Anda di halaman 1dari 8

1.

Pengenalan singkat bahasa Jawa


a. Pengertian
Bahasa merupakan suatu ungkapan yang mengandung maksud
untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Sesuatu yang
dimaksudkan oleh pembicara bisa dipahami dan dimengerti oleh
pendengar atau lawan bicara melalui bahasa yang diungkapkan.
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), bahasa adalah alat komunikasi antara
anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Suwarna (2002: 4) mengungkapkan, bahasa merupakan
alat utama untuk berkomunikasi dalam kehidupan manusia, baik secara
individu maupun kolektif sosial.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh orang Jawa.
Bahasa Jawa merupakan salah satu hasil kebudayaan orang-orang Jawa
yang menjadi alat komunikasi bagi mereka. Orang Jawa itu sendiri
menurut Frans Magnis Suseno (1984:11), adalah orang yang bahasa
ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Meskipun Pulau Jawa
terbentang dari Provinsi Banten di bagian barat sampai Jawa Timur di
bagian timur, namun tidak semua penduduknya berbahasa ibu bahasa
Jawa. Hanya penduduk asli bagian tengah dan timur yang mencakup
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur saja
berbahasa ibu bahasa Jawa. Bahkan beberapa daerah memiliki dialek
khusus yang menjadi ciri tersendiri bahasa Jawa yang digunakan di
masing-masing daerah tersebut.

b. Sejarah bahasa jawa


Bahasa Jawa, dalam sejarahnya telah mendapat pengaruh dari
bahasa bangsa-bangsa yang lain, yakni bahasa Sansekerta, bahasa
Arab, dan bahasa dari bangsa-bangsa di Eropa. Bahasa Jawa, dalam
sejarahnya tercatat melalui bahasa yang dikenal sebagai bahasa Jawa
kuna, bahasa Jawa Pertengahan, dan bahasa Jawa Baru hingga saat ini.
Perkembangan bahasa Jawa dari periode ke periode berikutnya itu
selalu meninggalkan warisan-warisan sastra dengan ciri-cirinya
masing-masing.
Budaya Jawa semula diwarnai oleh budaya animisme dan
dinamisme. Dari budaya ini setidak-tidaknya masih tampak jejaknya
pada berbagai bentuk sastra lisan. Bentuk doa-doa yang disampaikan
dalam rangka penyampaian sesaji kepada Sing Mbaureksa, yakni
makhluk supernatural penguasa pada tempat-tempat tertentu, kayu
besar, batu keramat, goa-goa, dan sebagainya, merupakan hasil budaya
animisme dan dinamisme. Dari satu sisi doa-doa itu bisa dianggap
bernilai estetis sebagai karya sastra. Demikian halnya dengan mantera
mantera yang hingga saat ini masih sering diajarkan oleh guru atau
dukun-dukun yang mengajarkan ilmu (ngelmu) yang sesungguhnya
bersifat prelogic. Sebagian mantera itu memiliki nilai keindahan yang
juga dapat dikategorikan sebagai hasil sastra.
Pada masa awal masuknya agama Hindu dan Budha hingga
menjelang masuknya agama Islam, bahasa yang berlaku di Jawa
dikenal dengan istilah bahasa Jawa kuna (bahasa Jawa kuna dan Jawa
pertengahan). Dalam sejarah sastra Jawa kuna tercatat adanya
pengaruh bahasa Sansekerta, yakni bahasa dari India sebelum abad ke-
10, yang merupakan pengantar kitab-kitab suci agama Hindu dan
Budha. Karya-karya sastra Jawa Kuna telah banyak dikaji oleh para
pakar bahasa jawa Kuna, baik dalam rangka sastra itu sendiri, maupun
dalam kaitannya dengan budaya Jawa secara luas.
Pada akhir masa kejayaan kerajaan Majapahit, yakni sekitar
abad ke-14 pengaruh agama Islam di Jawa tampak dominan karena
didukung oleh kekuasaan kerajaan-kerajaan di sepanjang pantai utara
Jawa, khususnya kerajaan Demak. Pengaruh agama dan kebudayaan
Islam sangat kuat mewarnai berbagai hasil karya sastra Jawa, terutama
karyakarya sastra Pesisiran dan karya sastra yang dianggap sebagai
sastra mistik Islam-kejawen.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit kejayaan bahasa Jawa
kuna juga mulai surut. Perlahan-lahan dan bersifat kedaerahan, bahasa
Jawa baru, mulai berlaku. Karya-karya sastra yang telah mendapat
pengaruh Islam sebagian besar telah menggunakan bahasa Jawa baru
dengan diwarnai berbagai kosa katra bahasa Arab. Namun demikian
jejak-jejak bahasa Jawa Kuna tidak serta-merta musnah. Pada even-
even tertentu, terutama yang bersifat sastra lisan, masih sering
terdengar berbagai kosa kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna.
Secara ekonomi dan politik, pada awal abad ke-17 pengaruh
kebudayaan Barat (Eropa) mulai tampak, antara lain dengan hadirnya
kongsi dagang Belanda yang disebut VOC. Pengaruh budaya Barat
tidak begitu terasa dalam karya-karya sastra. Namun beberapa kosa
kata baru juga muncul dari hasil serapan kosa kata Bahasa Eropa.

c. Unggah-ungguh atau tingkat tutur bahasa Jawa


Adisumarto (dalam Suharti, 2001: 69) menyatakan bahwa
“unggah-ungguh” bahasa Jawa adalah adat sopan santun, etika,
tatasusila, dan tata krama berbahasa Jawa.” Berdasarkan pengertian
tersebut nampak bahwa unggah-ungguh bahasa Jawa atau sering
disebut tingkat tutur atau undha usuk basa tidak hanya terbatas pada
tingkat kesopanan bertutur (bahasa Jawa ragam krama dan ngoko) saja,
namun di dalamnya juga terdapat konsep sopan santun bertingkah laku
atau bersikap.
Tingkat tutur bahsa Jawa menurut buku Karti Basa (1946: 80-
81) meliputi 13 tingkatan yaitu (1) ngoko lugu, (2) ngoko andhap antya
basa, (3) ngoko andhap/ basa antya, (4) wredha krama, (5) mudha
krama, (6) kramantara, (7) madya ngoko, (8) madya krama, (9)
madyantara, (10) krama inggil, (11) basa kedhaton utawa bagongan,
(12) krama desa, dan (13) basa kasar. Hal yang sam juga disampaika
oleh Sudaryanto bahwa masyarakat tradisinal Jawa memiliki 13 tingkat
tutur. Akan tetapi pada masa sekarang 13 tingkat tutur itu sudah jarang
digunakan dengan benar dan tepat. Maka untuk mempermudah
mempelajari Sudaryanto (2001:5), membagi tingkat tutur menjadi 2
tingkatan yaitu ngoko dan krama. Selanjutnya ngoko dibagi menjadi
ngko lugu dan ngoko alus, sedangkan krama dibagi menjadi krama
lugu dan krama alus.
1) Ngoko
Ngoko yaitu unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan
kata ngoko. Ciri-ciri katanya terdapat afiks di-,-e dan –ake. Ragam
ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh
mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada
lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk
varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).
a) Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk
unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya
berbentuk ngoko dan netral (kata ngoko dan netral) tanpa
terselip kata krama, krama inggil, atau krama andhap, baik
untuk persona pertama (01), persona kedua, persona kedua
(02), maupun kedua (02), maupun untuk persona ketiga (03).
Bahasa Jawa ngoko lugu digunakan apabila :
 Sesama teman yang sudah akrab
 Orang yang drajadnya lebih tinggi kepada orang yang
drajadnya lebih rendah (majikan kepada bawahan)
 Untuk situasi resmi yang memang membutuhkan bahasa
Jawa ngoko (semisal tulisan di majalah atau buku).
Contoh :
 Yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya isa!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
 Yen mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya isa!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
 Yen mung kaya mengono wae, dheweke ya isa!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”
b) Ngoko Alus
Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk
unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas kata
ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas kata krama
inggil, krama andhap, atau kata krama yang muncul di dalam
ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati
mitra wicara (orang ke 2 atau 3) (Sasangka 2004:99-100).
Penggunaan ngoko alus, apabila:
 Teman akrab namun saling menghormati (misalnya orang
berpangkat kepada orang berpangkat)
 Orang tua yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang
masih muda, tetapi mereka sangat akrab.
 Saat sedang bicara pada orang yang dihormati
 Istri bicara kepada suaminya (apabila menggunakan bahasa
ngoko)
 Tulisan di majalah untuk menghormati orang yang
membaca
Contoh:
 Wingenane simbah tindak mrene (Sudaryanto 1991:153).
“Kemarin nenek ke sini.”
 Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka
2001:183).
“Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?”
Tampak bahwa pada butir tindak “pergi/berangkat” dan
asmane “namanya” merupakan leksikon krama inggil yang
berfungsi untuk menghormati mitra tutur (Sasangka 2004:100).
2) Krama
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk
unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan kalimat krama, atau
yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah kalimat
krama bukan kalimat yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam
ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun,
dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum
akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status
sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai tiga
bentuk varian, yaitu krama lugu, karma andhap dan krama alus
(Sasangka 2004:104).
a) Krama Lugu / Krama Madya
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan
sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya
rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko
alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan
(Sasangka 2004:105). Contoh:
 Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake?
“Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?”
 Mbak, njenengan wau dipadosi bapak.
“Mbak, Anda tadi dicari bapak.”
Tampak afiks di- pada diijolake “ditukarkan” dan
dipadosi “dicari” merupakan afiks ngoko yang lebih sering
muncul dalam unggah-ungguh ini daripada afiks dipun-, -ipun,
dan –aken. Contoh kalimat di atas bertujuan untuk menurunkan
derajat kehalusan (Sasangka, 2004:108-109).
b) Krama Alus / karma inggil
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk
unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri
atas kalimat krama dan dapat ditambah dengan kalimat krama
inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang menjadi
kalimat inti dalam ragam ini hanyalah kalimat yang berbentuk
krama. Kalimat madya dan kalimat ngoko tidak pernah muncul
di dalam tingkat tutur ini. Selain itu, kalimat krama inggil atau
krama andhap –secara konsisten- selalu digunakan untuk
penghormatan terhadap mitra wicara.
Secara sistematis ragam krama alus dapat didefinisikan
sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya
tinggi (Sasangka 2004:111). Contoh:
 Arta punika kedah dipunlintokaken wonten bank ingkang
dumunung ing kitha.
“uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota”
Tampak bahwa afiks dipun- “di” seperti pada
dipunlintokaken “ditukarkan” merupakan afiks penanda
leksikon krama (Sarangka 2004:113).

Anonim. 1946. Karti Basa. Jakarta: Kementerian PP dan K.

Keraf, Gorys. 1997. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende-


Flores: Nusa Indah.

Sasangka, Sry Satrita Tjatur Wisnu. 2011. Paramasastra Gagrag Anyar Basa
Jawa. Jakarta: Yayasan Paramadina.

Sudaryanto. 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres
Bahasa Jawa.

Suharti. 2001. Pembiasaan Berbahasa Jawa Krama dalam Keluarga Sebagai


Sarana Pendidikan Sopan Santun. Makalah Konggres. Yogyakarta: Konggres
Bahasa Jawa III.

Suseno, Frans Magnis. 1984. Etika Jawa dalam Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: IKAPI.

Suwarna. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Bandung: Adicita.


Widayat, Afendy & Suwardi. 2005. Diktat Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta:
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai