Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH SYEKH ABDURROUF BIN ALI AL FANSURI AS SINGKILI

TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI ACEH SINGKILI

Ahmad Abdul Aziz Zamzami

Abdulazizzamzami150202@gmail.com

Muhammad Dhabith Syafitri

Muhammaddhaabith@gmail.com

Abstrak. Artikel ini akan membahas tentang. Tujuan penelitian ini adalah; (1)
Untuk melihat pengaruh Syech Abdurrouf bin Ali Al Fansuri As Sinkili dalam
menyebarkan Islam di Aceh Singkil; (2) Untuk melihat perkembangan Islam yang
dilakukan oleh Syech Ali Al Fansuri di singkil. Kajian ini mwenggunakan
metodologi analisis dokumen dan kajian perpustakaan.Semua data yang
diperoleh, yang berkaitan dengan Pengaruh Syech Ali Al Fansuri As Singkili
terhadap perkembangan Islam di Aceh Singkil. Hasil penelitian yang diperoleh
adalah: Syech Abdurrouf bin Ali Al Fansuri As Sinkili merupakan Ulama yang
berjasa dalam penyebaran Islam di Aceh Singkil. Ia bersama saudaranya
Hamzah Al Fansuri As Singkili sama sama mendirikan pusat pendidikan Islam
yang dikenal Dayah.

Kata Kunci: Syekh Abdul Rouf ali Al-Fansuri As-Singkili, Tafsir, Tarjuman Al-
Mustafid, Kebenaran.

Pendahuluan

Banyak yang dapat kita identifikasi dari kehidupan seseorang untuk


dimanfaatkan menjadi bahan pembelajaran dalam menuju pembentukan karakter .
salah satu manfaatnya adalah menjelaskan pri-kehidupan seseorang tokoh yang
menjadi panutan dalam masyarakatnya. Pri-kehidupan tokoh ini dapat di telisik
dengan menelusuri pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup tokoh ini di pelajari
dengan menelaah kehidupannya dalam suatu bagian. Eksistensi dari seorang tokoh
dapat dilihat dari bagaimana Pengaruh tokoh atau kontribusi tokoh tersebut dalam
kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Dalam arti ada
sesuatu yang sangat berguna dari seseorang tokoh yang menjadi panutan dalam
masyarakat, Seperti pengaruh tokoh dalam perkembangan Islam, atau
perkembangan Pendidikan.

Dalam hal ini Kotribusi yang di lakukan menjadikan tokoh tersebut


menjadi orang yang sangat penting dalam kehidupan seseorang maupun
masyarakat. . Dalam buku “ mengenang 100 tahun buya hamka : Dan Aku Pun
Masukan Dalam Daftarmu “ biografi hamka sangat menarik karena dalam buku
bigrafi hamka ini di jelaskan berbagai kisah Buya Hamka, di tanah kelahirannya
Minang, maupun kontribusinya terhadap perkembangan Agama Islam, sastra di
Indonesia, serta perjuangannnya dalam kemerdekaan. Karena itu peneliti mencoba
meneliti tentang peranan seorang Ulama yang sangat terkenal di Aceh singkel
yaitu As Singkili, yang merupakan seorang anak dari Tokoh yang membuat nama
nusantara terkenal di dunia internasional Abad XVII yaitu Syech Ali Al Fansuri
As Singkili, serta merupakan saudara dari tokoh Tasawuf yang terkenal di
zamannya yaitu Hamzah Al Fansury.

Singkel ( Aceh Singkil sekarang ) merupakan sebuah daerah di ujung


daerah nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan sebuah kabupaten yang
sedang masa perkembangan. Menurut sejarah, singkil dahulunya merupakan
daerah yang sangat terkenal karena singkil termasuk dalam bagian barus raya atau
sering kita kenal Fansur. Dari peninggalan-peninggalan sejarah yang ada serta
cerita rakyat yang berkembang menunjukkan bukti adanya kerajaan-kerajaan di
wilayah Singkil itu sendiri. Beberapa peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut
dapat dilihat dari ditemukannya situs-situs bangunan serta alat-alat perlengkapan
hidup seperti senjata, peralatan makan, perhiasan, perlengkapan pertanian, adat
stiadat.
Hal ini menunjukkan adanya struktur masyarakat berlapis yang
ditunjukkan dengan terdapanya nama ( gelar ) Raja, pembantu-pembantu raja dan
rakyat biasa. Sewaktu kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda.

Dengan besarnya pengaruh Syech Abdurrouf bin Ali Al Fansury terhadap


dakwah Islam yang ada di Singkil, maka dari itu penulis mencoba meneliti
tentang “ PENGARUH SYECH ABDURROUF BIN ALI AL FANSURI AS
SINGKILI DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI ACEH SINGKIL “ .
Dengan adanya penelitan ini di harapkan, kita dapat melihat perjalan hidup Ulama
Abdurrouf bin Ali Al Fansuri As Singkili dalam perkembangan Islam di Singkil

Biografi Singkat Abdul Arrauf As-Singkili

Nama lengkap Abdul Rauf Singkel adalah Abdul Al-Rauf bin ‘Ali al Jawi
al-Fansuri, sufi besar asal Aceh yang pertama kali membawa dan
mengembangkan tarekat Syatariyyah di Nusantara.1 Abdurrauf as- Singkili
( selanjutnya di tulis as-Singkili) dikenal dengan sebutan Syiah Kuala. As-Singkili
laqob yang di nisbah kan kepada tanah kelahirannya wilayah Aceh Selatan. 2 Ia
adalah seorang Melayu dari Fansur, singkel di wilayah pantai barat Laut Aceh.
Ayahnya adalah orang Arab yang bernama Syekh Ali3, Yaitu Seorang Arab
(Persia) yang datang ke Samudera Pasai pada akhir abad ke 13 yang kemudian
menetap di Fansur (Barus) sebuah kota pelabuhan tua di pantai Barat Sumatera.4

Abdul Rauf Singkel lahir pada tahun 1024 H/1615 M, dan ia meninggal
dunia sekitar 1150 H/1693 M dimakamkan di samping makam Teungku Anjong
yang dianggap paling keramat di Aceh, dekat Kuala Sungai Aceh. 5 Hingga kini
makamnya ditempatkan sebagai ziarah bagi berbagai kalangan masyarakat, baik

1
Akbarizan, Tasawuf Integratif Pemikiran dan Ajaran Tasawuf di Indonesia, (Pekanbaru: Suska
Press, 2008), h. 78
2
Muliadi Kurdi, Mufti Besar Aceh Pelopor Tarekat Syatariyah di Dunia Melayu, NASA
(Lembaga Naskah Aceh) 2017, h. 1
3
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Tekemuka, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
99
4
M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), h. 59-60
5
Azyumardi Azra , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII,
(Jakarta: Kencana, 2007), h. 259
dari Aceh maupun di luar Aceh. Berkat kemasyhurannya nama Abdul Rauf
Singkel diabadikan menjadi nama di perguruan tinggi Aceh yaitu Universitas
Syaih Kuala.6

Salah satu karya Abdul Rauf As-Singkili yang terkenal adalah Kitab Tafsir
Tarjuman Al-Mustafid. Yang mana buku tersebut beliau tulis Ketika Abdur Rauf
As-Singkili diangkat menjadi Mufti enggantikan Syekh Saif Rijalyang wafat pada
tahun 1661 atau bersamaan kembalinya Abdul Rauf As-Singkili dari Timur
Tengah. Ia dilantik menjadi Syekh Jami’ah al-Rahman atau mufti kerajaan hingga
wafat, ia diberi gelar Malik al-‘Adil.7

Dengan memperhatikan data ini dapat ditarik benang merah bahwa ‘Abd
al-Rauf lahir di daerah Singkel, Aceh bagian Selatan, pada rentang tahun 1593-
1615-an atau pada akhir abad 16 dan awal abad 17 M. Penulis lebih sepakat
dengan pendapat sarjana Barat, dan tahun 1615 M/1024 H yang akan dijadikan
acuan dalam tulisan ini. Ia berangkat untuk menuntut ilmu tafsir, hukum dan ilmu
keislaman lainnya di Timur Tengah selama kurang lebih 19 tahun dimulai dari
sekitar tahun 1640-an dan 1650-an hingga kembali lagi ke Melayu (Aceh) untuk
mengabdikan diri sebagai pengajar pada tahun 1661 M. Jika kepulangannya ke
Aceh tahun 1661 M dikurangi 19 tahun, maka hasilnya keberangkatannya adalah
sekitar tahun 1642 M. Ia wafat pada tahun 1693 M, artinya ia berkiprah di Aceh
selama kurang lebih 30-an tahun.

Pada mulanya ‘Abd al-Rauf belajar pada ayahnya dan ulama-ulama di


Fansur dan Banda Aceh. Setelah selesai menuntut ilmu di Aceh, ‘Abd al-Rauf
merantau untuk belajar di Timur Tengah, meliputi Doha, Qatar, Yaman, Jeddah
dan akhirnya ke Makkah sambil menunaikan ibadah haji dan ke Madinah,
memakan waktu selama 19 tahun. Menurut catatan ‘Abd al-Rauf sendiri yang
ditulis dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, ia belajar
langsung kepada 19 orang guru tentang bermacam disiplin ilmu. Bahkan ‘Abd al-

6
Sri Mulyati, op.cit, h. 100
7
Abdul Hadi, “Aceh dan Kesusastraan Melayu,” Sardono W. Kusumo (ed.), Aceh dalam Lintasan
Sejarah (Jakarta: IKJ Press, 2006), h. 241-242.
Rauf sendiri pernah belajar langsung pada Ahmad Qusyasyi (w. 1661 M) dan
muridnya Ibrahim al-Kurani (w. 1690 M).

Setting Sosial Kagamaan Masa Abdurrouf

Menjelang kelahiran Abdurrauf, Aceh di samping dikenal maju dalam


bidang kajian Islam, daerah ini juga telah dikenal sebagai daerah yang subur
dengan ajaran mistik. Menurut Dalam Sejarah Melayu8 disebutkan, Sultan
Mahmud, raja Malaka, pernah mengirimkan utusan kepada ulama Pasai untuk
menanyakan suatu masalah agama yang diperdebatkan dalam kalangan para
ulama Tansoxania,Irak dan Khurasan, yaitu barang siapa yang mengatakan Allah
tidak menjadikan dan tidak memberikan rezeki sejak azali, maka ia adalah kafir.
Sebaliknya, seseorang menjadi kafir jika ia mengatakan bahwaAllah tidak
menjadikan dan tidak memberikan rezeki sejak azali.

Nampaknya jawaban yang diberikan oleh ulama Pasai terhadap masalah


tersebut (tidak ada penjelasannya dalam kisah ini) sangat memuaskan para utusan
Sultan Malaka.9" Ini dapat menjadi salah satu dasar keterangan bahwa mistik di
Aceh sudah berkembang pada masa itu.

Selain kehidupan mistik dan pembahasan esoterik persoalan agama yang


memang merupakan identitas menonjol dalam kehidupan keagamaan para ulama
Pasai, segi-segi lain yang bersifat pemikiran filsafat juga menjadi tumpuan
perhatian mereka dalam berbagai diskusi. Pemikiran keagamaan telah sangat
mewarnai pengajian di istana, dan itulah sebabnya maka Kerajaan Pasai dianggap
oleh daerah-daerah lain sebagai pusat yang sangat berwenang dalam
menyelesaikan masalah-masalah agama. Ini sangat mungkin, karena dalam
kerajaan ini, menurut Ibnu Batutah, terdapat beberapa jenis disiplin ilmu para
sarjana, seperti: ahli hukum Islam, penyair, hukama' (ahli filsafat) dan lain-lain."10
8
T. D. Situmorang dan A. Teew, ed., Sejarah Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1958). 168-173.
Juga lihat. Denys Lombard, Kerajaan Aceh, terjemahan Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), 124 dan seterusnya.
9
TD. Sitomorang, Sejarah, 274-276.
10
Ibnu Batutah, Rihlah Ibnu Batutah (Kairo: 1329 H., 187
Menurut Nuruddin Ar-Raniry," telah datang sejumlah ulama dari Makkah,
yaitu Muhammad Azhari yang bergelar Syeikh Nuruddin. Syeikh ini, mengajar
ilmu pengetahuan ma'qulät (metafisika) sampai ia meninggal di Aceh pada tahun
1630. Pada tahun 1582, yaitu pada masa Sultan Alauddin (1577-1586), dua orang
ulama datang pula dari Makkah, yaitu: Syeikh Abu al-Khair ibn Syeikh ibn Hajar
dan Syeikh Muhammad Yamani. Selain mahir dalam ilmu Syari'at, kedua ulama
ini sering berdiskusi tentang 'ayan thabitah, yaitu dokrin mistik dari Ibnu Arabi.

Sebelum itu Syeikh Abu al-Khair telah menulis suatu buku yang berjudul
as-Saif al-Qati' (pedang yang tajam) yang membahas masalah tersebut. Rupanya
masalah itu terlalu musykil untuk dapat diselesaikan oleh kedua ulama ini,
sehingga mereka pulang kembali ke Makkah untuk memperdalam ilmunya.
Kemudian disusul pula oleh kedatangan seorang ulama Gujarat, Syeikh
Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid ar-Raniry, yakni paman
dari Syeikh Nuruddin ar-Raniry, memang alim dalam syari'at. Namun demikian
studi Islam di Aceh pada waktu itu sudah diwarnai oleh berkembangnya filsafat
mistik, ilmu yang belum ia diperdalamnya di India."11

Manakala berada di Aceh Syeikh Muhammad Jailani dihadapkan dengan


sejumlah pertanyaan sebagai ujiannya yang berkaitan dengan mistik, sehingga ia
terpaksa meninggalkan Aceh untuk pergi ke Makkah guna mendalami ilmu
tersebut. Setelah beberapa lama di Makkah, la kembali ke Aceh dengan modal
ilmu yang lebih lengkap. dan sekaligus menyelesaikan masalah ayan Tsabitah
yang hangat diperdebatkan pada waktu itu."12

Banyaknya kedatangan ahli sufi dari berbagai negara ke Aceh. secara


langsung turut menciptakan iklim kehidupan mistik yang t melahirkan pemikiran
keagamaan di daerah ini. Situasi tersebut ditunjang oleh berbagai kitab tasawuf
yang datang ke Aceh, antara lain adalah Insan al-kamil fi ma'rifati al- awakhiri wa
al-awail, karya Abdul Karim al-Jilli, al-Futubat al-makkiyah dan fuşûşu al-Hikam
11
Nuruddin Ar-Raniry, Bustan as-Salatin, ed., T. Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewan
bahasa dan pustaka, 1966), 35. Denys Lombard, Kerajaan Aceh jaman Sultan Iskandar Muda 607-
1636 (Jakarta: Balal Pustaka, 1991), 215-221.
12
Jones Russel, Nuru'd-Din ar-Raniry, Bustan al-Salatin (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
pustaka, 1974), 132-34,
karya Mahyiddin Ibnul Arabi. Selain itu, ada sebuah kitab mistik yang sangat
penting datang ke Aceh dari India, yaitu Tubfah al-Mursalah I Rüh al- Nabi, karya
Muhammad bin Padhlulah al-Burhan Puri. Keempat kitab tersebut telah peranan
penting dalam perkembangan pemikiran mistik di daerah ini, terutama mistik
yang diajarkan oleh Hamzah al-Pansury dan Syamsuddin Sumatrany, yang
dikenal sebagai pengembang faham wujudiyah. Kitab yang keempat tersebut
dipandang sebagai sumber teori martabat tujuh yang terdapat dalam mistik di
Aceh, terutama mistik Syamsuddin."13

Dari beberapa informasi di atas dapat dikatakan, dalam kesultanan Aceh


kehidupan mistik dan pemikiran keagamaan, di samping ajaran formal lainnya,
telah turut mewarnai corak dan diskusi keagamaan di kalangen ulama. Sifat
penghayatan yang demikian tumbuh dan berkembang karena pengaruh yang
datang dari haar, terutama dari India dan Timur Tengah. Para ulama dan sarjana
dari negeri-negeri itu, seperti halnya para saudagar, sering pula datang ke daerah
ini. Karena itu tidak mengherankan, jika sejarah Melayu menyebutkan bahwa
"Segala orang Samudera (Pasal) pada zaman itu tahu bahasa Arab Walau
dikatakan ini berlebihan, namun tidak dapat disangkal pengaruh ini di kalangan
sarjana, di samping bahasa Persia. Selain bahasa, ilmu pengetahuan dan ajaran
mistik yang telah berkembang di negara-negara tersebut, turut juga membawa
mempengaruhi kehidupan keagamaan."

