Anda di halaman 1dari 23

Nama : Reni Sulistia

NIM : 18201241020
Kelas : PBSI A 2018

ANALISIS STILISTIKA DALAM NOVEL BELENGGU KARYA ARMIJN


PANE
Novel Belenggu merupakan novel terbitan tahun 1940-an yang menggunakan
bahasa Indonesia konteks modern yang pertama kali ada. Novel ini berisi cerita kehidupan
rumah tangga Sukartono dan Sumartini. Kehidupan yang penuh lika-liku, dengan
kehadiran pihak ketiga yang memang sudah dikenal oleh Sukartono. Rohayah adalah
wanita masa lalu Sukartono. Rohayah muncul kembali setelah Sukartono menikah
dengan Sumartini.
Setelah dilakukan pembacaan terhadap novel ini, novel ini tampaknya menarik
untuk diteliti dari sudut stilistika. Hal ini disebabkan gaya yang ada dalam novel ini
sekilas menujukkan kekhasan gaya bahasa yakni munculnya dominasi gaya penceritaan,
penggunaan bahasa yang khas, pemanfaatan diksi, dan munculnya gaya permajasan
seperti gaya perumpaman, personifikasi, dan metafora. Selain itu, gaya tersebut dijadikan
sarana pembungkus makna sehingga layak dilakukan pembongkaran guna mengetahui
makna, efek, dan citraan yang ditimbulkan dari penggunaan gaya tersebut.
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari
bahasa serapan “linguistik” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa
Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika juga berarti
sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan
gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu
yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya.
Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda untuk memperoleh
pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan cara
pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami gambaran
obyek atau peristiwa, gagasan, ideologi yang terkandung dalam karya sastra.
Penelitian penggunaan bahasa yang terdapat dalam kaya sastra. Studi ini
umumnya masuk kedalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Dalam penelitian
ini akan diteliti mengenai gaya bahasa yang terkandung dalam novel Belenggu karya
Armijn Pane, ditinjau dari kajian stilistika. Penelitian ini ditinjau dari kajian stilistika
yang berkaitan dengan gaya yang meliputi konsep-konsep tentang pilihan leksikal seperti
pengunaan mengenai ungkapan dan majas (Nurgiyantoro dalam Sarjiyanto, 2004:8).

Analisis Stilistika Novel Belenggu Karya Armijn Pane


Dalam kajian stilistika dalam novel Belenggu ini, dilakukan beberapa analisis
pada gaya bahasa dan pemilihan diksi yang digunakan pengarang, penggunaan
tanda baca, pemanfaatan majas, dan gaya lain yang menunjukkan ciri khas
penulisan dalam novel ini, seperti ciri pengaluran, tema, penokohan, dan konflik.

Bahasa dan Diksi


Bahasa dalam Belenggu merupakan bahasa Indonesia modern yang
pertama kali berkembang di Indonesia. Bahasa Indonesia yang digunakan ini
berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan pada novel atau roman
angkatan Balai Pustaka yang masih kuat dipengaruhi oleh bahasa Melayu
modern. Bahasa Indonesia dalam Belenggu dipangaruhi oleh bahasa asing,
khususnya Belanda. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu, bahasa
Belanda masih digunakan, walau tidak sering, oleh orang-orang yang
mengalami penjajahan Belanda.

1. Kata dan Sistem Sintaksis Ejaan Lama


Bahasa yang digunakan oleh Armijn merupakan bahasa Indonesia
modern yang pertama kali dipakai. Hal ini yang menyebabkan Belenggu agak
susah dipahami oleh pembaca saat ini, walaupun tidak sebegitu sulit seperti
membaca novel-novel angkatan Balai Pustaka. Hal ini juga menyebabkan
penggunaan beberapa leksikal dari bahasa asing. Banyak kata-kata dan sistem
sintaksis yang sudah jarang dipakai saat ini. Semisal kata tiada pada kutipan
berikut:

Si Abdul tiada menoleh: “Bukan ke Babakan, kata tuan tadi?”


(Belenggu, 2006: 19)
Kata tiada untuk sekarang ini biasa diartikan sebagai “tidak” atau “tidak
ada”. Kata bujang juga jarang sekali digunakan, walaupun kadang dipakai
dalam cerpen atau novel klasik. Kata bujang di novel ini merujuk pada makna
“pembantu laki-laki”. Berikut kutipanya:

“Karno saja disuruh menunggu dekat telepon, Karno bujangnya dari


dahulu. Pustaka dari masih jadi student”. (Belenggu, 2006: 25)

Beberapa kata yang masih menggunakan ejaan lama antara


lain kerosi, melancar, dan khabar. Berikut kutipannya:

“Ceritakanlah Yah, ceritakanlah, ada juga khabarnya kudengar sedikit-


sedikit tentang dirimu.” (Belenggu, 2006: 49-50)

“Kedua belah tangannya memegang stir mobilnya dengan keras,


badannya membungkuk, mobil melancar, kerusuhan jiwanya seolah-
olah mengalir ke roda mobil, memutar roda biar cepat secepatnya.
(Belenggu, 2006: 73)

“Dia berdiri menyambut suaminya, diambilnya valies itu, disuruhnya


duduk di kerosi.” (Belenggu, 2006: 55)

Dalam novel Belenggu ini banyak sekali kata-kata yang sudah sangat
jarang dipakai, karena mengalami penyempitan atau perluasan makna, seperti
kata pustaka dan jongos. Berikut kutipannya:

“Karno saja disuruh menunggu dekat telepon, Karno bujangnya dari


dahulu.Pustaka dari masih jadi student”. (Belenggu, 2006: 25)

“Pikiran itu hilang juga dengan segera, ketika terdengar olehnya


kata jongos tadi: “Ini ada suratnya dokter.” (Belenggu, 2006: 31)
Penggunaan struktur sintaksis yang membingungkan juga terjadi pada
novel ini. Berikut kutipannya:

“Tiap-tiap ia terpandang akan muka perempuan itu, seolah-olah ada


timbul ingatan, sebagai sudah pernah bertemu”. (Belenggu, 2006: 21)

Kalimat ini jika di transformasikan ke dalam struktur sintaksis yang


berlaku sekarang, akan berubah menjadi “saat ia memandang wajah
perempuan itu, ia seperti pernah bertemu dengannya.” Struktur sintaksis
seperti ini, memang digunakan pada saat awal bahasa Indonesia modern
digunakan. Tetapi untuk beberapa orang, struktur sintaksis ini masih dapat
dipahami. Berikut kutipannya:

“Tiba-tiba terbit inginnya hendak mengendarakan mobil, laju, tiada


berketentuan kemana, ke tempat yang teduh untuk termenung”.
(Belenggu, 2006: 29)

2. Kata Asing
Bahasa yang digunakan oleh Armijn dalam novel ini masih dipengaruhi
oleh bahasa Asing, sehingga dalam novel terdapat beberapa istilah asing yang
dipergunakan. Tetapi penggunaan kata asing ini tidak disertai dengan
penggunaan EYD yang adaseperti sekarang ini. Penggunaan kata ini masih
seperti apa adanya tanpa ada efek italic atau huruf miring. Berikut
kutipannya:

“Diangkatnya barang sulaman isterinya dari atas meja, akan mencari


bloc-note, tempat mencatat nama orang kalau ada meneleponnya,
waktu dia keluar”. (Belenggu, 2006: 15)

“Ada saya lihat ndoro putri menulis dalam notes.” (Belenggu, 2006: 18)
“Maka dimulainya memeriksa dengan memakai stethoscoop.”
(Belenggu, 2006: 21)
“Kalau ada suara auto datang, dengan segera dia menuju ke
kamarnya…” (Belenggu, 2006: 26)

“Dia merasa dirinya seperti student lagi,… “(Belenggu, 2006: 29)

Istilah-istilah asing ini masih dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan


pengaruhnya masih sangat kuat pada novel ini, misalnya kata muziek, yang
terdapat pada kutipan berikut ini:

“Di beranda muka, muziek, memperdengarkan lagu-lagu gembira.”


(Belenggu, 2006: 82)

“Berangan-angan yang bukan-bukan. Mengapa tiada riëel, riëel sedikit


saja sudah cukup.” (Belenggu, 2006: 106)

Pada kutipan yang kedua di atas, terdapat kata riëel yang merupakan
pengaruh bahasa Belanda. Kata riëel ini berarti benar menurut penyelidikan
(dengan mata), benar ada (karena kelihatan dengan mata) (Belenggu, 2006:
14). Beberapa istilah ini sudah ada keterangannya yang diberikan pada awal
novel, yaitu pada halaman 14 yang berjudul bab “Pemimpin”. Tetapi tidak
semua istilah asing ini telah dimaknai pada bagian ini.

3. Kata Berbahasa Jawa


Dalam novel ini juga menggunakan unsur bahasa Jawa, yang dahulu
masih dilekat digunakan. Karena dahulu di Jawa masih mengutamakan etika
kesantunan dan derajat para kaum priyayi. Unsur tersebut antara lain
“ndoroputri” yang berarti “nyonya”, kata “ndoro” yang berarti “majikan”,
sapaan “Yu” yang bermakna sapaan untuk kakak perempuan. Berikut
kutipannya:

“Karno, kemana tadi ndoromu?” (Belenggu, 2006: 17)


“Ada saya lihat ndoro putri menulis dalam notes.” (Belenggu, 2006:
18)
“Yu alangkah senangnya kau sekarang…” (Belenggu, 2006: 69)

4. Kata Sapaan
Penggunaan sapaan atau nama kecil tokoh, selalu berubah-ubah,
padahal nama sapaan itu tidak digunakan dalam kalimat langsung atau
kalimat percakapan. kata sapaan untuk Sukartono pada awal cerita sering
menggunakan frasa “dokter Sukartono” tetapi pada bagian lain cerita, sapaan
untuk Sukartono lebih sering menggunakan kata “Tono” atau “Kartono”.
Berikut kutipannya:

“Didalam hati Kartono terbit lagi keinginan menggenggamkan tangan


jiwanya, memegang jiwa yang menggelepar-gelepar itu kuat-kuat
jangan jatuh kedalam air.” (Belenggu, 2006: 62)

“Pertanyaan yang tersimpul dalam kata bujangnya itu terasa kepada


dokter Sukartono.” (Belenggu, 2006: 17)

“Terdengar kepada Tono lagu pembuka, bagai air meriak, membuka


simpulan dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar suara.” (Belenggu,
2006: 75)

5. Istilah Kedokteran
Penggunaan istilah kedokteran pun digunakan dalam novel ini. Hal ini
disebabkan karena dalam novel ini menggunakan tokoh yang berprofesi
sebagai seorang dokter. Istilah-istilah itu antara lain:

“Maka dimulainya memeriksa dengan memakai stethoscoop.


“ (Belenggu, 2006: 21)
“Pikirannya merintis jalan, seolah-olah menyelidiki penyakit,
membuat prognose. Selamanya seperti sekarang? “(Belenggu, 2006:
90)

“Selalu saja chronisch? Penyakit chronischberangsur-angsur akan


merusak badan, seperti syphilis mengendap-endap dalam badan, pada
suatu ketika terbit dengan hebat, atau seperti t.b.c. “(Belenggu, 2006:
90)

Dari beberapa kutipan di atas terdapat beberapa istilah kedokteran,


yaitu stethoscoop,prognose,chronisch,syphilis, dan t.b.c. Stethoscoop (stetos
kop) merupakan alat dalam bidang kedokteran yang digunakan untuk
mendengarkan dugup jantung. Prognose(diagnosis) merupakan perkiraan
penyakit yang dialami oleh pasien yang dibuat oleh dokter setelah melakukan
pemeriksaan secara intensif. Chronisch (kronis) merupakan tingkatan sakit
tertinggi yang dialami oleh pasien. Shphilis (sipilis atau raja singa)
merupakan penyakit yang menginfeksi alat kelamin
kelamin. T.B.C (tuberkolosis) yaitu penyakit yang menyerang paru-paru.

6. Istilah Matematika
Armijn juga memasukkan istilah matematika dalam novel ini. Unsur
itu digunakan untuk mengadakan percakapan. Berikut kutipannya:

“Tono dalam ilmu wiskunde-tinggi kerap dipakai bilangan “e”, mengapa


bukan yang lain? Bilangan “e”, ingat lagi bilangan “e”, = ……, bilangan
(1+1/n)” (Belenggu, 2006: 102)

“Misalkan sebuah jalan dapat dijalani dalam 1 seconde, jadi setengahnya


dalam ½ seconde, setengah dari ½ jalan lagi jadi ¼ jalan, dalam ¼ seconde,
begitulah seterusnya,… semuanya terjadi dalam 1 seconde, tiada lebih, karena
sisa jalan terusdapat dibagi dua. “(Belenggu, 2006: 103)
7. Singkatan
Penggunaan singkatan tidak seperti ejaan yang diberlakukan sekarang,
misalnya untuk jenis penyakit Tuberkolosis, dalam novel digunakan
singkatan “t.b.c.” padahal untuk ejaan sekarang adalah “TBC”. Berikut
kutipannya:

“Pada suatu ketika terbit dengan hebat, atau seperti t.b.c.” (Belenggu,
2006: 90)

8. Penggunaan Tanda Baca


Dalam penulisan kalimat dalam novel Belenggu, Armijn
menggunakan beberapa tanda baca yang menjadikan ciri khas pada novel ini.
Berikut ini penjelasan penggunaan tanda baca yang digunakan oleh
pengarang.

Tanda Titik
Penggunaan tanda titik dalam kalimat yang menyatakan kebimbangan
atau sedang berfikir, Armijn menggunakan titik tersebut diluat ejaan.
Umumnya tanda titik untuk menerangkan hal tersebut adalah tida buah, tetapi
Armijn menggunakan empat hingga delapan buah, bahkan ada yang mencapai
tiga belas buah. Berikut kutipannya:

“Baiklah, tuan dokter ………….” (Belenggu, 2006: 23)

“Ah, kalau saya tahu…….” (Belenggu, 2006: 20)

“Ndoro putri yang menyimpan…..” (Belenggu, 2006: 18)

Boleh jadi orang memanggil …. Badannya sudah siap akan


berdiri.(Belenggu, 2006: 18)
“Saya mengerti……” (Belenggu, 2006: 30)
Tanda Titik Dua
Armijn juga menggunakan tanda baca titik dua untuk memisahkan
keterangan kalimat langsung dengan kalimat langsung yang mengikutinya.
Penggunaan tanda baca ini ditemukan hampir diseluruh bagian novel. Berikut
kutipannya:

Kalimatnya diteruskannya dengan: “………sekelas itu hendak keluar?”


(Belenggu, 2006: 27)

Sumartini tertawa mengejek: “Katakanlah yang tersimpul dalam


hatimu.” (Belenggu, 2006: 59)

Kata Hartono dengan lemas: “Lain dahulu, lain sekarang.” (Belenggu,


2006: 105)

Tanda baca titik dua ini juga digunakan sebagai pemisah antara kalimat
penjelas dengan ungkapan yang ada di pikiran tokoh. Berikut kutipannya:

“Didalam hatinya sudah putus: dia mesti main. Hendak


diperlihatkannya ke dunia luar, dia tidaktakut akan omong, dia hendak
menentang kata orang, bisik-bisik orang: lihatlah tiada berdua lagi main
seperti dulu.” (Belenggu, 2006: 69)

“Kusingsing lenganku, kataku sama sendiri: anak itu mesti


tertolong,…. Tiada telap, Yah, tiada telap, Yah, jiwanya melayang
juga.” (Belenggu, 2006: 74)

Tanda Titik Koma


Armijn juga menggunakan tanda titik koma untuk menggantikan tanda
koma. Hal ini didapati pada bagian:
“Selalu saja tinggi hati; seperti batu karang meninggi di tepi pantai,
berbahaya bagi kapal menghampirinya.” (Belenggu, 2006: 65)

Tanda Kurung
Dalam novel ini juga digunakan tanda kurung. Kalimat yang ada dalam
tanda kurung ini dibuat oleh pengarang untuk menjelaskan maksud dari apa
yang disampaikan oleh tokoh. Berikut kutipannya:

“Bukan Yah, bukan, mukamu seperti dalam mimpi, seperti baru terbit
dari dalam api jiwaku. (Di kemudian hari kalau Tono teringat lagi akan
percakapan mereka itu, barulah dia tahu katanya itu bukan untuk
memanis-maniskan saja. Katanya itu memang terbit dari jiwanya
sendiri, tapi pada ketika mengucapkan kalimat itu, dia belum sadar akan
hal itu). Mukamu terbayang-bayang, seolah-olah api dari dalam radio
itu, memisalkan api jiwaku benar.” (Belenggu, 2006: 97)

Selain itu, tanda kurung juga dimanfaatkan oleh pengarang untuk


mengungkapkan apa yang dilakukan oleh tokoh dalam suatu percakapan.
Berikut kutipannya:

“Mengapa hendak sebodoh itu? Engkau sudah kuberi ingat lebih dahulu
engkau akan menyesal dikemudian hari, jangan aku diambil, tetapi
tidak percaya (Tini tertawa mengejek), tetapi tuanhamba hendak
menang dimuka orang, barangkali juga (katanya dengan lambat-lambat,
tersenyum manis), karena engkau cinta mesra, lupa daratan, ah, ah,
sangka kamu laki-laki, kamu pintar, berotak, tetapi sebenarnya bebal,
seperti kerbau yang mengamuk karena diusik-usik.” (Belenggu, 2006:
62)

Penggunaan Catatan Kaki


Catatan kaki juga digunakan oleh Armijn pada novel ini. Hal ini
ditemukan pada kata yang mengadung unsur bahasa Jawa, seperti yang
ditemukan pada halaman 17 dan 69.

9. Puisi Lama atau Syair


Di dalam novel ini juga disertai dengan cuplikan-cuplikan syair lagu
yang berkembang dalam novel. Berikut kutipannya:

Terang bulan, terang di kali,


Buaya timbul disangka mati,
Jangan percaya mulut lelaki,
Berani sumpah takut mati. (Belenggu, 2006: 26)

Cinta memang tiada lama,


Aku sudah tahu dahulu,
Aku tiadalah rusuh jiwa,
Engkau kekasih sudah berlalu. (Belenggu, 2006: 75)

Penggunaan syair ini berfungsi sebagai penjelas bahwa tokoh sedang


mendengarkan lagu. Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai penjelas maksud
perasaan yang dirasakan oleh tokoh yang mendengarkan cuplikan syair itu.

10. Majas
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau
meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat
dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan gagasan
mereka (Tarigan, 1985:179). Pradopo (2002:62) menjelaskan bahwa majas
meyebabkan karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan
kesegaran,lebih hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan.

Majas Simile
Majas simile yaitu majas yang mengungkapkan dengan perbandingan
eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan atau penghubung. Majas ini
berfungsi sebagai pembanding dua hal dengan memanfaatkan kata
penghubung tertentu. Berikut adalah kutipannya;
“Di dalam pikiran dokter Sukartono seolah-olah ada yang memberatkan,
yang menjadikan hatinya tawar” (Belenggu, 2006: 15)

“Perempuan tambun, tegap sikapnya, dikepalanya seolah-olah kembang


melati putih” (Belenggu, 2006: 15)

“… perhatiannya seolah-olah meraba-raba dalam pikirannya” (Belenggu,


2006: 18)

Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah majas yang pengungkapannya dengan
menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Majas ini
berfungsi untuk menggambarkan benda mati seolah-olah mempunyai sifat
atau kemampuan seperti manusia. Berikut adalah kutipan penggunaan majas
dalam teks:
“… cahaya tanda girang yang mengerlip dalam mata perempuan itu”
(Belenggu, 2006: 20)

“… hatinya hendak membacanya, hendak membaca olokannya” (Belenggu,


2006: 31)

Majas Hiperbola
Majas hiperbola yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal
dengan berlebihan juga. Majas ini digunakan untuk memberikan gambaran
tentang sesuatu sehingga mampu memberikan efek yang lebih mendalam.
Dalam novel ini, majas hiperbola digunakan untuk mempertegas
pengungkapan dari tokoh dan penegasan tentang suatu perwatakan dari tokoh.
Kutipannya sebagai berikut;
“Air mata yang membendung hatiku telah mengalir…tidakkah engkau ingat
Rohayah?” (Belenggu, 2006: 48)

”Tini gunung berapi yang banyak tingkah.” (Belenggu, 2006: 67)

”Kedua belah tangannya memegang stir mobilnya dengan keras, badannya


membungkuk, mobil melancar, kerusuhan jiwanya seolah-olah mengalir ke
roda mobil, memutar roda biar cepat secepatnya.” (Belenggu, 2006: 73)

Majas Metafora
Majas metafora adalah majas perbandingan hanya tidak menggunakan
kata-kata pembanding. Metafora dalam novel ini berfungsi untuk
membandingkan dua hal secara singkat dan mampu menggambarkan apa
yang sedang terjadi atau mampu menggambarkan apa yang dibandingkan itu.
Seperti kutipan ini;

”Kartono melihat sikap tini menggerendeng pula, seolah-olah harimau


tertangkap, maka hatinya makin tenang. Hariamu ini mesti ditundukkan!”
(Belenggu, 2006: 59)

“Jujur katamu? Kejujuran bohong. Bidadari ialah setan, setan ialah


bidadari… engkau, siapakah engkau?” (Belenggu, 2006: 121)

Majas Ironi
Majas ironi adalah majas sindiran yang melukiskan sesuatu dengan
menyatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk
menyindir orang. Dan majas ironi berfungsi sebagai penggunjingan tergadap
tokoh tertentu. Majas ironi terdapat dalam kutipan berikut ini:

“Mengapa?” tanya Mardani.


“Bukan tingkahnya hendak menarik mata laki-laki saja?”
Mardani tersenyum, merasa puteri Kartini cemburu. Katanya, hendak
berolok-olok: “Ah bukanlah salahnya kalau mata laki-laki tertarik. Memang
sudah dasarnya…….”
“Itulah yang tiada baik itu, sudah dasarnya!”
(Belenggu, 2006: 83)

Majas Sinestasia
Majas sinestasia adalah majas metafora yang berupa ungkapan yang
berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain. Majas ini
berfungsi penghubung dua indra itu seperti punya kesamaan sifat. Berikut
adalah kutipannya;
“ Malam sedap, enak makan angin naik mobil” (Belenggu, 2006: 25)

“ Sukartono senyum masam sama saja” (Belenggu, 2006: 25)

Majas Repetisi
Majas repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan
mengulang kata atau beberapa kata. Repetisi pada novel ini biasanya
digunakan pada saat percakapan. Fungsi majas repetisi pada novel ini adalah
untuk menegaskan apa yang disampaikan tokoh pada lawan bicaranya.
Seperti kutipan berikut ini;
“Kartono bangun berdiri karena heran: “Rohayah, Rohayah!”
katanya berulang-ulang seolah-olah menghafalkan nama negeri, hendak
mengingatkan barang apa yang sudah dipelajarinya tentang negeri itu.
“Engkau Rohayah? Rohayah kawanku dahulu?” (Belenggu, 2006: 48)

Majas Alegori
Majas alegori digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh dengan
beberapa kiasan atau ungkapan. Majas alegori terdapat pada kutipan berikut
ini:
”Kalau Yah tiada tahu namanya, kalau tiada disengajanya memangilnya,
adakah Yah akan mengenal dia, kalau tiba-tiba bersua ditengah jalan? Yah
mengenal dia karena sudah maklum lebih dahulu. Yah, tiada yang gelap,
tiada yang tersembunyi, ialah pemandangan luas, disinari matahari,
pemandangan lepas, tiada teralang oleh barang sesuatu juga. Tini gelap,
pintu jiwanya tertutup, dikuncinya, kesimpulan pikiran yang hidup
tersembunyi dalam dirinya. Tini gunung berapi yang banyak tingkah!”
(Belenggu, 2006: 67)

Majas Tautologi
Majas tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan
mempergunakan kata-kata yang sama artinya (bersinonim) untuk
mempertegas arti. Tautologi digunakan untuk mempertegas sesuatu hal apa
yang diungkapkan oleh tokoh. Tetapi sebenarnya fungsinya malah kurang
memperjelas maksudnya. Berikut kutipannya:
”Di beranda muka hotel sudah lama nyonya Eni berjalan hilir mudik dengan
gelisah.” (Belenggu, 2006: 26)

Majas Sarkasme
Majas sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar serta lengsung
menusuk perasaan. Majas ini ditemukan dalam percakapan saat konflik
terjadi. Fungsi majas ini dalam novel ini adalah untuk menjelekkan tokoh lain
yang sedang mengalami konflik dengan tokoh tersebut. Atau juga
penggunaan sarkasme adalah untuk menjelekkan diri sendiri. Berikut adalah
kutipannya;
“Aku bukan terlalu kolot.” (Belenggu, 2006: 53)

“Eh, sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih-bersih,


sekali setahun dijemur diluar.” (Belenggu, 2006: 53)

Majas Alonim
Armijn Pane juga menggunakan majas alonim yaitu penggunaan varian-
varian dari nama untuk menegaskan sesuatu. Berikut adalah kutipannya;
“Jangan pandang dari luar saja, dik Ti; pandanglah lebih dalam. Ingatlah lagi
pigura di kamar kita dahulu di Bandung?” (Belenggu, 2006: 69)

Majas Antonomasia
Antonomasia adalah majas yang menggunakan nama diri atau gelar untuk
menggantikan nama diri. Majas ini dipakai di novel ini karena salah satu
tokohnya mempunyai profesi sebagai seorang dokter. seperti kutipan berikut
ini;
Nyonya Eni tertawa: “Duduklah dokter…” Iapun duduk juga. “Tuan dokter,
dokter aneh.” (Belenggu, 2006: 27)

Majas Alusio
Majas Alusio adalah majas perbandingan dengan mempergunakan
ungkapan pribahasa, atau kata-kata yang artinya diketahui umum. Berikut
kutipannya:
”Tono tersenyum memberungut, seperti baru makan asam, karena dia
teringat akan tukang biola di waktu bazaar, sepertinya tua, tiada pernah
dismer. Tidak tidak! Tidak! (Belenggu, 2006: 104)

Majas Retoris
Majas retoris adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat
tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahui.
Penggunaan retoris diharapkan mampu memberikan penegasan apa yang
dirasakan atau sedang dibimbangkan oleh tokoh. Berikut adalah kutipannya:
”Yang manakah? Tono kehilangan pengaharapan? Kehilangan cita-cita?
Kehilangan kepercayaan? Entahlah.” (Belenggu, 2006: 74)

Majas Aptronim
Novel Belenggu juga terdapat majas aptronim yang berfungsi sebagai
penyebutan seseorang dengan sifat yang dimiliki. Berikut kutipannya:
“Sangkamu engkau yang menang, Tini si Girang itu engkau tundukkan. Apa
lagi kehendakmu? Aku sudah menjadi isterimu.” (Belenggu, 2006: 61)

11. Perwatakan Tokoh


Perwatakan tokoh juga merupakan gaya seorang pengarang. Hal ini
dilakukan saat pengarang melakukan penceritaan. Perwatakan yang diberikan
oleh pengarang pada setiap tokoh dapat dilakukan melalui percakapan yang
dilakukan tokoh tersebut dengan tokoh yang lain, melalui penggambaran dari
tokoh lain, menggunakan pikiran-pikiran dari tokoh, maupun penggambaran
secara langsung oleh pengarang melalui kalimat-kalimat tak langsung.
Misalnya pada tokoh Sumartini. Pengarang melakukan penggambaran
dengan dua hal, yaitu dengan melalui penggambaran dari tokoh lain dan
penggambaran melalui percakapan yang dilakukan oleh Sumartini dengan
tokoh lain dalam suatu konflik.
“Memang, Ibu! Jalan pikiran kita berlainan. Aku berhak juga
menyenangkan pikiranku, menggembirakan hatiku. Aku manusia juga
berkemauan sendiri. Kalau menurut pendapat Ibu, kemauanku mesti tunduk
kepada kemauan suamiku. Bukan Ibu, bukankah demikian? Kami masing-
masing berkemauan sendiri-sendiri.
“Kalau dia pergi seorang diri, tiada sempat menemani aku, mengapa aku
tiada boleh pergi seorang diri menyenangkan hatiku?
“Kalau kami, kaum kolot, kami tinggal saja di rumah.
“Eh, sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih-bersih,
sekali setahun dijemur diluar. Menanti suami sampai suka membawa keluar.”
Dia berhenti sejurus, lalu katanya dengan tetap: “Kami lain, kami bimbing
nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki.” (Belenggu, 2006:
53)

Kutipan di atas merupakan penggambaran watak Sumartini melalui


percakapan yang dilakukan Sumartini dengan Nyonya Rusdio. Melalui kutipan
tersebut dapat diketahui sifat Sumartini yaitu teguh pada prinsipnya dan
berpendirian kuat. Hal tersebut ditunjukkan oleh Sumartini, bahwa seorang
perempuan atau istri tidak harus selalu tunduk kepada kemauan seorang laki-laki
atau suami, sehingga seorang perempuan dapat melakukan apa saja sesuai dengan
kemauannya.

12. Pengaluran dan Konflik


Pengaluran dan konflik juga dapat menunjukkan cirri khas dari
pengarang. Dalam novel Belenggu, pengarang menggunakan pengaluran
maju, yang disisipi dengan alur mundur, tetapi gal ini tidak mempengaruhi
perjalanan alur utama.
Banyak konflik yang terjadi dalam novel ini. Konflik yang muncul
antara lain konflik antar tokoh dan konflik batin tokoh. Pembentukan konflik
ini sangat mempengaruhi proses perjalanan alur. Konflik batin yang terjadi
pada tokoh, misalnya terjadi pada tokoh Sukartono. Hal ini terlihat pada
halaman 66-68. Berikut kutipan pikiran Sukartono saat membandingkan
antara Sumartini dan Rohayah:

“Kalau Yah tiada tahu namanya, kalau tiada disengajanya


memangilnya, adakah Yah akan mengenal dia, kalau tiba-tiba bersua
ditengah jalan? Yah mengenal dia karena sudah maklum lebih dahulu.
Yah, tiada yang gelap, tiada yang tersembunyi, ialah pemandangan
luas, disinari matahari, pemandangan lepas, tiada teralang oleh barang
sesuatu juga. Tini gelap, pintu jiwanya tertutup, dikuncinya,
kesimpulan pikiran yang hidup tersembunyi dalam dirinya. Tini gunung
berapi yang banyak tingkah!” (Belenggu, 2006: 67)

Dari kutipan di atas, tersirat bahwa dalam diri Sukartono terjadi konflik
batin. Ia membanding-bandingkan antara Sumartini dan Rohayah di mata
Sukartono. Dalam novel ini kebanyakan terjadi konflik-konflik batin dari
dalam diri tokoh. Hal ini yang mempengaruhi pengaluran.

13. Tema
Tema yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah emansipasi
wanita dalam kehidupan. Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan
oleh Sumartini terhadap Sukartono yang notabene adalah suaminya,
merupakan tindakan emansipasi yang dilakukan oleh pihak perempuan.

Simpulan
Dari pembahasan di atas, ditemukan beberapa objek stilistika pada
novel Belenggu karya Armijn Pane. Objek-objek stilistika yang ditemukan antara
lain penggunaan bahasa Indonesia yang berbeda dengan bahasa yang digunakan
pada angkatan Balai Pustaka. Hal ini terlihat pada penggunaan kosakata dan
struktur kalimat yang dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya Belanda. Selain
bahasa dan diksi, seperti istilah matematika, istilah kedokteraan, istilah asing, dan
leksikal berbahasa Jawa, dalam novel ini juga ditemukan beberapa cirri khas
pengarang dalam menggunakan tanda baca, seperti titik, titik koma, titik dua, dan
tanda kurung. Novel ini juga menggunakan beberapa majas sebagai unsur estetika.
Selain itu, majas yang digunakan juga berfungsi sebagai sarana pengarang dalam
menyampaikan ide atau gagasan melalui novel ini. Majas yang ditemukan antara
lain repetisi, hiperbola, tautologi, retoris, alonim, sarkasme, simile, antonomasia,
metafora, aptronim, personifikasi, alegori, ironi, dan alusio. Pengaluran, konflik,
penokohan, dan tema yang digunakan oleh pengarang dapat memunculkan ciri khas
novel ini dari novel yang lain.

Sinopsis
Cerita ini memiliki tiga tokoh sentral, yaitu Dokter Sukartono (Tono), Sumartini
(Tini), dan Siti Rohayah (Yah). Ketiganya berada dalam konflik cinta segitiga yang rumit
yang dibumbui dengan masalah dan rahasia masing-masing yang semakin memperburuk
keadaan.
Sukartono adalah seorang dokter yang mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi.
Dia terkenal dokter yang dermawan dan penolong. Dia termasuk seorang yang sangat
mencintai pekerjaannya. Meskipun begitu Tono tidak pernah benar-benar merasakan
cinta dari istrinya selayaknya sebuah keluarga yang harmonis. Kenikmatan hidup yang
bersifat privasi justru dia rasakan dari wanita lain yang bukan istrinya.
Sumartini perempuan modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena
bebas bergaul. Salah satu kisahnya yang memilukan adalah hubungannya yang gagal
dengan kekasihnya sebelum menikah dengan Tono. Dia selalu merasa kesepian karena
kesibukan suaminya yang tak kenal waktu dalam mengobati orang sakit sehingga
melupakan dan membiarkannya di rumah seorang diri.
Siti Rohayah juga merupakan perempuan yang masa lalunya kelam akibat
perceraian. Namun, perbedaannya dia tidak seberuntung Sumartini dalam masalah
ekonomi dan status sosial. Rohayah menjadi perempuan “malam” dan mempunyai
pekerjaan sampingan sebagai penyanyi keroncong dengan nama Siti Hayati.
Kisah ini dimulai dari Dokter Sukartono dengan seorang perempuan berparas ayu,
pintar, serta lincah. Perempuan itu bernama Sumartini atau panggilannya Tini.
Sebenarnya Dokter Sukartono atau Tono tidak mencintai Sumartini. Demikian pula
sebaliknya, Tini juga tidak mencintai Dokter Sukartono. Mereka berdua menikah dengan
alasan masing-masing. Dokter Sukartono menikahi Sumartini karena kecantikan,
kecerdasan, serta mendampinginya sebagai seorang dokter adalah Sumartini. Sedangkan
Sumartini menikahi Dokter Sukartono karena hendak melupakan masa silamnya.
Menurutnya dengan menikahi seorang dokter, maka besar kemungkinan bagi dirinya
untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Jadi, keduanya tidak saling mencintai.
Karena keduanya tidak saling mencintai, mereka tidak pernah akur. Mereka tidak
saling berbicara dan saling bertukar pikiran. Masalah yang mereka hadapi tidak pernah
dipecahkan bersama-sama sebagaimana layaknya suami istri. Masing-masing
memecahkan masalahnya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya keluarga mereka tampak
hambar dan tidak harmonis. Mereka sering salah paham dan suka bertengakar.
Ketidakharmonisan keluarga mereka semakin menjadi karena Dokter Sukartono
sangat mencintai dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Dia bekerja tanpa
kenal waktu. Jam berapa saja ada pasien yang membutuhkannya, dia dengan sigap
berusaha membantunya. Akibatnya, dia melupakan kehidupan rumah tangganya sendiri.
Dai sering meninggalkannya istrinya sendirian dirumah. Dia betul-betul tidak mempunyai
waktu lagi bagi istrinya, Tini. Dokter Sukartono sangat dicintai oleh pasiennya. Dia tidak
hanya suka menolong kapan pun pasien yang membutuhkan pertolongan, tetapi ia juga
ridak meminta bayaran kepada pasien yang tak mampu. Itulah sebabnya, dia dikenal
sebagi dokter yang sangat dermawan.
Kesibukan Dokter Sukartono yang tak kenal waktu tersebut semakin memicu
percekcokan dalam rumah tangga. Menurut Suamrtini, Dokter Sukartono sangat egois.
Sumartini merasa telah disepelekan dan merasa bosan karena selalu ditinggalkan
suaminya yang selalu sibuk menolong pasien-pasiennya. Dia merasa dirinya telah
dilupakan dan merasa bahwa derajatnya sebagai seorang perempuan telah diinjak-injak
sebagai seorang istri. Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak sebagai seorang istri.
Karena suaminya tidak mampu memenuhi hak tersebut, maka Sumartini sering
bertengkat. Hampir setiap hari mereka bertengkat. Masing-masing tidak mau mengalah
dan merasa paling benar.
Suatu hari Dokter Sukartono mendapat panggilan dari seorang wanita yang
mengaku dirinya sedang sakit keras. Wanita itu meminta Dokter Sukartono datang
kehotel tempat dia menginap. Dokter Sukartono pun datang ke hotel tersebut. Setibanya
dihotel, dia merasa terkejut sebab pasien yang memanggilnya adalah Yah atau Rohayah,
wanita yang telah dikenalnya sejak kecil. Sewaktu masih bersekolah di Sekolah Rakyat,
Yah adalah teman sekelasnya.
Pada saat itu Yah sudah menjadi janda. Dia korban kawin paksa. Karena tidak tahan
hidup dengan suami pilihan orang tuanya, dia melarikan diri ke Jakarta dia terjun kedunia
nista dan menjadi wanita panggilan. Yah sebenarnya secara diam-diam sudah lama
mencintai Dokter Sukartono. Dia sering menghayalkan Dokter Suartono sebagai
suaminya. Itulah sebabnya, dia mencari alamat Dokter Sukartono. Setelah
menemukannya, dia menghubungi Dokter Sukartono dengan berpura-pura sakit.
Karena sangat merindukan Dokter Sukartono, pada saat itu juga, Yah
menggodanya. Dia sangat mahir dalam hal merayu laki-laki karena pekerjaan itulah yang
dilakukannya selama di Jakarta. Pada awalnya Dokter Sukartono tidak tergoda akan
rayuannya, namun karena Yah sering meminta dia untuk mengobatinya, lama kelamaan
Dokter Sukartono mulai tergoda akan rayuannya, namun karena Yah sering meminta dia
untuk mengobatinya, lama-kelamaan Dokter Sukartono mulai tergoda. Yah dapat
memberikan banyak kasih sayang yang sangat dibutuhkan oleh Dokter Sukartono yang
selama ini tidak diperoleh dari istrinya. Karena Dokter Sukartono tidak pernah merasakan
ketentraman dan selalu bertengkar dengan istrinya, dia sering mengunjungi Yah. Dia
mulai merasakan hotel tempat Yah menginap sebagai rumahnya yang kedua.
Lama-kelamaan hubungan Yah dengan Tono diketahui oleh Sumartini. Betapa
panas hatinya ketika mengetehui hubungan gelap suaminya dengan wanita bernama Yah.
Dia ingin melabrak wanita tersebut. Secara diam-diam Sumartini pergi ke hotel tempat
Yah menginap. Dia berniat hendak memaki Yah sebab telah mengambil dan menggangu
suaminya. Akan tetapi, setelah bertatap muka dengan Yah, perasaan dendamnya menjadi
luluh. Kebencian dan nafsu amarahnya tiba-tiba lenyap. Yah yang sebelumnya dianggap
sebagai wanita jalang, ternyata merupakan seorang wanita yang lembut dan ramah. Tini
merasa malu pada Yah. Dia merasa bahwa selama ini dia bersalah pada suaminya. Dia
tidak dapat berlaku seperti Yah yang sangat didambakan oleh suaminya.
Sepulang dari pertemuan dengan Yah, Tini mulai berintropeksi terhadap dirinya.
Dia merasa malu dan bersalah kepada suaminya. Dia merasa dirinya belum pernah
memberi kasih sayang yang tulus pada suaminya. Selama ini dia selalu kasar pada
suaminya. Dia merasa telah gagal menjadi Istri. Akhirnya, dia mutuskan untuk berpisah
dengan suaminya.
Permintaan tersebut dengan berat hati dipenuhi oleh Dokter Sukartono.
Bagaimanapun, dia tidak mengharapkan terjadinya perceraian. Dokter Sukartono
meminta maaf pada istrinya dan berjanji untuk mengubah sikapnya. Namun, keputusan
istrinya sudah bulat. Dokter Sukartono tak mampu menahannya. Akhirnya mereka
bercerai.
Betapa sedih hati Dokter Sukartono akibat perceraian tersebut. Hatinya bertambah
sedih saat Yah juga pergi. Yah hanya meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan
jika dia mencintai Dokter Sukartono. Dia akan meninggalkan tanah air selama-lamanya
dan pergi ke Calidonia. Dokter Sukartono merasa sedih dalam kesendiriannya. Sumartini
telah pergi ke Surabaya. Dia mengabdi pada sebuah panti asuhan yatim piatu, sedangkan
Yah pergi ke negeri Calidonia.
Beberapa konflik yang muncul bisa menimbulkan opini dalam masyarakat, bahwa
apabila sebuah kehidupan rumah tangga yang lahir dibangun dari tiadanya rasa saling
cinta antara suami-istri, maka keluarga tersebut tidak harmonis dan bahkan bisa terjadi
perceraian. Hal inilah yang ditakutkan dalam kehidupan seseorang, manakala
membangun rumah tangga tanpa didasari cinta antara suami isteri.
Dalam novel ini bisa dilihat bahwa hubungan antara Tono dan Tini bukanlah
selayaknya pasangan suami istri pada umumnya. Terkesan hanya menjalani sebuah hidup
dengan status sosial semata, sementara masalah hati tidak diabaikan dalam bahtera rumah
tangga mereka. Sehingga Tono pun lari dalam pelukan Rohayah.
Novel ini juga mengandung kritik sosial kepada para perempuan yang masih saja
memandang seseorang hanya dari status sosialnya, seperti sikap Tini saat bertemu dengan
Rohayah. Selain itu sindiran juga terlihat pada bagian Tini yang sedang digosipkan oleh
teman-teman wanitanya. Seolah ingin menunjukan bahwa masih banyak wanita yang
hobi bergunjing.
Keunikan dari novel ini adalah adanya kritik tentang keadaan politik beberapa tahun
sebelumnya. Contohnya seperti awal berdirinya Boedi Oetomo yang para anggotanya
berasal dari kalangan ningrat dari suku Jawa. Secara gamblang, Armijn Pane melancarkan
kritik bahwa tujuan Boedi Oetomo ketika itu bukanlah kemerdekaan secara menyeluruh,
tetapi menjaga agar budaya Jawa tidak dipengaruhi oleh budaya Belanda. Maka secara
tersirat Armijn Pane tidak menyetujui bahwa Boedi Oetomo disebut sebagai tonggak
kebangkitan bangsa.
Selain itu, ada juga gambaran bahwa orang yang berjuang demi kepentingan bangsa
justru tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia. Tetapi justru dianggap
menyusahkan dan tidak berguna selama tidak menghasilkan uang. Seperti pada tokoh
Hartono yang sebenarnya bukan tokoh sentral, tetapi kisahnya mengandung sebuah
makna yang mendalam. Hartono yang rela meninggalkan kuliah dan kekasihnya demi
perjuangannya bersama tokoh revolusioner Ir. Soekarno dan mengabdi pada bangsa justru
mengalami banyak cacian dari orang-orang di sekelilingnya karena dianggap tidak
menguntungkan. Karena pandangan seseorang yang sukses hanya dilihat dari materi
semata.
Novel Belenggu menyimpan banyak makna yang mendalam di setiap konflik yang
dimuculkan. Kritik sosial yang tajam dalam kisah ini bisa menjadi sebuah pembelajaran
bagi para generasi muda dalam menjalani kehidupan yang terhegemoni oleh sebuah
sistem yang menindas. Dan semua itu berlaku terhadap semua orang, baik itu tua-muda,
kaya-miskin, dan juga pria-wanita.

Anda mungkin juga menyukai