Ph.D. di bidang sosiologi. Selama
hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta
Raya, dan Kepala Sekretaris Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri,
Kepala Biro III Sekretaris Negara me rangkap sekretaris Umum
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Pada tahun 1959 beliau dikenal
sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah meraih gelar doktornya di
Cornell University, AS dan pada tanggal 17 Agustus 1994, ia
menerima Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah dan pada tanggal
10 Agustus 1994 menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Selo Sumardjan dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kesultanan
Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya Raden Tumenggung
Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kesultanan Yogyakarta.
Nama selo diperolehnya setelah menjadi camat di Kabupaten

4
Kulonprogo. Setelah menjabat camat inilah beliau mengawali
kariernya sebagai sosiolog. Pada masa hidupnya beliau dikenal sebagai
orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya
lurus, bersih, dan sederhana. Beliau seorang dari sedikit orang yang
sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN). Beliau pantas menjadi teladan kaum birokrat karena
etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat
(Nasiwan, 2016:179-180). Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah
dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan
Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo
berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah
Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari
2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.

B. Pengertian Perubahan Sosial Selo Soemardjan


Pada dasarnya setiap masyarakat yang ada di muka bumi ini dalam
hidupnya dapat dipastikan akan mengalami apa yang dinamakan
dengan perubahan. Adanya perubahan tersebut akan dapat diketahui
bila kita melakukan suatu perbandingan dengan menelaah suatu
masyarakat pada masa tertentu yang kemudian kita bandingkan dengan
keadaan masyarakat pada waktu yang lampau. Perubahan yang terjadi
di dalam masyarakat, pada dasarnya merupakan suatu proses yang
terus menerus, ini berarti bahwa setiap masyarakat kenyataannya akan
mengalami perubahan-perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama.
Hal ini di karenakan adanya suatu masyarakat yang mengalami
perubahan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat
lainnya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan yang tidak
menonjol atau tidak menampakkan adanya suatu perubahan yang
terjadi di masyarakat. Juga terdapat adanya perubahan yang memiliki

5
pengaruh yang luas maupun yang terbatas. Disamping itu juga ada
perubahan yang prosesnya lambat, dan ada juga perubahan yang
prosesnya berlangsung dengan cepat. Setiap manusia selama hidup
pasti mengalami yang namanya perubahan. Adapun perubahan dapat
berupa pengaruhnya terbatas maupun luas, perubahan yang lambat dan
ada juga perubahan yang berjalan dengan cepat. Perubahan dapat
mengenai nilai dan norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan
lembaga kemasyarakatan, dan lapisan dalam masyarakat, kekuasaan
dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Adapun
perubahan yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala yang
normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian
dunia lain berkat adanya komunikasi modern. Perubahan dalam
masyarakat telah ada sejak zaman dahulu. Namun, sekarang perubahan
berjalan dengan sangat cepat sehingga dapat membingungkan manusia
yang menghadapinya.
Perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap
masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat
akan menimbulkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada
di dalam masyarakat, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan
yang tidak sesuai fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Selo Soemardjan dalam (Soerjono Soekanto, 2006:263),
berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi
pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang
memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai,
sikap-sikap, dan pola perilaku di antara kelompok dalam masyarakat.
Menurutnya, antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan
memiliki satu aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut
dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan cara
masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Perubahan sosial yaitu
perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau dalam hubungan
interaksi, yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Sebagia akibat

6
adanya dinamika anggota masyarakat, dan yang telah didukung oleh
sebagian besar anggota masyarakat, merupakan tuntutan kehidupan
dalam mencari kestabilannya. Ditinjau dari tuntutan stabilitas
kehidupan perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat adalah hal
yang wajar. Kebalikannya masyarakat yang tidak berani untuk
melakukan perubahan, tidak akan dapat melayani tuntutan dan
dinamika anggota-anggota yang selalu berkembang kemauan dan
aspirasinya.
C. Faktor- Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perubahan
Sosial
Suatu penyebab seringkali diartikan sebagai suatu fenomena yang
diperlukan dan cukup mampu untuk menimbulkan akibat yang bisa
diprakirakan. Diperlukan, mengandung pengertian bahwa kita tidak
akan pernah menemukan suatu akibat tanpa adanya penyebab, dan
cukup mampu mengandung pengertian bahwa gejala itu sendiri selalu
menimbulkan akibat/sebagai sumber akibat (Paul B Horton dan CL
Hunt, 1992).
Untuk menelusuri penyebab terjadinya perubahan sosial, perlu
mencermati fenomena yang cukup kompleks; namun secara umum
dibedakan antara penyebab yang bersumber dari dalam (internal)
masyarakat itu sendiri dan yang bersumber dari luar (eksternal)
masyarakat tersebut, seperti dipaparkan berikut ini: (PB Horton dan
CL Hunt, 1992; Soerjono Soekanto, 2006).

1). Penyebab perubahan yang bersumber dari dalam (internal)


masyarakat antara lain :
a). Bertambah dan Berkurangnya Penduduk.
Bertambahnya penduduk yang sangat cepat di pulau Jawa
menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat,
terutama dalam lembaga -lembaga kemasyarakatannya ( dalam bentuk
aturan / norma sosial ). Berkurangnya penduduk dapat disebabkan
karena penduduk berpindah ke daerah lain. Kondisi ini dapat

7
mengakibatkan kekosongan dalam bidang pembagian kerja dan
stratifikasi sosial, sehingga memepengaruhi lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
b). Penemuan -penemuan baru.
Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut dengan inovasi
atau innovation (Koentjaraningrat, 1965:135). Penemuan-penemuan
baru dibedakan dalam pengertian discovery dan invention. Discovery
adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat,
ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu
atau serangkaian ciptaan para individu. Discovery baru menjadi
invention apabila masyarakat sudah mengakui, menerima serta
menerapkan/ menggunakan penemuan baru tersebut; misalnya dalam
proses penemuan mobil. Rangkaian proses penemuan, pengembangan
dan persebaran suatu hasil kebudayaan baru tersebut, serta cara -cara
unsur kebudayaan baru tadi diterima, dipelajari dan akhirnya dipakai
dalam masyarakat, dinamakan sebagai innovation( inovasi). Di dalam
kehidupan masyarakat dapat ditemukan beberapa faktor pendorong
untuk memunculkan penemuan-penemuan baru, antara lain:
(1). Kesadaran individu-individu akan kekurangan dalam kebudayaan.
Adanya sebagian masyarakat yang menyadari atas kekurangan dalam
kebudayaan masyarakatnya namun tidak mampu memperbaiki
kekurangan tersebut, akan berusaha untuk menciptakan kebudayaan
baru.
(2). Peningkatan kualitas oleh para ahli dalam suatu kebudayaan.
Keinginan untuk meningkatkan kualitas suatu karya yang biasanya
dilandasi rasa kurang puas pada diri para ahli terhadap hasil suatu
karya, merupakan pendorong untuk meneliti dan memungkinkan
lahirnya ciptaan-ciptaan baru.
(3). Adanya perangsang bagi aktivitas-aktivitas penciptaan dalam
masyarakat. Adanya penghargaan dari masyarakat dalam bentuk tanda

8
jasa, hadiah dan sebagainya terhadap mereka yang berhasil
menciptakan penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat,
menjadi motivasi untuk meningkatkan kemampuan dalam
menghasilkan ciptaan / penemuan baru.
c). Pertentangan( Conflict).
Pertentangan yang terjadi antara individu dengan kelompok
maupun antara kelompok dengan kelompok dapat menjadi penyebab
terjadinya perubahan sosial masyarakatnya. Seperti yang sering terjadi
pada masyarakat yang tengah mengalami pergeseran dari masyarakat
traditional menuju masyarakat modern, pertentangan terjadi antara
kelompok generasi tua dengan kelompok generasi muda yang lebih
cepat menerima unsur-unsur kebudayaan modern.
d). Terjadinya Pemberontakan atau Revolusi.
Terjadinya pemberontakan atau Revolusi dalam sutau
pemerintahan negara akan meyebabkan terjadinya perubahan-
perubahan besar dalam kehidupan negara tersebut. Seluruh lembaga
kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai keluarga batih
mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.

2). Penyebab perubahan yang bersumber dari luar ( eksternal )


masyarakat antara lain:
a). Lingkungan Alam Fisik
Perubahan yang disebabkan oleh lingkungan alam fisik dapat
berupa bencana alam seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi,
angin taufan dan sebagainya, maupun berupa tindakan manusia yang
tidak terkontrol sehingga merusak lingkungan, seperti penebangan
hutan secara liar yang menyebabkan terjadinya bencana tanah longsor.
Kondisi ini mengakibatkan penduduk harus pindah ke daerah yang
lebih aman dan berbeda dengan kondisi lingkungan yang lama. Untuk
menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di daerah yang baru, maka
berkembanglah lembaga -lembaga kemasyarakatan baru untuk
menjaga agar kehidupan masyarakat tetap dapat berjalan.

9
b) Peperangan
Terjadinya peperangan antar negara dapat mengakibatkan
perubahan bagi negara yang mengalami kekalahan, karena negara yang
kalah akan menjadi negara terjajah dan harus mengikuti pola
kehidupan politik baru sesuai dengan kehendak negara yang
memenangkan peperangan tersebut. Karena negara yang menang
biasanya akan memaksakan kehendaknya pada negara yang kalah.
c) Pengaruh Kebudayaan Masyarakat Lain
Masuknya pengaruh kebudayaan masyarakat lain bisa terjadi
karena adanya hubungan fisik antara dua masyarakat, yang diikuti
adanya pengaruh timbal baliksehingga masing -masing masyarakat
akan mengalami perubahan. Masuknya pengaruh kebudayaan
masyarakat lain juga bisa terjadi secara sepihak, misalnya melalui
media massa ( siaran TV ), masyarakat pemirsa siaran TV dapat
terpengaruh oleh isi siaran yang ditayangkan.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jalannya Perubahan
Sosial
Berlangsungnya proses perubahan sosial di dalam masyarakat juga
akan dipengaruhi oleh faktor -faktor yang dapat menjadi
pendorongmaupun yang jadi penghambat / penghalangjalannya proses
perubahan sosial tersebut.
1.) Faktor-Faktor Pendorong
a). Kontak dengan Kebudayaan lain
Masyarakat yang mengalami kontak dengan kebudayaan lain (
sebagaikebudayaan baru ) cenderung akan terpengaruh oleh
kebudayaan tersebut sehingga menghasilkan perubahan dalam
kehidupan masyarakatnya. Proses tersebut berlangsung melalui difusi(
diffusion)yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke individu
atau masyarakat lain.
b). Sistem Pendidikan Formal yang Maju

10
Pendidikan akan memberikan nilai-nilai tertentu kepada manusia,
terutama dalam membuka pikirannya, menerima hal -hal baru, maupun
cara berfikir secara ilmiah. Pendidikan mengajarkan manusia untuk
dapat berfikir secara obyektif, rasional dan melihat ke masa depan,
berusaha menciptakan kehidupan yang lebih maju.

c). Sikap menghargai Hasil Karya Seseorang dan keinginan untuk


maju
Sikap positif masyarakat terhadap berbagai karya yang dihasilkan
oleh anggota masyarakatnya merupakan indikasi bahwa masyarakat
tersebut ingin majulewat karya-karya baru warganya. Kenyataan ini
dapat mendorong masyarakat untuk selalu berprestasi melalui berbagai
penemuan-penemuan baru lewat hasil karya mereka yang diharapkan
dapat membawa perubahan dan kebaikan dalam kehidupan
masyarakatnya.
d). Toleransi terhadap perbuatan menyimpang yang bukan merupakan
delik ( pelanggaran hukum ).
Adanya sikap toleransi terhadap penyimpangan yang terjadi
dimasyarakat dalam bentuk penyimpangandari kebiasaan-kebiasaan
hidup masyarakatnya( akan tetapi bukan penyimpangan dalam arti
delik /pelanggaran hukum ) menyebabkan masyarakat memiliki
keberanian untuk melakukan hal-hal yang menyimpang/ berbeda dari
kebiasaan-kebiasaan yang ada, sehingga terjadi perubahan di dalam
kehidupan masyarakatnya.
e). Sistem Pelapisan Masyarakat ( Stratifikasi Sosial ) yang terbuka
Sistem pelapisan masyarakat yang terbuka merupakan sistem yang
memberikan peluang atau kesempatan kepada setiap warga masyarakat
untuk mengalami mobilitas sosial vertikal secara luas, dimana setiap
warga masyarakat memiliki kesempatan untuk meraih prestasi
danmemiliki kedudukan/status sosial yang lebih tinggi.

11
f). Penduduk yang Heterogen
Di dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial
yang mempunyai perbedaan latar belakang kebudayaan, ras, ideologi
dan sebagainya, mempermudah terjadinya konflik-konflik dalam
masyarakat, sehingga sering muncul goncangan-goncangan yang
mendorong terjadinya perubahan kehidupan masyarakat.
g). Ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai bidang kehidupan.
Ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat dan telah
berlangsung lama, dapat mendorong munculnya sebuah revolusi atau
pemberontakan.
h). Orientasi ke masa depan
Masyarakat yang mampu berfikir ke arah masa depan (memiliki
Visi, Misi dan tujuan hidup yang jelas) akan terdorong untuk
mewujudkan cita -cita masa depannya, sehingga tumbuh sebagai
masyarakat yang dinamis, kreatif, yaitu masyarakat yang selalu
berusaha menghasilkan penemuan -penemuan baru yang akan merubah
kehidupan masyarakatnya menuju terwujudnya masyarakat yang
dicita-citakan.
i). Pandangan bahwa manusia harus senantiasa memperbaiki hidupnya
Berkembangnya keyakinan terhadap nilai –nilai hakekat hidup di
mana manusia agar bisa tetap eksis harus berusaha memperbaiki
hidupnya, menjadi pendorong masyarakat untuk selalu berusaha
meningkatkan kualitas hidupnya dengan berusaha merubah kondisi
hidupnya ke arah yang lebih baik.

2). Faktor -faktor Penghambat


a). Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
Masyarakat yang hidup terasing mengakibatkan tidak akan
mengetahui perkembangan kemajuan yang telah dicapai oleh
masyarakat lain.Biasanya masyarakat tersebut terkungkung pola-pola
pemikirannya oleh tradisi, dan tidak menyadari bahwa msyarakatnya

12
telah tertinggal dibandingkan dengan masyarakat yang lain, sehingga
tidak memiliki gambaran ataupun keinginan untuk merubah kondisi
masyarakatnya agar menjadi lebih maju.
b). Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang terlambat.
Kondisi masyarakat yang terlambat ilmu pengetahuannya dapat
dijumpai pada masyarakat yang pernah terjajah lama oleh masyarakat
atau bangsa lain. Selain itu bisa juga terjadi pada masyarakat yang
terasing atau tertutup. Kondisi tersebut melahirkan masyarakat yang
statis, dan tidak mampu berkembang karena keterbatasan ilmu
pengetahuannya.
c). Sikap masyarakat yang sangat tradisional.
Sikap masyarakat yang suka mengagun-agungkan tradisi dan masa
lampau, serta anggapan bahwa tradisi secara mutlak tidak dapat
dirubah, akan menjadi penghambat jalannya proses perubahan, karena
masyarakat dihinggapi rasa takut atau menganggap tabu untuk
meninggalkan dan merubah tradisi lama dengan tradisi yang baru.
d). Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat
atau vested interests.
Dalam setiap masyarakat terdapat sistem pelapisan / strtifikasi
sosial yang memposisikan sekelompok orang untuk menikmati posisi /
kedudukan sosial pada lapisan atas. Hal ini sering terjadi pada
masyarakat feodal dan masyarakat yang tengah mengalami transisi.
Mereka yang memiliki posisi / kedudukan pada lapisan atas, akan
selalu mempertahankan posisi tersebutdan sukar sekali untuk mau
melepaskan kedudukannya.
e). Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasikebudayaan
Setiap masyarakat memiliki unsur-unsur budaya yang dipandang
menjadi dasar integrasi bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang
harmonis. Oleh sebab itu masyarakat berusaha memelihara dan
mempertahankannya agar keharmonisan tetap terjaga. Masuknya
unsur-unsur budaya luar sering disikapi dengan kekhawatiran dapat

13
menyebakan terjadinya perubahan pada unsur-unsur kebudayaan
tersebut dan menggoyahkan integrasi masyarakatnya, sehingga
cenderung ditolak.
f). Prasangka terhadap hal-hal baru ( asing ) atau sikap yang tertutup.
Bagi masyarakat yang pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Barat,
prasangka -prasangka negatif serta sikap yang tertutup tersebut masih
sering melekat dengan kuat, karena tidak bisa melupakan pengalaman-
pengalaman pahit yang pernah mereka terima selama dijajah. Karena
saat ini hal –hal baru umumnya datang dari dunia Barat, maka oleh
masyarakat disikapi dengan prasangka sebagai upaya untuk melakukan
penjajahan kembali. Oleh sebab itu masuknya hal-hal baru cenderung
ditolak oleh masyarakat.
g). Hambatan-hambatan yang bersifat Ideologis.
Setiap bangsa atau masyarakat tentu memiliki ideologi yang
mengandung nilai -nilai dasar sebagai pedoman dalam hidup
bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu nilai-nilai
ideologi merupakan nilai universal yang berfungsi sebagai alat
pemersatu / integrasi dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan
bermasyarakat tersebut. Masuknya unsur budaya baru yang dianggap
tidak sesuai apalagi bertentangan dengan nilai-nilai ideologi tersebut,
cenderung akan ditolak karena dikhawatirkan dapat mengganggu
kestabilan dan integrasi dalam kehidupan mereka.
h). Adat atau Kebiasaan dalam Masyarakat.
Adat atau kebiasaan yang hidup di masyarakat merupakan pola-
pola perilaku bagi anggota masyarakat dalam memenuhi segala
kebutuhan pokoknya. Ada kalanya adat atau kebiasaan tersebut begitu
kokoh ternanam dalam kehidupan masyarakatnya, sehingga sulit untuk
diubah, seperti yang berkaitan dengan bidang kepercayaan, sistem
mata pencaharian, pembuatan rumah, cara berpakaian tertentudan
sebagainya.

14
i). Nilai bahwa Hidup itu pada hakekatnya buruk dan tidak mungkin
diperbaiki.
Berkembangnya nilai-nilai tersebut di dalam masyarakat akan
melahirkan sikap hidup yang apatis. Mereka meyakini bahwa
kehidupan di dunia memang penuh dengan kesusahan dan kesulitan
yang dipahami sebagai kodrat yang harus diterima dan dijalaninya,
karena kehidupan tidak mungkin diubah dan diperbaiki.

E. Gerakan Reformasi 1998 Sebagai Tonggak Perubahan Sosial


di Indonesia
Kehidupan sosial adalah kehidupan yang bersifat dinamis, selalu
berubah, dan dengan demikian tidaklah statis. Seperti juga halnya
sebuah entitas masyarakat dalam suatu komunitas, senantiasa bergerak,
berevolusi, dan berubah menuju ke arah kesempurnaan. Piotr
Sztompka, menyatakan “masyarakat senantiasa berubah di semua
tingkat kompleksitas internalnya” (2008:65). Walaupun dalam rangka
menuju perubahan ke arah kesempurnaan itu pasti membawa dampak
terhadap semua tatanan atau sistem sosial yang selama ini dianut dan
dipertahankan. Hal itu merupakan hubungan kausalitas, hubungan
sebab akibat yang saling terkait. Artinya apa yang terjadi dengan
masyarakat dewasa ini merupakan proses perkembangan dari
masyarakat pada masa lalu. Sebagaimana dijelaskan oleh Sztompka,
bahwa masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa mendatang.
Kehadirannya justru melalui fase antara apa yang telah terjadi dan apa
yang akan terjadi. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bebas,
dan jiplakan masa lalu serta bibit dan potensi untuk masa depan. Sifat
berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya
berhubungan sebab akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan
persyaratan sebab akibat yang menentukan fase berikutnya (2008:65).
Sebagaimana halnya dengan masyarakat, negara yang merupakan
kumpulan orang-orang juga mengalami dinamika pada suatu fase atau