Dari kondisi yang demikian lahirlah ulama-ulama sufi terkenal. misalnya


Hamzah Fansuri (men.?), Syamsuddin As-Sumatrany (men. 1650 M), Nuruddin
Ar-Raniry (men. 1658 M), dan Syeikh Abdurrauf (men. 1693 M). Keempat ulama
sufi tersebut sangat berpengaruh dalam mewarnai pemikiran dan penghayatan
agama di Nusantara ini. Dua orang sufi pertama adalah pambawa dan pengajar
faham Wujudiyah yang berasal dari Ibnul 'Arabi (men. 1240 M), seorang sufi

13
AH. John, Islam in Southeast Asia: Reflektion and new Direction, Indonesia. Cornell Modic
Project, 1975. No. 19 (April), 45.
termasyhur di Andalusia, Spanyol, dan dua orang sufi terakhir adalah pembawa
dan pengajar Tarekat Rifa'iyyah" dan Syattariyah"14 di kerajaan Aceh Darussalam

Kontribusi Abdurrouf As sinkili

Dari perjalanan sejarah Islam Aceh Darussalam, diketahui bahwa kajian


agama Islam cukup subur dan berkembang, tidak hanya dalam masyarakat secara
umum, tetapi juga di istana kerajaan. Suasana itu bukan hanya diprakarsai oleh
para ulama dan cendikiawan, tetapi juga oleh pihak penguasa. Dari keadaannya
yang demikian semarak, Aceh sebagai sebuah negara kesultanan, telah memberi
sumbangan besar dalam penerapan nilai-nilai syariat Islam di Nusantara.
Posisinya yang dipandang cukup penting ini merupakan hasil kerja keras para
ilmuan dan cendikiawan muslim, baik yang berasal dari anak negeri sendiri,
maupun datang dari luar negeri yang datang ke Aceh sebagai relawan dan mujahid
Islam untuk mengembangkan Islam di tengah- tengah masyarakat. Keberhasilan
Aceh dalam memposisikan dirinya sebagai daerah lumbung bagi kajian Islam dan
menerapkan nilai- nilainya dalam masyarakatnya, selain upaya keras dari para
ilmuan, juga tidak terlepas dari peran aktif penguasa masa itu.

Abdurrauf adalah seorang ulama yang menonjol peranannya sebagai tokoh


dan intelektual di Aceh Darussalam. Peran itu antara lain tampak dari perolehan
patronase Sultanah Safiatuddin (1611- 1675 M), lebih kurang lima belas tahun
setelah meninggalnya Syekh Nuruddin ar-Raniry (men.1658 M). 15" Eksistensinya
dalam konteks daulah Aceh, menjadi salah satu lambang bagi kebesaran Aceh,
sebagai pusat pengembangan ilmu agama yang sangat giat, juga menjadi tempat
tumbuhmekarnya pemikiran-pemikiran keagamaan dan tempat lahirnya ulama
ternama. Dari yang ini saja, para cendikiawan, terutama yang berbangsa Belanda,
14
Tarekat Syttariyah didirikan oleh Abdullah Syattar berasal dari India. Dia meninggal pada tahun
1415 atau 1428 M. Tarekat ini dikembangkan di madinah pada zaman iba dari Madinah masuk ke
Aceh Darussalam. Menurut silsilah guru tarekat dalam kecerangan Abdurrauf Singkil, bahwa
tarikat ini juga didirikan oleh syeikh Abu Yazid ayiq Libat, Abdurrauf as-Singkili, Umdat al-
Muhrajin, 115.
15
Hasan Muarif al-Anbary, Kedudukan dan Peran Tokoh Sejarah Syeikh Abdurrauf Singkil Dalam
Birokrasi dan Keagamaan Kesultanan Aceh (Banda Aceh: Panitia Seminar Syeikh Abdurrauf
Syiah Kuala, 1994), 1
seperti diamati oleh Lombard,16" memperlihatkan panjangnya daftar karya
mengenai ahli-ahli ilmu Sumatera.

Penelitian yang ada menunjukkan bahwa Abdurrauf telah mengarang lebih


dari 30 naskah besar dan kecil, yang terdiri dari bahasa Melayu dan bahasa Arab.
Di antara tulisan Abdurrauf yang sampai sekarang beredar luas dan masih terus
dikaji dalam pendidikan tradisional di Aceh, buku kecil yang berjudul al-Mawa'iz
al-Badi'ah. Karya ini sekarang sudah telah mengalami beberapa kali cetak ulang
dan wujudnya sekarang telah digabung bersama delapan artikel lainnya oleh
seorang ulama Aceh abad kedelapan belas."

Dalam kitab al-Mawa'iz misalnya. menurut Peunoh Daly berisi 32 hadits


dengan syarahannya yang dikaitkan dengan tawhid, akhlak, ibadat dan tasawuf.
Naskah ini terdapat di Museum Nasional Jakarta, dengan nomor ML. 323. Naskah
kedua ditulis dengan judul Al-Mawa'izat al-Badi'ah, yang berisi pelajaran akhlak
dan berbagai nasehat agama dalam pergaulan. Peunoh Daly tidak menyebutkan
dimana naskah ini ditemukannya. Al Yasa Abu bakar dalam mengomentari isi
kitab ini menyebutkan, satu pegajaran dari kitab ini berisi sampai dua puluh
kutipan, tetapi ada juga yang berisi satu kutipan saja". Jumlah hadits dalam karya
Abdurrauf ini saja mencapai 150 lebih. Voorhoeve, hasil penelitiannya
menerangkan bahwa kitab Mawa'iz adalah benar karya Abdurrauf al-Singkili.
Karya penelitian ini kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar, yang diterbitkan
oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) tahun 1980.

Kitab Mawa'iz karya Abdurrauf merupakan suatu kitab yang masih


dipelajari dalam pengajian tradisional dalam masyarakat Aceh. Selain al-Mawa'iz
al-Badiah, kitab yang juga cukup penting adalah karyanya berjudul Umdat al-
Muḥtājin Ilä Sulük Maslak al-Mufradin. Penelitian terhadap kitab-kitab Abdurrauf
sudah mendapat kajian dari para peneliti".

Selain kitab al-Mawa'iz sebagai kitab yang terus dipelari masyarakat


hingga sekarang adalah kitab tafsirnya Turjuman al- Mustafid. Kitab ini dikaji di
16
Denys Lombard, Kerajaan Aceh (Jaman Sultan Iskandan Muda 1607 1636) Jakarta,Balai
Pustaka, 215.
pondok pesantren dan majlis-majlis taklim. Menurut informasi dari mahasiswa
asal Malaysia, di sebagian pondok pesantren yang ada di sana menjadikan kitab
ini sebagai buku wajib mereka. Sedangkan di bidang tarekat, kitabnya yang terus
dipelajari adalah 'Umdat al-Muḥtājin.

Kitab karya Abdurrauf yang baru diketahui adalah Lul-luk wa alJauhar


yang kemudian naskah ini ditemukan di Tangan Prof. Dr. Syukri Yoeh Dosen
University Kebangsaan Malaysia. Syukri menemukan naskah ini dari masyarakat
di Pidie Aceh. Karya ini membahas tentang akhlak. Belum ditemukan suntingan
naskah ini secara memadai, namun demikian diketahui bahwa naskah ini masih
sangat utuh dan masih dapat dibaca.

Sosok Abdurrauf as-Singkili menonjol peranannya di daulah Aceh


Darussalam, antara lain sebab diperolehnya kedudukan yang mulia dari Sultanah
Ratu Safiatuddin (1641-1675 M)." 17yaitu sebagai ulama dan mufti istana bergelar
Qadi Malik al-'Adil. Ia juga seorang penulis yang cukup produktif. Kitab-kitab
yang ditulisnya terdiri atas berbagai cabang ilmu keislaman seperti: Fiqh, aqidah,
hadis, Tafsir, Tasawuf dan ilmu kalam. Ia seorang alim yang cukup banyak
membaca. karena hampir dalam setiap karangannya ia menunjukkan sejumlah
kitab atau ulama yang dijadikan rujukanya.

Pembaharuan dan Pemikiran As Sinkili

Pembaharuan setelah al-Raniri di Nusantara dilanjutkan oleh as


Sinkili.Koneksi As Sinkili dengan ulama Haramayn melebihi al Raniri.As Sinkili
ulama asal Fansur,Sinkil diwilayah barat laut Aceh.As-Sinkili diperkirakan
berangkat dari aceh ke Arabia tahun 1052/1642.Jumlah guru As Sinkili 19 orang
dan 27 ulamalain yang memiliki hubungan kontak pribadi.Kota-kota As Sinkili
menuntut ilmu adalah Dhuha,Jeddah,Makkah dan Akhirnya Madinah.
17
Hasan Ma'arif Ambary, Kedudukan dan Peran Tokoh Abdurrauf Singkil Dalam Birokrast dan
Keagamaan Kesultanan Aceh, (Banda Aceh Panitia Pelaksana Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala,
1994), 1.
Adapun pembaruan dan pemikiran al-Sinkili mempunyai empat langkah,
yaitu fikh muamalat, tafsir, hadits dan tasawuf. Langkah pertama, pembaruan
beliau mengenai fikh melalui karya Mir’at al-Thullab, yang tidak hanya
menerangkan pada ibadah tapi mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari.
Yang kedua, beliau alim pertama yang bersedia mempersiapkan tafsir lengkap al
Qur’an dalam bahasa Melayu (Tarjamun al-Mustafid).Riddell dan Harun
menegaskan karya ini terjemah dari kitab Tafsir Jalalayn karya Jal al Din al
Mahlli dan Jalal al Din al Suyuthi. Hanya saja pada bagian-bagian tertentu saja,
al-Sinkili juga memanfaatkan tafsir al-Baydhawi dan al-Khazim.

Yang ketiga, melalui karyanya di bidang hadis. Yaitu penafsiran hadist


Arba’in karya al-Nawawi dan yang kedua al Mawa’izh al Badi’ah sebuah koleksi
Hadits Qudsi. Dengan karya beliau ini, suatu perhatian yang sungguh-sungguh
bagi kaum muslim yang awam, yang dikehendaki hanyalah mengajak mereka
menuju pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam. Yang keempat,
pembaruan beliau dibidang ilmu kalam dan tasawuf. Dalam ajaran mistisnya
melalui Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdat al-
Wujud, mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Beliau menolak
Wujudiyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya.

Dari karya dan ajaran al-Sinkili dapat disimpulkan bahwa beliau secara
sadar turut menyebarkan doktrin dan kecenderungan intelektual dan praktis dalam
jaringan ulama untuk memperkuat tradisi Islam di kepaulauan Melayu Indonesia.
Ciri dari ajarannya adalah Neo-Sufisme. Karya menunjukkan bahwa tasawuf
harus berjalan sesuai dengan syariat. Adapun pendekatan yang dipakai al-Sinkili
dalam pembaruan bergaya evolusioner bukan radikal.

Kesimpulan
Daftar Pustaka

Akbarizan, Tasawuf Integratif Pemikiran dan Ajaran Tasawuf di Indonesia,


(Pekanbaru: Suska Press, 2008), h. 78

Muliadi Kurdi, Mufti Besar Aceh Pelopor Tarekat Syatariyah di Dunia Melayu,
NASA (Lembaga Naskah Aceh) 2017, h. 1

Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara Rangkaian Mutiara Sufi Tekemuka, (Jakarta:


Kencana, 2006), h. 99

M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2005), h. 59-60

Azyumardi Azra , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara


Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 259

Sri Mulyati, op.cit, h. 100


Abdul Hadi, “Aceh dan Kesusastraan Melayu,” Sardono W. Kusumo (ed.), Aceh
dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: IKJ Press, 2006), h. 241-242.

T. D. Situmorang dan A. Teew, ed., Sejarah Melayu (Jakarta: Balai Pustaka,


1958). 168-173. Juga lihat. Denys Lombard, Kerajaan Aceh, terjemahan Winarsih
Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 124 dan seterusnya.

TD. Sitomorang, Sejarah, 274-276.

Ibnu Batutah, Rihlah Ibnu Batutah (Kairo: 1329 H., 187

Nuruddin Ar-Raniry, Bustan as-Salatin, ed., T. Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewan

bahasa dan pustaka, 1966), 35. Denys Lombard, Kerajaan Aceh jaman Sultan
Iskandar Muda 607-1636 (Jakarta: Balal Pustaka, 1991), 215-221.

Jones Russel, Nuru'd-Din ar-Raniry, Bustan al-Salatin (Kuala Lumpur: Dewan


Bahasa dan pustaka, 1974), 132-34,

AH. John, Islam in Southeast Asia: Reflektion and new Direction, Indonesia.
Cornell Modic Project, 1975. No. 19 (April), 45.

Hasan Muarif al-Anbary, Kedudukan dan Peran Tokoh Sejarah Syeikh Abdurrauf
Singkil Dalam Birokrasi dan Keagamaan Kesultanan Aceh (Banda Aceh: Panitia
Seminar Syeikh Abdurrauf Syiah Kuala, 1994), 1

Denys Lombard, Kerajaan Aceh (Jaman Sultan Iskandan Muda 1607 1636)
Jakarta,Balai Pustaka, 215.

Anda mungkin juga menyukai