Anda di halaman 1dari 4

1.

Studi tokoh

Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 3 Juli
1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Indonesia.[1] Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita
dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan.

Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad Yusuf,
suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin (Berkuasa sejak 1593 - wafat 15 Juni 1639, penguasa
Gowa pertama yang muslim), raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf. Pendidikan agama
diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh
Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
[butuh rujukan]

Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun, Syekh
Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan Ageng
Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf berguru pada
Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.[butuh rujukan]

Pada tahun 1644, Syech Yusuf menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk beberapa lama,
dimana Ia belajar kepada ulama terkemuka di Mekkah dan Madina [2] Syekh Yusuf juga sempat mencari
ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk
berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Syech Yusuf
mempelajari Islam sekitar 20 tahun di Timur Tengah.[3]

Riwayat hidup referensi yg lain

riwayat hudup Syekh Yusuf al-Taj. Syekh Yusuf lahir di kerajaan Gowa-Tallo di Semenajung Barat Daya
pulau Sulawesi Selatan yang sudah cukup strategis dari sudut pandang perdagangan rempah-rempah
yang suah ramai di kepulauan Nusantara kala itu. Perdagangan pada abad 16 sudah ramai sehingga
turut membantu tersebarnya agama Islam sampai ke kerajaan Gowa.[13]

Salah satu kehidapan Syekh Yusuf adalah bahwa ada riwayat yang menyebutkan ia dipanggil oleh Raja
untuk dinikahkan dengan putrinya karena ia termasuk ilmuan. Namun Yusuf tetap ingat sumpahnya
bahwa tidak akan menginjak bumi Gowa sebelum ia menjadi sufi. Akhirnya sampai dipanggil 3 kali raja
menyuruh putrinya agar diantar ke tempat tinggal Yusuf di kampung Baru. Pasca 40 hari pernikahan,
syekh Yusuf langsung meniggalkan istrinya untuk ibadah haji.[14]
Perjalanan intelektualnya hingga ke Aceh. Di sana ia mendapat ijazah tarekat Qadiriyah dari syekh
Nuruddin ar-Raniri. Kemudian ke Yaman. Di sana ia mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah dari Syekh
Abdullah Muhammad al-Baqi Billah. Kemudian kembali ke Gowa dan kemudian juga ke Banten pada
masa sultan Agung Tirtayasa.

Selain Zubdatul Asrar, ia juga mengarang beberapa buku lainnya yang tidak kurang dari 23 judul buku.
Diantaranya seperti Daf al-Bala’, Habl al-Warid, Bidayat al-Mubtadi’, dll. Terkait isi buku yang berjumlah
23 tersebut dideskrisikan oleh Lubis pada bab ini secara singkat namun cukup mendetail yaitu dari
halaman 67-97 yang kemudian bab III ini ditutup dengan pembahasan corak tasawuf dan pemikiran
syekh Yusuf.[15]

2. Mencari naskah asli

3. Pembahasan naskah.

Naskah Zubdatul Asrar (ZA) yang asli dari pengarang sulit dilacak dan tidak ditemukan lagi. Buku ini
adalah untuk murid-muridnya yang bergabung dalam ajaran tarekatnya Syekh Yusuf. Tidak ada alasan
yang jelas dari Syekh Yusuf al-Taj kenapa buku itu ditulis.[7] Namun dalam karya lainnya, yakni Taj al-
Asrar, pengarang mengaku diminta oleh beberapa teman dan murinya untuk menulis tentang ilmu
rahasia ketuhanan. Ia mengaku bukan ahlinya namun Syekh Yusuf juga tidak dapat menolak permintaan
itu.

Karena itulah Syekh Yusuf kemudian istikharah terlebih dahulu untuk mendapat izin-Nya, yang seteleh
mendapat petunjuk baru menamai kitabnya dengan Taj al-Asrar. Isi kitab ini tidak jauh berbeda dengan
naskah ZA. Yaitu tentang tauhid, pentingnya bimbingan guru, dan akhlak kepada Tuhan. Teks juga
menyebut tentang manusia kamil, penuh dengan ayat Qur’an dan qaul (perkataan) para sufi dan
pengalaman mereka dalam menuju ma’rifatullah seperti al-Hallaj dan al-Bustami.[8]

Alasan kenapa syekh Yusuf menulis ZA ini dalam tesisnya dijelaskan lebih rinci lagi, yakni pada halaman
41-44, Lubis menduga (setelah membaca isinya) bahwa sesuai keahlian Syekh Yusuf sebagai guru, sufi,
ahli syariat, da’i, ahli tarekat (suluk), ingin menyebarkan ilmunya kepada murid-muridnya dimanapun ia
berada. Karena dari riwayat hidup syekh Yusuf terbukti bahwa ia merupakan orang yang menghayati
ajaran agama dan selalu menyontoh kepada Rasulullah. Ia ingin membersihkan akidah masyarakat dari
praktek-praktek yang tidak sesuai dengan hakikat agama. Ia menasihati dan melarang berbuat mungkar
seperti yang terjadi ketika ia di Gowa. Itu pula alasan kenapa Sykeh Yusuf ke Banten, yakni karena ia
merasa sudah tidak cocok lagi tinggal di Gowa.[9]

Teks ZA ditulis ketika syekh Yusuf sedang di Banten. Dalam kolofon menyebut tanggal penulisannya
pada bulan Safar 1087H/1667M, adapun Syekh Yusuf wafat pada tahun 1111H/1699M. Artinya teks itu
ditulis pada masa hidupnya namun tidak bisa dipastikan apakah teks itu merupakan buah tangan syekh
Yusuf sendiri atau salinan dan jika salian juga tidak terdapat petunjuk siapa yang menyalinnya.[10]

Naskah ZA ada 4 buah:

1. Naskah ZA dengan kode A. 45 Jakarta

Naskah tersebut adalah naskah yang tertua dari keempat jenis naskah. Naskah ZA memiliki ketebalan
222 halaman dengan 10 baris disetiap halamannya. Satu baris bahasa Arab dan diikuti dengan satu baris
terjemahnya (bahasa Jawa) dengan tinta merah. Ukuran luarnya 23 x 19cm, bingkainya berkuran 15 x
10cm. Kertanya bagus, tebal namun tidak ada cap air atau tanda lain yang membantu menentukan usia
naskah dengan tepat.[11]

Naskah ZA ini ada keteragan nama pengarang Syekh Yusuf al-Taj dan menyebut tempat penulisannya di
kerajaan Banten pada zaman sultan Abu al-Ma’ali Abual-Mafakhir (Tirtayasa). Juga disebut teks selesai
ditulis pada bulan Syawal tahun 1087H/1676M.[12]

2. Naskah ZA dengan kode A. 101 Jakarta

Naskah ini ada 20 halaman. Setiap halaman berisi 21 baris, cukup padat dengan 14 kata setiap baris.
Ukuran luar 22,5cmx19cm dan bingkai bacaan berukuran 20 cmx13cm. Kertas tebal dan bagus, tanpa
cap air. Tlisan bagus dan rapih yang menggabungkan jenis khat riq’ah dan khat naskhi. Tidak banyak
kesalahan sebagaimana yang ditemukan dalam naskah A.45. disini juga disebut pengarangnya dan
selesai penulisannya sama seperti naskah ZA kode A. 45. Hanya saja disini juga disebut penyalinannya
selesai paa bulan safar tahun 1187H/1776M.
3. Naskah ZA dengan kode 108 Jakarta

Naskah ini terdiri dari 37 halaman. Setiap halaman berisi 17 baris dan satu baris berisi 8 kata. Ukuran
luar 17,5cm x 10,5cm, ukuran bingkai bacaan 12cm x 6cm. Kertas tipis dan kurang baik. Sebagian naskah
rusak dan sulit dibaca. Ada bekas seperti terbakar dan berlubang. Tulisan Arabnya bagus dan kecil. Pakai
khat naskhi dan ada tanda baca namun tidak banyak kesalahan penempatan tanda baca.

Disebut pula pengarangnya dan penyalinan selesai pada bulan Sya’ban 1221H/1810M. Disalin oleh
Harun (Kadi Bone). Pemilik naskah disebut sultan Bone yang bernama Syams al-Millah wa al-Din. Naskah
ini tercatat pada katalog Musium Pusat Jakarta pada 12 Januari 1971.

4. Naskah ZA dengan kode Or. 7025 Leiden

Naskah ini terdiri dari 46 halaman. Setiap halaman 13 baris dan setiap baris ada 10-12 kata. Kuranliar
18,5cmx12,5cm. Bingkai bacaan 13cmx10cm. Kertas bagus, tebal, dan tidak ada cap air. Tulisan bagus
tidak memaki tanda baca vokal pendek. Penampilan juga rapih dan bagus. Ada interpolasi berupa
sebuah cerita lengkap sepanjang 2 halaman yang tidak ada dalam tiga jenis naskah di atas. Tidak ada
nama pengarang. Naskah diperoleh dari koleksi Snouck Hurgronje pada tahun 1936.

Artinya, dari ketiga jenis naskah ZA (kode 45, 101 dan 108) memiliki kesamaan dalam menyebut
pengarang, urutan uraian naskah dan kualitas bahasanya. Hal itu berbeda dengan naskah dengan kode
Or. 7025 yang banyak interpolasi yang sulit ditelusuri. Interpolasi ini penuh dengan kesalahan bahasa
dan penyimpangan penulisan.

4. Keadaan social kultural

Ada di dalam PDF

Anda mungkin juga menyukai