15
masa (era) tertentu. Perubahan atau dinamika yang terjadi pada suatu
komunitas akan membawa perubahan pada kondisi sosial ekonomi dan
politik pada suatu negara. Begitu pula halnya dengan kehidupan sosial
ekonomi dan politik di Indonesia. Sebagaimana sudah diketahui bahwa
menjelang akhir tahun 1997 Indonesia mengalami krisis multidimensi,
yakni krisis ekonomi dan moneter sebagai dampak dari krisis yang
melanda pada hampir semua negara di dunia. Sebagai bagian warga
dunia, Indonesia juga merasakan krisis ekonomi pada waktu itu. Pada
saat bersamaan terjadi krisis sosial dan politik sebagai dampak dari
krisis ekonomi dan moneter. Rezim Orde Baru yang dikomandoi oleh
Presiden Soeharto mendapat tantangan yang serius dari gerakan-
gerakan pro-demokrasi yang menuntut pergantian (suksesi)
kepemimpinan nasional.
Gerakan-gerakan pro-demokrasi yang selama tiga dekade
mengalami mati suri karena dibungkam dan dikebiri oleh
pemerintahan Orde Baru menemukan momentum kebebasan untuk
memperjuangkan hak-hak sosial dan politik untuk memperkuat civil
society (masyarakat madani). Terjadi demonstrasi di seluruh pelosok
negeri yang melibatkan semua elemen bangsa, mendesak Presiden
Soeharto mundur dari kekuasaan politiknya yang selama 32 tahun
dikuasai secara tidak demokratis. Dalam kondisi demikian pada
tanggal 12 Mei 1998 terjadi kerusuhan massal di ibukota negara yang
mencemarkan citra Indonesia di mata dunia.. Gerakan reformasi yang
dimotori oleh para mahasiswa telah melahirkan transformasi sosial
politik di Indonesia yang menunjukkan suatu gejala perubahan yang
berkelanjutan dari era-era sebelumnya, yakni era Orde Lama,
kemudian ke era Orde Baru, dan sekarang masuk ke era Reformasi.
Sejak tahun pasca tahun 1966-dimana gerakan mahasiswa berhasil
menjatuhkan rejim Orde Lama, dapat dikatakan mengalami masa
stagnansi dari gerakan mahasiswa. Mahasiswa dipandang telah
kehilangan kepekaaan sosial yang terjadi pada saat itu. Kondisi ini

16
tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang begitu represif sehingga
kondisi perpolitikan nasional menjadi alat yang efektif untuk
mematikan aspirasi dan gerakan mahasiswa. Pengekangan tersebut
telah membuat mahasiswa kebanyakan menjadi kehilangan daya
kritisnya terhadap kondisi kehidupan sosial yang berkembang.

Gairah pergerakan di kelompok mahasiwa kemudian mulai


kembali pada tahun 90-an saat akumulasi berbagai permasalahan sosial
makin tajam. Mereka lebih cenderung mengangkat masalah-masalah
yang aktual pada saat itu, misalnya masalah kelaparan atau bencana di
satu daerah dan permasalahan keseharian yang dihadapi oleh
masyarakat. Akan tetapi, pola yang digunakan tidak berubah; masih
sporadis dan dilakukan dalam kampus. Pada awalnya tidak semuanya
mahasiswa tersebut tergerak untuk menanggapi masalah sosial yang
muncul. Dalam melihat fenomena ini, Ricardi melakukan pembagian
lima kelompok mahasiwa dalam merespon kondisi sosial, ekonomi,
politik dan budaya yang ada di masyarakat. Pertama adalah kelompok
idealis konfrontatif, dimana mahasiwa tersebut aktif dalam
perjuangannya menentang pemerintah melalui aksi demonstrasi.
Kedua, kelompok idealis realistis adalah mahasiwa yang memilih
kooperatif dalam perjuangannya menentang pemerintah. Ketiga,
kelompok opportunis adalah mahasiswa yang cenderung mendukung
pemerintah yang berkuasa. Keempat adalah kelompok profesional,
yang lebih berorientasi pada belajar atau kuliah. Terakhir adalah
kelompok rekreatif yang berorientasi pada gaya hidup yang glamour.

Menurut Ricardi dalam Selo Soemardjan (1999) pada masa itu


muncul conscience collective, kesadaran bersama dimana mahasiswa
merupakan satu kelompok yang harus bersatu padu. Dalam kondisi
perilaku kolektif, terdapat kesadaran kolektif dimana ide-ide yang
tadinya dimiliki oleh sekelompok mahasiswa yang menyebar dengan
begitu cepat sehingga menjadi milik mahasiswa maupun masyarakat

17
pada umumnya. Kekecewaan dan ketidakpuasan mahasiswa terhadap
pemerintah disambut oleh masyarakat yang menjadi korban dari sistem
yang ada. Aksi dari mahasiswa kemudian direspon oleh masyarakat
melalui secara sukarela memberikan bantuan kepada para mahasiswa
yang sedang mengadakan demonstrasi. Neil Smelser memberikan
pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku
kolektif. Menurutnya, ada enam syarat pra-kondisi yang harus terjadi;
struktural (structural conducivenes), ketegangan struktural (structural
strain), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat
(precipitating factors), Mobilisasi tindakan (mobilization for action),
dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control). Dalam
konteks gerakan mahasiswa di Indonesia, keenam syarat itu terpenuhi;
pertama kondisi sosial masyarakat saat itu yang mendukung aksi-aksi
mahasiswa, kedua adanya kesamaan rasa tertindas oleh pemerintah,
ketiga penyebaran serta gagasan dengan landasan kebenaran, hak asasi
manusia dan rakyat sebagai dasar perjuangan, keempat adanya faktor
pemicu dengan gugurnya mahasiswa Universitas Trisakti yang
kemudian berlanjut pada peristiwa lainnya, kelima adanya usaha
mobilisasi aksi dengan berbagai elemen masyarakat dan terakhir
adalah adanya tekanan dari negara atau bentuk kontrol sosial lainnya
yang berusaha menggagalkan/menggangu proses perubahan.

Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 tepatnya bulan Mei,


cenderung pada perilaku kerumunan aksi dimana aksi demonstrasi
mereka lakukan secara terus menerus dengan mengandalkan mobilisasi
massa demi tujuan bersama. Tuntutan gerakan mahasiswa sendiri pada
pasca kejatuhan rezim Orde Baru cenderung pada perubahan sistem
politik dan struktur pemerintahan. Melihat pemaparan diatas serta
landasan teori yang digunakan diatas, jelas bahwa gerakan mahasiswa
pada tahun 1998 adalah satu proses reformasi dalam perubahan sosial.
Gerakan semacam ini biasanya muncul di negara-negara yang

18
demokratis. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto
dan menggantikan era Orde Baru dengan era Reformasi telah
membawa perubahan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia.
Sejalan dengan itu, Piotr Sztompka (2008:3) menyatakan bahwa
perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di
dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat
perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu
berlainan.

Pada era Orde Baru ketika Soeharto berkuasa kehidupan dan


dinamika sosial politik di Indonesia sangat monoton dan terkesan
kaku. Semua pranata-pranata sosial politik yang dibentuk untuk
memberdayakan anak bangsa cenderung dikebiri secara terencana dan
dikontrol secara ketat. Hingga pada batas-batas tertentu kehadiran
suatu pranata sosial politik tidak cukup memunculkan daya tarik bagi
kesadaran anak bangsa untuk terlibat secara aktif memberikan aspirasi
dan menggerakkan proses perubahan bagi kesejahteraan dan
pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
gerakan reformasi telah membawa perubahan yang cukup signifikan ke
arah perbaikan sistem ekonomi, sosial, politik, dan kehidupan
demokrasi di Indonesia.

Kehadiran era reformasi telah membuka jalan bagi semua


komponen bangsa melakukan inovasi-inovasi melalui inisiasi secara
produktif demi perbaikan dan perubahan kehidupan sosial politik di
tanah air. Hal itu dapat dilihat dari kerja kreatif melalui eksperimen
para anggota parlemen melakukan amandemen Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Kondisi tersebut hampir menjadi sesuatu yang mustahil
dilakukan pada saat rezim Soeharto berkuasa. UUD 1945 pada era
Orde Baru ibarat kitab suci yang tidak boleh diutak-atik. Sztompka
(2008:5) menyatakan bahwa semua tiran dan diktator hanya mampu
menutup-nutupi ketidaksenangan publik hingga batas tertentu dan

19
kemerosotan kekuasaan mereka lambat laun tanpa terelakkan
membuka pintu bagi demokrasi. Amandemen UUD 1945 merupakan
salah satu tuntutan gerakan reformasi, yang memuat agenda reformasi,
yaitu perubahan UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI,
penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia
(HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),
desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah
(otonomi daerah), mewujudkan kebebasan pers dan kehidupan
demokrasi.
Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa
perubahan yang cukup mendasar bagi kehidupan demokratisasi di
Indonesia. Dengan amandemen UUD 1945 terjadi perubahan sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Misalnya, melalui amademen UUD 1945
sehingga terjadi pemisahan jabatan Ketua MPR dan DPR yang dijabat
oleh orang yang berbeda, yang sebelumnya hanya dijabat oleh satu
orang, di mana sebagai Ketua DPR sekaligus juga sebagai Ketua MPR.
Selain itu, terjadi perubahan yang membawa angin demokratisasi
semakin kencang berhembus adalah dibolehkannya pembentukkan
partai-partai politik baru (sistem multipartai), yang di masa Orde Baru
sangat diharamkan, hanya tiga partai saja yang diijinkan, dan
pelaksanaan pemilu dengan memilih anggota legislatif dan anggota
DPD secara langsung. Kemudian diikuti pula dengan pelaksanaan
pemilihan presiden secara langsung. Hal itu dapat dilihat ketika
pemilihan umum pada tahun 1999 yang diikuti puluhan partai
politik. Meskipun kemudian melalui seleksi alam partai-partai politik
tersebut kemudian gugur secara alamiah satu demi satu. Kondisi
tersebut telah memberikan kesempatan kepada seluruh anak bangsa
mengekspresikan kehendak sosial politiknya sesuai dengan keinginan
untuk memberikan kontribusi langsung bagi pembangunan
demokratisasi di Indonesia.

20
Dalam bidang pemerintahan terjadi pula perubahan-perubahan ke
arah positif, lebih terbuka (transparan) dan akuntabel. Mulai diterapkan
nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan bidang
kepemerintahan. Bersamaan dengan itu kemudian diterapkan otonomi
daerah, pengelolaan bidang pemerintahan tidak lagi secara terpusat
(sentralisasi) melainkan daerah diberi kewenangan untuk mengelola
daerahnya secara mandiri dan bertanggung jawab (desentralisasi).
Untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi maka dibentuk
pula lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), dan masih banyak lagi lembaga sejenis. Bersamaan
dengan itu semakin berkembang civil society (masyarakat madani).
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin tumbuh
berkembang dalam rangka memberdayakan masyarakat dan
memperkuat masyarakat sipil (masyarakat madani), yang memiliki
kesempatan untuk memberi kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Bentuk-bentuk perubahan dari gerakan reformasi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia seperti disebutkan di atas menunjukkan arah
perubahan sosial pada pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan
struktur sosial pada waktu tertentu. Gerakan reformasi juga
menunjukkan gejala perubahan sebagai modifikasi atau transformasi
dalam pengorganisasian masyarakat. Hal ini terlihat pada pembentukan
partai-partai politik yang mencerminkan modifikasi atau transformasi
dalam pengorganisasi masyarakat, walau dalam kenyataannya banyak
partai politik hanya bertujuan untuk memobilisasi massa untuk
kepentingan jangka pendek.
Dalam arah perubahan pola perilaku (pola kelakuan), di mana
terjadi perubahan yang sebelumnya bersifat paternalistik, pemimpin
adalah orang yang harus dilayani, pada era Reformasi ini telah
bergeser menjadi pemimpin adalah pelayan dan pengayom masyarakat.
Masyarakat tidak lagi memperlakukan para pemimpin (tokoh) sebagai

21
orang yang harus dituruti segala kemauannya. Masyarakat seharusnya
menempatkan diri pada posisi yang sejajar sebagai mitra pemimpin
(pemerintah). Pola hubungan tidak lagi bersifat top down, tetapi sudah
bergeser ke bentuk yang lebih demokratis, memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengembangkan dan memberdayakan diri
secara kreatif melalui pola bottom up. Inisiatif diharapkan muncul dan
berasal dari bawah (masyarakat), sedangkan pemerintah hanya
bertindak sebagai fasilitator dan memberikan fasilitasi agar inisiatif itu
dapat berkembang secara optimal.
Perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi dalam sistem
kehidupan kebangsaan Indonesia menunjukkan arah perubahan yang
bersifat linier, bergerak maju dari satu era sebelumnya ke era baru
yang lebih baik (perubahan progresif). Gerakan reformasi telah
membawa perubahan dan perbaikan yang cukup signifikan dalam
pengelolaan tatanan kehidupan kebangsaan Indonesia. Meskipun
demikian, terjadi pula banyak hal akibat dari gerakan reformasi yang
menumbanghkan rezim Orde Baru dan mengubahnya menjadi era
Reformasi ini. Harus diakui bahwa gerakan reformasi juga membawa
perubahan yang “merugikan”. Misalnya, perubahan sistem pemilihan
langsung kepala daerah, di satu sisi telah memberi ruang yang cukup
bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif memilih dan menentukan
calon pemimpinnya, tetapi di sisi lain menimbulkan gesekan-gesekan
yang mengarah pada konflik horizontal (konflik antar masyarakat).
Kondisi demikian membuat sebagian kalangan menilai bahwa
reformasi telah kebablasan. Pada sisi ini kita dapat mengatakan bahwa
di samping arah perubahan dari gerakan reformasi bersifat progres,
tetapi mengandung pula sifat regres. Tentu saja, semua kekurangan
dan kelemahan itu menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa
agar secara bersama bahu membahu menutupi dan memperbaiki.
Pandapat atau teori dari Selo Soemardjan dapat dikatakan sesuai
dengan keadaan yang dialami Indonesia pada tahun 1998, yaitu

22
gerakan reformasi dapat dikatakan sebagai gerakan perubahan sosial
yang memiliki dampak terhadap perekonomian, politik, sosial budaya.
Perubahan sosial dirumuskan sebagai segala perubahan dalam
lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang mempengaruhi sistem
sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Proses reformasi pada tahun
1998 telah berdampak besar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia
secara umum. Pertama, yang paling dirasakan dan dapat dilihat dengan
jelas adalah jatuhnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32
tahun. Selama berkuasa, rezim Orde Baru telah menjadi orde
kekerasan, yang selalu mengedepankan tindakan represif dalam
menjaga kelanggengan kekuasaanya. Mundurnya presiden Soeharto
yang dianggap sebagai simbol Orde baru, telah menjadi tolok ukur dari
perubahan tersebut.

Kedua, seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru maka berdampak


pada struktur pemerintahan. Dalam berbagai tuntutannya, mahasiswa
menganggap bahwa struktur pemerintahan di masa rezim Orde Baru
menjadi instrumen penindasan terhadap masyarakat. Ini jelas sangat
dirasakan oleh para mahasiswa yang telah dibungkam melalui
pemberlakuan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (NKK/BKK). Selain itu, mahasiswa menilai bahwa
aparat negara, militer pada khususnya juga menjadi alat pelanggeng
kekuasaan. Oleh karena itu, tuntutan yang muncul dari mahasiswa
adalah mengembalikan posisi militer pada fungsinya. Salah satu
contoh perubahan adalah pemisahan struktur antara Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia.

Ketiga, perubahan sistem politik di Indonesia. Walaupun sering


dikatakan bahwa paham yang dianut oleh sistem politik Indonesia
adalah demokrasi, ini jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh
masyarakat. Perbedaan pendapat yang kerap kali dianggap menggangu

23
stabilitas, menjadi hal yang haram di masa Orde Baru. Aspirasi politik
dari masyarakat kemudian dipersempit dengan sistem tiga partai yang
jelas tidak berpihak pada masyarakat. Oleh karena itu salah satu
tuntutan mahasiswa pada tahun 1998 adalah melakukan pemilihan
umum (pemilu) dalam waktu dekat. Salah satu contoh perubahan dekat
adalah pelaksanaan sistem pemilihan umum langsung yang
dilaksanakan pada tahun 2004.

Seperti yang telah disampaikan diatas, perubahan sosial juga akan


mempengaruhi nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam sistem sosial
masyarakat. Dalam konteks reformasi pada tahun 1998, terjadi
perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sehari-
hari. Pengekangan yang dulu dilakukan oleh rezim Orde Baru
diberbagai sektor berangsur-angsur dihilangkan. Sebagai salah satu
contoh adalah kebebasan berpendapat yang dulu menjadi ‘barang
mahal’ sekarang relatif lebih terbuka. Kemudian isu tentang nilai-nilai
Hak Asasi Manusia kemudian menjadi salah satu indikator dalam
pembangunan. Masyarakat yang dulunya cenderung pasif pada sistem
politik terdahulu mulai terlibat dalam berbagai kegiatan politik praktis.
Sebagai salah satu indikator adalah berdirinya berbagai partai politik di
Indonesia.

Saya melihat bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah


sebuah perubahan sosial dalam bentuk gerakan reformasi dimana
perubahan sosial yang terjadi upaya yang berusaha memajukan
masyarakat tanpa mengubah struktur dasarnya. Pemaparan diatas telah
menggambarkan bagaimana proses perubahan sosial tersebut. Gerakan
mahasiswa saat itu melihat bahwa untuk menjawab permasalahan yang
dihadapi oleh Indonesia adalah pergantian rezim otoriter yang
berkuasa dengan menggunakan isu-isu moral pada awalnya.
Pemerintah saat itu dianggap tidak peduli bahkan tidak menunjukkan
sikap kritis terhadap permasalahan yang dihadapi

24
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa gerakan


reformasi yang melahirkan era keterbukaan dewasa ini di dalam kehidupan
sosial politik di Indonesia menunjukkan gejala perubahan sosial.
Perubahan sosial di Indonesia dalam hal ini gerakan Reformasi tahun
1998, sesuai dengan pendapat ahli sosiologi Selo Soemardjan. Pertama,
yang paling dirasakan dan dapat dilihat dengan jelas adalah jatuhnya rezim
Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Selama berkuasa, rezim
Orde Baru telah menjadi orde kekerasan, yang selalu mengedepankan
tindakan represif dalam menjaga kelanggengan kekuasaanya. Kedua,
seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru maka berdampak pada struktur
pemerintahan. Ketiga, perubahan sistem politik di Indonesia dari otoriter
menjadi demokrasi.
Mengamati proses reformasi yang sedang berjalan secara kritis perlu
kita kemukakan bahwa di samping memberikan perubahan dan perbaikan
sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya secara signifikan, hal itu juga
memberi implikasi negatif bagi perkembangan kehidupan demokrasi di
masyarakat. Ternyata semakin demokratis kehidupan suatu bangsa tidak
selalu diikuti (berbanding lurus = linier) dengan kematangan sikap
demokratis. Pada banyak kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) terjadi
benturan-benturan yang mengarah pada konflik horizontal yang sangat
mengancam persatuan dan kesatuan (integrasi) bangsa. Bahkan sikap
anarkis dengan mudah diekspresikan untuk menunjukkan sikap penolakan.
Selain itu, budaya money politics semakin tumbuh subur, hal mana sangat
melecehkan suara rakyat yang sesungguhnya. Karena itu, penulis
sependapat dengan beberapa kalangan yang mewacanakan peninjauan
ulang terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung,

25
untuk kembali seperti pola sebelumnya dipilih melalui lembaga
perwakilan rakyat (DPR). Selain itu, euforia reformasi yang sangat
berlebihan yang memanfaatkan era keterbukaan untuk melakukan
kehendak sosial dan politik warga negara juga perlu dibatasi. Karena pada
hakekatnya di dalam hak itu terkandung pula kewajiban.

26
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku bacaan:

Horton, Paul B & Hunt,Chester L. 1992. Sociology ( Sosiologi ).Penerjemah:


Aminudin Ram. Jakarta: Penerbit Erlangga

Koentjaraningrat. 1965. Pengantar Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas

Nasiwan, dkk. 2016. Seri Teori-Teori Sosial Indonesia. Yogyakarta: UNY Press

Ricardi S. Adnan dan Arvab Pradiansyah. 1999.“Bab III: Gerakan Mahasiswa


untuk Reformasi,” Kisah Perjuangan Reformasi, Selo Soemardjan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi terbaru. Jakarta: Raja
Grafindo Persada

Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media


Group

Sumber jurnal online:

http://iluni.ui.ac.id/prof-selo-sumardjan-makna-keteladanan-dalam-pengabdian/
diunduh pada 16 Desember 2017

http://staffnew.uny.ac.id/upload/130936809/pengabdian/ppm-modul-sosiologi
perubahan-sosial.pdf diunduh pada 16 Desember 2017

Martanto, Ucu. 2012. Matinya Ilmu Sosial di Indonesia: Indigenisasi Reflektif


Emansipatif . Surabaya: Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.1, 11-16

27
Prasisko, Gigih Yongki. 2016. Gerakan Sosial Baru Indonesia: Reformasi 1998
dan Proses Demokratisasi Indonesia. UGM Yogyakarta: Jurnal Pemikiran
Sosiologi Vol. 3 No. 2

28

Anda mungkin juga menyukai