Anda di halaman 1dari 3

Kotekan Lesung / Tabuh Lesung

Tabuh lesung merupakan suatu bentuk kesenian yang unik dan menarik. Merupakan tradisi
masyarakat pedesaan yang selalu dimainkan pada saat para petani panen padi. Dengan
menggunakan lesung berukuran panjang +- 3 m , ditabuh oleh 6 orang atau lebih menghasilkan
bunyi-bunyian yang indah untuk dinikmati.

Seni Lesung adalah satu seni tradisional kuno yang hidup dan berkembang di pedesaan dan
banyak dimainkan oleh para petani. Di tengah arus deras modernisasi ini mulai pudar dimakan
zaman, untuk mempertahankan eksistensi seni khas masyarakat agraris ini, Pemerintah Kota
Pasuruan setiap tahunnya selalu mengagendakan perlombaan seni lesung antar kelurahan.
MENARI. Salah satu adegan yang menarik, banyak orang untuk menyaksikannya seni kotekan
lesung ini adalah para pemukulnya yang juga melakukan gerak tari. Karena memang bukanlah
penari profesional, adegan tari yang mereka sajikan justru terlihat lucu dan sering mengundang
gelak tawa para penontonnya. Belum lagi tata rias wajahnya yang ala kadarnya, juga
memunculkan kesan lucu. Pertunjukan ini bila dikelola dengan baik dan digabungkan dengan
unsur entertainnya dapat menjadi salah satu pertunjukan wisata yang cukup potensial.

Lucu dan menghibur, begitulah kesan kuat yang terlihat di atas panggung saat para pegiat seni
pukul lesung ini menampilkan atraksinya. Kelucuan dari para pegiat seni lesung ini nampak dari
cara mereka berdandan yang terkesan ala kadarnya, sehingga bukannya terlihat tambah cantik
justru pupuran bedak adem (bedak yang terbuat dari beras dan serai) yang tidak merata
‘mengubah’ wajah mereka seperti buah kesemek. Itulah yang terlihat pada sosok Maimunah
(70).
Kelucuan yang menghibur juga terlihat dari gerak tangan dan badan mereka yang tidak ‘neko-
neko’ mengikuti alunan kotekan lesu yang ditabuh bertalu-talu. Mungkin karena mereka bukan
penari profesional, maka gerakan tari mereka itu justru mengundang tawa penonton yang tengah
menyaksikan pertunjukan seni lesung yang digelar Dinas Pemuda, Olahraga dan Kebudayaan
Kota Pasuruan. Hampir semua peserta lomba yang sebagian besar ibu-ibu lebih banyak yang
memakai busana adat kebaya dan kain batik untuk menunjukkan orisionalitas kesenian kotekan
lesung. Bahkan dari 34 kelompok peserta ada juga yang menggunakan alas kaki klompen (sandal
kayu).
Kotekan lesung bisa disebut sebagai tradisi masyarakat agraris. Kotekan lesung tak dapat
dipisahkan dengan kegiatan para petani menumbuk padi. Kotekan lesung pada awalnya
merupakan kegiatan santai sekadar untuk bersenandung di saat-saat jeda menumbuk padi.
Kreativitas tersebut terus berkembang bukan sekadar untuk mengusir kejenuhan dan keletihan,
tapi terus berkembang menjadi simbol kegiatan sosial masyarakat agraris.

Sehingga alunan senandung kotekan lesung pada saat dulu juga bisa disebut sebagai irama musik
prewedding di setiap keluarga petani di pedesaan. Karena alunan kotekan lesung biasanya akan
terus berkumandang beberapa hari menjelang pesta hajatan pernikahan di sebuah keluarga di
pedesaan. Di tengah masyarakat yang masih kental kerukunan sosialnya, setiap anggota
masyarakat akan saling membantu menumbuk padi atau membuat aneka tepung secara sukarela.
Nah di saat-saat jeda menumbuk padi atau membuat tepung tersebut, kotekan lesung secara
spontan akan terdengar mengalun.

Namun seiring perkembangan zaman, lesung yang digunakan menumbuk padi tergeser fungsinya
dengan mesin penggilingan padi baik yang statis maupun yang mobile atau yang biasa disebut
“grandong”. Sehingga kumandang alunan kotekan lesung juga semakin hilang tertutup derunya
mesin penggilingan padi. Lomba kotekan lesung yang secara rutin digelar saat memperingati hari
jadi Kota Pasuruan ini, selalu meninggalkan kesan yang berbeda bagi setiap generasi. Bagi
generasi tua, lomba kotekan lesung seolah membuka lembaran nostalgia, sementara bagi
generasi muda lomba kotekan lesung merupakan kegiatan yang terasa aneh tapi diakuinya
mengasyikkan.
Maimunah (70), salah seorang pemain kotekan lesung dari Kelurahan Tembokrejo Kecamatan
Purworejo meski posturnya tubuhnya sudah terlihat renta tetap terlihat ceria selama memainkan
alu memukullesung mengikuti irama. Wanita yang kini telah memasuki usia lanjut mengaku
keterampilannya memainkan kotekan lesung dikarenakan saat masih mudanya dulu sering
menjadi tukang tumbuk padi. Namun ia mengaku tidak pernah menyangka kalau
keterampilannya tersebut yang kemudian mengantarkan dirinya naik ke panggung pertunjukan.
Sebaliknya Tyas (20), salah seoarang pemain kotekan lesung generasi muda dari Kelurahan
Sebani, Kecamatan Gadingrejo mengaku belajar kotekan lesung tidak ada kaitannya dengan
kegiatan menumbuk padi. Ia belajar kotekan lesung karena untuk persiapan lomba, bukan karena
keterampilannnya menumbuk padi. Memang Tyas maupun generasi muda lainnya mengenal
sebuah lesung bukan lagi sebagai alat tumbuk padi, tapi telah bergeser funsgi sebagai alat musik
tradisional. Karena dengan maraknya mesin penggilingan padi, generasi muda kini nyaris tidak
mengenallagi fungsi lesung. Jangankan mengenal fungsi lesung yang sesungguhnya, melihat
proses penggilingan gabah menjadi beras pun telah menjadi sesuatu yang sulit ditemukan bagi
banyak generasi muda di perkotaan.
Seni tradisional kotekan lesung di Kota Pasuruan boleh dikatakan tidak sepenuhnya mati. Ibarat
pepatah hidup segan matipun tak mau. Di beberapa kelurahan, meski frekuensinya tidak terlalu
sering masih ada anggota masyarakat yang berlatih memainkan kotekan lesung, terutama
mendekati bulan Februari dimana secara rutin Pemerintah Kota Pasuruan menggelar lomba
kotekan lesung antar kelurahan. Ketidakmampuan pihak kelurahan menggerakkan warganya
untuk berlatih seni kotekan lesung ini tidak lain karena minimnya anggaran yang ada. Meskipun
demikian, dari tahun ke tahun, kelurahan tidak pernah kesulitan melakukan alih generasi seniman
kotekan lesung. []

Tugas:

Mengkaji budaya di lingkungan sekitar menjadi sebuah materi dan soal matematika

Anda mungkin juga menyukai