PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
OLEH
ENGGI SAPUTRA INDRA
A1M1 17 038
Mengetahui,
a.n. Dekan
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................4
1.5 Batasan Operasional..................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1 Nilai Moral................................................................................................6
2.1.1 Pengertian Nilai..................................................................................6
2.1.2 Pengertian Moral................................................................................7
2.2 Moral dalam Karya Sastra.........................................................................9
2.3 Bentuk-bentuk Moral..............................................................................11
2.3.1 Moral Baik.......................................................................................11
2.3.2 Moral Buruk.....................................................................................13
2.4 Karya Sastra............................................................................................13
2.5 Novel.......................................................................................................16
2.6 Unsur-Unsur Pembangun Novel.............................................................17
2.6.1 Unsur Intrinsik.................................................................................17
2.6.2 Unsur Ekstrinsik...............................................................................20
2.7 Jenis dan Wujud Nilai Moral...................................................................23
2.8 Pendekatan Moral....................................................................................28
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................31
3.1 Metode dan Jenis Penelitian....................................................................31
3.2 Data dan Sumber Data.............................................................................31
iii
3.2.1 Data..................................................................................................31
3.2.2 Sumber Data.....................................................................................31
3.3 Teknik Pengumpulan Data......................................................................31
3.4 Teknik Analisi Data.................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan
penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia”.
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri,
serta interaksinya dengan Tuhan. Pada dasarnya, prosa fiksi merupakan karya
imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
sebagai karya seni. Oleh karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita yang di
dalamnya terkandung tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca di
samping adanya tujuan estetik (Nurgiyantoro, 2013: 3).
Karya sastra sebagai sebuah tiruan kehidupan sosial, budaya dan politik
juga menampilkan nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran
oleh para pembacanya. Pesan moral dalam sebuah karya sastra biasanya
menceritakan pandangan hidup pengarang yang timbul karena konflik yang terjadi
disekitar lingkungan tempat hidup si pengarang ataupun pengalaman batin yang
dialaminya. Pesan moral dalam sebuah karya sastra biasanya ditampilkan secara
implisit sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri baik buruk cerita dan
dampaknya di kemudian hari. Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak
secara langsung disampaikan, namun melalui hal-hal yang seringkali bersifat
amoral. Misalnya novel, banyak sastrawan yang memberikan batasan atau definisi
novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut
pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.
Di dalam karya sastra, sarana yang digunakan untuk mengungkapkan
cerita adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik sastra adalah unsur dalam yang
membangun keutuhan karya sastra. Yang termasuk unsur intrinsik karya sastra
adalah tema, penokohan, amanat, latar, dan sudut pandang. Tema adalah pokok
persoalan setiap karya sastra misal politik, persahabatan, cinta, keluarga, dan
penghianatan. Penokohan adalah penggambaran karakter tokoh cerita. Amanat
adalah nasihat, petuah, dan pesan moral. Latar adalah gambar tempat, waktu dan
suasana terjadinya cerita. Latar terdiri atas dua macam yaitu latar waktu dan
tempat. Sudut pandang adalah titik pengkisahan. Di dalam novel Kami (Bukan)
3
Jongos Berdasi Karya J.S Khairen, unsur intrinsik yang digunakan untuk
mengungkapkan nilai moral adalah penokohan.
Jombang Santani Khairen, disingkat J.S Khairen adalah penulis Indonesia
yang sudah menghasilkan berbagai karya salah satunya novel Kami (Bukan)
Jongos Berdasi yang terbit pada tahun 2019, merupakan lanjutan dari novel Kami
(Bukan) Sarjana Kertas yang selanjutnya akan terbit sekuel terbaru berjudul Kami
(Bukan) Generasi Bacot. J.S Khairen lahir pada tanggal 23 Januari 1991, di
Padang. J.S Khairen telah menerbitkan 14 judul buku sejak tahun 2013 hingga
saat ini. Judul buku karya JS Khairen diantaranya Igauan Kita, Rinduku Sederas
Hujan Sore Itu, Ninevelove, 30 Paspor The Peackeapers’ Journey, Kami (Bukan)
Sarjana Kertas, Kami (Bukan Jongos) Berdasi, Kami (Bukan) Generasi Bac*t,
Kami (Bukan) Fakir Asmara, Karnoe, Hal yang Tak Kau Bawa Pergi Saat
Meninggalkanku, Tangguh, Setia, 9 Keping Surat dan Melangkah.
Kami (Bukan) Jongos Berdasi merupakan novel terbaru yang ditulis J.S
Khairen dengan latar kehidupan anak muda. Novel ini mengangkat kisah
persahabatan beberapa tokoh yang tercipta di masa perkuliahan, di kampus yang
sama yaitu UDEL. Diulang dengan berbagai permasalahan yang dihadapi anak
muda yang lahir dari latar belakang berbeda-beda, dan harus berjuang
menaklukkan kerasnya dunia pekerjaan dan kemandirian dalam hal apapun.
Mereka menemui banyak permasalahan hidup, di tempat kerja, di rumah, di
tengah masyarakat. Contohnya, tokoh Sania yang bekerja di Bank EEK, selalu
mendapat perlakuan kasar dan cuek dari atasan dan rekan kerjanya yang tidak lain
disebabkan oleh perilaku kerja Sania yang sering menunda-nunda pekerjaan. Dari
cotoh tersebut kita dapat memetik bahwa adanya nilai moral yang termuat dari
peristiwa yang dialami Sani. J.S Khairen dalam novel yang berjudul Kami
(Bukan) Jongos Berdasi banyak menampilkan peristiwa yang mengandung pesan
moral.
moral dalam novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi yaitu, menyangkut penilaian
terhadap sikap batin dan perilaku tokoh-tokoh menurut ukuran moral.
1. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menceritakan dan
menggambarkan kehidupan manusia. Sehingga penelitian ini berfokus
pada novel kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen.
2. Nilai moral adalah petuah, ajaran wejangan etika (sopan-santun) mengenai
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Sumber ajaran moral bisa
bersumber dari agama, budaya, sosial dan politik ajaran seperti paduan
bagi manusia untuk menjalani hidup dan bertindak. Pembagian Moral
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah moral baik dan moral buruk
menurut Andri Wicaksono dalam bukunya yang berjudul Pengkajian Prosa
Fiksi 2017.
3. Pendekatan Moral
Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi dasar
bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat
pembaca adalah berupaya meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk berbudaya, berpikir dan berketuhanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai merupakan realita abstrak. Nilai dapat kita rasakan dalam diri kita
masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi
pedoman dalam hidup. Oleh sebab itu, nilai menduduki tempat paling penting dan
strategis dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat dimana orang
lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai (Fitri,
2012: 89).
Nilai adalah hal yang terkandung dalam diri (hati nurani) manusia yang
lebih memberi dasar pada prinsip akhlak yang merupakan dasar dari keindahan
dan efesiensi atau keutuhan kata hati (Sumantri dalam Gunawan, 2012: 31).
Selanjutnya Richard Eyre dan Linda dalam Gunawan (2012: 31) meyebutkan
bahwa nilai yang benar dan diterima secara universal adalah nilai yang
menghasilkan suatu prilaku dan prilaku itu berdampak positif, baik yang
menjalankan maupun bagi orang lain.
6
7
berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasan, aturan agama, dan
rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang
dalam menjalani kehidupannya. Kepribadian dari system sosio-budaya merupakan
syarat dalam susunan kebutuhan rasa hormat terhadap keinginan yang lain atau
kelompok sebagai suatu kehidupan sosial yang besar. Nilai dalam pegangan hidup
yang dijadikan sebagai landasan untuk melalukan sesuatu. Suatu nilai dapat
dipandang sebagai pegangan hidup apabila penganutnya bersedia untuk
melakukan suatu perbuatan kalau selaras dengan nilai itu dan bersedia untuk
melakukan segalanya demi nilai itu. Dalam hal ini suatu nilai tersebut sangat
diyakini dan dihormati serta dijunjung tinggi oleh penganut nilai itu, tetapi kalau
penganutnya belum berani untuk berkorban demi nilai yang diyakininya, maka
nilai tersebut belum dapat dikatakan sebagai pegangan hidup bagi penganutnya
(Pelu, 2017: 21-22).
Kata moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos. Kata mos adalah bentuk
kata tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah morse yang berarti kebiasaan,
susila. Adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum
tentang yang baik atau yang buruk dalam masyarakat. Oleh karena itu moral
adalah prilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan sosial atau lingkungan
tertentu yang diterima oleh masyarakat. (Zainuddin Ali, 2007: 29).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu “ajaran baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak dan budi pekerti.”
Menurut Daud Ali, (2008: 353) Moral adalah istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan
yang layak dikatakan banar, salah, baik, buruk.
Nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, yaitu (1) nilai berkaitan
dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai juga.
Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat nilai
sebagai indah atau merugikan, letusan gunung itu memerlukan subjek yang
menilai. (2) nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin
8
membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada
nilai (hanya menjadi pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni
teoretis bisa diwujudkan). (3) nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ‘ditambah’
oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Nilai tidak dimiliki oleh
objek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan karena objek yang sama bagi
berbagai subjek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda (Bertens, 2007:
142).
Adapun moral secara umum mengarah pada pengertian ajaran tentang baik
dan buruk yang diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, dan
sebagainya. Remaja dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral
yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral
dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau penalaran moralnya serta
pada perilakunya yang baik, benar, dan sesuai dengan etika.
Kata moral selalu mengacu kepada baik buruk manusia. Sikap moral
disebut juga moralitas yaitu sikap hati seseorang yang terungkap dalam tindakan
lahiriah. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih
dan hanya moralitaslah yang dapat bernilai secara moral. Nilai moral dapat
diperoleh di dalam nilai moralitas. Moralitas adalah kesesuaian sikap dan
perbuatan dengan hukum atau norma batiniah, yakni dipandang sebagai
kewajiban.
Di dalam moral terdapat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan
segi lahiriah. Dengan memperhatikan kedua segi tersebut, moral dapat diukur
secara tepat. Ukuran moral merupakan alat yang digunakan untuk menilai sikap
lahir atau perbuatan batin. Istilah hati nurani dan norma dapat membantu
pemahaman kita mengenai ukuran moral. Hati nurani menyediakan ukuran
subjektif, sedang norma menunjuk pada ukuran objektif. Baik yang objektif
maupun subjektif mengandung ukuran yang benar atas moralitas manusia.
Menurut Benedict (Bertens, 2007: 156), bahwa yang lazim dilakukan
dalam suatu kebudayaan sama baik secara moral, harus ditolak. Perbuatan moral
yang didasarkan atas nilai dan norma yang berbeda-beda tidak semua sama
9
baiknya. Melawan relativisme moral yang ekstrem itu kita tegaskan bahwa norma
moral tidak relatif, melainkan absolut.
Moralitas ekstrinsik adalah moralita yang memandang perbuatan sebagai
suatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang berkuasa atau oleh
hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan. Dalam moralitas,
norma berfungsi sebagai standar atau ukuran. Norma moralitas merupakan aturan
atau standar yang dapat digunakan untuk mengukur kebaikan dan keburukan suatu
perbuatan. Suatu perbuatan yang positif sesuai ukurannya dapat dikatakan moral
yang baik, sedangkan suatu perbuatan yang secara positif tidak ada ukurannya
dapat disebut moral buruk. Disebut moral indeferen apabila netral terhadap semua
ukuran.
2.2 Moral dalam Karya Sastra
Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang
sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Nurgiyantoro, 2013: 429).
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang
yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang
disampaikan kepada pembaca. Jadi, pada intinya moral merupakan representasi
idiologi pengarang. Karya sastra yang berwujud berbagai genre yang notabene
adalah “anak kandung” pengarang pada umumnya terkandung idiologi tertentu
yang diyakini kebenarannya oleh pengarang terhadap berbagai masalah kehidupan
dan sosial, baik terlihat eksplisit maupun implicit (Nurgiyantoro, 2013: 430).
Kenny (Nurgiyantoro, 2013: 430) mengemukakan bahwa moral dalam karya
sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran
moral tertentu dan bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan), lewat
cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja
diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil hikma dari pesan-pesan moral yang disampaiakn, yang
diamanatkan. Moral dalam karya sastra dipandang sebagai amanat, pesan, bahkan
massage. Unsure amanat itu merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya
karya sastra sebagai pesan.
10
Moral dalam karya sastra, atau hikma yang diperoleh pembaca lewat karya
sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan
sifat dan tingkah laku tokoh yang kurang terpuji atau buruk, maupun protagonist,
bukan berarti pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan
bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tersebut hanyalah model
sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi
oleh pembaca. Pembaca diharapkan mengambil hikma sendiri dari tokoh
antagonis itu. Sebuah cerita fiksi ditulis oleh pengarang untuk, antara lain,
menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan
moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya
tentang moral. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca
diharapkan dapat mengambil hikma dan pesan-pesan moral yang disampaikan
atau diamantkan.
Sebuah karya sastra padda hakikatnya merupakan media komunikasi
pengarang dalam penyampaian pendapat, pandangan, dan penilaiannya terhadap
sesuatu kepada pembaca. Keberadaan moral dalam karya sastra tidak dapat lepas
dari pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran yang dianutnya. Novel
sebagai karya sastra menawarkan nilai moral yang berhubungan dengan sifat-sifat
luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Nilai moral pada
hakikatnya merupakan sarana atau petunjuk agar pembaca membaca memberikan
respon atau mengikuti pandangan pengarang. Nilai moral yang dapat diterima
pembaca umumnya yang bersifat universal, dalam arti tidak menyimpang dari
kebenaran dan hak kemanusiaan. Nilai moral sastra lebih memberatkan pada sifat
kodrati manusia yang hakikat, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan,
diyakini manusia (Nurgiyantoro dalam Wicaksono, 2017: 338).
Mangunwijaya (Nurgiyantoro, 2013: 446) menyatakan kehadiran unsure
religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri.
Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religious. Pada awal mula segala
sastra adalah religius. Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama.
Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur
11
a. Kesabaran
g. Penyesalan
Perasaan merasa bersalah/melakukan kesalahan akan sesuatu dan
ingin kembali kemasa saat melakukan kesalahan tersebut dan
memperbaikinya pada masa yang telah berlalu. Belajar dari kesalahan,
itulah yanmg akan seseorang perbuat, setelah merasa menyesal.
a. Intrik
Intrik adalah penyebar kabar bohong yang sengaja dilakukan untuk
menjatuhkan pihak lawan atau pihak lainnya
b. Konflik
Konflik merupakan sesuatu yang buruk dan sangat merugikan bagi
seseorang apabila tersu terjadi, dan merupakan sesuatu yang terus terjadi
akibat kurangnya kepercayaan seseorang kepada orang lain.
c. Bohong
Bohong adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada orang
lain atau tidak cocok dengan keadaan sebenarnya, seperti dusta dan palsu.
Jadi, apabila tidak berkata jujur kepada orang lain, maka orang itu
dikatakan orang yang munafik.
2.4 Karya Sastra
Menurut Taum (dalam Sehandi, 2018: 5) sastra adalah ekspresi
pengalaman mistis dan estetis manusia melalui media bahasa sebagai
kreativitasnya yang bersifat imajinatif. Ekspresi pengalaman mistis dan estestis itu
membuat manusia merasa tentram dan menggembirakannya, karena didalamnya
manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan
sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, memikat, mengikat dan
memanggil manusia untuk selalu dekat kepada sang penciptannya.
Sastra adalah satu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek, 2014:3).
Definisi tersebut bahwa sastra merupakan seni. Oleh karena itu, seni dan sastra
14
dicerna dengan mudah, karena setiap novel yang diciptakan dengan suatu cara
tertentu mempunyai tujuan tertentu pula.
Sayuti (2003: 10-11) berpendapat bahwa sebuah novel jelas tidak akan
selesai dibaca dalam sekali duduk karena panjangnya, novel yang baik cenderung
menitik beratkan pada kompleksitas. Selain itu novel secara khusus memiliki
peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam kronologi.
Novel juga memungkinkan adanya penyajian secara lebar mengenai tempat ruang
tertentu. Sisi kehidupan masyarakat dalam novel sangat erat kaitannya dengan
pengarang serta penikmat sastra, sehingga masyarakat berpengaruh juga terhadap
perkembangan novel (Erika, 2013: 12).
Pendapat diatas dapat dijabarkan bahwa novel berisi tentang cerita
kehidupan tokoh yang diciptakan secara fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu
yang nyata. Nyata yang dimaksud dalam hal ini bukanlah hal yang merujuk pada
fakta yang sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang
dapat diterima secara logis. Kelogisan didapat dari hubungan antar suatu peristiwa
dengan peristiwa lain dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk
memberikan informasi kepada penikmat sastra. Novel juga diartikan sebagai
karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang
dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku (Depdikbud, 2005: 788).
2.6 Unsur-Unsur Pembangun Novel
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun teks itu dari dalam atau
segala sesuatu yang terkandung di dalam karya satra dan mempengaruhi karya
sastra tersebut. Unsur Intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang
berasal dari dalam karya itu sendiri. Pada novel unsur intrinsik itu berupa, tema,
plot, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Berikut ulasan
unsur-unsur intrinsik novel.
a. Tema (Theme)
18
Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel
(Nurgiyantoro, 2013: 32). Stanton (Nurgiyantoro, 2013: 114) menjelaskan bahwa
tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Berdasarkan dasar cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan
cerita. Oleh karena itu, dalam suatu novel akan terdapat satu tema pokok dan
subsubtema. Pembaca harus mampu menentukan tema pokok dari suatu novel.
Tema pokok adalah tema yang dapat memenuhi atau mencakup isi dari
keseluruhan cerita. Tema pokok yang merupakan makna keseluruhan cerita tidak
tersembunyi, namun terhalangi dengan cerita-cerita yang mendukung tema
tersebut. Maka pembaca harus dapat mengidentifikasi dari setiap cerita dan
mampu memisahkan antara tema pokok dan sub-subtema atau tema tambahan.
Tema menurut Nurgiyantoro (2013: 125) dapat digolongkan menjadi dua,
tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema
yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah
lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita termasuk cerita
lama.
b. Alur (Plot)
Stanton (Nurgiyantoro, 2013: 167) juga berpendapat bahwa plot adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain. Kenny (Nurgiyantoro, 2013: 167) mengemukakan plot
sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan cerita yang tidak bersifak sederhana
karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab
akibat.
Unsur penentu plot berikutnya adalah konflik. Konflik menurut Wellek
dan Warren (Nurgiyantoro, 2013: 179) adalah sesuatu yang dramatik dan
mengarah pada pertarungan antara dua kekuatan serta menyiratkan aksi-aksi
balasan. Konflik merupakan peristiwa, peristiwa-peristiwa dapat dikategorikan
menjadi konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik
yang terjadi pada seorang tokoh dengan sesuatu yang berada di luar dirinya.
Konflik eksternal dapat dibagi menjadi dua, yaitu konflik fisik dan konflik sosial.
19
sebuah cerita fiksi atau drama. Sedangkan penokohan adalah cara pengarang
dalam memberikan karakter pada tokoh dalam cerita.
d. Latar
Latar menurut Abrams (Nurgiantoro, 2013: 302) latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan
waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang
diceritakan.
Sayuti (2003: 115) menyatakan bahwa latar yaitu berkaitan dengan waktu,
tempat, atau sosial lingkungan terjadinya pristiwa. Adapun empat unsur
pembentuk latar fiksi sebagai berikut. (1) lokasi geografis atau letak terjadinya
peristiwa. (2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokohnya. (3) waktu terjadinya
peristiwa. (4) lingkungan intelektual, moral, sosial, religious, dan emosional
tokoh-tokohnya. Latar bukan hanya sekedar tempat kejadian saja, namun
penggambaran tempat, waktu dan situasi dalam cerita memberi efek cerita
terkesan lebih logis, karena latar juga berfungsi sebagai pembangun dalam
penciptaan kesan suasana tertentu yang bisa menggugah perasaan dan emosi
sehingga tak jarang pembaca akan menitikkan air mata ketika sedang menghayati
sebuah karya sastra. Selain itu, latar berperan melukiskan aspek sosialnya, seperti
tingkah laku, tata krama, pandangan hidup, dan karakter tokoh dalam cerita.
dengan istilah Nrimo (mau menerima pada apa yang didapat) yang
berarti dalam keadaan kecewa dan kesulitan sekalipun masih bereaksi
dengan rasional. Bentuk penghargaan itu berupa kesanggupan untuk
menerima dan menjalani hidup tanpa adanya suatu penyesalan dan
pertentangan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Tuhan. Sikap realistis ini bukanlah sikap yang negatif atau pasif
menunggu dan menerima kenyataan hidup begitu saja tanpa suatu
usaha tetapi sikap realistis lebih bersifat menstabilkan keadaan jiwa
dalam keadaan kecewa dan kesulitan hidup. Kerealistisan hidup juga
berarti menerima apa yang diberikan Tuhan tanpa menginginkan milik
orang lain.
3) Bertanggung Jawab
Berkaitan dengan tanggung jawab, Mustari (2014:19)
berpendapat bahwa tanggung jawab berarti sikap dan perilaku
seseorang dalam menjalankan tugas serta kewajibannya sebagaimana
yang seharusnya diterapkan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan, dan negara serta tuhan.
4) Teguh pendirian
Teguh pendirian adalah suatu sikap yang ajeg dan tidak
berganti-ganti dalam memberikan pernyataan atau putusan jika hal
yang dinyatakan atau diputuskan itu benar. Kebenaran yang dimaksud
adalah kebenaran yang bisa diterima oleh orang lain dan bukan benar
menurut diri sendiri. Teguh pendirian ini merupakan lawan dari sikap
yang tidak tegas. Sikap ini berbeda dengan istilah “keras kepala”
keteguhan pendirian didasarkan pada akal sehat, pertimbangan dan
pemikiran yang matang menurut hati nurani yang tetap penuh rasa
tanggung jawab, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga kepentingan
umum. Dengan demikian ketetapan hati dapat dikatakan merupakan
nyawa atau roh yang memberikan isi kepada sikap keteguhan
pendirian.
c. Hubungan Manusia Dengan Manusia Lain Dalam Lingkup Sosial
27
c.2.1 Data
Data dalam penelitian ini berupa frasa, kata, kalimat, yang terdapat dalam
novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen dan data lain yang dapat
menunjang penelitian melalui kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis
berupa pendapat-pendapat atau referensi terkait terkait dengan judul penelitian ini.
Sumber data penelitian ini diperoleh melalui novel Kami (Bukan) Jongos
Berdasi Karya J.S Khairen yang diterbitkan PT. Bukune Kreatif Cipta cetakan
kedua pada bulan Januari 2020 yang terdiri dari 420 halaman.
c.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yakni
teknik membaca intensif dan teknik membaca analitik. Teknik membaca intensif
sering disebut dengan teknik membaca cermat adalah teknik membaca dengan
penuh pemahaman untuk menemukan ide-ide pokok pada tiap-tiap paragraf,
pemahaman ide-ide naskah dari ide pokok sampai pada ide-ide penjelas. Kegiatan
membaca intensif sangat bermanfaat untuk mencari informasi secara detail atau
diterapkan sebagai bahan diskusi. Sedangkan teknik membaca analitik adalah
teknik membaca yang bertujuan untuk mencari informasi dari bahan tertulis,
menghubungkan satu kejadian dengan kejadian yang lain, sehingga dapat ditarik
kesimpulan yang tidak tertulis secara eksplisit dalam bacaan. Kedua teknik
31
32
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ali, Mohammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers
Alim.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Darmawati, U. (2018). Prosa Fiksi Pengetahuan dan Apresiasi. Klaten: Intan
Pariwara.
Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Erika. 2013. Potret Pengertian Tentang Pengarang Dalam Sebuah Novel
(OPL), 1295.
Fitri, Agus Z. 2012, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di. Sekolah,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi.
Bandung: Alfabeta.
Hartini, Titin. 2013. Kepemimpinan dalam Islam: Pandangan Posisi. Manajerial
Bagi Wanita. Jurnal Kajian Masyarakat dan Syariah Vol. 13 No. 1.
J.S Khairen yang diterbitkan PT. Bukune Kreatif Cipta cetakan kedua pada bulan
Januari 2020 yang terdiri dari 420 halaman.
Mafiroh, Nuriya. 2016. Nilai-Nilai Pendidikan Moral Dalam Novel Mahkota
Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy. Skripsi. Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam
Negeri Salatiga (Iain) Salatiga.
Mustari, M., & Rahman, M. T. (2014). Nilai karakter: refleksi untuk pendidikan.
Novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen
Nurgiyantoro, B. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogykarta: Gajah Mada
University Press.
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A
handbook and classification. United States of America: American
Psychological Association.
35