Anda di halaman 1dari 7

Nurul Wiji Rahayu, et al, Aspek Pendidikan Keluarga Dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan 1

KAJIAN SEMIOTIKA DALAM NOVEL GAJAH MADA: SANGA TURANGGA PAKSOWANI


KARYA LANGIT KRESNA HARIADI

(Study of Semiotics in the Novel Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani by Langit Kresna Hariadi)

Imron Hidayatullah, Akhmad Taufiq, Furoidatul Husniah


Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember (UNEJ)
Jln. Kalimantan 37, Jember 68121
E-mail: akhmadtaufiq@unej.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kode semiotika dalam novel Gajah Mada: Sanga Turangga
Paksowani karya Langit Kresna Hariadi. Semiotika adalah ilmu yang menelisik tentang tanda (sign). Semiotika
ala Roland Barthes mengemukakan lima jenis kode yang dapat digunakan untuk menemukan makna dalam karya
naratif. Rancangan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Kode Proairetik dalam novel GMSTP menunjukkan
bahwa ada ketimpangan dalam roda pemerintahan Majapahit. Kode hermeneutik menunjukkan superioritas
Gajah Mada dalam pemerintahan Majapahit. Kode konotatif menunjukkan kilasan makna pada beberapa bagian
novel. Kode simbolik menunjukkan beberapa kontras. Kode budaya menunjukkan kode yang berkaitan dengan
kebudayaan Jawa, Sunda, dan Hindu. Pemanfaatan novel GMSTP sebagai alternatif materi pembelajaran sastra
di SMA dapat menggunakan ringkasan novel yang dipilah menjadi beberapa alur.
Kata Kunci: Semiotika, Novel Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani, alternatif materi

Abstract
This study aims to describe the semiotic code in the novel Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani by Langit
Kresna Hariadi. Semiotics is the science that study about the sign. The semiotics of Roland Barthes suggests five
types of code that can be used to find meaning in narrative text. The design of this study is descriptive qualitative.
The Proairetic Code in the novel GMSTP shows that there is an imbalance in the Majapahit government. The
hermeneutic code shows the superiority of Gajah Mada in the Majapahit government. Connotative code shows
a glimpse of meaning in some parts of the novel. The symbolic codes show some contrast. Then, cultural codes
show codes relating to Javanese, Sundanese, and Hinduism cultures. Utilization of novel GMSTP as an
alternative to literary learning materials in high school may use a summary of the novel that are sorted into
several plots.
Keywords: Semiotic, Novel Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani, material alternative.

Pendahuluan Novel Gajah Mada gubahan Langit Kresna Hriadi di


Sastra merupakan cerminan kehidupan yang terbitkan dalam beberapa sekuel yang memiliki anak judul
diabadikan dalam bentuk tulisan. Sastra lahir sebagai hasil berbeda-beda. Namun, penelitian ini akan berfokus pada
dari penghayatan seorang sastrawan terhadap pengalaman novel Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani
hidupnya. Selain itu, sastra lahir sebagai bentuk reaksi (selanjutnya akan disebut novel GMSTP) yang diterbitkan
pengarang terhadap pengalaman hidup dan pengaruh
pada tahun 2013. Novel ini sebelumnya pernah diterbitkan
lingkungannya.
Sebuah karya sastra yang mendudukkan peristiwa dengan judul Gajah Mada: Perang Bubat. Novel ini
sejarah sebagai dasar strukturnya tidak bisa dianggap sama memang menceritakan tentang ‘Perang Bubat’ dan
dengan sejarah. Bagaimana pun sastra merupakan hasil keterlibatan Gajah Mada di dalamnya.
kontemplasi dan bersifat imajinatif. Kekuatan imajinasi Daya tarik novel ini adalah cerita yang dimuat di
membebaskan suatu karya dari keterikatannya kepada dalamnya merupakan cerita yang sampai saat ini menjadi
suatu peristiwa. Makin rendah kadar imajinasinya, makin
hal yang sensitif di antara dua suku di Nusantara. Cerita
dekat hubungannya dengan peristiwa konkret, sesuai
dengan pendapat Junus (1985:6). Sastra tidak dapat yang dimaksud adalah gugurnya rombongan kerajaan
disamaratakan kedudukannya dengan sejarah, walaupun Sunda akibat gempuran pasukan Majapahit di lapangan
keduanya sama-sama menceritakan peristiwa. Bubat. Novel GMSTP mencoba memunculkan kisah fiktif
Taufiq (2016:54) menyatakan bahwa peristiwa dibaca terjadinya tragedi Bubat akibat intrik yang dilakukan
dan dipahami sebagai kejadian yang kompleks sebagai beberapa pihak Majapahit yang membuat perintah dari
sesuatu yang tidak terjadi begitu saja. Peristiwa atau Patih Gajah Mada menjadi bias, sehingga akhirnya memicu
kejadian historis dicurigai terdapat persoalan-persoalan
timbulnya kesalahpahaman diantara pihak Majapahit dan
mendasar yang melatarinya. Berangkat dari asumsi ini,
penelitian ini bermaksud menmukan hal-hal yang tidak kerajaan Sunda.
bisa ditemukan dalam rekaman sejarah melalui teks novel Kedua, novel ini menceritakan tokoh Mahapatih
bernuansa sejarah. Gajah Mada yang sedang melancarkan upayanya untuk

Lingua Franca Vol. II (2) 2017:510-518


Nurul Wiji Rahayu, et al, Aspek Pendidikan Keluarga Dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan 2

mempersatukan kerajaan Sunda Galuh di bawah kekuasaan tentang sejarah kerajaan Majapahit dan Patih Gajah Mada
Majapahit. Ketiga, novel ini menceritakan rencana itu sendiri.
pernikahan Prabu Hayam Wuruk dengan Putri Sunda
Galuh yang justru menjadi penghalang bagi Gajah Mada Metode Penelitian
untuk menundukkan Sunda Galuh di bawah Majapahit. Jenis dan rancangan penelitian ini adalah deskriptif-
Keempat, GMSTP juga menghadirkan kisah cinta terlarang kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
semiotika yang menggunakan teori semiotik Roland
antara Dyah Pitaloka Citraresmi dengan seorang pelukis
Barthes. Sumber data adalah teks novel Gajah Mada:
yang membuatnya rela mempersembahkan jiwa dan Sanga Turangga Paksowani karya LKH. Data penelitian
raganya kepada si pelukis sebelum menerima pinangan dari ini berupa kata, kalimat, dan paragraf dalam teks novel
Mahaprabu Hayam Wuruk. Daya tarik yang kelima adalah GMSTP yang sesuai dengan rumusan penelitian. Teknik
teknik penyajian cerita yang dikemas secara menarik oleh pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi
Langit Kresna Hariadi. Sepanjang jalan cerita pembaca dengan tahap pembacaan, identifikasi data, kodefikasi,
akan dihadapkan pada beberapa ilustrasi yang menyimpan klasifikasi, dan kategorisasi. Teknik analisis data dilakukan
dengan tahap membaca, reduksi data, deskripsi,
teka-teki. Beberapa kisah yang disebutkan di atas
interpretasi, dan penarikan simpulan sesuai rumusan
dijalankan secara bersamaa dan seolah-olah tidak berkaitan masalah penelitian.
satu sama lain. Namun, pembaca akan menemukan
hubungan kisah-kisah tersebut begitu sampai di bagian Hasil dan Pembahasan
akhir cerita. 1. Gambaran Kode Proairetik dalam Novel GMSTP
Pemunculan kisah-kisah di atas dalam novel GMSTP Kode ini menyangkut tindakan dan perilaku dasar
tetap menampilkan alur yang koheren dengan narasi logis yang bertahap. Kode proairetik pada bagian ini
sejarah Perang Bubat. Namun, novel GMSTP adalalah memaparkan rangkaian peristiwa yang menceritakan
upaya perluasan wilayah kekuasaan Majapahit yang
sebuah karya fiksi meskipun di dalamnya terdapat nilai-
dilakukan Gajah Mada. Perluasan wilayah kekuasaan
nilai sejarah yang memang sengaja diciptakan pengarang. tersebut adalah dalam rangka menuntaskan sumpah yang
Kemunculan kisah fiksi tersebut menjadikan novel dia kumandangkan ketika diangkat menjadi Mahaptih
GMSTP memiliki banyak kemungkinan makna yang dapat bergelar Mangkubuni Majapahit.
ditelisik melalui analisis konvensi-konvensi di dalamnya.
Oleh sebab itu, penelitian ini memilih model semiotika “Aku mendapat tugas mendampingi Patih Maduratna
pergi ke Sunda Galuh dan harus memperoleh
(semiologi) Roland Barthes untuk menelusur
kesempatan untuk menyampaikan pesan Kakang
kemungkinan-kemungkinan makna tersebut. Gajah Mada kepada Sang Prabu Maharaja
Model semiotika yang akan digunakam dalam Linggabuana,” jawab Gajah Enggon.
penelitian ini adalah lima kode semiotika Roland Barthes (Hariadi, 2013:85)
yang pernah digunakan pada S/Z. Model semiotika Roland
Barthes dipilih karena dianggap cocok untuk menelusur Kutipan tersebut adalah percakapan tokoh Kanuruhan
kemungkinan-kemungkinan makna dalam struktur novel Gajah Enggon dengan tokoh Pradhabasu yang
menceritakan perihal tugas yang ia terima dari Patih Gajah
GMSTP ini. Salah sastu bentuk kode yang kuat dalam
Mada. Ketika tokoh Prabu Hayam Wuruk mengirim Patih
novel ini adalah kode hermeneutik yang menampilkan Maduratna ke Sunda Galuh untuk melihat secara langsung
pertanyaan di dalam novel tersebut. Kode ini berkaitan erat kecantikan Dyah Pitaloka Citraresmi, Gajah Mada
dengan teknik penulisan novel yang menyajikan misteri- mengirim Kanuruhan Gajah Enggon untuk ikut serta dalam
misteri sepanjang narasinya. Kode lainnya yang dominan rombongan tersebut. Gajah Mada memanfatkan
dalam novel ini tentu saja kode proairetik atau kode aksi. kesempatan itu untuk menyampaikan pesannya kepada raja
Sebab, aksi atau tindakan adalah perangkat utama sebuah Sunda Galuh.
Pada kutipan ini terlihat bahwa tugas yang diterima
narasi dalam menyampaikan isinya. Selanjutnya terdapat
tokoh Kanuruhan Gajah Enggon tidak berasal dari raja
kode budaya yang menampilkan beberapa referensi budaya melainkan dari Patih Gajah Mada. Hal ini berkaitan dengan
dalam narasi novel ini serta kode konotasi yang ambisi Gajah Mada untuk menuntaskan sumpah “pallapa”
menampilkan kilasan makna dalam beberapa kata, frasa, yang telah dia kumandangkan. Selain itu, fakta ini
atau kalimat dalam novel. Kode terakhir yang juga dapat menunjukkan bahwa Gajah Mada memiliki ruang gerak
ditemukan dalam novel ini adalah kode simbolik. yang luas dalam permerintahan Majapahit. Gajah Mada
seolah bebas menjalankan kewenangan apa pun dalam roda
novel GMSTP dapat memberikan informasi-informasi dan
pemerintahan Majapahit.
pengetahuan penting tentang sejarah nusantara. Oleh sebab
itu, novel GMSTP ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif
“pokoknya, kami minta jangan perlakukan Sunda
materi pembelajaran sastra di sekolah, sesuai dengan
Galuh seperti negara bawahan yang lain. Jangan paksa
kurikulum 2013 KD 4.1 “Menginterpretasi makna teks
Sunda Galuh untuk menjadi negara bawahan
novel baik secara lisan maupun tulisan”. Novel ini dapat
Majapahit,” ucap Dyah Wyat.
memberikan manfaat ganda bagi peserta didik. Disamping
(Hariadi, 2013:201)
memberikan pengalaman rohani melalui alur ceritanya,
novel ini juga mampu menambah wawasan peserta didik

Lingua Franca Vol. II (2) 2017:510-518


Nurul Wiji Rahayu, et al, Aspek Pendidikan Keluarga Dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan 3

Kutipan tesebut memperlihatkan perasaan tidak istana adalah Patih Maduratna. Tujuannya adalah untuk
senang Ibu Suri Dyah Wiyat terhadap sikap Gajah Mada. membuktikan kebenaran kabar bahwa Sunda Galuh
Setelah berdebat mengenai posisi Sunda Galuh terhadap memiliki sekar kedaton yang luar biasa cantik. Sementara
Majapahit, Gajah Mada dengan terang-terangan
kepentingan Patih Gajah Mada mengutus Gajah Enggon ke
menyatakan sikapnya untuk menempatkan Sunda Galuh
seperti negara-negara bawahan yang lain. Kedua Ibu Suri Sunda tidak serta merta dijelaskan.
tetap merasa tindakan Gajah Mada yang demikian tidak Jawaban teka-teki tersebut adalah meminta kejelasan
perlu dilakukan karena kedekatan hubungan Majapahit dari Sunda Galuh terkait penyatuan Sunda Galuh dengan
dengan Sunda Galuh. Majapahit. Gajah Mada masih berambisi untuk
Kode ini menunjukkan ketimpangan dalam menempatkan Sunda Galuh seperti negara-negara bawahan
pemerintahan Majapahit. Sebagai seorang Mahapatih yang Majapahit yang lainnya. Jika Sunda tetap bersikukuh untuk
pangkatnya di bawah raja, Gajah Mada memiliki
tidak menerima permintaan Gajah Mada, maka Gajah
kekuasaan yang lebih. Ini terlihat dari tindakannya
mengutus Gajah Enggon tanpa diketahui oleh keluarga Mada tidak segan-segan untuk menggempur kerajaan itu.
istana. Hal ini menunjukkan ketimpangan dalam Hal ini menunjukkan superioritas tokoh Gajah Mada.
pemerintahan Majapahit. Prabu Hayam Wuruk sebagai Ruang geraknya dalam roda pemerintahan Majapahit
pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi di Majapahit nyaris tanpa batas khususnya dalam komando militer
seolah tidak begitu berperan. Majapahit.
Gajah Mada tidak perlu meminta persetujuan Hayam
Wuruk untuk mengirim utusan khusus ke Sunda Galuh.
3. Gambaran Kode Konotasi dalam Novel GMSTP
Sedangkan kepentingannya adalah untuk meminta jawaban
Sunda Galuh terkait penggabungan Sunda Galuh dengan
Kode konotasi menyangkut konotasi-konotasi yang sering
Majapahit. Tentu saja penggabungan tersebut maksudnya
dimunculkan dalam pelukisan watak (penokohan) dan
adalah Sunda Galuh mau menjadi negara bawahan
deskripsi. Menurut Hawkes (dalam Barry, 1995) kode ini
Majapahit dan ikut mengibarkan bendera Majapahit.
memanfaatkan petunjuk atau kerlipan makna dalam sebuah
Penaklukan Sunda tersebut diprakarsai dan dilaksanakan
teks. Kode konotasi pada novel GMSTP setidaknya
oleh Gajah Mada sendiri tanpa ada campur tangan tokoh
ditemukan pada bagian berikut.
Prabu Hayam Wuruk. Hal ini jelas menunjukkan peran
Gajah Mada yang besar dalam memerintah Majapahit
Adakah pembebasan dari penderitaan seperti itu
dibandingkan dengan peran Hayam Wuruk. Sementara
kecuali kematian? Duduk saja tidak mampu, tatapan
Hayam Wuruk seolah-olah hanya menjadi simbol penguasa
mata kosong, tarikan napas sangat tersengal dan terasa
kerajaan dan hanya menikmati fasilitas sebagai Raja.
berat serta dari tenggorokannya terdengar suara
mendengkur kasar, pembebasan macam apa yang bisa
2. Gambaran kode Hermeneutik dalam Novel GMSTP
diharap dari keaadaan itu?
(Hariadi, 2013:11)
Kode hermeneutik menyangkut enigma (teka-teki)
manakala wacana dimulai. Tentang siapa, apa yang Kutipan tersebut menceritakan keadaan Kiai Pawagal
sedang terjadi, bagaimana hubungan antara tokoh yang yang sedang mengalami sakit. Sakit yang dialami Kiai
satu dengan tokoh yang lain, bagaimana suatu tujuan Pawagal adalah sakit yang tidak biasa. Setiap kali Kiai
akan dicapai dan berbagai pertanyaan semacam itu akan Pawagal meggeliat dengan mata terbelalak pertanda bahwa
muncul bila kita membaca sebuah cerita. dia sedang merasakan sakit luar biasa, saat itu juga di luar
rumah muncul angin lesus secara tiba-tiba. Ketika angin
lesus itu bubar, maka rasa sakit Kiai Pawagal juga
“Ibu Suri Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani
menghilang seperti sedia kala.
memerintahkan kepada Patih Maduratna untuk pergi Kutipan tersebut secara tidak langsung menyiratkan
ke Sunda. Tuan Putri Ibu Suri mendengar bahwa tentang ‘tidak adanya harapan’. Bagian dalam kutipan
Prabu Maharaja Linggabuwana, Raja Sunda tersebut yang memberikan konotasi adalah kata
Galuh,memiliki seorang anak gadis yang ‘pembebasan’ dan ‘kematian’. Penyandingan dua kata
kecantikannya gilang-gemilang. Aku ingin kau tersebut dalam kutipan di atas adalah tanda bahwa sakit
menemani Patih Maduratna ke istana Surawisesa,” yang sedang diderita Kiai Pawagal tidak mungkin
disembuhkan. Jalan satu-satunya yang mungkin menjadi
ucap Gajah Mada datar.
jalan keluar dari masalah ini adalah kematian. Kematian
(Hariadi, 2013:42) dalam kutipan tersebut tidak direpresentsikan sebagai
sesuatu yang menakutkan namun menjadi hal yang mampu
Kutipan diatas adalah perintah tokoh Gajah Mada membebaskan. Kata ‘bebas’ berarti lepas dari sesuatu. Kata
kepada tokoh Gajah Enggon. Pada kutipan tersebut terlihat ini memberikan kesan ‘lega’. Selanjutnya, kata
bahwa Patih Gajah Mada memerintah Gajah Enggon untuk ‘pembebasan’ menyiratkan sebuah harapan untuk keluar
dari keadaan sulit. Ini berarti, secara tidak langsung kutipan
ikut ke Sunda bersama rombongan tokoh Patih Maduratna.
diatas menyiratkan bahwa sakit yang diderita Kiai Pawagal
Teka-teki pada kutipan tersebut adalah mengenai mustahil untuk mendapatkan kesembuhan. Kod konotaai
kepentingan apa yang dimiliki Gajah Mada sehingga dia juga terdapat pada data berikut.
mengutus Gajah Enggon ke Sunda. Pada kutipan tersebut
terlihat bahwa yang diutus secara resmi oleh keluarga

Lingua Franca Vol. II (2) 2017:510-518


Nurul Wiji Rahayu, et al, Aspek Pendidikan Keluarga Dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan 4

“Hamba, Tuan Putri,” jawab Gajah Mada. “Kedua hal Mada lebih menunjukkan sisi baik Gajah Mada. dia
itu bisa berjalan seiring. Terjemahannya adalah anak diceritakan sebagai tokoh yang berjasa bagi Majapahit
gadis Raja Sunda Galuh harus ditempatkan sebagai dengan menyebutkan prestasi-prestasinya mempersatukan
putri persembahan, sebagai upeti yang menandai negera-negara di luar Majapahit. Namun, pada bagian
Sunda Galuh tunduk dan bergabung dengan selanjutnya, Narasi mulai menceritakan Gajah Mada dari
Majapahit yang lebih besar.” sudut yang berbeda dan cenderung menunjukkan sisi buruk
(Hariadi, 2013:202) Gajah Mada. Gajah mada diceritakan sebagai seorang Patih
yang ambisius, bahkan cenderung menampakkan sikap
Kutipan tersebut adalah peristiwa ketika Gajah Mada egois. Keinginannnya untuk menjadikan Majapahit sebagai
dipanggil oleh Ibu Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wyat. negara adidaya terkesan berlebihan pada separuh kisah
Kedua mantan prabu putri tersebut meminta pendapat terahir. Hal ini terlihat pada upayanya untuk terus
Gajah Mada tentang bagaimana pandangannya terhadap menundukkan Sunda Galuh. Gajah Mada tidak diceritakan
Kerajaan Sunda Galuh yang belum menyatakan diri untuk sebagai pihak yang ingin menggagalkan perjodohan tokoh
bergabung dengan Majapahit. Pada saat yang bersamaan, prabu Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka.
Prabu Hayam wuruk berencana mengambil Sekar Kedaton Akan tetapi, Gajah Mada menghendaki jika memang
Sunda Galuh untuk menjadi permaisurinya. Berada Majapahit ingin mengambil Dyah Pitaloka sebagai
langsung di hadapan Prabu Putri tidak membuat Gajah menantu, maka Putri tersebut harus diserahkan sebagai
Mada ragu menyatakan gagasannya. Dari kutipan tersebut upeti. Hal ini menggambarkan kontras antara karakter
terlihat bahwa Gajah Mada tetap pada pendiriannya untuk tokoh baik dan tokoh jahat pada sosok Gajah Mada. Di Satu
menundukkan Sunda Galuh. sisi Gajah Mada menjadi pahlawan. Seorang ksatria yang
Kutipan di atas menyiratkan watak Gajah Mada yang banyak berjasa pada negaranya. Sementara itu, di sisi lain,
teguh terhadap pendiriannya. Namun, di sisi lain juga Patih Gajah Mada menjadi seorang patih yang congkak.
menggambarkan bahwa Gajah Mada terlalu egois dengan Kesombongannya terlihat pada sikapnya terhadap Sunda
Galuh yang akan menjadi keluarga Majapahit. Baginya,
mempertahankan kemauannya yang bertentangan dengan
bagaimana pun Majapahit harus membawahi Sunda Galuh.
kehendak mantan Prabu Putri. Menempatkan calon Makna yang dapat diambil dari kode ini adalah kontras
menantu kerajaan sebagai ‘persembahan’ adalah tindakan pada representasi sosok Gajah Mada mengkodefikasikan
yang terkesan arogan. Penggunan kata upeti dalam kutipan watak manusia yang yang multivalen.
di atas menyiratkan kesan sombong pada sosok Gajah
Mada. Secara tidak langsung penggunaan kata tersebut b. Kontras Kematian
mengkonotasikan bahwa Gajah Mada memandang rendah
“Di dalam raga dan jiwa kakek mertuamu, tersimpan
terhadap Kerajaan Sunda Galuh yang berdampak pada citra
sesuatu yang akan menjadi masalah di hari tua. Jika
Gajah Mada sebagai tokoh yang congkak. Data yang sesuatu itu bisa dilucuti dan dipaksa keluar, pada saat
mendukung asumsi tersebut terdapat pada kutipan di itulah kakek mertuamu akan kembali sebagai manusia
bawah ini. lumrah. Kalau tidak, sepikun apapun kakek mertuamu,
nyawanya tak akan oncat dari tubuhnya,” jawab Ibu
4. Gambaran Kode Simbolik dalam Novel GMSTP Suri Gayatri.
(Hariadi, 2013:13)
Kode simbolik menunjukkan beberapa kontras dalam
novel GMSTP. Kontras tersebut antara lain kontras pada Pada tokoh Kiai Pawagal, kematian digambarkan sebagai
representasi Gajah Mada, kontras kematian, dan kontras sesuatu yang teramat dirindukan. Kematian menjadi
cinta. Kontras-kontras tersebut adalah sebagai berikut. sesuatu yang teramat sulit dicapai oleh tokoh Kiai Pawagal.
Sementara itu, pada kasus Dyah Pitaloka kematian
Kontras represetasi Sosok Gajah Mada digambarkan sebagai sesuatu yang datang begitu mudah.
Kematian menjadi sesuatu yang siap dihadapi tokoh Dyah
Sejak Mahapatih Gajah Mada mengumandangkan Pitaloka bahkan bisa dikatakan dijemput olehnya.
sumpahnya yang menyentakkan semua orang di Kematian Kiai Pawagal diceritakan sebagai hal yang
Paseban Tatag Rambat dua puluhan tahun yang sangat diinginkan oleh Kiai Pawagal namun, tak kunjung
lampau, setapak demi setapak apa yang diimpikan didapat karena suatu alasan misterius.
berhasil diwujudkan. Dengan mengirim orang untuk Kiai Pawagal diceritakan sudah berusia terlampau tua.
belajar membuat kapal di Dharmasraya, dalam waktu Pada usia tua itulah Kiai Pawagal mengalami sakit parah
cepat puluhan, bahkan ratusan kapal berhasil yang membuatnya tak mampu lagi bangun dari
dibangun. Hal itu diimbangin pula dengan dibukanya pembaringan. Kematian bukan sebagai sesuatu yang
peluang untuk pemuda di seluruh Majapahit yang ditakuti dan dihindari, tetapi menjadi sebuah keadaan yang
ingin mengabdikan dirinya menjadi prajurit. Untuk seolah-olah ditunggu-tungu bahkan didambakan. Hal ini
menghimpun kekuatan, ratusan raja negara di sekitar terlihat dari sikap Kiai pawagal yang tidak mau lagi disuapi
Majapahit dikirimi surat dan diajak untuk bersatu makanan. Sikap tersebut memberikan isyarat bahwa Kiai
padu melawan kekuatan Tartar yang masih berupaya Pawagal sudah tidak menghendaki dirinya hidup.
mencari celah untuk menguasai Nusantara.
(Hariadi, 2013:44) Prabu Putri Dyah Pitaloka justru terlihat tenang.
Entah terlahir dari dorongan kejiwaan macam apa,
Pada bagian awal Gajah Mada diceritakan secara Dyah Pitaloka yang telah memegang gagang kujang
herpok dengan penuh kekaguman. Penggambaran Gajah dalam ukuran kecil, amat menikmati keadaan itu.
Lingua Franca Vol. II (2) 2017:510-518
Nurul Wiji Rahayu, et al, Aspek Pendidikan Keluarga Dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan 5

Kujang dalam genggaman tangannya ada dua. Kujang kita lakukan suamiku. Aku ingin kelak bisa
berbilah tajam dengan wara putih mengilat, itulah menertawakan Majapahit yang tidak menyadari, raja
kujang yang diasah amat tajam dan dibuat dari baja berikutnya bukanlah keturunan mereka, bukan
pilihan. Sedangkan, kujang kedua tidak bergagang
keturunan Prabu Hayam Wuruk. Akan tetapi,
mewah seperti kujang pertama yang bergagang emas.
Kujang kedua bergagang kayu sederhana, bahkan sepenuhnya keturunanku dan keturunanmu. Buah
tanpa ukiran. Bilahnya pun karatan. Namun, justru cinta kita,”
karena itu, kujang itu menjadi sangat mematikan (Hariadi, 2013:382)
karena dibalik karatnya bersembunyi racun yang bisa
menghancurkan butir-butir darah, meski hanya Berbeda dengan Saniscara, tokoh Dyah Pitaloka
melalui luka kecil saja. (Hariadi, 2013:426) memiliki cinta yang harus disatukan. Baginnya cinta harus
‘bersambut’. Dia justru ingin Sasniscara mengetahui bahwa
Jika kematian Kiai Pawagal digambarkan sebagai dia memiliki perasaan yang sama. Dyah Pitaloka
kematian yang sulit dicapai, maka pada bagian berikutnya menghendaki Saniscara tahu bahwa cintanya berbalas. Hal
kematian menjadi sesuatu yang teramat mudah didapatkan. ini menunjukkan kontras di antara cinta keduanya. karakter
Bahkan, digambarkan sebagai sesuatu yang memang tokoh Putri Dyah Pitaloka sebagai gadis remaja sangat kuat
dijemput secara sengaja oleh Dyah Pitaloka. Dyah Pitaloka dalam kisah percintaanya dengan tokoh Saniscara. Sebagai
tidak perlu menunggu terlalu lama hingga akhirnya dia seorang gadis remaja, perasaan cintanya kepada Saniscara
menghembuskan napas terakhirnya setelah sebuah kujang membuatnya bertidak gegabah dengan menggoda
bergagang emas menancap di dadanya. Pada kisah Kiai Saniscara untuk menodainya. Hal ini menunjukkan sikap
Pawagal kematian menjadi hal yang teramat sulit untuk khas remaja dengan psikologi yang labil. Dia tidak bisa
digapai. Sementara itu, pada bagian kisah kematian Dyah mempertimbangkan baik-buruk tindakannya. Kisah cinta
Pitaloka justru seolah-olah dapat digapai kapan pun Dyah Pitaloka berakhir dengan tragis. Kontras dalam kisah
kematian itu dikehendaki. Sebab, pada akhirnya Dyah cinta ini diakhiri dengan jalan yang sama antara Dyah
Pitaloka tewas dalam tikamannya sendiri. Pitaloka dan Saniscara. Hal ini karena tokoh Saniscara dan
Kode ini menampilkan makna bahwa jarak antara tokoh Dyah Pitaloka mati di akhir cerita.
hidup dan kematian seseorang bisa dekat dan bisa juga
jauh. Terlihat pada kasus Kiai Pawagal bahwa jarak antara 5. Gambaran Kode Budaya dalam Novel GMSTP
hidup dan matinya begitu panjang dan amat sulit digapai.
Sebaliknya, pada kasus Dyah Pitaloka jarak antara hidup Kode budaya dalam novel GMSTP mengarah pada
dan mati tampak begitu dekat dan dengan mudah dicapai. budaya Jawa dan Hindu. Beberapa tokoh dalam novel ini
memiliki nama yang menggunakan nama hewan. Nama-
c. Kontras Cinta nama tokoh yang dimaksud ada yang memang diadopsi
dari nama-nama dalam catatan sejarah dan ada pula tokoh
“Malam ini aku akan menyelinap ke istana. Aku tak yang bersifat fiktif atau karangan. Penggunaan nama
peduli meski prajurit Sunda Galuh menangkapku dan hewan ini merujuk pada fakta bahwa masyarakat Jawa
memenggal kepalaku di alun-alun. Aku kan hadapi jaman dulu banyak menggunakan nama-nama hewan
semua itu. Aku sanggup mati asal telah kutumpahkan menjadi nama manusia, Gajah Mada, Hayam Wuruk,
hasrat cintaku kepada kekasih jantung hatiku,” kata Macan Liwung, dan Kuda Swabaya.
Saniscara dalam hati.
(Hariadi, 2013:273) Prabu Maharaja Linggabuana diam untuk menimbang
dengan saksama permintaan itu. Secara adat, biasanya
Kisah cinta ini berawal ketika Saniscara melukis Dyah pihak perempuan yang menyelenggarakan pesta
Pitaloka atas dasar cinta dan diketahui oleh Dyah Pitaloka perkawinan lebih dulu. Setelah pesta diselenggarakan
yang akhirnya jatuh cinta kepada Saniscara. Cinta pihak perempuan, selanjutnya temanten akan
Saniscara kepada Dyah Pitaloka bukan cinta sembarangan. diboyong ke pihak laki-laki. Pesta yang
Saniscara rela tertangkap prajurit Istana Sunda Galuh asal diselenggarakan pihak laki-laki disebut ngundhuh
kehendaknya tercapai. Dia merasa kehendaknya sejak awal manthu. Jika permintaan Majapahit itu dipenuhi,
harus dituntaskan. Bagi Saniscara, lukisan karyanya harus rangkaian upacara pernikahan macam itu terbalik.”
sampai ke tangan Pitaloka meski Dyah Pitaloka tak (Hariadi, 2013:366)
mengetahui siapa sebenarnya yang memberinya lukisan itu.
Dia hanya ingin meninggalkan lukisan karyanya itu di Kutipan tersebut adalah peristiwa ketika rombongan
istana tanpa diketahui siapa pun termasuk oleh Dyah pelamar dari Majapahit meminta untuk melaksanakan
Pitaloka. pesta pernikahan terlebih dahulu di Majapahit. Hal ini tidak
seperti adat kebiasan acara pernikahan yang dilakukan di
Dyah Pitaloka berbisik, suaranya nyata-nyata kediaman pihak perempuan terlebih dahulu. Kode budaya
terdengar mesra. pada kutipan tersebut terdapat pada prosesi pernikahan
“Ayo, kita lakukan,” jawab Dyah Pitaloka amat yang menyebutkan kata “ngunduh mantu”. Kode ini juga
gugup, “Ayo, kita lakukan Kakang Saniscara mengarah pada kebudayaan Jawa.
kekasihku. Kau harus menjamah tubuhku. Kau harus Berdasarkan pemaparan gambaran lima kode
menodaiku. Aku harus mempersembahkan yang aku semiotika Roland Barthes terlihat bahwa terdapat tiga hal
yang menjadi tema kuat dalam novel Gajah Mada: Sanga
miliki kepadamu dan aku siap untuk mengahdapi
Turangga Paksowani. ketiga Hal tersebut meliputi,
pahitnya kehidupan macam neraka sekalipun. Ayo, kekusaan, cinta, dan perang. Kekuasaan Gajah Mada dalam
Lingua Franca Vol. II (2) 2017:510-518
Nurul Wiji Rahayu, et al, Aspek Pendidikan Keluarga Dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan 6

pemerintahan Majapahit membuatnya memaksakan ditemukan pada bagian judul novel yang menandakan
ambisinya terhadap Sunda Galuh. Selanjutnya, Cinta sebuah tahun dalam kalender tahun Saka. Kode konotasi
terlarang yang terjadi antara Dyah Pitaloka dan Saniscara juga ditemukan pada representasi tokoh Gajah Mada yang
menimbulkan konflik batin yang berimbas pada sikap menandakan bahwa Gajah Mada memiliki sisi buruk dan
Dyah Pitaloka terhadap ancaman Gajah Mada. Kedua hal sisi baik. Selanjutnya, kode konotasi juga ditemukan pada
tersebut adalah pemicu terjadinya Perang Bubat. representasi sosok Dyah Pitaloka yang menyiratkan sosok
yang berjiwa bebas dan berpandangan terbuka. Namun,
6. Pemanfaatan Sebagai Alternatif Materi Pembelajaran sekaligus menampilkan perilaku yang kurang pantas
Sastra di SMA. dilakukan seorang puteri.
Kode simbolik pada novel GMSTP menunjukkan
Pembelajaran apresiasi prosa dalam penelitian ini kontras pada representasi sosok Patih Gajah Mada. Pada
difokuskan pada pemanfaatan novel GMSTP sebagai bagian awal tokoh ini diceritakan sebagai tokoh yang
alternatif materi pembelajaran apresiasi prosa SMA kelas banyak berjasa pada Majapahit. Namun, pada bagian
XII. Terkait dengan pemanfaatan novel GMSTP ke dalam selanjutnya Gajah Mada diceritakan sebagai orang yang
pembelajaran sastra sebagai alternatif materi, terlebih egaois dan keras kepala. Hal ini ditunjukkan oleh sikapnya
dahulu akan dibuat ringkasan cerita novel GMSTP. Tentu yang bersikeras ingin menundukkan Sunda Galuh meski
saja ringkasan cerita dibuat menggunakan bahasa yang kerajaan tersebut akan menjadi keluarga Majapahit.
cocok dan mudah dipahami oleh pelajar SMA. Agar lebih Kontras juga ditemukan pada representasi kematian.
efisien dalam penggunaannya, ringkasan novel GMSTP Pada kisah Kiai Pawagal, kematian menjadi sesuatu yang
akan dibuat dalam beberapa segmentasi. Segmentasi ini amat dirindukan oleh Kiai Pawagal. Sakit yang
berdasarkan beberapa alur yang terdapat dalam novel berkepanjangan membuat Kiai Pawagal begitu merindukan
GMSTP. kematian. Namun, kematian begitu sulit didapatkan dan
Ringkasan novel akan dibuat seolah-olah terpisah tertahan oleh kekuatas mistis di dalam raga Kiai Pawagal.
antara satu alur dengan alur yang lainnya. Segmentasi pada Sementara itu, Pada kisah Putri Dyah Pitaloka, kematian
ringkasan novel GMSTP ini bertujuan untuk melatih sikap menjadi begitu mudah didapatkan. Dyah Pitaloka terbunuh
kritis peserta didik. Dengan membaca alur yang terpisah oleh hunusan kujangnya sendiri melalui tindakan belapati.
diharapkan siswa mampu menemukan keterkaitan diantara Kontras lainnya adalah kontras pada kisah cinta
alur-alur tersebut. selanjutnya, peserta didik akan berusaha Saniscara dan Dyah Pitaloka. Bagi Saniscara kisah
mengintegrasikan kelima alur tersebut. Setelah itu, peserta cintanya yang tulus membuatnya berani menyelinap ke
didik akan menemukan makna dari ringkasan novel dalam istana Surawisesa hanya untuk sekedar meletakkan
tersebut. lukisan Dyah Pitaloka buatannya. Bagi Saniscara cinta
tulusnya tsidak harus terbalas oleh Dyah Pitaloka.
Kesimpulan dan Saran Sementara bagi Dyah Pitaloka, Saniscara berhak dan harus
mengetahui bahwa dia membalas cinta Saniscara. Baginya,
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dijabarkan bagaimana pun cintanya harus bersatu. Hal ini ditunjukkan
sebelumnya mengenai gambaran kode semiotika dalam oleh tindakan Dyah Pitaloka yang menyelinap ke luar
novel Gajah Mada: Sanga Turangga Paksowani karya istana untuk menemui Saniscara dan menyatakan cintanya.
Langit Kresna Hariadi, dapat disimpulkan bahwa dalam Kode budaya pada novel GMSTP dikodefikasikan
novel tersebut ditemukan kelima gambaran kode semiotika. melalui penggunaan nama hewan menjadi nama beberapa
Dalam novel ini ditemukan kode proairetik yang terbagi tokoh yang mengarah pada kebudayaan Jawa kuno.
berdasarkan beberapa alur kisah yang teradapat dalam Selanjutnya, kode budaya dikodefikasikan dengan prosei
novel GMSTP. Beberapa kisah tersebut dijalankan secara pernikahan “ngunduh mantu”. Kode budaya juga terdapat
bersamaan melalui fragmen-fragmen yang seolah-olah pada prosesi kremasi pada kisah kematian Kiai Pawagal
tidak berkaitan satu dengan yang lain. Namun, mendekati dan pada penyebutan istilah “kurusetra, Yamadipati, dan
bagian akhir keterhubungan fragmen-fragmen tersebut huppalawya” yang mengarah pada kebudayaan Hindu.
terlihat jelas dan menjadi penuntasan yang baik dalam Terkait pemanfaatan novel GMSTP sebagai
novel GMSTP. Dari integrasi fragmen-fragmen tersebut alternatif materi pembelajaran sastra di SMA, terlebih
dapat disimpulkan bahwa rangkaian kode proairetik pada dahulu akan dibuat ringkasan novel yang dibagi menurut
novel GMSTP menunjukkan adanya ketimpangan dalam alur-alur yang terdapat dalam novel GMSTP. Tujuannya
roda pemerintahan Majapahit. adalah supaya peserta didik mampu menemukan sendiri
keterkaitan alur-alur tersebut.
Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk
Kode hermeneutik pada novel ini ditemukan hampir di
melakukan penelitian selanjutnya terkait kajian semiotika
seluruh bagian novel. Teknik penceritaan yang banyak
maupun kajian lainnya guna memperkaya khasanah sastra
memunculkan teka-teki sepanjang alur cerita membuat
di Indonesia. Bagi pendidik disarankan untuk
peran kode hermeneutik sangat kuat dalam novel GMSTP
mengaplikasikan novel Gajah Mada: Sanga Turangga
karya Langit Kresna Hariadi. Dari rangkaian teka-teki yang
Paksowani maupun novel bernuansa sejarah lainnya guna
muncul dalam novel GMSTP dapat disimpulkan bahwa
memberikan variasi dan pembaruan dalam pembelajaran
kode hermeneutik pada novel ini menunjukkan tentang
sastra di SMA. Selain itu, diharapkan pemanfaatan novel
superioritas tokoh Gajah Mada sebagai mahapatih kerajaan
GMSTP sebagai alternatif materi pembelajaran sastra di
Majapahit.
SMA dapat mendukung pengembangan kesadaran
berbangsa bagi pelajar.
Kode konotasi pada novel GMSTP jdua ditemukan
pada beberapa bagian novel. Kode konotasi pertama

Lingua Franca Vol. II (2) 2017:510-518


Nurul Wiji Rahayu, et al, Aspek Pendidikan Keluarga Dalam Novel Ibuk Karya Iwan Setyawan 7

Daftar Rujukan

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar


Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. (terjemahan
Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini). Yogyakarta:
Jalasutra.
Hariadi, Langit Kresna. 2013. Gajah Mada: Sanga
Turangga Paksowani. Solo: Tiga Serangkai.
Jabrohim. 2002. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang:
IndonesiaTera.
Taufiq, Akhmad. 2016. Reimajinasi Politik dalam Novel
Rabet, Runtuhnya Jerman Timur Karya Martin
Jankowski.
http://scholar.google.co.id/citations?user=jFrhzk8AA
AAJ&hl=id. Diunduh pada Minggu, 29 Oktober 2017

Lingua Franca Vol. II (2) 2017:510-518

Anda mungkin juga menyukai