Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Artikulasi Vol.9 No.

1 Februari 2010 | 555



KAJIAN STILISTIKA
NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU DAN PETIR KARYA DEWI LESTARI
Sugiarti
Universitas Muhammadiyah Malang
Abstrak
Bahasa dan sastra memiliki keterkaitan yang cukup kuat. Tanda bahasa
yang digunakan dalam karya sastra sebagai bentuk performansi komunikasi
yang digunakan pengarang untuk menyampaikan pesan tertentu.
Penyampaian pesan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan aspek
stilistika sebagai wujud performansi kebahasaan. Dalam novel Nayla dan
Petir pengarang berupaya memanfaatkan aspek stilistika agar karya yang
dituliskannya menjadi indah dan menarik. Pergulatan bahasa serta
pemikiran dituangkan dalam tanda atau simbol yang tersistem serta kaya
akan makna dan mampu memberikan pengalaman bagi pembaca. Dalam
hal ini pengarang memanfaatkan sarana kelinguistikan untuk
mengungkapkan pengalaman-pengalaman estetis. Kemahiran sastrawan
menggunakan stilistika, juga akan menentukan bobot karya sastra itu
sendiri.

Kata Kunci: Stilistika, Novel.

A. PENDAHULUAN
Stilistika menuntut bahwa
pemahaman terhadap karya sastra
berkelanjutan dengan pemahaman
bahasanya, dan juga bahwa
pendekatan bahkan teknik studi bahasa
merupakan langkah pasti menuju
pemahaman sastra. Kebanyakan
kritikus cenderung mengambil jalan
pintas dan memproses interpretasi
karya sastra dalam konteks moral dan
ideologi, tanpa mempertimbangkan
tekstur linguistik apapun (Hough,
1972: 65). Stilistika sebagai bahasa
khas sastra akan memiliki keunikan
tersendiri apabila dibandingkan bahasa
komunikasi sehari-hari. Stilistika
adalah bahasa yang telah dicipta dan
bahkan direkayasa untuk mewakili ide
sastrawan.
Bahasa sastra mendeformasi
bahasa biasa dengan pelbagai cara. Di
bawah te-kanan alat sastra bahasa
sastra diintesifikasi, dipadatkan,
dijadikan teleskop, ditarik, dan
dijungkirbalikan. Bahasa sastra adalah
bahasa yang dibuat asing, dan karena
pengasingan itu, dunia sehari-hari
juga tiba-tiba menjadi tidak familiar
(Eagleton, 2006:4). Namun demikian
kita sadari bahwa sastra merupakan
karya kreatif atau imajinatif. Oleh
karena itu untuk menjelajah ke medan
makna Ricoeur menyebut dunia
sebuah karya, dunia yang
menawarkan sesuatu yang baru. Maka
untuk mendapatkan makna dari sebuah
kata kita harus melakukan cara-cara
baru untuk memandang dan
berhubungan dengan realitas, yang kita
dapati dengan penggunaan kata yang
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 556

tidak biasa (Sugiharto, 1996: 108).
Dari kedua pemikiran tersebut dapat
dikatakan bahwa makna bahasa dalam
sastra lebih cenderung performatif
yang cenderung menuntut kita
melakukan sesuatu yang berbeda.
Pada perkembangan novel
Indonesia modern pengarang-
pengarang baru memiliki kreativitas
yang cukup andal dalam menggunakan
tanda sebagai refleksi, ekspresi,
representasi ide yang diungkapkan
dalam karya. Tanda tidak dibiarkan
konstan akan tetapi tanda mampu
berbicara dengan pembaca sebagai
bentuk performansi komunikasi yang
menyenangkan. Kreativitas pembaca
dirangsang untuk terus mengolah
tanda-tanda yang ada dan akhirnya
menemukan makna.
Sebuah teks sarat secara
semantik, meringkas banyak
informasi dibandingkan wacana lain
karena teks memiliki organisasi
internal yang unik. Pada dasarnya,
pengungkapan dalam sastra tidak
hanya sekedar persoalan ide atau
cerita, tetapi juga persoalan pergulatan
bahasa, serta pergulatan pemikiran.
Pergulatan bahasa serta pemikiran
dituangkan dalam tanda atau simbol
yang tersistem serta kaya akan makna
dan mampu memberikan pengalaman
yang mendalam bagi pembaca. Pilihan
kata yang tepat dapat menginspirasi
ide/gagasan pembaca tertarik untuk
menikmatinya.
Mencermati berbagai kajian
stilistika yang telah dilakukan maka
dalam tulisan ini akan mengungkapkan
bagaimana sebenarnya dalam
penggunaan antara stilistika bahasa
dan sastra dapat terpadu secara
menarik. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa dalam teks
(novel) yang dikaji banyak
memanfaatkan sarana kelinguistikan
yang mendukung pengarang dalam
mengungkapkan pengalaman-
pengalaman estetis. Secara
keseluruhan bahasan tersebut akan
dipaparkan pada uraian berikut.
B. PEMBAHASAN
1. STILISTIKA LINGUISTIK DAN
STILITIKA SASTRA
Stilistika (stylistic) menyaran
pada studi tentang stile. (Lecch &
Short, 1981:13) kajian terhadap
performansi kebahasaan, khususnya
yang terdapat di dalam karya sastra.
Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya
dapat ditujukan terhadap terhadap
berbagai ragam penggunaan bahasa,
tak terbatas sastra saja (Chapman
dalam Nurgiyantoro, 2005: 279)
namun biasanya stilistika lebih sering
dikaitkan dengan bahasa sastra.
Stilistika sebagai bahasa khas sastra,
akan memiliki keunikan tersendiri
dibandingkan bahasa komunikasi
sehari-hari . Stilistika adalah bahasa
yang telah dicipta dan bahkan
direkayasa untuk mewakili ide
sastrawan. Pendek kata, kita boleh
setuju dengan pernyataan Wellek dan
Warren (1990: 226) bahwa stilistika
adalah bagian ilmu sastra, dan akan
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 557

menjadi bagian penting , karena
melalui metode ini akan terjabarkan
ciri-ciri khusus karya sastra.
Stilistika merupakan
pemanfaatan bahasa untuk mencapai
efek estetis dalam berkomunikasi .
Biasanya stilistika digunakan oleh
kreator untuk memenuhi hak istimewa
dalam menggunakan bahasa yang
disebut kebebasan penyair (licentia
poetica). Stilistika merupakan wujud
performansi kebahasaan , khususnya
yang terdapat dalam karya sastra.
Analisis stilistika biasanya
dimaksudkan untuk menerangkan
sesuatu yang pada umumnya dalam
dunia kesusasteraan untuk
menerangkan hubungan antara bahasa
dengan fungsi artistik dan maknanya
(Leech dan Short, 1981, dan Wellek
Warren, 1956 dalam Nurgiyantoro,
2005: 279).
Stilistika adalah ilmu yang
mempelajari gaya bahasa dalam suatu
karya sastra . Studi ini memang berbau
linguistik karena hubungan antara
sastra dan linguistik memang sulit
dipisahkan Stilistika akan membangun
aspek keindahan karya sastra. Semakin
pandai memanfaatkan stilistika , karya
sastra yang dihasilkan akan semakin
menarik. Kemahiran sastrawan
menggunakan stilistika, juga akan
menentukan bobot karya sastra itu
sendiri.
Lebih lanjut stilistika
merupakan penggunaan gaya bahasa
secara khusus dalam karya sastra.
Gaya bahasa tersebut mungkin
disengaja dan mungkin pula timbul
serta merta ketika pengarang
mengungkapkan idenya. Gaya bahasa
merupakan efek seni dalam sastra
yang dipengaruhi oleh nurani. Melalui
gaya bahasa itu seorang sastrawan
akan menuangkan ekspresinya.
Betapaun rasa jengkel dan senangnya ,
jika dibungkus dengan gaya bahasa
akan semakin indah (Endraswara,
2003: 73) Berarti gaya bahasa adalah
pembungkus ide yang akan
menghaluskan teks sastra.
Secara akademis, linguistik
memahami bahasa, sastra
memahaminya lewat bahasa. Baik
pemahaman melalui linguistis maupun
literer dapat dimediasi oleh stilistika.
Stilistika merupakan objek baik bagi
ilmu bahasa maupun ilmu sastra .
Perbedaanya stilistika linguistik
terbatas pada penelitian gejala bahasa
secara deskriptif, yang dalam
perkembangan kemudian disebut
sebagai majas, sedangkan stilistika
literer melangkah lebih jauh pada
aspek-aspek yang melatarbelakangi
sekaligus tujuan yang hendak dicapai ,
sebagai penelitian evaluatif. Analisis
stilistika literer dilakukan sesudah
dilakukan analisis stilistika linguistik,
tetapi belum tentu sebaliknya. Menurut
Wellek dan Warren ( 1990: 227)
untuk meneliti aspek-aspek stilistika
karya seorang pengarang di samping
memahami kaidah kaidah
linguistiknya perlu juga menelusuri
penggunaan bahasa pada zamannya,
sebab pada dasarnya stilistika adalah
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 558

perbedaan penggunaan karya sastra
dengan penggunaan bahasa pada
zaman tersebut.
Karya seni bersifat imajinasi ,
personal dan khas. Tetapi, genesis
karya seni yang sesungguhnya,
khususnya apabila dikaitkan dengan
peranan subjek, maka karya seni pada
dasarnya adalah bagian dari struktur
sosial. Karya seni lahir melalui
interaksi kelompok tertentu dengan
memanfaatkan peranan medium
bahasa. Pada tahap yang kedua ini
karya seni dengan berbagai
dimensinya termasuk stilistika ,
dianggap sebagai manifestasi
masyarakat, sebagai kualitas
transindividu
Tujuan akhir karya seni jelas
kualitas estetis. Interpretasi diperlukan
oleh karena kata, kalimat, dan wacana
tidak mampu untuk menterjemahkan
semua maksud penulis. Dikaitkan
dengan struktur interaksi, baik
interaksi antarindividu maupun antara
individu dan masyarakat secara
keseluruhan, khususnya sebagaimana
diisyaratkan melalui f.ilsafat
fenomenologi maka karya seni pada
dasarnya melukiskan sikap dan gaya.
Manusia dengan dunianya berada
dalam konstruksi dialektik. Oleh
karena itu, sikap dan gaya merupakan
representasi peranan-peranan sosial,
baik sebagai manifestasi perilaku
individual maupun komunitas tertentu
(Ratna, 2007: 251). Perubahan kultural
direflek-sikan melalui gaya bahasa,
sedangkan gaya bahasa itu sendiri
dipengaruhi oleh masyarakat.
Seluruh aspek kehidupan
merupakan tanda, yang digunakan
sebagai sistem komunikasi. Tanda
bermakna hanya dalam proses
interaksi dan komunikasi. Bahasa
merupakan salah satu sistem
komunikasi terpenting sekaligus rumit
dan kompleks. Karya seni, melalui
mekanisme struktur sosial, mengubah
struktur sosiokultural yang statis ,
stagnasi, dan beku, menjadi dinamis,
bergerak, dan cair, yaitu melalui mode,
cara, gaya, dan gaya bahasa (Ratna,
2007: 252) Karya seni mampu untuk
menghapuskan sekat pemisah
antarindividu, antarkelompok,
antaretnis, dan antarbangsa, melalui
proses komunikasi. Wellek dan
Warren (1990: 228) menegaskan
bahwa stilistika sastra memiliki
wilayah yang lebih kaya, baik
dibandingkan dengan stilistika
linguistik maupun retorika.

2. KAJIAN STILISTIKA PADA
KARYA PEREMPUAN
PENGARANG INDONESIA
Kajian stilistika berdasarkan
asumsi bahwa bahasa sastra
mempunyai tugas mulia. Bahasa
memiliki pesan keindahan dan
sekaligus membawa makna. Tanpa
keindahan bahasa karya sastra menjadi
hambar. Keindahan karya sastra
hampir sebagian besar dipengaruhi
oleh kemampuan penulis memainkan
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 559

bahasa. Kelenturan penulis berolah
bahasa akan menciptakan keindahan
khas karya sastra. Dengan kata lain
bahasa adalah wahana khusus ekspresi
sastra (Endraswara, 2003: 72).
Berdasarkan pengertian tersebut
bahwa apapun bahasa yang dipilih
oleh pengarang untuk mengekplorasi
ide atau gagasannya semata-mata
untuk mencapai aspek estetis pada
karya yang dihasilkannya.
Pembahasan ini akan
difokuskan pada karya dua perempuan
pengarang Indonesia yaitu Nayla karya
Djenar Maesa Ayu, Supernova (Petir)
karya Dewi Lestari, Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa (1) kedua
novel tersebut lebih banyak
menggunakan stilistika linguistik dan
stilistika sastra, (2) kedua novel
tersebut sebagai bahan dalam
penyusunan rencana disertasi. Pada
kenyataannya kedua perempuan
pengarang memiliki keunikan dalam
penggunaan bahasa untuk
mengekspresikan peristiwa demi
peristiwa pada teks sastra yang
dihasilkannya.

a. PENERAPAN KAJIAN
STILISTIKA PADA NOVEL
NAYLA KARYA DJENAR
MAESA AYU
Pengungkapan dalam bentuk
suasana peristiwa maka digunakanlah
pilihan kata yang mampu
mewakilinya, misalnya kata
kegaduhan dikontraskan dengan kata
sepi, lampu berpencar silih berganti,
hanya ada tawa yang mabuk, hanya
ada mabuk yang limbung, hanya ada
limbung yang lupa, hanya ada lupa
yang sejenak mendapat bahagia. Tapi
bagi saya lupa tetaplah nestapa.
Penggunaan repetisi pada kata hanya
ada merupakan sebuah penekanan
yang cukup penting untuk melihat
kesemrawutan suasana yang ada.
Namun kenyataan itulah estetika sastra
melalui bahasa yang dibangun dalam
karya sastra (novel) untuk
mengungkapkan suasana tertentu..

kegaduhan ini tetap saja terasa
sepi. Lampu warna-warni
berpencar silih berganti seiring
dengan suara musik yang
menghentak seantero diskotik
hingga lorong yang menuju
kamar mandi... Apalagi jika
waktu sudah hampir sudah
hampir menginjak dini hari.
Hanya ada tawa yang mabuk.
Hanya ada mabuk yang limbung.
Hanya ada limbung yang lupa.
Hanya ada lupa yang sejenak
mendapat bahagia.
Tak bagi saya lupa tetaplah
nestapa. Bahkan ketika pengaruh
alkohol sudah sampai melewati
kapasitas otak juga tubuh saya
dan mengocok perut.... (Nayla,
2005: 3)
Penggambaran bagian-bagian
aktivitas yang seakan telah menjadi
kebutuhan hidup, gaya hidup dan
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 560

tempat mencari hidup bagi sebagian
orang modern yaitu: minum
minuman keras, seks bebas, tempat
ramai (diskotik) dan kebiasaan
menghabiskan malam di luar rumah.
Dalam hal ini semua tokoh cerita
termasuk Nayla terlihat larut dan
menikmati aktivitas itu, tanpa ada
penolakan atau keragu- raguan.
Keadaan dan perilaku seperti itu secara
otomatis akan membawa imaji kita ke
alam dunia barat yang sangat
mengagungkan eksistensialisme atau
kebebasan diri tanpa harus
mempertimbangkan norma sosial ,
agama beserta aturan-aturannya yang
dianggap sangat kaku dan mengikat
walaupun pada hakikatnya mereka
tidak mendapatkan apa-apa selain dari
kebahagiaan sesaat yang justru terlahir
dari penyiksaan diri terlebih dahulu.
Dalam novel Nayla gaya
postmodern dalam narasi besarnya
membangun atas keraguan dan
ketidakpercayaan itu bermuara pada
keterbukaan terhadap kesediaan
menerima inkonsistensi,
ketidaksejajaran antar unsur
pembangun dunia dan
keanekaragaman. Dalam Nayla
wacana yang dihadirkan cenderung
berkorelasi dengan refleksi
postmodern.
Kulit telanjang mereka
merapat. Mereka bergulat.
Saling menyentuh dan
meraba. Saling mengecup
dan menjilat. Saling
memberi dan menerima
(Nayla, 2005: 81-82).
Gaya personifikasi nampak
kental pada kutipan di atas kulit
telanjang menggambarkan manusia
yang saling bertemu dan beradu kasih,
serta penggunaan repetisi pada kata
saling yang memberikan penguatan
bahwa peristiwa itu berulang kali
dilakukan dan memberikan kesan
kenikmatan pada keduanya.
Pemanfaatan kata itu merupakan bukti
penguasaan pengarang akan potensi
dan kemungkinan yang tersedia dalam
bahasa yang digunakannya.
Dalam hal ini Nayla
mengemban dua misi yaitu kebebasan
berpikir tokoh cerita dan kebebasan
berpikir pengarangnya itu sendiri.
Kebebasan bergerak atau berpikir
tokoh cerita secara tegas diwakilkan
oleh Nayla atau ibu yang begitu
progresif, tegar, individualis dan
cenderung liberal. Sedangkan secara
implisit Nayla menyuarakan
pergulatan pemikiran dan
keinginbebasan si pengarang dari
kungkungan tradisi budaya yang lebih
mengekang pribadi kaum wanita,
seperti terungkap pada kutipan berikut.

Semua berjalan cepat. Kami
bercinta dalam waktu singkat.
Maka dalam waktu sesingkat itu
tak ada satu orang pun yang bisa
memuaskan saya seperti Juli,
tetapi memang bukan sekedar
kepuasan kelamin yang saya cari.
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 561

Saya butuh kepuasaan rohani.
Mendengar suara mereka
mengerang. Merasakan tubuh
mereka menggelinjang.
Menyaksikan mereka tak lebih
dari seekor binatang sangatlah
menyenangkan. . (Nayla,
2005: 101).
Kemahiran pengarang dalam
menghadirkan nilai estetik dengan
penggunaan bahasa yang tepat akan
mampu membawa pikiran pembaca
pada suasana tertentu. Misalnya: Kami
bercinta dalam waktu singkat...
memuaskan batin maupun rohani,
tubuh mereka menggelinjang dan
sebagainya. Pengarang bebas berpikir
dan ia juga bebas bergerak
mengabaikan segala aturan hidup ini.
Dia menyamakan laki-laki seperti
binatang tanpa memikirkan nama
orang yang bercinta dengan binatang.
Kebencian terhadap laki-laki
juga terlihat pada pilihan kata
menjijikkan, sebongkol biji dan
sekerat daging, binatang. Pemaknaan
pada pilihan kata tersebut menyiratkan
tentang pemberian nilai negatif bagi
laki-laki.
Tidak! Tubuh yang
dimilikinya sekarang ini tak
sepatutnya berganti dengan tubuh
laki-laki yang menjijikkan!
Tubuh dengan sebongkol biji dan
sekerat daging lebih bukan
sesuatu yang layak untuk
diidamkan. Tanpa tubuh itu, Juli
akan membuktikan. Bahwa ia
adalah \juga seorang manusia
yang tak layak diperlakukan bak
binatang (Nayla, 2005: 103).
Hal yang paling
mengecewakan dan menyakitkan bagi
seseorang bukanlah ketika ia dipukul
atau dikhianati, melainkan ketika ia
dikatakan menjijikkan, karena
dalam kata tersimpan atau tersusun
beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu
konsep buruk, busuk, tidak berguna
dan hal lain yang membuat psikis dan
fisik manusia alergi atau bahkan
menyebabkan kematian dalam
ketidaksenangan. Kata menjijikkan
itulah yang dilekatkan tokoh cerita Juli
kepada laki-laki pada kutipan di atas.
Bentuk sanjungan Nayla
terhadap kaum perempuan terlihat
pada pilihan kata kuat yang
memberikan kesan pada ketegaran
dalam menerima kenyataan hidup.
Ibu memang orang yang kuat.
Tak akan pernah saya sekuat
Ibu. Saya tak pernah melihat
ibu begitu mencintai laki-laki
seperti ia mencinta Om Indra.
Tapi ketika hubungan mereka
berakhirpun, ibu terlihat biasa-
biasa saja. Tak pernah saya
saksikan air mata meleleh di
pipinya suaminya seperti
teman-teman arisan Ibu yang
berkumpul di rumah ketika
sedang membicarakan
perselingkuhan . (Nayla,
hal. 111).
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 562

Ketegaran dan kekuatan Ibu
menerima perpisahan yang paling
derita dalam hidupnya pada kutipan di
atas merupakan perwujudan
pembelajaran kepada kaum perempuan
bahwa perpisahan itu hal wajar yang
tak perlu ditangisi apalagi sampai
terpuruk dalam kesedihan dan
penyesalan yang berlarut-larut.
Kedinamisan dan progresifitas yang
tinggi dalam kehidupan itulah yang
menjadi point terpenting dan hal yang
paling dibanggakan dalam novel
Nayla.
Demi efek estetis yang ingin
dicapainya, bahkan ia berwenang.
Demikian pula pada pilihan kata saya
kutipan berikut memberikan penanda
bahwa individu (pengarang) memiliki
hak untuk menonjolkan
(foregrounding) bagian cerita tertentu
untuk menggugah simpati atau empati
pembaca.
Saya manusia biasa yang
kebetulan bisa menulis dan
karyanya sudah dipublikasikan.
Saya juga manusia biasa yang
suka difoto. Jadi kenapa saya
tidak boleh difoto? Biasa
ajalah. Sebagai penulis yang
dibaca kan karyanya. Bukan
penampilan atau gaya hidup
saya (Nayla, 2005: 121).
Nuansa kebebasan yang tersirat
dalam kutipan di atas mengindikasikan
kebebasan berpikir si pengarang
sendiri. Hal itu terlihat dari pernyataan
Saya manusia biasa . Saya juga
manusia biasa. Pengakuan ini
begitu polos dan terkesan keluar dari
hati pribadi penulis dan sangat
menyentuh. Pengakuan itu diperkuat
lagi oleh keresahan atau kekhawatiran
pengarang terhadap apa yang ia tulis
seperti terlihat pada kutipan di bawah
ini.
Seharusnya saya tidak takut.
Setelah segala sesuatu yang
terjadi pada saya, tidak ada
alasan apapun untuk merasa
takut, apalagi merasa tidak
berhak. Saya tidak berhak
menyakiti hati siapa pun, tapi
bukankah saya berhak untuk
pengalaman itu sendiri?
(Nayla, 2005: 175).
Begitu sangat hati-hati
pernyataan dan pengakuan ini, namun
begitu sangat berkuasa terhadap apa
yang dinyatakannya. Pengarang
membangun konsep setiap orang
berhak untuk pengalamannya sendiri
dengan mengabaikan konsep yang
konkrit eksis di dalam masyarakat
Setiap orang berhak merasa kecewa
dan terluka dengan pernyataan
pengalaman orang lain.
b. KAJIAN STILISTIKA PADA
NOVEL PETIR KARYA DEWI
LESTARI
Dalam novel Supernova (Petir)
karya Dewi Lestari terjadi dialog
antara pengarang dan pembaca.
Pengarang dalam menghadirkan pola
pikir dan pola perilaku tokoh
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 563

cenderung pada persoalan pencarian
jati diri dalam bentuk keyakinan dan
berbagai hal yang berkaitan dengan
kepribadian individu. Hal ini dapat
diperhatikan melalui tokoh Elektra
digambarkan sebagai seorang gadis
yang memiliki keanehan, yaitu energi
listrik yang terdapat dalam tubuhnya.
Keanehan itu membuat Elektra
penasaran dan ingin tahu apa
sebenarnya yang terjadi pada dirinya.
Ungkapan itu ditunjukkan dengan
pilihan bahasa yang cermat,
pertanyaan retoris yang menyelimuti
tokoh serta pemenggalan suku kata
menggambarkan kondisi riel yang
dihadapi tokoh. Hal ini dapat
diperhatikan melalui kutipan berikut.
Sekian lama berdiam tepi
jendela, memori masa kecilku
merasuk masuk. Aku teringat
betapa senangnya dulu
memandangi kilatan petir. Aku
tidak ingat kenapa. Justru
itulah yang ingin kucari tahu.
Kalau dulu otakku belum
terlalu kritis untuk bertanya,
nah sekarang, dengan
tumpukan protein telur ayam
ini masa sih otak Elektra nggak
bisa berkembang sedikit dan
mulai penasaran mencari
jawaban? Ke-na-pa a-ku su-ka
pe-tir? (Supernova (Petir),
2005:45).

Selanjutnya Elektra mulai
bertanya-tanya sesungguhnya apa yang
terjadi pada dirinya, kekuatan aneh
yang menyerupai listrik yang keluar
dari tubuhnya. Dari kutipan tersebut
dapat diketahui bahwa tokoh Elektra
sedang melakukan pencarian jati
dirinya. Lompatan pemikiran yang
dirasakan tokoh menjadi sesuatu yang
menarik serta pertanyaan balik yang
dilontarkan pada dirinya ketika ia
mengalami sesuatu yang
menumpangi dirinya dapat membuat
orang lain dilemahkan. Pilihan kata
yang digunakan mampu mewakili
perasaan tokoh ketika ia merenungi
tentang dirinya. Di samping itu
digunakan pula sarana linguistik
(metonimia) untuk memperjelas imaji
karena metonimia menyampaikan hal-
hal yang konkrit dari hal yang
disampaikan.

Setiap aku berpikir, apa itu?
Apa itu? Yang keluar dari
tubuhku, atau menumpangi
tubuhku, sehingga bisa meng-
KO nenek malang itu. Kalau
memang bukan listrik, apakah
itu penyakit? Apakah aku telah
menularkan epilepsi padanya?
Bisakah epilepsi menular lewat
sentuhan? (Supernova (Petir),
2005: 59).
Kamu ternyata lebih maju dari
yang Ibu duga. Hebat sekali,
decaknya kagum. Kamu makin
dekat dengan pintu
pencarianmu. (Supernova
(Petir), 2005: 131).

Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 564

Apa yang menjadi keraguan
Elektra mulai mendapat jawaban atas
pertanyaan-pertanyaanya selama ini
setelah bertemu dengan Ibu Sati yang
membimbingnya. Penemuan bahwa
dalam tubuh Elektra terdapat kekuatan
listrik yang harus dikendalikan secara
baik. Di samping itu, juga diberikan
pemahaman bahwa kekuatan yang
dimiliki Elektra dapat diasah dan
dikendalikan. Elektra menemukan
jawabannya setelah ia bertemu dengan
Ibu Sati yang memberikan pengajaran
tentang bagaimana menggunakan
kekuatan listrik yang ada pada tubuh
Elektra.
Ternyata memang tak ada
jawaban yang lebih baik. Jauh
di lubuk hati, aku tahu ini
bukan karena epilepsy. Aku
tahu ini bukan gara-gara tarian
memanggil petir. Aku tahu ini
tak ada hubunganya dengan
kutukan turun-temurun Ni
Asih. Sesuatu yang tak beres
bersemayam di dalam diriku,
entah sejak kapan? Semua itu
telah memilih tubuhku. Tapi,
siapa itu? Kalau itu bukan
Elektra Wijaya, berati siapa?
Siapa sesungguhnya aku?
Aduh, kenapa jadi sampai
disitu masalahnya?
(Supernova (Petir), 2005:
133).
Mendengar kalimat beliau
barusan, napasku spontan
menghela panjang. Kelegaan
luar biasa mengisi seluruh
rongga. Akhinya seorang
manusia di luar sana dapat
menjelaskan keanehanku tanpa
buntut aneh-aneh. Aku tahu
masih banyak yang perlu
ditelusuri, tapi sebuah titik
terang terbit dengan indahnya
sore itu. (Supernova (Petir),
2005: 139).
Jangan salah, bantahnya, itu
sangat sebanding dengan usaha
kamu, Elektra, kamu justru
baru melewati pelajaran
terberat, yaitu memberi kendali
pada kemampuan kamu. Kalau
tadinya ruangan tanpa pintu,
sekarang kamu sudah
menambahkan pintu dan
mengendalikan siapa yang
keluar dan masuk. (Supernova
(Petir), 2005: 146).
Kepribadian para tokohnya
digambarkan dengan jelas dalam
monolog atau dialog antar tokohnya.
Kepribadian adalah perwujudan
lahiriah seseorang (walaupun belum
tentu menggambarkan keadaan yang
sebenarnya), yang berupa watak atau
peranan serta sifat-sifat khusus yang
dinilai oleh seseorang (Pattyna, 1982:
147). Pengarang menggambarkan
perasaan yang dirasakan para tokoh
dalam novel Supernova (Petir) ini,
baik perasaan sedih, bahagia, takut,
ragu, bersalah, dan sebagainya.
Pada diri tokoh Elektra
spiritualitas cenderung kepada
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 565

pencarian jati diri, dimana tokoh
Elektra berusaha mengenali diri dan
mencari tahu kekuatan aneh apa yang
ada dalam dirinya. Saat itulah tokoh
Elektra semakin yakin dengan
spiritualitas yang dia kembangkan
akan mampu mengendalikan apa yang
terjadi pada dirinya.
Ia lalu bertutur sambil
menggunakan sendok sebagai
alat peraga: petir itu terjadi
kalau atmosfer tidak stabil.
Panas bumi membuat udara
di permukaan jadi panas, dan
udara panas ini menjadi
naikteruus, teruuus,
mereka berkelompok di
sekitar udara yang lebih
dingin sampai terbentuklah
awan kumulonimbus, yang di
dalamya ion positif-negatif
bergumul, bergumul, jadi
kekuatan listrik yang besar,
kemudian-BUM! Ibu Sati
menjatuhkan sendoknya, lalu
menatapku yang menatapnya
bingung. Jadi lanjutnya
lembut, petir terjadi ketika
bumi dan langit menyamakan
persepsi. kalau kami
mendengar bunyi guntur di
luar sana, artinya ada konflik
sedang berusaha diselesaikan.
70 sampai 100 kilatan setiap
detiknya di seluruh Bumi,
bayangkan. Alam tidak
pernah berhenti
membersihkan dirinya. Dan
kalau kamu sadar bahwa kita
sepenuhnya bercermin dari
alam, kamu bisa lebih
mengenali diri kamu sendiri.
Setiap orang mempunyai
potensi pada dirinya, Elektra.
Setiap orang sudah memilih
peran uniknya masing-
masing sebelum mereka
terlahirkan ke dunia. Tapi,
setiap orang juga dibuat lupa
terlebih dulu. Itulah rahasia
hidup. Nah, alangkah
indahnya, kalau kita bisa
mengingat pilihan kita
secepat mungkin, lalu hidup
bagai hujan. Turun,
menguap, ada. Tanpa beban
apa-apa.
Ia sudah tahu, batinku dalam
hati. Ia tahu! Bu saya ingin
cerita, ujarku lirih. Selama ini
saya punya penyakit yang
aneh. Tadinya saya pikir itu
epilepsi
Kamu kira itu epilepsi, Ibu
Sati memotong lalu
menggenggam tangan kiriku.
Matanya kemudian memejam
sejenak. Kamu bukan
epilepsi, tapi setiap kali itu
terjadi di tubuh kamu
kadang-kadang bereaksi
persis seperti orang epilepsi,
sambungnya. itu-apa, Bu?
Tanyaku tegang. (Supernova
(Petir), 2005: 99-100).
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 566

Kekuatan alam, kekuatan
supranatural manusia serta peristiwa-
peristiwa yang dialami tokoh
merupakan sesuatu pengalaman yang
unik dan menarik. Perpaduan antara
batiniah tokoh dengan penyatuan
dirinya terhadap alam menjadikan
keyakinan tersendiri bagi tokoh. Hal
ini sejalan dengan pemikiran tentang
spiritualitas dalam psikologi menurut
Jacques Derrida (dalam Dekontruksi
Spiritual, 2002: 5) adalah
spiritualita
s atau
metafisik
dalam
agama
mengacu
pada
penjelmaa
n roh.
Suatu
pandangan
bahwa
realitas
terakhir
adalah
roh/jiwa
dunia yang
meresapi
alam
semesta
pada
semua
tingkat
kegiatanya
adalah
sebab
aktivitas
tata arah
alam
semesta
dan
berguna
sebagai
satu-
satunya
penjelasan
lengkap
dan
rasional
eksistensi
alam
semesta.
Elektra sedang dalam pencarian
Tuhan, dia ingin mengetahui
keanehannya. Pada Bu Sati ia mencari
dengan jalan meditasi. Elektra ingin
mencari Tuhan dan ingin bertanya
pada-Nya langsung. Stilistika
linguistik dan stilistika sastra dipadu
dengan pilihan kata yang tepat
menjadikan sesuatu yang disampaikan
pengarang menjadi lebih konkrit. Di
samping itu kepribadian dan perasaan
tokoh dalam cerita terungkap secara
lengkap sehingga menjadikan cerita
tersebut menjadi hidup. Perasaan atau
seringkali disebut dengan istilah
renjana merupakan gejala phsikis yang
dihayati secara subyektif dan pada
umumnya berkaitan dengan gejala
pengenalan yang dialami oleh individu
dengan rasa suka atau tidak, duka atau
gembira dalam macam-macaam
gradasi, derajat, serta macam-macam
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 567

tingkatan (Kartono, 1990: 87).
Pergolakan pikiran tokoh mengenai
keberadaan Tuhan yang tidak hanya
ada di gereja, di langit, namun di
manapun kita berada, dan lebih dekat
lagi yaitu Tuhan ada di hati.
Pengolahan stilistika linguistik dan
stilistika sastra menjadikan cerita
menarik.
Stop, Etra. Berhenti cari
alasan. Akui kamu mentok.
Mungkin sudah saatnya kamu
seratus persen jujur. Oke.
Sembilan lima. Hmm.
Delapan tujuh, deh. Aku pun
menjawab terbata;
karenakarena saya mencari
Tuhan.
Wuaduh! Gobloknya kamu
Etraaabelajar matematik
nggak, sih?! 87% =0%=0%
ngibul total!
Ibu Sati tersenyum kecil,
kenapa Tuhan harus dicari?
tanyanya. (Supernova
(Petir), 2005: 77).
Matius 6 ayat 33, cari
dahulu kerajaan Allah dan
kebenaranya, ujarnya
mantap.
Nyindir, nih. Mentang-
mentang udah lama aku gak
ke gereja
Ibu Sati terpingkal. Jadi
kamu masih mengira
kerajaan Allah Cuma ada di
gereja? Atau di langit? Ha
ha! saya pikir kita sudah
lebih maju daripada itu.
Kerajaan Allah ada di
siniibu Sati menunjuk
tanah. (Supernova (Petir),
2005: 144)
Di samping itu bagaimana
Wati kakak Elektra begitu percaya
akan kuasa Tuhan, dia percaya bahwa
Tuhan akan menolong umat-Nya
dengan ayat-ayat dan kuasa-Nya.
Akhirnya Elektra percaya bahwa ayat-
ayat Tuhan dapat menghapus kesialan
atau kutukan. Watti menjelaskan
kepada Elektra bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan untuk
membantu hamba-Nya yang sedang
ketakutan lewat ayat-ayat-Nya. Hal ini
dapat diperhatikan pada kutipan-
kutipan berikut.
Waktu itu umurku sembilan
tahun lebih seminggu. Jangan
salahkan aku tidak mampu
membela diri. Jadi harus
diapain, dong? Dedi bertanya
lagi pada Watti yang
senyum-senyum kecil tanda
puas, kalau sudah bicara
kuasa iblis, mau tidak mau
kita harus bicara tentang
kuasa Tuhan, sebuah topik
yang membuat Dedi
kehilangan rasa percaya
dirinya. Sudah bertahun-
tahun, tepatnya setelah mami
meninggal, Dedi berhenti ke
gereja. Cuma dua kali
setahun: Paskah dan Natal.
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 568

Lain dengan watti yang aktif
mengikuti persekutuan doa,
bahkan sudah bisa menginjili
dan mempromosikan kuasa
Yesus ke orang-orang tak
dikenal. (Supernova (Petir),
2005: 14).
Dengan patriotik Wati
menjelaskan misi mulianya:
Selasa besok. Wati mau
membawa Etra ke
persekutuan, nanti dia
dibantu sama kakak-kakak di
sana. Cuma dengan bantuan
Tuhan, Ded, Etra bisa
sembuh. (Supernova (Petir),
2005: 14).
Dalam Supernova Petir tidak
dapat dilepaskan dengan spiritualitas
para tokoh yang hadir dalam cerita.
Agama merupakan salah satu
keyakinan hidup para tokoh. Seperti
halnya yang dialami Watti, Elektra, Bu
Sati dan Atam. Berbagai upaya untuk
memberikan pemahaman terhadap
agama masing-masing menjadi sesuatu
yang menarik diamati. Seperti halnya
yang terjadi pada diri Watti untuk
menyatukan dia dengan calon
suaminya. Sampai dia rela pindah
agama demi menikah dengan Atam.
Novel ini sebenarnya tidak lepas dari
relegiusitas tokoh-tokoh di dalamnya.
Kita dapat mengamati relegiusitas
pada tokoh Bu Sati yang tidak
digambarkan begitu jelas oleh
pengarang. Kita dapat melihat agak
jelas mengenai agama tersebut dari
peristiwa berikutnya yang menjelaskan
kalau Elektra dan Bu Sati adalah
penganut agama Kristen Katholik, ini
sekaligus menunjukkan bahwa Elektra
dan Bu Sati memiliki keyakinan akan
adanya Tuhan. Hal ini dipertegas
dengan pendapat keyakinan adalah
pengharapan-pengharapan di mana
orang yang relegius berpegang teguh
pada pandangan teologis tertentu,
mengakui keberadaan doktrin-doktrin
tertentu. Keyakinan ini tidak hanya
pada agama saja namun juga pada
tradisi-tradisi baik pada masyarakat
atau agama yang sama (Robertsoon,
1988: 296). Beberapa kutipan yang
menunjukkan tentang keyakinan akan
adanya Tuhan atau agama dapat
diperhatikan pada bagian berikut.
Atam sudah serius sama Watti,
Ded. Tapi syarat dari
keluarganya, Watti harus masuk
Islam. Boleh ya, Ded? Watti juga
pingin serius sama kang Atam.
(Supernova (Petir), 2005: 28).

Udah, deh, Tra. Cari pacar aja
yang oke, yang baik, yang bisa
menghidupi kamu. Beres.
Dengan ringan Watti berkata.
Dengan dingin aku menimpali:
Dan harus seiman. Biar gak jadi
roh penasaran. (Supernova
(Petir), 2005: 42).
Ternyata banyak hal yang
menarik. Tadinya kupikir si Ibu
beragama Islam karena ada
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 569

kaligrafi huruf arab bertulis
Allah dipajang dalam pigura.
Tapi aku baru sadar,
disebelahnya, tahu-tahu ada
patung Dewa Shiwa dari kayu
hitam. Aneh betul. Tinggal
Yesus yang absen, aku terkekeh
dalam hati. Dan bertepatan
dengan itu, mataku tertunbuk
pada pigura berisi poster lain.
Pemuda bersorban putih yang
sedang tertawa lepas. Siapa lagi
ini (Supernova (Petir),
2005: 68)
Gereja mana?
GKI, jawabku pendek. Agak
tidak enak menyebut karena
sudah satu tahun lebih tidak
kuinjak tempat itu. Kalau saya
sukanya ke Katedral. Tiap malam
natal saya misa ke sana. Oh, ibu
Katolik? (S (P), 2005: 70)
Nilai-nilai yang menjadi way
of life dalam novel Petir cukup
menarik. Pengarang menawarkan
berbagai keyakinan yang ada kepada
diri tokoh untuk menentukan sendiri
tentang berbagai keyakinan,
kehidupan, termasuk kepercayaan
terhadap hal-hal ghaib. Simile yang
digunakan dapat dicermati dari
beberapa kutipan berikut:
Andai Watti benar, kalau betul-
betul ada setan tinggal dalam
akugawat. Gawat. Dan
ketidaknyamanan ini sudah
dimulai. Rupanya Watti sudah
menyiarkan berita tentang aku dari
jauh-jauh hari. Mereka menyambut
kami seperti bintang tamu
istimewa, atas pesakitan kronis.
Tatapan iba dan simpatik kudapati
setiap beradu mata dengan para
anggota persekutuan. Bukanya
lega, batin ini malah tambah
tegang. Bayangan Ateng dan Iskak
dalam baju ketat warna putih hitam
terus menyerang. (Supernova
(Petir), 2005: 15).
Lalu, Dedi akan bertemu Mami.
Karena itu juga aku menangis. Aku
iri. Bagi anak yang hanya mampu
mengingat wajah ibunya samar-
samar, bercampur-campur dengan
hidung, mata, dan rambut orang
lain, tersimpanlah rasa penasaran
besar di dalam hati. Bisa jadi aku
bukanya kangen karena jejak
kehadiranya belum sempat melekat
dalam ingatan, melainkan
penasaran tok. Aku kepingin
melihat Mami. Live. (Supernova
(Petir), 2005: 26).
Dibalik nisan Kambing, aku
salipkan surat lamaranku. Sebagian
kututupi tanah agar tak terlalau
kentara. Aku melengak menatap
angkasa. Ayo; kurir-kurir gaib, di
mana pun kalian berada, kalau
pada akhirnya aku tidak diterima
sekalipun, mohon jangan bikin
malu dengan tidak menjemput
surat ini hingga akhirnya pamanku
dan tukang kebunlah yang
membaca. Dan jangan bilang
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 570

kalian mendiskriminasikan
kuburan binatang. Mereka juga
makhluk Tuhan. (Petir, 2005:75)
Stilistika yang dibangun pada
kutipan di atas menunjukkan bahwa
secara psikologis tokoh mengalami
pergolakan batin antara keyakinan
terhadap Tuhan dan kenyataan
peristiwa yang dihadapi. Dalam
keyakinan Watti bahwa di dalam diri
Elektra adiknya ada kekuatan setan
atau iblis yang harus disembuhkan. Di
samping itu Elektra memiliki
kepercayaan tentang alam ghaib yang
akan mempertemukan ayah dan
ibunya. Elektra juga mempercayai
adanya hantu atau setan yang akan
memberikan pekerjaan padanya, dia
mengirim surat lamaran kerja melalui
kuburan, dan surat tersebut dipercaya
akan di ambil oleh utusan gaib.
Selanjutnya diapun mempercayai
bentuk lain selain manusia yang
berupa roh, setan atau iblis. Dia yakin
bahwa setan, sihir tersebut dapat
masuk pada tubuh seseorang seperti
yang di alami Ni Asih:
Untuk kedua kalinya aku
percaya bahwa manusia dapat
bertransformasi total, menuju
satu bentuk yang tak terduga.
Siapa sangka tubuh imut itu
ternyata muat untuk dua orang, 2
in 1. Nenek manis bernama Ni
Asih dan preman gunung
bernama Aki Jembros.
(Supernova (Petir), 2005: 54).
Kini bukan hanya perasaan
diawasi saja, tapi aku curiga
semua khasiat dan kesembuhan
yang telah dilakukan Aki
Jembros terdiskualifikasi karena
setruman itu, yang berarti aku
masih diincar siluman maniak
perawan, dan sifat-sifat burukku
tak jadi dicabut. Ditambah lagi
kekhawatiran kalau-kalau beliau
atau pengikut fanatiknya
menyimpan dendam, lalu pada
suatu malam tiba-tiba aku
terbangun dengan mulut
penuhlupakan." (Supernova
(Petir), 2005: 59).
Sejak dulu, ada suatu rumah di
daerah Batu yang kucurigai
sebagai rumah nenek sihir.
Bentuknya sempit seperti
piviliun, terbuat dari kayu.
Gerbangnya jauh lebih depan
dari garis sepandan rumah-rumah
tetangga, membuat ia tambah
mencolok seolah menentang
publik. Tembok dalamnya
ditutupi potongan bamboo yang
dicat hitam campur cat merah
meluntur yang mengingatkan kita
pada darah kering. Aneka kendi
di tumpuk mengelinglingi
bangunan layaknya kerikil
hiasan. Tak Cuma di situ, pada
akar-akar pohon beringin yang
tumbuh persis di samping rumah,
kendi-kendi ikut di gantung.
(Supernova (Petir), 2005: 66).
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 571

Novel Petir merupakan sebuah
representasi tentang kondisi riel yang
terjadi dalam masyarakat. Keyakinan-
keyakinan yang dibangun oleh
masyarakat secara kental
direpresentasikan pada novel tersebut.
Keraguan, keyakinan, sikap,
kepribadian manusia secara lengkap
tergambarkan dalam novel tersebut.
Hal ini sesuai dengan pemikiran Eric
Aurbech (Hough, 1972: 69) dalam
sebuah artikelnya The Presentation of
Reality in Western Literature melihat
cakupannya sangat luas terdiri dari
berbagai macam cara yang mencakup
pengalaman aktual manusia, historis,
sosial, moral, dan religius yang
dihadirkan dalam pola sastra dalam
berbagai macam fase budaya barat.
Dari sini nampak bahwa pada tradisi
sastra secara global tidak dapat
dihindari adanya tantangan-tantangan
kehidupan yang lebih komplek
dihadirkan pengarang melalui narasi
cerita sehingga menjadikan kejelasan
masalah yang dialami oleh tokoh.
Simbol-simbol stilistika yang
digunakan terkait dengan alam,
keyakinan, alam ghaib, sihir, kekuatan
supranatural dipadu sedemikian rupa.
Pembaca diajak menggembara ke
dunia religius dan mistis dalam
memahami teks (novel). Karya sastra
berada di sebuah ranah estetika di
mana ia adalah simbolisasi keindahan.
Ia menjelaskan tentang objek estetik,
kualitas serta pengaruhnya terhadap
jiwa manusia, yaitu perasaan,
imajinasi, alam pikiran dan institusi
(Hadi W.M, 2004). Kenyataan tidak
dapat dipungkiri bahwa sastra selalu
bergerak mengikuti gerak zaman
kapan sastra diciptakan serta
memberikan pengalaman yang unik
bagi manusia, karena sastra mampu
menelusup ke dalam kehidupan dasar
manusia
C. PENUTUP
Stilistika mengkaji cara
sastrawan memanipulasi dengan arti
memanfaatkan-- unsur yang terdapat
bahasa dan efek apa yang
ditimbulkannya oleh penggunaan itu.
Di samping itu stilistika meneliti ciri
khas penggunaan bahasa dalam
wacana sastra. Penggunaan pilihan
kata, majas menjadikan karya tersebut
menarik pembaca untuk
menikmatinya. Dengan cara-cara yang
dipilihnya tersebut pengarang ingin
mengajak pembaca untuk melihat dan
merasakan sesuatu sebagaimana ia
melihat dan merasakannya,
menafsirkan sesuatu sebagaimana ia
menafsirkannya, dan menyikapi
sesuatu sebagaimana dia
menyikapinya.
Dalam penggunaan bahasa
gaya melahirkan kegairahan sebab
gaya memberikan citra baru, gaya
membangkitkan dimensi yang
stagnasi. Di samping itu gaya
merupakan tindakan untuk melahirkan
sesuatu yang baru untuk mencapai
suatu kepuasan yang melibatkan orang
lain atau komunitas lain. Gaya bahasa
merupakan efek seni dalam sastra yang
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 572

dipengaruhi oleh nurani. Melalui gaya
bahasa itu seorang pengarang akan
menuangkan ekspresinya . Betapapun
rasa sedih, jengkel, bahagia atau
senang, jika dibungkus dengan gaya
bahasa akan semakin indah. Oleh
karena itu bahasa yang digunakan
memiliki keunikan tersendiri.
Mencermati penggunaan
stilistika pada novel Nayla karya
Djenar Maesa Ayu dan Supernova
(Petir) karya Dewi Lestari nampak
adanya kekhasan dalam pilihan bahasa
yang digunakan . Stilistika sastra yang
digunakan adalah ragam khusus yang
digunakan untuk memperindah teks.
Adapun stilistika genetis merupakan
gaya bahasa individual yang
memandang gaya bahasa sebagai
ungkapan yang khas pribadi. Namun
demikian tetap menggunakan sarana
kelinguistikan untuk pilihan kata,
kalimat dan sebagainya.
Dari paparan yang telah
diuraikan di atas dapat dikatakan
bahwa novel Nayla karya Djenar
Maesa Ayu dan Supernova (Petir)
karya Dewi Lestari lebih banyak
menggunakan stilistika linguistik dan
stilistika sastra dalam mengekplor
gagasan yang tertuang dalam teks
sastra. Kekhasan pilihan kata serta
efek estetik yang ingin dicapai
dioptimalkan penggunaannya
sedemikian rupa sehingga
menimbulkan daya tarik tersendiri bagi
pembaca.
Jurnal Artikulasi Vol.9 No.1 Februari 2010 | 573

DAFTAR PUSTAKA
Ayu, Djenar Maesa . 2005. Nayla. Jakarta : Gramedia.
Derrida, Jaques. 2002. Dekontruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual.
Jakarta: Jalasutra.

Eagleaton, Terry. 2006. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta :
Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologis Model
Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Hadi W.M, Abdul. 2004. Hermenutika, Estetika, dan Religiusitas (Esai-Esai Sastra
Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Matahari.

Hough, Graham. 1972. Concept of Literature Style and Stylistic. London : Routledge
dan Kegan Paul.

Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Komposisi Lanjutan I. Jakarta:
Gramedia.

Lecch, Geoffrey N. Dan Michael H. Short. 1981. Style in Fiction, A Linguistic
Introduction to English Fictional Prose. London: Longman.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gadjah Mada
University Press.

Lestari, Dewi. 2005. Supernova (Petir). Jakarta: Akoer.

Pattyna, F. 1982. Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: Usaha Nasional.

Pradopo, Rachmad Djoko. 1991. Penelitian Gaya Bahasa Sastra . Purwokerto. PIBSI
, di IKIP Muhammadiyah Purwokerto, 8-9 Oktober

Sukade, Made. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayumas
danYayasan Ilmu dan Seni Lesiba

Ratna. I Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Wellek Rene dan Austin Warren. 1985. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan Oleh
Melani Budianta. Jakarta : Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai