Anda di halaman 1dari 39

NILAI MORAL DALAM NOVEL KAMI (BUKAN) JONGOS

BERDASI KARYA JS. KHAIREN

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan/Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

OLEH
ENGGI SAPUTRA INDRA
A1M1 17 038

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Telah disetujui oleh dosen Pembimbing I dan Pembimbing II untuk


dipertahankan dihadapan Panitia Proposal Penelitian pada Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Halu Oleo.
Nama : ENGGI SAPUTRA INDRA
Nomor Induk Mahasiswa : A1M1 17 038
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul : Nilai Moral Dalam Novel "Kami (Bukan)
Jongos Berdasi" Karya JS. Khairen

Kendari, September 2021


Menyetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Mawarti, S.Pd.,M.Hum Drs. Fahruddin Hanafi, M.Pd


NIP 19770510 200812 2 001 NIP 19621215 199102 1 001

Mengetahui,
a.n. Dekan
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. La Ode Sahidin, S.Pd., M.Hum


NIP 19750510 200812 1 003

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................4
1.5 Batasan Operasional..................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1 Nilai Moral................................................................................................6
2.1.1 Pengertian Nilai..................................................................................6
2.1.2 Pengertian Moral................................................................................7
2.2 Moral dalam Karya Sastra.........................................................................9
2.3 Bentuk-bentuk Moral..............................................................................11
2.3.1 Moral Baik.......................................................................................11
2.3.2 Moral Buruk.....................................................................................13
2.4 Karya Sastra............................................................................................13
2.5 Novel.......................................................................................................16
2.6 Unsur-Unsur Pembangun Novel.............................................................17
2.6.1 Unsur Intrinsik.................................................................................17
2.6.2 Unsur Ekstrinsik...............................................................................20
2.7 Jenis dan Wujud Nilai Moral...................................................................23
2.8 Pendekatan Moral....................................................................................28
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................31
3.1 Metode dan Jenis Penelitian....................................................................31
3.2 Data dan Sumber Data.............................................................................31

iii
3.2.1 Data..................................................................................................31
3.2.2 Sumber Data.....................................................................................31
3.3 Teknik Pengumpulan Data......................................................................31
3.4 Teknik Analisi Data.................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra merupakan hasil kreativitas manusia sebagai cerminan
kehidupan manusia. Hal tersebut terlihat dari permasalahan yang di tuangkan di
dalam karya sastra juga sering terjadi di dunia nyata atau sebaliknya. Akan tetapi
karena karya sastra merupakan hasil kreatif manusia jadi tidak semata-mata karya
sastra tersebut merupakan duplikasi dari kehidupan nyata, melainkan ada unsur
kreatif di dalamnya berlandaskan permasalahan yang ada di dunia nyata. Karya
sastra juga dapat dikatakan sebagai penciptaan kembali oleh pengarang dari suatu
permasalahan yang nyata dengan bahasa sebagai media penyampaiannya. Sebagai
seni yang lahir dari hasil kreatif manusia, karya sastra tidak hanya sebagai media
untuk menyampaikan gagasan, teori, ide atau sistem pemikiran manusia, akan
tetapi harus mampu menciptakan kreasi yang indah dan menyenangkan.
Kegiatan membaca prosa fiksi pada dasarnya merupakan kegiatan
berapresiasi sastra secara langsung. Apresiasi sastra adalah upaya memahami
karya sastra, yaitu upaya bagaimana cara untuk dapat mengerti sebuah karya
sastra yang kita baca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang
intensional maupun yang aktual, dan mengerti seluk beluk strukturnya (Sayuti,
2000: 3).
Sebagai sebuah karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai permasalahan
manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai
permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan
kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Oleh karena itu, fiksi,
menurut Altenbernd dan Lewis (Nurgiyantoro, 2013: 3), dapat diartikan sebagai
“prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar
manusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan
pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan

1
2

dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan
penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia”.
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri,
serta interaksinya dengan Tuhan. Pada dasarnya, prosa fiksi merupakan karya
imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
sebagai karya seni. Oleh karena itu, fiksi merupakan sebuah cerita yang di
dalamnya terkandung tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca di
samping adanya tujuan estetik (Nurgiyantoro, 2013: 3).
Karya sastra sebagai sebuah tiruan kehidupan sosial, budaya dan politik
juga menampilkan nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran
oleh para pembacanya. Pesan moral dalam sebuah karya sastra biasanya
menceritakan pandangan hidup pengarang yang timbul karena konflik yang terjadi
disekitar lingkungan tempat hidup si pengarang ataupun pengalaman batin yang
dialaminya. Pesan moral dalam sebuah karya sastra biasanya ditampilkan secara
implisit sehingga pembaca dapat menyimpulkan sendiri baik buruk cerita dan
dampaknya di kemudian hari. Ajaran moral dalam karya sastra seringkali tidak
secara langsung disampaikan, namun melalui hal-hal yang seringkali bersifat
amoral. Misalnya novel, banyak sastrawan yang memberikan batasan atau definisi
novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut
pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.
Di dalam karya sastra, sarana yang digunakan untuk mengungkapkan
cerita adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik sastra adalah unsur dalam yang
membangun keutuhan karya sastra. Yang termasuk unsur intrinsik karya sastra
adalah tema, penokohan, amanat, latar, dan sudut pandang. Tema adalah pokok
persoalan setiap karya sastra misal politik, persahabatan, cinta, keluarga, dan
penghianatan. Penokohan adalah penggambaran karakter tokoh cerita. Amanat
adalah nasihat, petuah, dan pesan moral. Latar adalah gambar tempat, waktu dan
suasana terjadinya cerita. Latar terdiri atas dua macam yaitu latar waktu dan
tempat. Sudut pandang adalah titik pengkisahan. Di dalam novel Kami (Bukan)
3

Jongos Berdasi Karya J.S Khairen, unsur intrinsik yang digunakan untuk
mengungkapkan nilai moral adalah penokohan.
Jombang Santani Khairen, disingkat J.S Khairen adalah penulis Indonesia
yang sudah menghasilkan berbagai karya salah satunya novel Kami (Bukan)
Jongos Berdasi yang terbit pada tahun 2019, merupakan lanjutan dari novel Kami
(Bukan) Sarjana Kertas yang selanjutnya akan terbit sekuel terbaru berjudul Kami
(Bukan) Generasi Bacot. J.S Khairen lahir pada tanggal 23 Januari 1991, di
Padang. J.S Khairen telah menerbitkan 14 judul buku sejak tahun 2013 hingga
saat ini. Judul buku karya JS Khairen diantaranya Igauan Kita, Rinduku Sederas
Hujan Sore Itu, Ninevelove, 30 Paspor The Peackeapers’ Journey, Kami (Bukan)
Sarjana Kertas, Kami (Bukan Jongos) Berdasi, Kami (Bukan) Generasi Bac*t,
Kami (Bukan) Fakir Asmara, Karnoe, Hal yang Tak Kau Bawa Pergi Saat
Meninggalkanku, Tangguh, Setia, 9 Keping Surat dan Melangkah.

Kami (Bukan) Jongos Berdasi merupakan novel terbaru yang ditulis J.S
Khairen dengan latar kehidupan anak muda. Novel ini mengangkat kisah
persahabatan beberapa tokoh yang tercipta di masa perkuliahan, di kampus yang
sama yaitu UDEL. Diulang dengan berbagai permasalahan yang dihadapi anak
muda yang lahir dari latar belakang berbeda-beda, dan harus berjuang
menaklukkan kerasnya dunia pekerjaan dan kemandirian dalam hal apapun.
Mereka menemui banyak permasalahan hidup, di tempat kerja, di rumah, di
tengah masyarakat. Contohnya, tokoh Sania yang bekerja di Bank EEK, selalu
mendapat perlakuan kasar dan cuek dari atasan dan rekan kerjanya yang tidak lain
disebabkan oleh perilaku kerja Sania yang sering menunda-nunda pekerjaan. Dari
cotoh tersebut kita dapat memetik bahwa adanya nilai moral yang termuat dari
peristiwa yang dialami Sani. J.S Khairen dalam novel yang berjudul Kami
(Bukan) Jongos Berdasi banyak menampilkan peristiwa yang mengandung pesan
moral.

Penulis menjadi tertarik untuk menjadikan novel Kami (Bukan) Jongos


Berdasi Karya J.S Khairen sebagai objek penelitian, karena novel disajikan
dengan nilai-nilai moral, budaya dan politik. Penelitian ini akan mengulas nilai
4

moral dalam novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi yaitu, menyangkut penilaian
terhadap sikap batin dan perilaku tokoh-tokoh menurut ukuran moral.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah adalah penelitian ini
bagaimana nilai moral yang terdapat pada tokoh utama novel Kami (Bukan)
Jongos Berdasi Karya J.S Khairen?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian tentang novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen
ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai moral yang terdapat pada tokoh utama
novel Kami (Jongos) Berdasi Karya J.S Khairen.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang hendak di peroleh dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini di harapkan dapat memberi sumbangan terhadap
perkembangan karya sastra, terutama karya sastra yang mengandung nilai
moral.
2. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran
khususnya pembelajaran sastra Indonesia yang bertujuan menanamkan
nilai moral pada peserta didik.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
meningkatkan mutu pembelajaran khususnya pembelajaran sastra
disekolah.
4. Sebagai bahan informasi bagi yang berminat mengadakan penelitian
tentang nilai moral dalam sebuah novel.

1.5 Batasan Operasional


Batasan operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
5

1. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang menceritakan dan
menggambarkan kehidupan manusia. Sehingga penelitian ini berfokus
pada novel kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen.
2. Nilai moral adalah petuah, ajaran wejangan etika (sopan-santun) mengenai
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Sumber ajaran moral bisa
bersumber dari agama, budaya, sosial dan politik ajaran seperti paduan
bagi manusia untuk menjalani hidup dan bertindak. Pembagian Moral
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah moral baik dan moral buruk
menurut Andri Wicaksono dalam bukunya yang berjudul Pengkajian Prosa
Fiksi 2017.
3. Pendekatan Moral
Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi dasar
bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat
pembaca adalah berupaya meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk berbudaya, berpikir dan berketuhanan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nilai Moral

2.1.1 Pengertian Nilai

Nilai memiliki pengertian yang beragam. Manusia dalam kehidupan


sehari-hari tidak asing dengan istilah nilai. Nilai selalu menjadi ukuran dalam
menentukan kebenaran dan keadilan sehingga tidak akan lepas dari sumber
asalnya, yaitu berupa ajaran agung dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Manusia, dengan nilai dapat merasakan kepuasan, baik kepuasan
lahiriah maupun batiniah. Manusia dengan nilai pula akan mampu merasakan
menjadi manusia yang sebenarnya (Hartini, 2013: 19).

Nilai merupakan realita abstrak. Nilai dapat kita rasakan dalam diri kita
masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi
pedoman dalam hidup. Oleh sebab itu, nilai menduduki tempat paling penting dan
strategis dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat dimana orang
lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka dari pada mengorbankan nilai (Fitri,
2012: 89).

Nilai adalah hal yang terkandung dalam diri (hati nurani) manusia yang
lebih memberi dasar pada prinsip akhlak yang merupakan dasar dari keindahan
dan efesiensi atau keutuhan kata hati (Sumantri dalam Gunawan, 2012: 31).
Selanjutnya Richard Eyre dan Linda dalam Gunawan (2012: 31) meyebutkan
bahwa nilai yang benar dan diterima secara universal adalah nilai yang
menghasilkan suatu prilaku dan prilaku itu berdampak positif, baik yang
menjalankan maupun bagi orang lain.

Menurut beberapa ahli, nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam


menentukan pilihan. Sejalan dengan definisi, hakikat dan makna nilai adalah

6
7

berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasan, aturan agama, dan
rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang
dalam menjalani kehidupannya. Kepribadian dari system sosio-budaya merupakan
syarat dalam susunan kebutuhan rasa hormat terhadap keinginan yang lain atau
kelompok sebagai suatu kehidupan sosial yang besar. Nilai dalam pegangan hidup
yang dijadikan sebagai landasan untuk melalukan sesuatu. Suatu nilai dapat
dipandang sebagai pegangan hidup apabila penganutnya bersedia untuk
melakukan suatu perbuatan kalau selaras dengan nilai itu dan bersedia untuk
melakukan segalanya demi nilai itu. Dalam hal ini suatu nilai tersebut sangat
diyakini dan dihormati serta dijunjung tinggi oleh penganut nilai itu, tetapi kalau
penganutnya belum berani untuk berkorban demi nilai yang diyakininya, maka
nilai tersebut belum dapat dikatakan sebagai pegangan hidup bagi penganutnya
(Pelu, 2017: 21-22).

2.1.2 Pengertian Moral

Kata moral berasal dari bahasa Latin, yaitu mos. Kata mos adalah bentuk
kata tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah morse yang berarti kebiasaan,
susila. Adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum
tentang yang baik atau yang buruk dalam masyarakat. Oleh karena itu moral
adalah prilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan sosial atau lingkungan
tertentu yang diterima oleh masyarakat. (Zainuddin Ali, 2007: 29).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu “ajaran baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak dan budi pekerti.”
Menurut Daud Ali, (2008: 353) Moral adalah istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan
yang layak dikatakan banar, salah, baik, buruk.
Nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, yaitu (1) nilai berkaitan
dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai juga.
Entah manusia hadir atau tidak, gunung tetap meletus. Tapi untuk dapat nilai
sebagai indah atau merugikan, letusan gunung itu memerlukan subjek yang
menilai. (2) nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin
8

membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada
nilai (hanya menjadi pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni
teoretis bisa diwujudkan). (3) nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ‘ditambah’
oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Nilai tidak dimiliki oleh
objek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan karena objek yang sama bagi
berbagai subjek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda (Bertens, 2007:
142).
Adapun moral secara umum mengarah pada pengertian ajaran tentang baik
dan buruk yang diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, dan
sebagainya. Remaja dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral
yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Remaja yang bermoral
dengan sendirinya akan tampak dalam penilaian atau penalaran moralnya serta
pada perilakunya yang baik, benar, dan sesuai dengan etika.
Kata moral selalu mengacu kepada baik buruk manusia. Sikap moral
disebut juga moralitas yaitu sikap hati seseorang yang terungkap dalam tindakan
lahiriah. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih
dan hanya moralitaslah yang dapat bernilai secara moral. Nilai moral dapat
diperoleh di dalam nilai moralitas. Moralitas adalah kesesuaian sikap dan
perbuatan dengan hukum atau norma batiniah, yakni dipandang sebagai
kewajiban.
Di dalam moral terdapat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan
segi lahiriah. Dengan memperhatikan kedua segi tersebut, moral dapat diukur
secara tepat. Ukuran moral merupakan alat yang digunakan untuk menilai sikap
lahir atau perbuatan batin. Istilah hati nurani dan norma dapat membantu
pemahaman kita mengenai ukuran moral. Hati nurani menyediakan ukuran
subjektif, sedang norma menunjuk pada ukuran objektif. Baik yang objektif
maupun subjektif mengandung ukuran yang benar atas moralitas manusia.
Menurut Benedict (Bertens, 2007: 156), bahwa yang lazim dilakukan
dalam suatu kebudayaan sama baik secara moral, harus ditolak. Perbuatan moral
yang didasarkan atas nilai dan norma yang berbeda-beda tidak semua sama
9

baiknya. Melawan relativisme moral yang ekstrem itu kita tegaskan bahwa norma
moral tidak relatif, melainkan absolut.
Moralitas ekstrinsik adalah moralita yang memandang perbuatan sebagai
suatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang berkuasa atau oleh
hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan. Dalam moralitas,
norma berfungsi sebagai standar atau ukuran. Norma moralitas merupakan aturan
atau standar yang dapat digunakan untuk mengukur kebaikan dan keburukan suatu
perbuatan. Suatu perbuatan yang positif sesuai ukurannya dapat dikatakan moral
yang baik, sedangkan suatu perbuatan yang secara positif tidak ada ukurannya
dapat disebut moral buruk. Disebut moral indeferen apabila netral terhadap semua
ukuran.
2.2 Moral dalam Karya Sastra
Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang
sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Nurgiyantoro, 2013: 429).
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang
yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang
disampaikan kepada pembaca. Jadi, pada intinya moral merupakan representasi
idiologi pengarang. Karya sastra yang berwujud berbagai genre yang notabene
adalah “anak kandung” pengarang pada umumnya terkandung idiologi tertentu
yang diyakini kebenarannya oleh pengarang terhadap berbagai masalah kehidupan
dan sosial, baik terlihat eksplisit maupun implicit (Nurgiyantoro, 2013: 430).
Kenny (Nurgiyantoro, 2013: 430) mengemukakan bahwa moral dalam karya
sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran
moral tertentu dan bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan), lewat
cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja
diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil hikma dari pesan-pesan moral yang disampaiakn, yang
diamanatkan. Moral dalam karya sastra dipandang sebagai amanat, pesan, bahkan
massage. Unsure amanat itu merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya
karya sastra sebagai pesan.
10

Moral dalam karya sastra, atau hikma yang diperoleh pembaca lewat karya
sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan
sifat dan tingkah laku tokoh yang kurang terpuji atau buruk, maupun protagonist,
bukan berarti pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan
bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tersebut hanyalah model
sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi
oleh pembaca. Pembaca diharapkan mengambil hikma sendiri dari tokoh
antagonis itu. Sebuah cerita fiksi ditulis oleh pengarang untuk, antara lain,
menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan
moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya
tentang moral. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca
diharapkan dapat mengambil hikma dan pesan-pesan moral yang disampaikan
atau diamantkan.
Sebuah karya sastra padda hakikatnya merupakan media komunikasi
pengarang dalam penyampaian pendapat, pandangan, dan penilaiannya terhadap
sesuatu kepada pembaca. Keberadaan moral dalam karya sastra tidak dapat lepas
dari pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran yang dianutnya. Novel
sebagai karya sastra menawarkan nilai moral yang berhubungan dengan sifat-sifat
luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Nilai moral pada
hakikatnya merupakan sarana atau petunjuk agar pembaca membaca memberikan
respon atau mengikuti pandangan pengarang. Nilai moral yang dapat diterima
pembaca umumnya yang bersifat universal, dalam arti tidak menyimpang dari
kebenaran dan hak kemanusiaan. Nilai moral sastra lebih memberatkan pada sifat
kodrati manusia yang hakikat, bukan pada aturan-aturan yang dibuat, ditentukan,
diyakini manusia (Nurgiyantoro dalam Wicaksono, 2017: 338).
Mangunwijaya (Nurgiyantoro, 2013: 446) menyatakan kehadiran unsure
religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri.
Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religious. Pada awal mula segala
sastra adalah religius. Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama.
Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur
11

dalam kesatuan, namun sebenarnya keduanya menunjuk pada makna yang


berbeda.
Menurut Daroeso (2007: 23) moral adalah sebagai keselurahan norma yang
mengatur tingkah laku manusia dimasyarakat. Wila Huky (dalam Daroeso, 2007:
22) mengatakan bahwa untuk memahami moral dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu sebagai berikut:
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia yang mendasarkan diri pada
kesadaran bahwa ia terikat oleh suatu keharusan untuk mencapai yang baik
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan.
2. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup dengan warna
dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia didalam
lingkungan tertentu.
2.3 Bentuk-bentuk Moral
Nilai moral menjadi tolak ukur seseorang, moral dengan sendirinya akan
terbentuk dari setiap lingkungan dimana seseorang tumbuh dan berkembang, dan
dengan sendirinya pula moral dapat mendorong kita kepada kehidupan kesusilaan
yang tinggi.
Wicaksono (2017: 341-343) mengemukakan moral baik dan moral buruk
sebagai berikut:

2.3.1 Moral Baik

a. Kesabaran

Kesabaran merupakan sebuah keutamaan yang menghiasi diri


seorang mukmin, dimana orang itu mampu mengatasi berbagai kesusahan
dan tetap berada dalam ketaatan kepada tuhan meskipun kesusahan dan
cobaan itu dating silih berganti. Ada peribahasa mengatakan bahwa
kesabaran itu pahit laksana jadam, namun berbuah lebih manis daripada
madu. Ungkapan tersebut menunjukan hikmah kesabaran sebagai fadilah
(manfaat). Kesabaran dibagi menjadi empat kategori:
1. Sabar menanggung beratnya kewajiban
2. Sabar menanggung cobaan dan musibah
12

3. Sabar menahan penganiayaan dari orang


4. Sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan
b. Tawakkal
Seseorang yang memiliki sifat tawakkal akan merasakan
ketenangan, ketentraman, dan senantiasa merasa mantap dan optimis
dalam bertindak, akan mendapatkan kekuatan spiritual juga merasakan
kerelaan yang penuh atas segala yang telah diterimanya dan selanjutnya
akan senantiasa memiliki harapan atas segala yang dikehendaki dan dicita-
citakannya.
c. Taat beribadah
Ibadah menyucikan jiwa dan membersihkannya serta
mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan.
d. Penolong
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain, tak
hanya sebagai dalam kesendirian, tetapi juga rekaan dalam melakukan
sesuatu. Entah itu aktivitas ekonomi, sosial, budaya, politik maupun amal
perbuatan yang tetkait ibadah kepada tuhan. Disinilah tercipta hubungan
untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan manusia
lainnya. Saling berbagi terhadap sesame merupakan suatu kebutuhan
sebagai manusia.
e. Rajin bekerja dan belajar
Dengan bekerja keras, seseorang atau setiap manusia akan
mendapatkan yang diinginkan meski dalam melakukannya bersusah
payah, tetapi juga harus diimbangi dengan rasa ikhlas.
f. Mampu mengendalikan diri
Dengan pengendalian diri, tidak hanya pahala yang dapat diraih,
pengendalian diri membuat seseorang terniasa menikmati keteraturan
hidup, terbiasa taat, dan merasa bahagia ketika mampu menjalankan
perintah dan menjauhi larangan.
13

g. Penyesalan
Perasaan merasa bersalah/melakukan kesalahan akan sesuatu dan
ingin kembali kemasa saat melakukan kesalahan tersebut dan
memperbaikinya pada masa yang telah berlalu. Belajar dari kesalahan,
itulah yanmg akan seseorang perbuat, setelah merasa menyesal.

2.3.2 Moral Buruk

a. Intrik
Intrik adalah penyebar kabar bohong yang sengaja dilakukan untuk
menjatuhkan pihak lawan atau pihak lainnya
b. Konflik
Konflik merupakan sesuatu yang buruk dan sangat merugikan bagi
seseorang apabila tersu terjadi, dan merupakan sesuatu yang terus terjadi
akibat kurangnya kepercayaan seseorang kepada orang lain.
c. Bohong
Bohong adalah mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada orang
lain atau tidak cocok dengan keadaan sebenarnya, seperti dusta dan palsu.
Jadi, apabila tidak berkata jujur kepada orang lain, maka orang itu
dikatakan orang yang munafik.
2.4 Karya Sastra
Menurut Taum (dalam Sehandi, 2018: 5) sastra adalah ekspresi
pengalaman mistis dan estetis manusia melalui media bahasa sebagai
kreativitasnya yang bersifat imajinatif. Ekspresi pengalaman mistis dan estestis itu
membuat manusia merasa tentram dan menggembirakannya, karena didalamnya
manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara dirinya dengan
sumber atau asas segala sesuatu yang menarik, memikat, mengikat dan
memanggil manusia untuk selalu dekat kepada sang penciptannya.
Sastra adalah satu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek, 2014:3).
Definisi tersebut bahwa sastra merupakan seni. Oleh karena itu, seni dan sastra
14

merupakan dua karya yang mengandung estetika. Perbedaannya terdapat pada


media publikasi, apabila seni menggunakan media benda sedangkan sastra
menggunakan media bahasa. Unsure estetika ini yang melatar belakangi sastra itu
menjadi bagian dari seni.
Secara ontologis (makna kata berdasarkan hakikatnya), kata sastra
didefinisikan (1) sastra adalah karya ciptaan atau fiksi yang bersifat imajinatif, (2)
sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna untuk menandakan hal-
hal lain, (3) sastra adalah teks-teks yang bahasanyadimanipulasi atau disulap oleh
pengarangnya sehingga menghasilkan efek asing (deotomatisasi) dalam
penerapannya Taum (dalam Sehandi, 2018: 2).
Secara etimologis, (makna kata berdasarkan asal-usulnya), kata sastra
dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta. Dalam bahasa Sansekerta
kata sastra dibentuk dari akar kata sas- dan –tra. Akar kata sas- (dalam kata kerja
turunan) menunjukan arti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau
instruksi, sedangkan akar kata –tra menunjukan arti alat atau sarana. Dengan
demikian, sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi
atau buku pengajaran.
Karya sastra telah mengalami perkembangan pesat seiring dari
perkembangan teknologi. Secara langsung maupun tidak langsung, perkembangan
teknologi telah mempengaruhi perkembangan karya sastra. Banyak karya sastra
yang tercipta dengan ragam tema dan lebih bervariasi misalnya sosial budaya,
ekonomi, politik, teknologi, kasih saying, dan sebagainya. Selain itu, genre sastra
telah mengalami perkembangan yakni puisi, novel, pantun, drama, cerita pendek,
cerita sambung, cerita bergambar, komik dan sandiwara (Hudhana, 2019: 9).
Sastra merupakan karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan
penciptaan, selalu tumbuh, dan berkembang. Sumarjo (dalam Wicaksono, 2018:
16). Memberikan batasan tentang sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang
berupa pengalaman pemikiran, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk
gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Dalam kaitan
ini terlihat bahwa peran perasaan cukup besar dalam proses pengkajian atau
penulisan karya sastra.
15

Effendi (dalam Wicaksono, 2014: 116) menyebut sastra sebagai


“kenikmatan dan kehikmatan”. Yaitu kenikmatan dalam artian sastra memberikan
hiburan bagi pembaca melalui ceritanya dan kehikmatan dalam arti sastra
memberi sesuatu atau nilai yang berguna bagi kehidupan. Sastra adalah kekayaan
rohani yang dapat memperkaya rohani. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ilmu
ahli jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan filsafat,
bukan dengan cara teknis akademis melainkan melalui tulisan sastra (Siswanto,
2013: 59).
(Wicaksono, 2014: 4) mengungkapkan bahwa kehadiran karya sastra yang
diungkapkan pengarang adalah masalah kehidupan manusia. Karya satra
merupakan gambaran kehidupan, hasil rekaan, pengarang. Kehidupan dalam suatu
karya sastra adalah kehidupan diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan
pengarang. Oleh karena itu, kebenaraan atau kenyataan dalam karya sastra tidak
mungkin sama dengan kenyataan yang ada disekitar kita. Kenyataan atau
kebenaran dalam karya sastra adalah kebenaran keyakinan, bukan kebenaran
indrawi seperti yang kita lihat sehari-hari.
Karya sastra sebagai potret kehidupan masyarakat dapat dinikmati,
dipahami, dan dapat memberi manfaat untuk masyarakat. Sebuah karya sastra
tercipta karena adanya pengalaman batin pengarang berupa peristiwa atau
problem yang menarik sehingga muncul gagasan dan imajinasi yang dituangkan
dalam bentuk tulisan. Karya sastra lahir karena adanya suatu yang menjadikan
jiwa seseorang pengarang atau pencipta mempunyai rasa tertentu pada suatu
persoalan atau peristiwa di dunia ini, baik yang langsung dialaminya maupun dari
kenyataan hidup sehari-hari yang ada di masyarakat. Persoalan atau peristiwa itu
sangat mempengaruhi bentuk kejiwaan seorang pencipta karya sastra sehingga
memungkinkan munculnya konflik atau ketegangan batin yang mendorong
pencipta untuk mewujudkan dalam bentuk karya sastra.
Karya sastra adalah bentuk kreatifitas dalam bahasa yang berisi sederetan
pengalaman batin dan imajinasi yang berasal dari penghayatan atas realitas
sastrawannya. Karya sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa
dengan cara penggambaran yang merupakan bagian arti kenyataan hidup,
16

wawasan pengarang tentang kenyataan hidup, maupun imajinasi murni pengarang


yang berkaitan dengan kenyataan hidup (rekam peristiwa) atau dambaan
intuisipengarang dan dapat pula sebagai campuran kehidupannya. Selain
menampilkan keindahan hiburan dan keseriusannya karya sastra juga cenderung
membuktikan memiliki unsur pengetahuan.
2.5 Novel
Novel (Inggris: novel) dan cerita pendek (disingkat: cerpen; Inggris: short
story) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan,
dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan
fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku
untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan inilah yang kemudian
masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman:
novelle). Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan
kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2013: 11-12).
Dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari
kata noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-
jenis lain, novel ini baru muncul kemudian (Tarigan, 2011: 167). Pendapat
Tarigan diperkuat dengan pendapat Arbams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 11-12)
bahwa secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian
diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel yang diartikan sebagai
memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas, dengan roman yang
diartikan rancangannya lebih luas mengandung sejarah perkembangan yang
biasanya terdiri atas beberapa fragmen dan patut ditinjau kembali.
Novel oleh Sayuti (2003: 7) dikategorikan dalam bentuk karya fiksi yang
bersifat formal. Bagi pembaca umum, pengkategorian ini dapat menyadarkan
bahwa sebuah fiksi apapun bentuknya diciptakan dengan tujuan tertentu. Dengan
demikian, pembaca dalam mengapresiasi sastra akan lebih baik. Pengategorian ini
berarti juga bahwa novel yang kita anggap sulit dipahami, tidak berarti bahwa
novel tersebut memang sulit. Pembaca tidak mungkin meminta penulis untuk
menulis novel dengan gaya yang menurut anggapan pembaca luwes dan dapat
17

dicerna dengan mudah, karena setiap novel yang diciptakan dengan suatu cara
tertentu mempunyai tujuan tertentu pula.
Sayuti (2003: 10-11) berpendapat bahwa sebuah novel jelas tidak akan
selesai dibaca dalam sekali duduk karena panjangnya, novel yang baik cenderung
menitik beratkan pada kompleksitas. Selain itu novel secara khusus memiliki
peluang yang cukup untuk mempermasalahkan karakter tokoh dalam kronologi.
Novel juga memungkinkan adanya penyajian secara lebar mengenai tempat ruang
tertentu. Sisi kehidupan masyarakat dalam novel sangat erat kaitannya dengan
pengarang serta penikmat sastra, sehingga masyarakat berpengaruh juga terhadap
perkembangan novel (Erika, 2013: 12).
Pendapat diatas dapat dijabarkan bahwa novel berisi tentang cerita
kehidupan tokoh yang diciptakan secara fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu
yang nyata. Nyata yang dimaksud dalam hal ini bukanlah hal yang merujuk pada
fakta yang sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang
dapat diterima secara logis. Kelogisan didapat dari hubungan antar suatu peristiwa
dengan peristiwa lain dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk
memberikan informasi kepada penikmat sastra. Novel juga diartikan sebagai
karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang
dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap
pelaku (Depdikbud, 2005: 788).
2.6 Unsur-Unsur Pembangun Novel

2.6.1 Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun teks itu dari dalam atau
segala sesuatu yang terkandung di dalam karya satra dan mempengaruhi karya
sastra tersebut. Unsur Intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang
berasal dari dalam karya itu sendiri. Pada novel unsur intrinsik itu berupa, tema,
plot, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Berikut ulasan
unsur-unsur intrinsik novel.
a. Tema (Theme)
18

Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel
(Nurgiyantoro, 2013: 32). Stanton (Nurgiyantoro, 2013: 114) menjelaskan bahwa
tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Berdasarkan dasar cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan
cerita. Oleh karena itu, dalam suatu novel akan terdapat satu tema pokok dan
subsubtema. Pembaca harus mampu menentukan tema pokok dari suatu novel.
Tema pokok adalah tema yang dapat memenuhi atau mencakup isi dari
keseluruhan cerita. Tema pokok yang merupakan makna keseluruhan cerita tidak
tersembunyi, namun terhalangi dengan cerita-cerita yang mendukung tema
tersebut. Maka pembaca harus dapat mengidentifikasi dari setiap cerita dan
mampu memisahkan antara tema pokok dan sub-subtema atau tema tambahan.
Tema menurut Nurgiyantoro (2013: 125) dapat digolongkan menjadi dua,
tema tradisional dan nontradisional. Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema
yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah
lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita termasuk cerita
lama.
b. Alur (Plot)
Stanton (Nurgiyantoro, 2013: 167) juga berpendapat bahwa plot adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain. Kenny (Nurgiyantoro, 2013: 167) mengemukakan plot
sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan cerita yang tidak bersifak sederhana
karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab
akibat.
Unsur penentu plot berikutnya adalah konflik. Konflik menurut Wellek
dan Warren (Nurgiyantoro, 2013: 179) adalah sesuatu yang dramatik dan
mengarah pada pertarungan antara dua kekuatan serta menyiratkan aksi-aksi
balasan. Konflik merupakan peristiwa, peristiwa-peristiwa dapat dikategorikan
menjadi konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik
yang terjadi pada seorang tokoh dengan sesuatu yang berada di luar dirinya.
Konflik eksternal dapat dibagi menjadi dua, yaitu konflik fisik dan konflik sosial.
19

Alur merupakan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang tidak


hanya temporal saja tetapi juga dalam hubungannya secara kebetulan dengan kata
lain alur adalah rangkaian peristiwa yang tersusun dalam hubungan sebab akibat
atau kausalitas. Menurut Sayuti (2003: 111), pengaluran adalah cara pengarang
menyusun alur. Alur terdiri atas:
1. Situation (pengarang mulai melukis suatu keadaan).
2. Generating circumstances (peristiwa yang bersangkutan mulai bergerak).
3. Rising Action (keadaan mulai memuncak).
4. Climax (peristiwaperistiwa mencapai puncaknya).
5. Denouement (pengarang memberikan pemecahan sosial dari semua
peristiwa).
c. Penokohan
Penokohan Penokohan dalam novel adalah unsur yang sama pentingnya
dengan unsur-unsur yang lain. Penokohan adalah teknik bagaimana pengarang
menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau
sifat para tokoh (Siswandarti, 2009: 44).
Sebagian besar tokoh karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Tokoh rekaan
disebut juga tokoh imajinasi pengarang. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi
memainkan cerita tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan
tema. Tokoh cerita merupakan bagian yang ditonjolkan pengarang. Konflik-
konflik cerita yang mendasari plot, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari
tokoh-tokoh. Ada tokoh tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus di
dalam cerita yang bersangkutan. Tokoh tersebut dinamai tokoh utama sebaliknya,
ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali didalam
cerita, tokoh-tokoh tersebut disebut tokoh sampingan (Darmawati, 2018: 17-18).
Penokohan merupakan salah satu unsur cerita yang memegang peranan penting
dalam sebuah novel, karena tanpa perlakuan yang mengadakan tindakan, cerita itu
tidak mungkin ada. Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara
menampilkan tokoh (Adi, 2011: 47). Berdasarkan uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku atau orang yang menjadi pemeran dalam
20

sebuah cerita fiksi atau drama. Sedangkan penokohan adalah cara pengarang
dalam memberikan karakter pada tokoh dalam cerita.

d. Latar
Latar menurut Abrams (Nurgiantoro, 2013: 302) latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan
waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang
diceritakan.
Sayuti (2003: 115) menyatakan bahwa latar yaitu berkaitan dengan waktu,
tempat, atau sosial lingkungan terjadinya pristiwa. Adapun empat unsur
pembentuk latar fiksi sebagai berikut. (1) lokasi geografis atau letak terjadinya
peristiwa. (2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokohnya. (3) waktu terjadinya
peristiwa. (4) lingkungan intelektual, moral, sosial, religious, dan emosional
tokoh-tokohnya. Latar bukan hanya sekedar tempat kejadian saja, namun
penggambaran tempat, waktu dan situasi dalam cerita memberi efek cerita
terkesan lebih logis, karena latar juga berfungsi sebagai pembangun dalam
penciptaan kesan suasana tertentu yang bisa menggugah perasaan dan emosi
sehingga tak jarang pembaca akan menitikkan air mata ketika sedang menghayati
sebuah karya sastra. Selain itu, latar berperan melukiskan aspek sosialnya, seperti
tingkah laku, tata krama, pandangan hidup, dan karakter tokoh dalam cerita.

2.6.2 Unsur Ekstrinsik

Unsur Ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2013: 30) adalah unsur-unsur


yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi
bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat
dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya
sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari
luar. Meskipun unsur-unsur itu berada di luar teks sastra, tetapi secara tidak
langsung mempengaruhi bangun atau sistem organisme teks tersebut. Secara lebih
21

khusus, ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita


sebuah karya sastra, tetapi itu tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
(Nurgiyantoro, 2015:30). Unsur ekstrinsik itu merupakan latar belakang dan
sumber informasi bagi karya sastra yang tidak dapat diabaikan karena mempunyai
nilai, arti, dan pengaruhnya. Biarpun penting kehadirannya, tetapi unsur ekstrinsik
itu tidak menjadi dasar eksistensi kehadiran sebuah karya sastra. Unsur ekstrinsik
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra. Unsur
ekstrinsik memberi warna dan rasa khusus terhadap karya sastra yang pada
akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ekstrinsik yang
mempengaruhi karya sastra dapat juga dijadikan sebagai potret realitas objektif
masyarakat dan lingkungannya pada saat karya sastra tersebut diciptakan.
Wellek dan Warren (Nurgiyantoro, 2013: 30-31) juga berpendapat bahwa
unsur ektrinsik terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara
lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang meniliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya
yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan
corak karya yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik beikutnya adalah psikologi
pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun
penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang
seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra,
dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya
pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.
Wellek dan werren (Nurgiyantoro, 2013: 71-140) menyebutkan ada empat
faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dalam karya sastra yakni:
a. Biografi pengarang: bahwa karya seorang pengarang tidak akan lepas dari
pengarangnya. Karya-karya tersebut dapat ditelusuri melalui biografinya.
b. Psikologis (proses kreatif) adalah aktivitas psikologis pengarang pada
waktu menciptakan karyanya terutama dalam penciptaan tokoh dan
wataknya.
c. Sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat diasumsikan
bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin kehidupan masyarakat
22

yaitu, profesi atau intuisi, problem hubungan sosial, adat istiadat


antarhubungan manusia satu dengan lainnya, dan sebagainya.
Unsur ekstrinsik adalah “Unsur-unsur yang ada di luar karya sastra yang
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Secara khusus mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, namun
tidak ikut menjadi bagian di dalamnya”. Adapun unsur-unsur ekstrinsik:
a. Nilai Agama
Nilai agama adalah nilai-nilai dalam cerita yang berkaitan dengan aturan
atau ajaran yang bersumber dari agama tertentu”. Nilai religius atau nilai agama
yang terkandung dalam novel dalam karya sastra merupakan nilai yang
merupakan nilai kerohanian, kepercayaan atau keyakinan manusia yang tertinggi
dan mutlak dimiliki kebanyakan orang yang digambarkan dalam sebuah cerita
yang di harapkan dapat menambah pemahaman pembaca.
b. Nilai Moral
Moral menjadi hal yang tidak akan pernah jauh dari diri manusia. Bahkan
melekat kemanapun dan dimanapun ia berada. Maka dari itu moral turut
berpengaruh terhadap penulisan karya sastra. “Nilai moral adalah nilai-nilai dalam
cerita yang berkaitan dengan akhlak atau etika. Nilai moral dalam cerita bisa jadi
nilai moral yang baik, bisa pula nilai moral yang buruk atau jelek.
c. Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan konsep hidup yang ada dalam pikiran warga
masyarakat sebagai suatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wujudnya dapat
berupa adat – istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan
tindakan. “Nilai budaya adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan kebiasaan atau
tradisi adat-istiadat yang berlaku pada suatu daerah.
d. Nilai Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan
masyarakat/kepentingan umum “Nilai sosial adalah nilai-nilaiyang berkenaan
dengan tata pergaulan atau antara individu dalam masyarakat.
Nilai sosial juga merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku
sosial masyarakat. Nilai sosial berkaitan dengan tata laku hubungan anatara
23

sesama manusia (kemasyarakatan). Nilai sosial adalah nilai yang mendasari,


menuntun dan menjadi tujuan tindakan dan hidup sosial manusia dalam
melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidup sosial manusia.

2.7 Jenis dan Wujud Nilai Moral


Secara umum, moral menyaran pada pengertian ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.
Moral pun berhubungan dengan akhlak, budi pekerti, ataupun susila. Sebuah
karya fiksi ditulis pengarang untuk menawarkan model kehidupan yang
diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku
para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan
tingkah laku tokoh, pembaca dapat memetik pelajaran berharga. Dalam hal ini,
pesan moral pada cerita fiksi berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan.
Sifat-sifat luhur ini hakikatnya bersifat universal. Artinya, sikap ini diakui
oleh dunia. Jadi, tidak lagi bersifat kebangsaan, apalagi perseorangan.
Nurgiyantoro (2013: 441-442) menyatakan bahwa jenis ajaran moral itu sendiri
dapat mencakup masalah, yang boleh dikatakan, bersifat tak terbatas. Ia dapat
mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupannya itu dapat dibedakan ke
dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Jenis hubunganhubungan
tersebut masing-masing dapat dirinci ke dalam detail-detail wujud yang lebih
kasus.
Nurgiyantoro (2013: 441-442) menjelaskan secara garis besar persoalan
hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan sebagai
berikut:
a. Hubungan Manusia Dengan Tuhannya
Manusia selain sebagai makhluk individu, sosial, juga sebagai makhluk
yang meyakini adanya Tuhan. Dengan sadar atau tidak sadar tiap manusia
mengakui bahwa dia adalah salah satu mahkluk ciptaan Tuhan yang hidup di
dunia ini. Sebagai makhluk hasil ciptaan Tuhan, maka di dalam dirinya telah
24

dianugerahi sesuatu oleh penciptanya. Apapun yang dianugerahkan Tuhan


kepada manusia adalah berupa pribadi manusia itu sendiri yang dilengkapi
dengan potensi-potensi essensinya sebagai manusia antara lain: pikiran,
perasaan, kemauan, anggota badan dan sebagainya.
1) Percaya Kepada Tuhan
Kepercayan kepada Tuhan diwujudkan dengan pemelukan
terhadap salah satu agama yang diyakini. Setiap agama mengandung
suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para
penganutnya. Jika kita membandingkan berbagai agama, ajaran
moralnya barangkali sedikit berbeda, tetapi secara menyeluruh
perbedaannya tidak terlalu besar. Dengan adanya Tuhan, manusia dapat
mengendali-kan diri, dapat memilah-milah perbuatan yang baik dan
buruk serta berpegang teguh bahwa kepada sesuatu itu sudah ada yang
mengatur yaitu Tuhan.
2) Kedekatan dengan Tuhan
Aktualisasi dari keimanan dan ketakwaan dinyatakan dalam bentuk
perilaku yang mencerminkan nilai-nilai keadilan. Dalam kehidupan,
manusia telah diperintahkan oleh Tuhan untuk mengangkat derajatnya
dengan hanya menghamba kepada Tuhan. Segala hidup serta masa
depan, takdirnya sudah ditentukan oleh Tuhan. Apabila kita mengaku
sebagai manusia yang beragama maka ia harus beriman dan bertakwa.
Bertakwa berarti mematuhi ajaran-ajaran agama yang telah ditentukan
dan meninggalkan segala perbuatan yang dilarang. Seseorang yang
beriman dan bertakwa juga dapat dilihat dengan cara menjalani
hidupnya. Nilai-nilai moral juga mendasari, menuntun, dan menjadi
tujuan tindakan hidup ketuhanan manusia. Dalam melangsungkan,
mempertahankan dan mengembangkan hidup manusia juga memakai
cara-cara yang benar dan ditujukan pada tujuan-tujuan yang benar
pula. Untuk itu, manusia diharapkan mempunyai hubungan totalitas
kepada Tuhan.
b. Hubungan Manusia Dengan Dirinya Sendiri
25

Nilai moral individual adalah nilai moral yang menyangkut


hubungan manusia dengan kehidupan diri pribadi atau cara manusia
memperlakukan diri pribadi. Nilai moral tersebut mendasari dan menjadi
panduan hidup manusia yang merupakan arah dan aturan yang perlu
dilakukan dalam kehidupan pribadinya. Nilai kepribadian itu digunakan
untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengem-bangkan yang
merupakan prinsip pemandu dalam mengambil kebijaksanaan hidup
pribadinya.
Untuk semua hal itu manusia harus memenuhi kebutuhan-
kebutuhan jasmani, dan rohani dengan cara-cara yang benar didasari dan
dituntun oleh nilai-nilai kebenaran dan ditujukan kepada tujuan-tujuan
yang benar pula, sehingga tidak akan merugikan orang lain. Nilai moral
dalam hubungan manusia dengan diri sendiri pada dasarnya merupakan
nilai kepribadian manusia. Nilai kepribadian yang mendasari dan menjadi
panduan hidup pribadi manusia. Nilai moral individual diperlukan oleh
setiap manusia. Nilai moral individual akan mendorong manusia untuk
mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup sebagai pribadi melalui
pemanfaatan seluruh potensi, kemampuan, dan keterampilan yang
dimilikinya tanpa merugikan orang lain. Perlunya nilai moral individual
itu bagi manusia didasarkan pada kenyataan bahwa dalam melangsungkan
hidup, manusia memerlukan hal yang bersifat jasmaniah dan rohaniah
dengan cara dan tujuan yang benar.
1) Keberanian
Menurut Peterson dan Seligman (2004: 199) Keberanian
merupakan kekuatan emosional yang melibatkan keinginan untuk
mencapai tujuan pribadi walaupun terdapat halangan baik bersifat
internal maupun eksternal dalam pencapaiannya.
2) Hidup Realistis
Hidup realistis adalah suatu kondisi yang ada pada manusia
berupa kesanggupan untuk menerima kenyataan hidup yang telah dan
sedang dialami oleh manusia. Sikap realistis pada orang Jawa dikenal
26

dengan istilah Nrimo (mau menerima pada apa yang didapat) yang
berarti dalam keadaan kecewa dan kesulitan sekalipun masih bereaksi
dengan rasional. Bentuk penghargaan itu berupa kesanggupan untuk
menerima dan menjalani hidup tanpa adanya suatu penyesalan dan
pertentangan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Tuhan. Sikap realistis ini bukanlah sikap yang negatif atau pasif
menunggu dan menerima kenyataan hidup begitu saja tanpa suatu
usaha tetapi sikap realistis lebih bersifat menstabilkan keadaan jiwa
dalam keadaan kecewa dan kesulitan hidup. Kerealistisan hidup juga
berarti menerima apa yang diberikan Tuhan tanpa menginginkan milik
orang lain.
3) Bertanggung Jawab
Berkaitan dengan tanggung jawab, Mustari (2014:19)
berpendapat bahwa tanggung jawab berarti sikap dan perilaku
seseorang dalam menjalankan tugas serta kewajibannya sebagaimana
yang seharusnya diterapkan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan, dan negara serta tuhan.
4) Teguh pendirian
Teguh pendirian adalah suatu sikap yang ajeg dan tidak
berganti-ganti dalam memberikan pernyataan atau putusan jika hal
yang dinyatakan atau diputuskan itu benar. Kebenaran yang dimaksud
adalah kebenaran yang bisa diterima oleh orang lain dan bukan benar
menurut diri sendiri. Teguh pendirian ini merupakan lawan dari sikap
yang tidak tegas. Sikap ini berbeda dengan istilah “keras kepala”
keteguhan pendirian didasarkan pada akal sehat, pertimbangan dan
pemikiran yang matang menurut hati nurani yang tetap penuh rasa
tanggung jawab, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga kepentingan
umum. Dengan demikian ketetapan hati dapat dikatakan merupakan
nyawa atau roh yang memberikan isi kepada sikap keteguhan
pendirian.
c. Hubungan Manusia Dengan Manusia Lain Dalam Lingkup Sosial
27

Menurut Darma (Wiyatmi, 2006: 111), ajaran moral dalam karya


sastra seringkali tidak secara langsung disampaikan, tetapi melalui hal-hal
yang seringkali bersifat amoral dulu. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikenal dengan tahap katarsis pada pembaca karya sastra. Katarsis adalah
pencucian jiwa yang dialami pembaca atau penonton drama. Meskipun
demikian sebelum mengalami katarsis, pembaca atau penonton
dipersilahkan untuk menikmati dan menyaksikan peristiwa-peristiwa yang
sebetulnya tidak dibenarkan secara moral, yaitu adegan semacam
pembunuhan atau banjir darah yang menyebabkan penonton senang tetapi
juga sekaligus muak. Jadi untuk menuju moral, seringkali penonton harus
melalui proses menyaksikan adegan yang tidak sejalan dengan
kepentingan moral.
Berbuat hormat kepada orang lain merupakan suatu dasar dalam hidup
sosial, baik antar kelompok maupun intra kelompok. Sikap hormat kepada orang
lain merupakan suatu kaidah untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat. Selain
sebagai mahkluk pribadi, manusia juga merupakan mahkluk sosial yang selalu
berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi
lemah tak berdaya. Manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain.
1) Adil Terhadap Manusia Lain
Keadilan merupakan tindakan yang berusaha menjaga keselarasan dan
kehormatan demi terciptanya integritas masyarakat yang didasarkan pada akal
sehat dan pengendalian diri untuk meletakkan sesuatu masalah pada
proporsinya. Adil pada hakikatnya kita memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk
memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang berada dalam
situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang
bersangkutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu tindakan adil
adalah tindakan yang layak, tidak berat sebelah dan tidak merugikan pihak-
pihak tertentu.
2) Gotong Royong
28

Gotong royong merupakan sebuah ciri khas bahwa manusia dalam


hidupnya tidak senang memisahkan dirinya dengan lingkungan dan
golongannya. Salah satu wujud kebersamaan itu adalah gotong royong. Oleh
karena itu dalam bermasyarakat, kita harus mengembangkan sikap gotong
royong demi terwujudnya kesejahteraan bersama dalam kehidupan sehari-hari.
3) Musyawarah
Musyawarah adalah cara pengambilan keputusan yang mendengarkan
semua suara dan semua opini. Semuanya dianggap sama benar dan berguna
bagi keputusan yang sedang diusahakan. Musyawarah merupakan suatu ciri
atau tata cara masyarakat untuk menetapkan suatu keputusan, artinya sebelum
suatu keputusan disepakati dan ditetapkan, pokok masalahnya harus
dimusyawarahkan. Sebagai mahkluk sosial ma-nusia tidak lepas dari
lingkungannya, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Di
dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari berbagai masalah, dari
yang sangat kecil hingga besar. Semua masalah dengan mudah akan dapat
terselesaikan apabila pemecahannya sangat cepat.
2.8 Pendekatan Moral
Pendekatan moral bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan
kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir
dan berketuhanan. Dengan pendekatan moral, peneliti hendak melihat sejauh
mana karya sastra itu memiliki moral. Moral dalam pengertian filsafat merupakan
suatu konsep yang telah dirumuskan oleh sebuah masyarakat bagi menentukan
kebaikan atau keburukan. Karena itu moral merupakan suatu norma tentang
kehidupan yang telah diberikan kedudukan istimewa dalam kegiatan sebuah
masyarakat (Satinem, 2019: 104). Semi (dalam Satinem, 2019: 105-106)
pendekatan moral mempunyai konsep sebagai berikut:
1. Karya sastra dapat dikatakan bernilai tinggi apabila lewat sastra tersebut
harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Penulis bukan hanya
berangan-angan untuk menciptakan karya sastra dengan kemahiran dan
ekspresi yang tinggi, namun harus dilandasi oleh visi dan misi atau etika yang
29

baik untuk mampu mengubah perilaku seseorang melalui karyanya. Menulis


karya sastra merupakan suatu perjuangan yang bernilai tinggi karena
berkaitan dengan kemanusiaan. Karya sastra yang hanya memiliki keindahan
tanpa memperhatikan moral dinilai kurang baik.
2. Penilaian baik buruknya sebuah karya sastra dititikberatkan pada masalah
yang meliputi, tema, pemikiran, falsafah, dan pesan dibandingkan dengan
masalah bentuk. Penulis dapat mengabaikan masalah yang berkaitan dengan
bentuk. Hal ini dikarenakan pandangan moral berasumsi untuk memotivasi
masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Masyarakat belajar meniti
kehidupan lewat karya sastra yang sedang dihadapi.
3. Secara didaktis pendidikan lewat sastra dapat mengantar masyarakat kepada
kehidupan yang lebih baik pada suatu arah yang akan ditempuhnya. Oleh 29
karena itu sastra dikatakan baik apabila mampu memperlihatkan tokoh cerita
yang memiliki moral yang baik, tokoh yang bijaksana dan juga arif.
4. Pendekatan moral diharapkan dapat menyesuaikan perkembangan zaman,
mengarahkan masyarakat untuk mendapatkan budi pekerti yang terpuji dan
mulia. Dengan demikian karya sastra mampu menjadi guru yang menjadi
panutan masyarakat.
5. Pendekatan moral dipercaya oleh masyarakat untuk membantu meningkatkan
masyarakat dari aspek moral dan menempatkan karya sastra bukan hanya
terbatas pada nilai seni. Kualitas dapat ditingkatkan melalui pemikiran para
ilmuwan dan budayawan.
6. Pada aspek kesejarahan perlu juga dipertimbangkan adanya perubahan
masyarakat dari zaman ke zaman. Hal ini dimaknai bahwa analisis moral juga
menekankan pada perjuangan manusia melepaskan dirinya dari
keterbelakangan dan kebodohan. Dari gambaran pendekatan moral di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan moral menitikberatkan pada
misi sastra sebagai upaya perjuangan meningkatkan mutu kehidupan umat
manusia, meningkatkan budi pekerti anggota masyarakatnya. Moral sangat
berguna bagi manusia dalam kehidupan di masyarakat yang diwujudkan
melalui tindakan lahiriah sebagai tolok ukur untuk mengetahui kebaikan
30

seseorang. Analisis sastra menggunakan pendekatan moral bertujuan untuk


melihat kehadiran sastra sehingga didapatkan masyarakat yang memiliki
harkat dan budaya sebagai makhluk berbudaya, berpikir kritis, dan tentu saja
berketuhanan. Dengan analisis moral peneliti berupaya untuk melihat apakah
karya sastra tersebut memiliki kandungan moral. Ditinjau dari segi filsafat,
moral berarti suatu usaha untuk mengetahui kebaikan dan keburukan yang
dilakukan orang lain kepada seseorang.
BAB III
METODE PENELITIAN
c.1 Metode dan Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan
menggunakan pendekatan moral. Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka,
karena sumber data yang bersifat tertulis lebih dominan. Objek penelitian ini
adalah wujud nilai moral dalam novel Kami (Bukan) Jongos Berdasai Karya J.S
Khairen.
c.2 Data dan Sumber Data

c.2.1 Data

Data dalam penelitian ini berupa frasa, kata, kalimat, yang terdapat dalam
novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen dan data lain yang dapat
menunjang penelitian melalui kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis
berupa pendapat-pendapat atau referensi terkait terkait dengan judul penelitian ini.

c.2.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini diperoleh melalui novel Kami (Bukan) Jongos
Berdasi Karya J.S Khairen yang diterbitkan PT. Bukune Kreatif Cipta cetakan
kedua pada bulan Januari 2020 yang terdiri dari 420 halaman.
c.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yakni
teknik membaca intensif dan teknik membaca analitik. Teknik membaca intensif
sering disebut dengan teknik membaca cermat adalah teknik membaca dengan
penuh pemahaman untuk menemukan ide-ide pokok pada tiap-tiap paragraf,
pemahaman ide-ide naskah dari ide pokok sampai pada ide-ide penjelas. Kegiatan
membaca intensif sangat bermanfaat untuk mencari informasi secara detail atau
diterapkan sebagai bahan diskusi. Sedangkan teknik membaca analitik adalah
teknik membaca yang bertujuan untuk mencari informasi dari bahan tertulis,
menghubungkan satu kejadian dengan kejadian yang lain, sehingga dapat ditarik
kesimpulan yang tidak tertulis secara eksplisit dalam bacaan. Kedua teknik

31
32

membaca tersebut digunakan untuk menemukan data yang berkaitan dengan


moral dalam novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen, setelah itu
dapat dianalisis sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai pesan moral yang
terdapat dalam novel tersebut.
c.4 Teknik Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk mengatur dan menyusun bagian-bagian
kutipan yang terdapat pada novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S
Khairen sehingga menjadi satu kesatuan, memilah-milah sehingga menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensintesiskannya, menyederhanakan data kedalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan interpretasi. Penelitian ini menganalisis data dengan
menggunakan pendekatan moral, dimana pendekatan tersebut memperhatikan
masalah kesan dan persepsi pembaca, karena menentukan berfaedah atau tidak
berfaedah sebuah karya sastra tergantung pada kesan dan persepsi pembaca.
Kegiatan proses analisis data dalam penelitian kualitatif pada dasarnya dilakukan
secara bersamaan dengan proses pelaksanaan pengumpulan data dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Reduksi Data Pada langkah ini data yang diperoleh dicatat dalam uraian
terperinci. Dari data-data yang sudah dicatat tersebut, kemudian dilakukan
penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data yang berkaitan
dengan masalah yang akan dianalisis, dalam hal ini “Nilai Moral dalam Novel
Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen.” Keterkaitan informasi-
informasi yang mengacu dalam permasalahan itulah yang menjadi data dalam
penelitian ini.
2. Sajian Data Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudian
disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami dan mudah
diuraikan ketika sampai pada tahap kesimpulan. Data tersebut kemudian
dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang nilai moral yang terkandung
dalam novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen.
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi Pada tahap ini dibuat kesimpulan tentang
hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Kesimpulan merupakan
tahap akhir atau hasil dari penelitian yang 33 dilakukan. Penarikan
33

kesimpulan ini didasarkan atas pengorganisasian informasi yang diperoleh


dalam analisis data. Kesimpulan ini masih memerlukan verifikasi (penelitian
kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang diperoleh tersebut
benar-benar valid.
34

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Ida Rochani. 2011. Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ali, Mohammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers
Alim.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Darmawati, U. (2018). Prosa Fiksi Pengetahuan dan Apresiasi. Klaten: Intan
Pariwara.
Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Erika. 2013. Potret Pengertian Tentang Pengarang Dalam Sebuah Novel
(OPL), 1295.
Fitri, Agus Z. 2012, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di. Sekolah,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi.
Bandung: Alfabeta.
Hartini, Titin. 2013. Kepemimpinan dalam Islam: Pandangan Posisi. Manajerial
Bagi Wanita. Jurnal Kajian Masyarakat dan Syariah Vol. 13 No. 1.
J.S Khairen yang diterbitkan PT. Bukune Kreatif Cipta cetakan kedua pada bulan
Januari 2020 yang terdiri dari 420 halaman.
Mafiroh, Nuriya. 2016. Nilai-Nilai Pendidikan Moral Dalam Novel Mahkota
Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy. Skripsi. Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam
Negeri Salatiga (Iain) Salatiga.
Mustari, M., & Rahman, M. T. (2014). Nilai karakter: refleksi untuk pendidikan.
Novel Kami (Bukan) Jongos Berdasi Karya J.S Khairen
Nurgiyantoro, B. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogykarta: Gajah Mada
University Press.
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A
handbook and classification. United States of America: American
Psychological Association.
35

Sayuti, Sumito A. 2003. Berkenalan Dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama


Media.
Sehandi, Y. (Sep 2018). Penyair John Dami Mukese di Panggung Sastra. Flores
Pos
Siswandarti. 2009. Panduan Belajar Bahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI.
Yogyakarta: Dinas Pendidikan Menengah dan Nonformal Kabupaten
Bantul.
Satinem. 2019. Apresiasi Prosa Fiksi: Teori, Metode dan Penerapannya.
Tarigan, I., Kurata, K., Takata, N., Matsuo, T., & Takeyama, M. (2011). Novel
concept of creep strengthening mechanism using grain boundary Fe2Nb
Laves phase in austenitic heat resistant steel. MRS Online Proceedings
Library
Wicaksono, A. (2017). Pengkajian prosa fiksi (Edisi revisi). Garudhawaca.
Wiyatmi, 2006. Pengantar Kajian Sastra, Yogyakarta: Pustaka
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
Yana, I. R., Musadad, A. A., & Pelu, M. (2017). Implementasi Nilai-Nilai
Demokrasi Dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Model Ctl (Contextual
Teaching Learning) Untuk Membangun Sikap Sosial Dan Hasil Belajar
Siswa Kelas Xi Di Sma Al Islam 1 Surakarta Tahun Pelajaran
2015/2016. Candi, 15(1), 31.
Zainuddin Ali. 2007. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai