sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya yang
dimuat dimedia massa dan dijadikan rujukan dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dia
mengawali debutnya sebagai penulis sejak tahun 1950. Atas prestasinya, dia menerima banyak
penghargaan, baik sebagai sastrawan maupun sebagai wartawan.
Gerson Poyk dikenal sebagai perintis sastra NTT. Beliau berjasa besar dalam mengangkat citra
NTT dalam panggung sastra Indonesia modern lewat karya-karya sastranya. Dalam khazanah
sastra Indonesia, nama Gerson dengan gampang orang kaitkannya dengan NTT karena karya-
karyanya yang khas dan unik tentang NTT.
Pada akhir tahun 2012 yang lalu, Gerson Poyk mendapat penghargaan NTT Academia Award
2012 dari Forum Academia NTT (FAN) sebagai pemenang kategori “Sastra dan Humaniora”
(Literature and Humaniora). Di samping Gerson, pemenang yang lain adalah Aloysius Benedictus
Mboi (Gubernur NTT periode 1978-1988) sebagai pemenang kategori “Pengabdian Seumur
Hidup” (Life Time Achievement), I Wayan Mudita (dosen Faperta Undana Kupang), pemenang
kategori “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perekayasaan” (Science and Engineering), dan Maria
Mediatrix Mali (aktivis LSM), pemenang kategori “Kebijakan dan Kewirausahaan Masyarakat”
(Social and Policy Entrepreneur).
Belum Banyak Dikenal
Meskipun nama Gerson Poyk sangat populer di tingkat nasional bahkan internasional, di tanah
kelahirannya NTT masih belum banyak dikenal. Kalaupun mengenal, mungkin hanya namanya,
tidak kenal orangnya. Kalaupun kenal nama dan orangnya, belum tentu kenal (baca) karya-karya
sastra yang telah ditorehkannya.
Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, NTT, dari pasangan
Johanes Laurens Poyk dan Juliana Manu. Sejak kecil terbiasa pindah tempat tinggal dan sekolah.
Menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Flores, khususnya di Ruteng, Kabupaten
Manggarai. Masuk SD di Bajawa, Kabupaten Ngada, pindah ke Ruteng dan menamatkan SD di
Ruteng, kemudian pindah ke Maumere, Kabupaten Sikka.
Ketika ayahnya bertugas di Kalabahi, Kabupaten Alor, Gerson ikut ke Alor dan masuk OVO di
Kalabahi. Dari Alor ia melanjutkan studi di Sekolah Guru Bawah (SGB) di Soe, Kabupaten TTS
di Timor. Setelah tamat SGB di Soe ia masuk Sekolah Guru Atas (SGA) Kristen di Surabaya
(1955). Selesai SGA Kristen di Surabaya (1955), Gerson Poyk menjadi guru di SMP Negeri dan
SGA Negeri di Ternate, Maluku Utara (1956). Dari Ternate pindah ke Bima, Nusa Tenggara Barat
(NTB). Ia menjadi guru di Bima selama 7 tahun (1956-1963).
Tahun 1963 Gerson berhenti dari guru dan menjadi wartawan Sinar Harapan. Tahun 1969 Gerson
Poyk berhenti dari wartawan dan menjadi penulis lepas (free lancer) dan penulis kolom (kolomnis)
di berbagai media cetak di Indonesia. Tahun 1970-1971 beliau mengikuti International Writing
Program yang diselenggarakan oleh The University of Iowa, Amerika Serikat. Akhir tahun 1982
menghadiri Seminar Sastra di India.
Gerson Poyk pernah memenangkan Adinegoro Award bidang jurnalistik (1985, 1986), South East
Asia Write Award (1989), Lifetime Achivement Award dari harian Kompas (1997), dan Anugerah
Kebudayaan Tahun 2011 dari Presiden SBY atas jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya.
MENGANGKAT CITRA NTT
Pada waktu peluncuran buku karya jurnalistik yang berjudul Keliling Indonesia dari Era Bung
Karno Sampai SBY di Jakarta, pada 17 Februari 2011, Gerson Poyk mengakui, karya-karya
sastranya banyak terinspirasi dari latar belakang kehidupan masa lalunya di NTT. “Batin dan alam
bawah sadar saya selalu bergejolak. Energi inilah yang selalu membuat saya bergerak untuk
menuliskan karya sastra saya, sampai sekarang,” katanya.
Pada waktu menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Seni Budaya dan Pembangunan yang
diselenggarakan Komunitas Rumah Poetika di Taman Budaya NTT, Kupang pada 11 April 2012,
Gerson Poyk menyatakan, NTT butuh kritikus untuk pengembangan seni dan budaya. Pernyataan
Gerson ini diamini oleh sastrawan Putu Wijaya dan Radhar Panca Dahana yang tampil bersama
dalam seminar tersebut (lihat Victory News, 12 dan 13 April 2012).
Selain menyatakan pentingnya NTT memiliki kritikus seni dan budaya, Gerson Poyk juga
memberikan perhatian serius pada kearifan lokal (local genius). Dalam konteks NTT, menurutnya,
kearifan lokal ini mulai terkikis termakan arus globalisasi dan materialisme. “Pada kearifan
lokallah yang mendorong penataan relasi sosial. Kearifan lokal mencegah orang terpikat pada
materialisme, misalnya mencegahnya dengan mitos, sastra, cerita rakyat, seni tari, dan lain-lain,”
kata Gerson.
Belum lama ini, kepada harian Kompas (9 Juni 2013), Gerson Poyk menuturkan, “Negeri kita ini
kaya. Kaki di bumi subur, tangan di laut kaya, tapi otak di padang pasir. Kita harus sadar bahwa
bumi kita subur.” Beliau mengharapkan agar pembangunan harus dilakukan dengan transmigrasi
modern. Pemerintah perlu mengembangkan desa budaya. “Kita tidak akan lapar lagi. Orang desa
punya piring raksasa, yakni tanah yang subur,” katanya.
Sejumlah karya sastranya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Inggris, Jerman,
Rusia, Belanda, Jepang, dan Turki. Banyak mahasiswa dalam dan luar negeri memperoleh gelar
S1, S2 dan S3 dengan skripsi, tesis, dan disertasi dengan mengkaji karya-karyanya. Sebagian besar
karya sastra Gerson menunjukkan warna khas daerah NTT. Membaca karya Gerson, ingatan orang
langsung ke wilayah Timur Indonesia, yakni NTT.
Karya-karya sastra Gerson Poyk sebagian besar telah dibukukan, berikut judul-judulnya
berdasarkan urutan tahun penerbitannya, yakni
(4) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajagukguk (cerpen, Nusa Indah, Ende,
1974);
(20) Enu Molas di Lembah Lingko (novel, Yayasan Trimedia, Jakarta, 2005);
(22) Sang Sutradara dan Wartawati Burung (novel, Kakilangit Kencana, Jakarta, 2009);
(25) Keliling Indonesia dari Era Bung Karno Sampai SBY (Libri, Jakarta, 2010);
“Matias Akankari” adalah cerita pendek pertama tentang Papua yang terbit di Indonesia, yaitu
pada 1972. Di dalamnya, Gerson mengisahkan bagaimana seorang pria dari suatu rimba di Papua
kebingungan dan tersingkir di Jakarta. Cerita yang penuh adegan jenaka itu (misal: Matias, tokoh
utamanya, terkenang bagaimana ia diusir dari gereja karena mencopot kotekanya yang telah ia
modifikasi jadi seruling dan memainkannya buat menambah kesyahduan ibadah) meledek rezim
Soeharto yang secara semena-mena hendak menyeragamkan masyarakat Indonesia dalam ukuran-
ukuran Jawa. Pada 1970, pemerintah Indonesia mengadakan “Operasi Koteka” yang memaksa
orang-orang Papua menggantikan pakaian tradisional mereka dengan “pakaian Indonesia.”
“Stasiun televisi milik negara, TVRI, bahkan menyiarkan adegan rekaan orang-orang Papua
membuang koteka dan menyambut pantalon keluaran pemerintah,” tulis Hill. Dan tiga tahun
sebelum penerbitan “Matias Akankari”, kita tahu, pemerintah Indonesia menggelar referendum
abal-abal di Papua. Seturut proposal PBB, semestinya setiap orang Papua punya hak pilih untuk
menentukan nasib Papua: bergabung dengan Indonesia atau merdeka, tetapi kenyataannya, dari
800 ribuan rakyat Papua pada waktu itu, hanya 1.025 “utusan” yang dilibatkan, itu pun di bawah
pengawasan ketat oleh tentara Indonesia. “'Matias Akankari,'” tulis Hill, "mungkin tidak ditulis
untuk orang Papua dan tidak menggunakan cara pandang mereka. Namun, ia menawarkan
kemungkinan yang menarik buat menyelipkan Papua dalam sastra Indonesia.