Anda di halaman 1dari 8

AWAL DAN MIRA NASKAH PASCA KEMERDEKAAN TANTANG

PERAN PERJUANGAN PEMUDA


Oleh: Adi Putra Pratama (153151053)
Tadris Bahasa Indonesia
IAIN Surakarta

Abstrak: Kemerdekaan adalah sebuah harapan besar yang selalu diidam-idamkan


bagi suatu bangsa yang tertindas. Sebuah harapan kebebasan yang dapat diraih
melalui perjuangan-perjuangan besar. Senapan dan pistol adalah janji
kemerdekaan, tetapi sejarah adalah dokumentasi tulis yang merekam semua
kejadian. Naskah drama Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani merupakan
dialektika sejarah kebengisan kolonialisme dan perjuangan pemuda merebut
kembali tanah air Indonesia yang disajikan melalui drama roman picisan.
Kata kunci: nasionalisme, hermeneuitika, roman picisan.

A. Pendahuluan
Drama merupakan salah satu jenis kesenian yang memadukan
(kumulatif) antara berbagai jenis seni. Dalam drama atau dewasa ini selalu
disebut teater terdapat seni rupa, seni sastra, seni tari, dan seni musik. Dalam
hal ini, maka seni drama bisa dikategorikan sebagai seni pertunjukan (yang
dipertontonkan). Terkadang orang sering memberi pengertian yang sama
antara teater dan drama. Padahal, antara keduanya memiliki pengertiannya
sendiri-sendiri, yang terkadang disama-artikan antara keduanya. Pengertian
drama (Harymawan, 1988:1) berasal dari bahasa Yunani draomai yang
berarti ‘berbuat, bertindak, berlaku, beraksi (yang bisa diartikan menjadi
perbuatan atau tindakan)’. Teater secara etimologi berasal dari bahasa Yunani
theatron yang berarti tempat pertunjukan, thea yang berarti melihat, dan
theatai berarti penonton. Dari beberapa asal kata teater ini, menurut
Harymawan (1988:2) menghasilkan pengertian: (dalam arti luas) segala
tontonan yang dipertunjukan di depan orang banyak; dan (dalam arti sempit)
drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas,
disaksikan oleh orang banyak dengan media (percakapan, gerak, dan laku),
dengan atau tanpa dekor, didasari pada naskah yang tertulis dengan tau tanpa
musik, nyanyian, ataupun tari.
Drama atau teater tidak hanya dikenal sebagai seni pertunjukan saja,
tetapi ada dimensi lain daripada dimensi pemanggungan itu sendiri, yaitu
dimensi sastra. Maksudnya, teater modern mementaskan lakon yang sudah
ditulis dalam bentuk naskah, dan naskahlah inti dari seni sastra dalam teater.
Berkaitan dengan hal dimensi sastra tersebut, artikel ini akan menitik beratkan
pada naskah drama ‘Awal dan Mira’ karya Utuy Tatang Sontani.
Utuy Tatang Sontani, seorang pejuang kemerdekaan dengan merekam
jejak-jejak kekejaman kolonialisme melalui pencitraan fiksi naskah drama
roman picisan. Naskah drama Awal dan Mira hadir sebagai bentuk
dokumentasi sejarah Pemuda Indonesia dalam merebutkan kembali Tanah Ibu
Pertiwi sebagai negara yang bebas dan merdeka. Ada hal yang diungkap pada
naskah Awal dan Mira yang secara fisik struktur dramatiknya menceritakan
tentang roman picisan atau tentang cerita cinta yang tidak memiliki arti.
Namun hal besar justru tersimpan secara hermeneutika, ketika melihat lebih
dalam makna naskah tersebut.
Menurut Chatterjee, dalam Sutrisno (Hermeneutika Pasca Kolonial.
2004: 108) menyebutkan bahwa sejarah nasionalisme memberi dua bentuk,
nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Hermeneutika telah sering
didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation).
Definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Pertama, teori
penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika
sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology).
Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa
(science of all linguistic understanding). Keempat, hermeneutika sebagai
landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological
foundation of Gristeswissenschaften). Kelima, hermeneutika sebagai
pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of
existence & of existential understanding). Dan yang keenam, hermeneutika
sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).
Gadamer berpendapat bahwa hermeneutika adalah seni, bukan
merupakan proses mekanis. Pemahaman dan Hermeneutika hanya dapat
diberlakukan sebagai suatu karya seni. Ia pun menuturkan bahwa interpretasi
merupakan penciptaan kembali. Penafsir selalu memahami ‘realitas dan
manusia’ dengan titik tolak sekarang ataupun kontemporer. Refleksi
hermeneutika menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang
pengalamannya tidak selalu dapat digolong-golongkan maupun dipelajari
secara artifisial. Penelitian ini tidak bertujuan untuk melakukan pengolongan
atau pengelompokan, melainkan mencoba menemukan sisi sudut pandang
baru yang berpegang pada intellectus Infinitus. Agar tidak ada lagi, atau
terhindar dari analisis yang menjustifikasi suatu karya sastra pada nilai
tertentu.
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif,
yang memanfaatkan teks-teks ilmiah untuk pengayaan dan landasan analisis.
Dengan menggunakan metode desktiptif, penelitian ini mengupayakan untuk
dapat mendeskripsikan tema nasionalisme yang terkandung dalam naskah
drama berjudul ‘Bunga Rumah Makan’ karangan Utuy Tatang Sontani
meskipun bertema roman picisan. Naskah tersebut akan dianggap sebagai
naskah yang memiliki cerita percintaan biasa jika tidak dianalisis dengan lebih
mendalam.
Hermeneutika menjadi alat analisis untuk membongkar unsur-unsur
dalam naskah ‘Awal dan Mira´ tersebut. Terutama pada tiga unsur analisis
kritis milik Gadamer, yaitu bahasa, kesadaran historis, dan pengalaman
estetik. Dengan memakai sistem keenam dari definisi hermeneutika Gadamer
pula, sistem penafsiran, dengan tujuan menemukan garis, benang merah, atau
batasan yang begitu relatif antara fiksi dan fakta (pada pembahasan analisis
memakai istilah realitas otonom untuk fiksi dan realitas obyektif untuk fakta,
agar mempermudah pemahaman).

C. Pembahasan
Naskah drama ‘Awal dan Mira’ karya Utuy tatang sontani merupakan
naskah yang diterbitkan pasca kemerdekaan. Beberapa kemungkinan,
penulisan naskah tersebut bahkan telah dimulai ketika Indonesia belum
merdeka. Naskah tersebut secara fisik merupakan naskah yang menceritakan
tentang roman picisan atau tentang cinta, namun tidakkah dipikirkan bahwa
naskah tersebut dapat dikaitkan dengan kemerdekaan Indonesia. Mengingat
karya sastra dapat dijadikan sebagai kritik terhadap sosial, namun
perwujudannya melalui tokoh-tokh fiksi yang dapat interpretasikan. Dengan
melihat dari tokoh-tokoh yang dibuat praduga bahwa semuanya berkaitan
dengan kolonialisme-kondisi masyarakat Indonesia-kemerdekaan. Sebagai
mana di bagian prolog telah dituliskan.
Entah kapan rumah itu didirikan di sana, entah mulai kapan pula
serambi muka itu di bangun jadi kedai kopi. Diartikan bahwa ‘rumah’ yang
dimaksud merupakan negara Indonesia. Sementara ‘serambi yang dibangun
menjadi kedai kopi’ dimaksudkan sebagai negara Indonesia yang telah dijajah
oleh kolonial Belanda menjadi lahan dagang mereka dengan merampas
rempah-rempah dan hasil bumi Indonesia yang kemudian dijual di
perdagangan dunia.
Pada kutipan berikutnya, antara dialog tokoh laki-laki dengan mira.
Laki-laki : kembali setalen.
Mira : (tidak memberikan uang kembalian. Setelah menerima
uang dari laki-laki asyik lagi saja ia menyulam.)
Laki-laki : mana kembaliannya?
Mira : Bah!
Laki-laki : Lho, stalen ya stalen.
Mira : betul, tapi tidakkah Tuan merasa bahwa Tuan terlalu lama
duduk di sini, terlalu lama memandang wajahku?
Laki-laki : melihat wajahmu mesti bayar?
Mira : mengapa tidak? Memangnya istrimu di rumah cantik
seperti aku?

Pada kutipan tersebut, dimaknai bahwa laki-laki tersebut merupakan


kolonial Belanda yang mirip dengan konspirasi Stalin dalam menggunakan
negara Indonesia sebagai budak dan perampasan melalui otoriter kolonial
Belanda. ‘Mira’ sebagai Indonesia, menyatakan bahwa kolonial Belanda sudah
terlalu lama di Indonesia karena dipandang Indonesia adalah negeri yang
kaya-raya berbeda dengan negara Belanda.
Pencitraan kolonial Belanda berikutnya, ditampakkan pada tokoh baju biru
dan baju putih yang digambarkan dengan seseorang yang tinggi besar.
Sebagaimana pada kutipan berikut.
Si Baju Biru : Mana Mira, Bu?
Ibu : Tidak ada.
Si Baju Putih : Ah, kalau tidak ada Mira, kurang senang kita
minum di sini.
Si Baju Biru : Biar, kita tunggu sampai dia datang. Buat apa kita
pula kita lekas pulang? Di rumah juga tidak ada
apa-apa.

Si Baju Biru menurut penggambaran merupakan pemuda Belanda pada


masa kolonial yang menyatakan bahwa kesukaannya pada negara Indonesia,
mengingat Indonesia adalah negara yang Cantik dan memiliki banyak
kekayaan sehingga dia bersama Baju Putih merasa bahwa tidak akan pulang
sebelum dapat memiliki Indonesia karena di Belanda tidak ada apa-apa. Baju
Biru dan Putih merupkan komparasi warna yang menjadi tanda Bendera
Belanda.
Kolonialisme Belanda memang kejam, akan tetapi itu adalah sejarah
yang tidak dapat kita lupakan sebagai semangat berkobaran bagi para pemuda
sekarang. Begitu keras perjuangan pemuda masa melawan kolonialisme
Belanda, keinginan untuk meraih kemerdekaan dan kebebesan adalah hasrat
nafsu terbesarnya. Tokoh ‘Awal’ yang digambarkan sebagai pemuda pribumi
adalah tokoh yang sangat semangat dalam mempertahankan ‘Mira’ sebagai
orang yang dicintainya walaupun digambarkan telah pincang, yang
menandakan bahwa kecintaan Pemuda waktu dulu terhadap Indoenesia
walaupun Indonesia sendiri telah carut-marut dirampas oleh kekejaman
kolonial Belanda. Tertulis pada kutipan berikut.
Awal : Sampai hati kau membiarkan aku di hina orang di
hadapanmu?
Mira : (tidak menjawab)
Awal : (dengan suara mengeras). Kau kejam! Tak sedikit juga
kau merasakan perasaanku. Tak sedikit juga. Sudah cukup
tadi mempermainkan aku dengan mendusta, sekarang kau
senang. Ya, meliaht aku dihina orang setelah
kepercayaanku kau rusakkan di depan orang?
Tapi mira tidak menjawab. Dan lantaran Mira tak menjawab, Awal
menghampiri Mira.
Awal : Mira! Kau senang aku dipukuli orang? Melihat aku di hina
sambil tetap duduk di tempatmu? (kian dekat
menghampiri Mira yang masih diam). Mira! Untuk itukah
kau menyuruh aku untuk datang di sini? Untuk
merusakkan kepercayaanku?
Mira : (tanpa bersuara)
Awal : (teriak). Mira!
Mira : duduk mas, jangan bicara.
Awal : Tidak! Aku ingin mendengarkan jawaban. Untuk apa kau
mempermainkan aku, mendustai aku, membikin aku di
hina orang? Untuk apa?

D. Penutup
Naskah drama Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani
menceritakan tentang roman picisan antara tokoh Awal dan Mira. Bukan pada
itu saja, naskah tersebut dikupas secara mendalam melalui kajian hermenuitika
yanng berfungsi melihat sebuah karya bukan pada tataran struktur dan
kebahasaan, akan tetapi melalui isi yang dikaji lebih mendalam. Utuy Tatang
Sontani adalah tokoh sastrawan yang menulis beberapa karya-karya sastra
untuk mengkritik kondisi politik pada masa tersebut.
Daftar Pustaka

Hadi, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta:

Matahari.

Hamidah. 2007. Dari Rekonstruksi ke Refleksi: Apresiasi Susastra dengan Kajian

Hermeneutika. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan

Nasional.

Harymawan. 1998. Dramaturgi / RMA. Harymawan. Bandung: Rosda.

Sontani, Utuy Tatang. 1947. Naskah drama ‘Awal dan Mira’.

Sutrisno, Mudji. 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai