Anda di halaman 1dari 4

Judul Buku Tebal Buku Pengarang Penerbit

: Syekh Yusuf Tuwanta Salamaka (Ulama Pejuang Abad ke-17) : 41 halaman : Muhammad Bachrum Sibali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Tahun Terbit : 1989

Syekh Yusuf Tuwanta Salamaka

ama kecilnya ialah Muhammad Yusuf. Setelah menjadi ulama dan ahli tasawuf, nama dan gelarnya yang lengkap ialah Syekh Haji Yusuf Abul Mahasin Hadiyatullah Tajul Khalwati Al Makassari. Masyarakat luas di Sulawesi Selatan mengenalnya dengan nama Syekh Yusuf Tuwanta Salamaka (bhs. Makasar) atau Tuwanta SalamaE (bhs. Bugis), artinya tuan kita yang mendapatkan berkah keselamatan. Dengan gelar itu para pemujanya menganggapnya sebagai orang suci, keramat dan mempunyai kedudukan yang lebih dari manusia biasa. Orang makassar berkata: Umbarang niak inja nabbi ri bokoanna nabbi muhammak, Tuwanta salamaka mintu nabbi ri bokoanna, artinya andai kata masih ada nabi sesudah Nabi Muhammad, maka Tuwanta Salamaka ( Syekh Yusuf ) adalah nabi sesudahnya. Syekh Yusuf dilahirkan di kampung Lakiung, ibu kota Kerajaan Gowa (makassar0 pada tanggal 3 Juli 1626. Riwayat hdupnya membuktikan bahwa beliau adalah seorang Ulama sufi yang besar, guru dan pemimpin rohani yang dipuja oleh para pengikutnya, pahlawan pembela kemerdekaan bangsa dan tanah air yang berani dan tabah dalam perjuangan. Setelah meninggalkan jejak perjuangan dan amal baktinya di Makassar, Bamten, Sri Lanka (dahulu Seilon/Ceylon) dan Tanjung Harapan (dahulu Tanjung Harapan Baik), beliauwafat di Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun.

Dikalangan orang-orang Makassar telah beredar banyak cerita Riwayakna Tuwanta Salamaka Syekh Yusuf dalam tulisan Aksara Lontarak atau dalam aksara Arab berbahasa daerah Makassar. Buku ini merupakan hasil karya sastra daerah yag biasanya di baca pada malam hari dengan dilagukan untuk memikat perhatian para pendengar. Orang-orang berkumpul memenuhi rumah, bahkan sampai kolong rumah mengikuti pembacaan yang berlngsung sampai larut malam, dan dapat disambung lagi di malam berikutnya. Atas biaya Haji Ibrahim Daeng Pibe, Kadi Kerajaan Gowa pada tahun 1933 buku cerita Syekh Yusuf tersebut dicetak dalam huruf Lontarak berbahsa daerah Makassar. Penerbitan itu dsertai kata pengantar dari Nurdin Mangasing. Pada tahun 1981 oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra dan daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, telah diterbitkan hasil transliterasi dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Djirong Basang. Buku Syekh Yusuf tersebut di atas penuh dengan peristiwa-peristiwa ajaib, mungkin hal ini dimaksudkan untuk mengagungkan Syekh Yusuf, sehingga riwayat orang besar ini tenggelam dalam takhayul dan hal-hal yang tidak rasional. Karena keterbatasan wawasan penulisnya, terdapat penyimpangan jalan cerita yang tidak sesuai dengan fakta sejarah, terutama peristiwa yang terjadi di luar daerah Makassar. Karena keadaannya yang demikian itu, buku cerita ini hanya dapat digunakan untuk penelitian riwayat hidup Syekh Yusuf dengan melepaskan semua unsur-unsur dongeng dan membatasi pada kejadian-kejadian di Makassar saja, sedangkan peristiwa-peristiwa di luar Makassar harus dibandingka dengan fakta-fakta sejarah dari daerah tersebut. Kata pengantar dari Nurdin Daeng Magassing bertanggal 2 Agustus 1933, menurut penulisnya dibuat berdasarkan hasil penelitian beliau pada Lontrarak bilang Raja Gowa, arsip surat-surat di Kantor Gubernur Makassar dan tulisan-tulisan pada

cendekiawan masa itu. Kata pengantar itu meskipun singkat, merupakan sumbangan yang sangat berharga dalam usaha menelusuri riwayat hidup Syekh Yusuf. Pada tahun 1987 Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta teleh menerbitkan sebuah buku hasil karya Prof. Dr. Tujiman cs. berjudul Syekh Yusuf Makassar, Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya. Buku ini memuat ringkasan, kutipan dan terjemahan dari penulis-penulis Indonesia dan Barat yang menyagkut Syekh Yusuf sehingga merupakan kumpulan fakta dari riwayat hidup. Selanjutnya dimuat ringkasan karangan-karangan Syekh Yusuf dan kesimpulan isinya. Masa antara terbitnya riwayat Syekh Yusuf dalam bahasa daerah Makassar pada tahun 1933 sampai erbitnya buku tulisan Prof. Dr. Tudjiman pada tahun 1987, telah terbit berbagai karangan dalam surat kabar, majalah dan buku tentang itu, namun sampai pada saat ini belum terbit riwayat hidup beliau yang lengkap. Masih banyak kekosongan dalam riwayat hidupnya yang belum diungkapkan. Tulisan ini pun dapat menghindari kekurangan seperti itu. Misalnya, mengenai nama dan asal-usul bapak kandungnya, keluarganya dan anak turunannya, belum pernah diadakan penelitian. Tentang hubungan kekeluargaannya dengan Raja Gowa, Nurdin Daeng Magassing menulis Na anne tuwanta nikana sarikbattang sianrongangi siagang Karaeng ri Gowa, Tumenanga ri Jakattarak, Karaeng Bisei, artinya, tua kita ini dikatakan bersaudara seibu dengan Raja Gowa yang wafat di Jakarta, Karaeng Bisei. Mengenai hal ini, berdasarkan tulisan De Haan, Tudjiman mencatat (1987: 10): Ia sendiri dari pihak ibu keturunan Raja Gowa karena ibunya adalah saudara dari Raja Gowa Karaeng Bisei. Jelas perbedaan kedua keterangan di atas. Yang dimaksud Karang Bisei Tumenanga ri Jakattarak ialah Raja Gowa I Mappaosong Daeng Mangngewai Sultan Ali (memerintah tahun 1674-1677) putra Sultan Hasanuddin. Karena kalah dalam perang melawan Kompeni beliau diturunkan

dari tahtanya dan menjadi tawanan Kompeni di Batavia sampai wafat tanggal 16 September 1681. Beliau digantikan oleh adiknya I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil. Karaeng Bisei adalah putra Sultan Hasanuddin, sedangkan Sultan Hasanuddin adalah cucu dari Sultan Alauddin (memerintah tahun 1593-1639). Syekh Yusuf dipelihara oleh Sultan Alauddin, moyang dari Karaeng Nisei. Dari uraian ini dijelaskan bahwa keterangan Nurdin Daeng Magassing dan De Haan yang dikutip Tudjiman patut untuk diragukan. Untuk dapat menulis riwayat hidup Syekh Yusuf secara lengkap, masih banyak masalah yang menyangkut kehidupannya perlu diteliti. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil tulisan ini masih sangat kurang. Bertitik tolak dari riwayat Syekh Yusuf, dengan latar belakang sejarah lokal Makassar dan Banten dalam rangkaian Sejarah Nasional, tulisan ini diharapkan dapat membekali generasi muda untuk menemukan kenyataan sejarah, betapa erat jalinan kerja sama antara para pahlawan dari berbagai suku bangsa dalam perjuangan membela kemerdekaan tanah air pada abad ke-17. Rasa senasib sepenanggungan telah menimbulkan sikap yang sama dalam menghadapi kaum penjajah mempertahankan setiap jengkal wilayah Nusantara kita.

Anda mungkin juga menyukai