Anda di halaman 1dari 14

STUDI NASKAH TASAWUF

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Tasawuf)

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Yuminah R,, MA.Si.

Disusun oleh kelompok 1:

Abdul Rozaq Jailani R 11230360000073


Abdulloh Faqih 11230360000074
Nabilah Mahmudah 11230360000090

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023 M / 1444 H
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dapat dilihat bahwa studi tasawuf merupakan studi yang menarik dikaji dan penting.
Studi ini memang mendapatkan perhatian dari para peneliti dari pihak Islam maupun
orientalis. Berbagai karya tulisan telah mereka hasilkan mulai dari studi tokoh sampai studi
tarekat. Menurut penulis, studi ini penting diketahui karena sebagaimana disebutkan Profesor
Syed Muhammad Naquib al Attas bahwa tasawuf merupakan dimensi internal ajaran Islam.
Al-Attas (2011: 149) berkata “tasawuf adalah penzahiran ihsan pada diri seseorang.” Dalam
sebuah hadis Nabi terdapat pembahasan tentang dimensi agama Islam, yaitu iman, islam dan
ihsan. Berdasar pendapat al-Attas di ataslah, penulis menyimpulkan bahwa tasawuf
merupakan dimensi ihsan, satu dari tiga dimensi dari agama Islam. Oleh karena itulah menilai
bahwa studi tasawuf memang sangat penting dibahas dan dikenalkan dalam kesempatan kali
ini.
Dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk menelaah beberapa masalah pokok dalam
studi tasawuf. Ada enam pokok pembahasan dalam kajian ini, yaitu penjelasan terhadah
sejumlah istilah kunci dalam studi tasawuf, sumber-sumber ajaran tasawuf dan
perkembangan awal, berbagai variasi praktik tasawuf termasuk tarekat, beberapa pendekatan
dalam kajian tasawuf, sejumlah tokoh terkemuka dalam studi tasawuf dan karya-karya
mereka, serta perkembangan kontemporer tasawuf dan tarekat. Dalam membahas apa yang
menjadi pokok kajian makalah ini, penulis akan memanfaatkan literatur-literatur tentang
tasawuf baik yang ditulis oleh para sufi maupun para ahli dalam bidang tasawuf.

1
PEMBAHASAN

1 Pengertian Naskah Tasawuf

Naskah tulisan tangan (manuscript) merupakan teks tertulis yang


mengandung berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, dan perilaku masyarakat
masa lalu. Dibandingkan dengan bentuk- bentuk peninggalan budaya material non-
tulisan di Indonesia, seperti candi, istana, masjid, dan lain-lain, jumlah peninggalan
budaya dalam bentuk naskah jauh lebih besar. Sebagai warisan budaya bangsa, upaya
pelestarian, konservasi, dan penggalian materi dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.1
Di antara berbagai kategori naskah nusantara, naskah keagamaan merupakan
salah satu jenis kategorinaskah yang jumlahnya relatif banyak. Hal ini tidak terlalu
mengherankan, mengingat kenyataan bahwa ketika Islam-dengan segala kekayaan
budayanya- masuk di wilayah nusantara pada umumnya, dan di wilayah Melayu-
Indonesia pada khususnya, budaya tulis-menulis sudah relatif mapan.
Naskah Islam Indonesia merupakan salah satu warisan Islam yang tidak
ternilai di nusantara. Naskah-naskah yang tersedia dalam berbagai bahasa dan aksara
lokal' di Indonesia dalam banyak segi mengungkapkan berbagai aspek islam di
kawasan ini, mulai dari yang bersifat sejarah sosial dan terutama lagi pemikiran dan
intelektualisme Islam, khususnya sejak masa awal Islam dan masa kolonial Belanda,
tanpa penelitian dan pengkajian terhadap naskah.
Keberadaan naskah klasik keagamaan Islam tersebar di seluruh wilayah
nusantara, bahkan ada di negara-negara lain, seperti Belanda, Malaysia, Filipina, dan
negara lainnya, Naskah- naskah tersebut berbicara mengenai persoalan tauhid,
tasawuf, tarekat, figih, hadis, dan tema-tema lainnya, yang masih menjadi pedoman
dan acuan kehidupan keagamaan di Indonesia sampal saat ini. Banyaknya naskah
yang tersebar di masyarakat menarik minat para peneliti, pemerhati naskah, bahkan
kolektor naskah untuk terus melakukan inventarisasi dan pendataan naskah-naskah
tersebut.2

1
M. Torobin, M. Rosadi, S. bahri, “Koleksi dan Katalogisasi Naskah Klasik Keagmaan Bidang Tasawuf”, Balai
Penerbit dan Pengembangan, Jakarta, 2013, h. 3
2
M. Torobin, M. Rosadi, S. bahri, “Koleksi dan Katalogisasi Naskah Klasik Keagmaan Bidang Tasawuf”, Balai
Penerbit dan Pengembangan, Jakarta, 2013, h. 4
2
Adapun alasan naskah-naskah tasawuf yang dijadikan obyek katalogisasi ini,
karena dari beberapa studi literatur dan katalog yang ada, naskah-naskah yang
berisikan teks-teks tasawuf di nusantara cukup banyak, dan menempati urutan kedua
setelah naskah-naskah fiqih. Selain itu, yang penting dikemukakan juga, bahwa guru-
guru sufi pengembara (orang yang menjalankan perilaku tasawuf), sebagaimana
pendapat Johns dan dikuatkan dengan Azra adalah yang paling berperan dalam
penyebaran Islam di nusantara. Belakangan, para guru sufi ini banyak menghasilkan
karya-karya tulis di bidang ilmu agama, khususnya tasawuf, meskipun sering pula
dihubungkan dengan fiqih dan tauhid. Dengan demikian, koleksi dan katalogisasi
naskah-naskah keagamaan, dalam hal ini bidang tasawuf, menjadi penting didasarkan
beberapa argumen yang diurai di atas.3

2 Literasi Manuskrip Tasawuf

Warisan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Samudera Pasai yang


kosmopolitan, diserap oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang baru bangkit dan terus
berkembang sehingga melahirkan pujangga-pujangga besar dan produktif dengan
karya-karyanya yang bermutu tinggi. Para ulama produktif muncul silih berganti dari
masa ke masa sampai awal abad ke-20. Mereka telah menghasilkan dan
meninggalkan warisan budaya intelektualnya yang sangat monumental dalam bentuk
naskah-naskah yang berisi berbagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan, terutama
pengetahuan keislaman dan kebudayaan Islam.4
Kedudukan Aceh sebagai pusat Islam mencapai puncaknya antara akhir abad
ke-16 sampai dengan akhir abad ke 17 M, ketika secara berturut-turut muncul ulama-
ulama tasawuf terkemuka yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, yaitu
Syeikh Hamzah bin Abdullah al Fansury (diperkirakan meninggal 1590 M), Syeikh
Syamsuddin bin Abi Abdillah as Sumatraiy (meninggal 1630 M), Syeikh Nuruddin
bin Ali Ar-Raniry (Meninggal 1658 M), dan Syeikh Abdurrauf bin Ali as-Singkily
(meninggal 1694 M). Keempat ulama tersebut di atas pada masanya merupakan
pujangga-pujangga yang menghasilkan kekayaan budaya intelektual, terutama karya-

3
M. Torobin, M. Rosadi, S. bahri, “Koleksi dan Katalogisasi Naskah Klasik Keagmaan Bidang Tasawuf”, Balai
Penerbit dan Pengembangan, Jakarta, 2013, h. 6
4
Sangidu, “Wachdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani
dengan Nuruddin Ar-Raniri”. Yogyakarta: Gama Media, 2003, h. 26
3
karya sastra kitab yang mengandung ilmu pengetahuan tasawuf yang menjadi rujukan
ajaran Islam di Nusantara.5
Berikut ini dikemukakan lebih jauh tentang keempat ulama terkemuka
tersebut dengan karya-karya tasawufnya.
2.1 Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri merupakan ulama besar pengikut Tarekat Qadiriyyah, yang
melakukan perjalanan ke pusat-pusat pengetahuan Islam di dalam dan luar Kepulauan
Indonesia. 6 Hamzah menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, dan mungkin juga
menguasai bahasa Urdu. Ia adalah salah seorang tokoh Wujudiyyah dan merupakan
penulis yang sangat produktif, yang menghasilkan bukan saja risalah-risalah
keagamaan, tetapi juga karya karya prosa yang sarat dengan gagasan-gagasan mistis.7
Dia adalah pelopor penulisan puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, yang
memperkenalkan syair, yaitu puisi empat baris dengan skema sajak a-a-a-a, dan
peletak dasar-dasar puitika dan estetika Melayu yang mantap dan kukuh dalam tradisi
kesusastraan Melayu.8
Kepopuleran nama Hamzah tentu tidak diragukan. Banyak pakar telah
mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karya
monumentalnya. Namun, di mana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini
masih menjadi pertanyaan yang tak berjawab. Para ahli berbeda pendapat mengenai
tempat dan waktu kelahiran Hamzah serta rentang kehidupannya karena belum
terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat
dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, suatu tempat yang
terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Al-Fansuri, yang
berarti Hamzah dari Fansur, menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari
Fansur yang menurut Hasjmy (1976) merupakan pusat pengetahuan dam lama di
Aceh Barat Daya. Mungkin karena itu pula Francois Valentijn dalam Iskandar (1996)
memastikan bahwa penyair Melayu termasyhur itu dilahirkan di Fansur, yang

5
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 61
6
Azra, Azyumardi. “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”. Bandung:
Penerbit Mizan, 2013: 167
7
Al-Attas, Syed Naguib. “The Mysticism of Hamzah Fansuri”. University of London, School of Oriental and
African Studies (United Kingdom), 1970: 233- 235
8
Hadi W.M., Abdul. “Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya”. Bandung: Penerbit Mizan, 1995:
14-15.
4
menjadikan negeri tersebut terkenal sampai sekarang karena syair-syair Melayu
gubahannya.9
Terlepas dari kontroversi tentang kapan dan di mana sebenarnya Hamzah lahir,
belajar, berkiprah, dan meninggal, yang jelas melalui karya-karya yang
ditinggalkannya ia dikenal sebagai seorang pujangga Aceh yang masyhur dan sangat
produktif. Sebagai seorang penulis produktif, pastilah Hamzah banyak menghasilkan
karya tulis. Namun, mungkin karena peristiwa "pemusnahan" yang digerakkan oleh
Nuruddin Ar-Raniri, ulama yang menjadi Syaikhul Islam Kerajaan Aceh pada 1637-
1644, banyak karya Hamzah tak dikenal lagi. Sampai saat ini karya- karya Hamzah
yang diketahui masih ada, baik di Aceh maupun di tempat lain.10
Adapun isi ringkas karya-karya Tasawuf Hamzah tersebut di atas secara garis
besar dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Syarabul ‘Asyiqin atau Minuman Orang-orang Asyik, yaitu kitab panduan
sitematik yang ringkas dan mudah dipahami oleh para penuntut jalan pengenalan
Allah. Kitab tersebut terdiri dari tujuh bab yang menggambarkan tahap-tahap
perjalanan seorang sufi (yang melalui Syariat, tarikat, hakikat, sampai kepada
makrifat) dan menguraikan proses manifestasi Zat serta Sifat-sifat Ilahi, dan
memaparkan tentang keasyikan ('isyq) Ilahi dan syukur kepada Allah SWT.
2. Zinarul Muwahidig atau berarti Perhiasan Orang-orang Yang Mengesakan Allahı,
yang berisi pengenalan jalan tasawuf bagi para penuntut pemula, uraiannya
ringkas, sederhana, dan tidak terlalu rumit. Hadi (1995) menyebutnya sama
dengan Syarabul Asyiqin
3. Asrarul ‘Arifin atau Rahasta Orang-orang Arif, yaitu kitab yang berisi ikhtisar
tasawuf yang ditujukan kepada para penuntut yang lebih berpengetahuan, yang
menguraikan tentang lima belas bait syair ciptaan Hamzah sendiri yang
semustinya dihafal oleh si penuntut agar uraianya mudah diingat.
4. Muntahi atau Orang yang mencapai pengenalan tertinggi, yang berisi penafsiran
hadits man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbah (siapa yang mengenal dirinya maka
ia telah mengenal Tuhannya), yang mengemukakan berbagai lambang tasawuf
dengan penjelasan- penjelasan singkat tetapi mengandung banyak kutipan dari
karya para syeikh dan penyair- penyair sufi terkenal, terutama para penyair Parsi

9
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 63
10
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 66
5
klasik yang sepatutnya dimengerti oleh ahli-ahli tasawufyang sudah mencapai
tingkat makrifat yang tinggi.
5. Rahasia Kitab Insanul Kamil (pada tahun 1994 terdapat dalam koleksi Tgk.
Geudong Teupin Raya), yaitu berupa suatu penjelasan ringkas tentang isi Kitab
Insanul Kamil karya Syeikh Abdul Karim Al-Jili tentang hubungan alam dan Allah
SWT.
6. Ruba’i, yaitu suatu kumpulan syair sufistik Hamzah. Syair tersebut diberi ulasan
tentang pengertian-pengertian tentang isi dan maksudnya secara panjang lebar
oleh Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani (murid Hamzah) dalam karyanya Syarah
Ruba'i Hamzan Fansuri.
7. Sya’ir Burung Pingai
8. Sya’ir Burung Nuri
9. Sya’ir Ikan Tunggal (di Jawa biasa disebut Sya’ir Ikan Tongkol).11
Inilah beberapa karya tasawuf Hamzah yang selama ini tercatat. Patut
diperkirakan bahwa kalau tidak terjadi gerakan "pembasmian" dan pembakaran
terhadap karya-karya Hamzah dan para pengikutnya yang dimotori oleh Sufi Ortodok
Nuruddin Ar-Raniri (1637-1644) yang anti pemikiran tasawuf Hamzah, tentulah
lebih banyak karya pujangga besar tersebut yang masih dapat dikanal hari ini, dan
generasi saat ini dan yang akan datang tidak hanya mengenal kitab- kitab tersebut di
atas.

2.2 Syamsuddin As-Sumatraiy


Berdasarkan Naskah kuno koleksi Filologika Museum Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam nomor identifikasi MS. Inv. 4208, nama lengkap pujangga sufi Aceh
tersebut adalah Syeikh Syamsuddin bin Abi Abdillah as-Sumatraiy atau as-
Sumatrany. Sebagaimana Hamzah, Syamsuddin juga merupakan tokoh Wujudiyyah
dan seorang ahli filsafat yang dengan mendalami alam semesta memperoleh keesaan
yang rahasia (Tuhan). Sumber-sumber seperti Ahmad, Bruinessen, Azra, dan
Iskandar menyebutkan bahwa antara Syamsuddin dan Hamzah terjalin hubungan
murid dan guru.12
Syamsuddin adalah penerus aliran Wujudiyyah dari Hamzah, murid yang

11
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 66-67
12
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 67
6
memperjelas pendirian gurunya itu. Dia merupakan orang pertama yang
menguaraikan Martabat Tujuh (tentang hubungan alam dengan Tuhan) di Kepulauan
Indonesia, yang merupakan ciri khas ajarannya berdasarkan pada kitab Tuhfatul
Mursalah ila Ruhin Nabi karya Fadhlullah Burhanpuri. Syamsuddin, disebutkan telah
memegang peranan penting sebagai Syaikhul Islam Kerajaan Aceh Darussalam sejak
masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyidil Mukammal (1588-1604
M), menjadi guru bagi (calon) Sultan Iskandar Muda dan sudah menjadi penulis sejak
saat itu yang menghasilkanpuluhan karya dalam bahasa Melayu dan Arab.13
Karya-karya Syamsuddin dalam bahasa Melayu antara lain berjudul Mir`atul
Muhaqqiqqin, Mir`atul Iman, Mir`atul Mu`min, dan Syarah Ruba’i Hanzah Fansuri,
sedangkan karya-karyanya dalam bahasa Arab antara lain adalah Jauharul Haqa`iq,
Kitabul Harakah, dan Anwarud Daqa`iq. Judul-judul tersebut merupakan sebagian
dari 23 judul karya Syamsuddin yang didaftarkan oleh Nieuwenhuijze, tetapi
Iskandar menyebutkan bahwa Sya’ir Martabat Tujuh, dan Hikayat Aceh juga
14
termasuk di antara karya-karya Syamsuddin. Akan tetapi, dari berbagai sumber
penulis mencatat lebih lanjut keberadaan karya-karya tasawuf Syamsuddin adalah
sebagai berikut:
1. Mir’atul Mu’min (1009 H/ ada dalam koleksi Filologika Museum Aceh)
2. Risalah Tasawuf (1020 H)
3. Mir’atul Iman (mungkin sama dengan Mir’atul Mu’min)
4. Dzikru Da’irah Qaba Qausaini au Adna
5. Kitabul Harakah
6. Nurud Daqa’iq (dalam MS 4208 Anwarud Daqa’iq)
7. Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri (ada dalam koleksi Filologika Museum
Aceh MS 07.710)
8. Mir’atul Muhaqqiqin (ada dalam koleksi Filologika Museum Aceh MS 1490
dan 4280)
9. Mir’atul haqiqah (mungkin sama dengan Mir’atul Muhaqqiqin)
10. Tanbihuth Thullab
11. Mir’atul Qulub
12. Syarah Mir’atul Qulub

13
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 68
14
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 68
7
13. Kitab Tazyin
14. Sirrul ‘Arifin
15. Kitab Ushulut Tahqiq15

2.3 Nuruddin Ar-Raniri


Kalau Hamzah dan Syamsuddin merupakan tokoh-tokoh Wujudiyyah yang
sepaham, sebagai guru dan murid yang mengembangkan ajaran mistik tersebut, dan
Syamsuddin sendiri merupakan orang pertama yang menguraikan ajaran Martabat
Tujuh di Kepualauan Nusantara sebagaimana tersebut di atas, maka Nuruddin ar-
Raniry adalah ulama tasawuf yang sangat gigih menentang pemikiran-pemikiran
kedua tokoh pendahulunya itu. Nuruddin merupakan tokoh tasawuf dan penulis
produktif yang telah menulis lebih 30 judul karangan dengan tema dan permasalahan
yang cukup bervariasi.16 Upaya kerasnya menentang pemikiran mistik Hamzah dan
Syamsuddin tercermin dari karya-karyanya. Sebagian besar karyanya jelas-jelas
ditujukan untuk menyerang dan membantah gagasan-gagasan mereka dan
mengendalikan para pengikutnya.
Karya-karya Nuruddin tersebut antara lain Ma`ul Hayah li Ahlil Mamat,
Jawahirul ‘Ulum fi Kasyfil Ma’lum, Syifa`ul Qulub, Hujjatus Shiddiq li Daf’iz
Zindiq, dan Fatchul Mubin ‘alal Mulhidin. Diantara karyanya, Ar-Raniry menulis
karya-karya tasawufnya sebagai berikut:
1. Latha’iful Asrar
2. Asrarul Insan fi Ma’rifatir Ruh war Rahman
3. Tibyan fi Ma’rifatil Adyan
4. Hilluzh Zhill
5. Ma’ul Hayah li Ahlil Mamat
6. Jawahirul ‘Ulum fi Kasyfil Ma’lum
7. Umdatul I’tiqad
8. Hujjatus Siddiq li Daf’iz Zindiq
9. Fathul Mubin ‘Alal Mulhidin
10. Hidayatul (Hifzhul) Imam bi Fadhlil Manan
11. Nubdzahh fi Da’wazh Zhill Ma’a Sahabih

15
AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
No. 1, 2023, h. 69
16
Chamamah-Suratno, Siti, dkk. “Memahami Karya-Karya Nuruddin Ar-Raniri”. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982, h.62.
8
12. Al-Lam’an bi Tafkir man Qala bi Khalqil Quran
13. Rahiqul Muhammadiyah fi Tariqis Sufiyah
14. ‘Alaqat Allah bil ‘Alam
15. ‘Aqa’idus Sufiyatil Muwahhidin17
2.4 Abdurrauf as-Sinkily
Tokoh tasawuf lain sebagaimana tersebut di atas adalah Abdurrauf. Dia adalah
salah seorang pembaharu terpenting di kepulauan Nusantara dan dikenal sebagai
pembawa tarekat Syatariyyah ke Nusantara. Sebagai salah seorang ulama terkenal
dan produktif, dia telah menulis lebih dari 30 judul karangan besar dan kecil, yang
kebanyakannya berbahasa Melayu dan Arab. Sikap toleransinya terhadap ajaran-
ajaran lain (termasuk Martabat tujuh) yang berbeda dengan ajaran yang dianutnya
tercermin dari karaya-karyanya, di mana tidak satupun di antaranya yang
mengandung sanggahan terhadap pemikiran-pemikiran yang tidak sepaham
dengannya. Meskipun dalam karyanya Kifayatul Muhtajin ia mempertahankan
transendensi Allah atas ciptaan-Nya, yang berarti menolak pendapat Wujudiyyah
yang menekankan imanensi Allah dalam ciptaan-Nya.
Karya-karya Abdurrauf mencakup suatu bidang yang luas, terutama tentang ilmu
fikih, tasawuf, tafsir, tauhid, dan hadits. Karya-karya tersebut antara lain adalah
Mir`atuth Thullab, ‘Umdatul Muhtajin, Daqa`qul Huruf dan Tanbihul Masyiy al-
Munsubi ila Thariqil Qusyasyi (berbahasa Arab). Salah satu karyanya yang sampai
sekarang masih beredar luas dan dibaca oleh masyarakat sebagai buku pegangan
dalam pendidikan tradisional, khususnya di Aceh, adalah Mawa’izhul Badi’ah, yaitu
kitab yang berisi nasehat-nasehat yang baik berdasarkan 40 hadits sahih. Kitab
tersebut berupa kitab cetakan litogarfi yang tergabung bersama delapan karya ulama
Aceh lainnya di bawah judul Jam’u Jawami’il Mushannafat, yang oleh masyarakat
Aceh lebih dikenal dengan sebutan Kitab Lapan (Kitab Delapan) karena kitab
tersebut memuat delapan judul, termasuk Mawa’izhul Badi’ah karya Abdurrauf
tersebut.
Adapun data terakhir yang diperoleh tentang karya-karya tasawuf As-Singkili di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Umdatul Muhtajin ila Suluki Maslakil Mufridin, yaitu kitab tasawuf yang
menjadi pegangan bagi orang yang menjalani jalan orang-orang yang

AR . Nurdin, “Literasi Manuskrip Tasawuf”, An-Nahdah Al-'Arabiyah; Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 3,
17

No. 1, 2023, h. 72
9
menggunakan dirinya
2. Kifayatu ‘l-Muhtajin Ila Masyrabi ‘l-Muwahhidina ‘l-Qa-ilin Bi Wahdati ‘l-
Wujud, yang berisiajaran mistik tasawuf yang ditulis atas titah Sultanah
Tajul Alam Safiyatuddin (1641- 1675)
3. Daqa`iqu ‘l-Huruf, berisi penjelasan terhadap perkataan-perkataan yang
sulit dipahami dalam tasawuf Wujudiyah Ibnu Arabi
4. Risalah Mukhtasarah Fi Bayani Syuruthi ‘sy-Syaikh Wa ‘l-Murid, yang
berisitentang syaratsyarat syeikh dan murid
5. Sya’ir Ma’rifat
6. Sakratul Maut
7. Tanbihul Masyiy al-Mansubi ila Thariqil Qusyasyiy
8. Risalah Adab Murid akan Syaikh
9. Risalah Muktasharah fi Bayani Syuruthisy Syaikh wa Murid
10. Kasyful Muntazhar
11. Lubbu ‘l-Kasyri Wa ‘l-Bayani Lima Yarahu ‘l-Muntazhari Bi ‘l-‘Iyan, yang
berisi tentang perihal Sakratu ‘l-Maut
12. Bayan Tajally
13. Bayan Ithlaq
14. Silsilah Syattariyah
15. Risalah Tentang Zikir dan Tahajjud Syattariyah
16. Manbitu ‘l-I’tiqad
17. Risalah Tentang Anasir Kejadian Kita
18. Syamsul Ma’rifah Ila Hadhratisy Syari’ah

3 Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Modern

Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga


dampak negatif. Sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa
memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang
merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak
terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menjadi
partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari
akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene
mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran
10
dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern.18 Kondisi kekinian
telah membawa orang jauh dari Tuhannya. Untuk itu, jalan untuk membawanya
kembali adalah dengan menginternalkan nilai-nilai spritual (dalam Islam disebut
tasawuf) atau membumikannya dalam kehidupan masa kini.
Salah satu tokoh era modern yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan
internalisasi nilai-nilai spritual Islam adalah Sayyid Husein Nashr. Ia melihat
datangnya malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spritualitas yang
sesungguhnya inhern dalam tradisi Islam. Bahkan beliau juga menyesali tindakan
akomodatif dari kalangan modernis dan reformis dunia Islam yang telah berakibat
menghancurkan seni dan budaya Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa
seorang muslim.19
Dalam situasi kebingungan seperti ini, sementara bagi mereka selama
berabad-abad Islam dipandangnya dari isinya yang legalistik formalistis, tidak
memiliki dimensi esoteris (batiniah) maka kini saatnya dimensi batiniyah Islam harus
diperkenalkan sebagai alternatif. Menurut Komarudin Hidayat yang dikutip oleh
Abudin Nata sufisme perlu untuk dimasyarakatkan dengan tujuan : Pertama, turut
serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi
kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur
atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan Islam), baik terhadap masyarakat
Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat
Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek
esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini
kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek yang lain ajaran Islam.20

18
John Naisbitt dan Patricia Aburdene, “Megatrends 2000”, New York: Ten new directions for the, 1990, 11.
19
Nilyati, “Peranan Tasawuf Dalam Kehidupan Modern”, Tajdid, Vol. XIV, No. 1, 2015, h. 136
20
Abuddin Nata, “Akhlak Tasawuf”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, h. 294
11
PENUTUP

1. Kesimpulan
Setelah meneliti banyak hal tentang Naskah (manuscript) bahwa kalimat
tersebut mempunyai makna yaitu sebuah teks tertulis yang mengandung berbagai
pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, dan perilaku masyarakat masa lalu.

Mengenai studi naskah tasawuf banyak sekali para ahli sufi yang menulis
beberapa naskah yang sampai saat ini masih digunakan oleh manusia. Adapun
tokoh-tokoh ahli sufi yang menulis naskah tentang tasawuf itu sangat banyak
sekali tetapi, yang kami jelaskan hanya beberapa dari para ahli sufi tersebut,
diantaranya Hamzah Fansuri, Syamsudin As-Sumatraiy, Nuruddin Ar-Raniri dan
Abdurrauf As-Sinkily.

Dari banyak hal yang kita ketahui tentang Naskah (manuscript) Tasawuf,
tasawuf tersendiri memiliki peran dan fungsi bagi kehidupan manusia dasar
yaitu: Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan
kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual.
Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris
(kebatinan Islam), baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya
maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat. Ketiga, untuk
memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam,
yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan
tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek yang lain ajaran Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hadi, W. M. (1995). Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung:
Mizan.
Al-Attas, S. M. N. (1966). The Mysticism of Hamzah Fansuri. University of London, School
of Oriental and African Studies (United Kingdom).
Azra, A. (2013). Jaringan Ulama Timur Tengah. Prenada Media.
Naisbitt, J., & Aburdene, P. (1990). Megatrends 2000: ten new directions for the 1990's. New
York: William Morrow and Company. Inc., 1990.–384 p.
Nata, Abuddin. "Akhlak tasawuf." (2011).
Nilyati, N. (2015). Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern. Tajdid: Jurnal Ilmu
Ushuluddin, 14(8), 119-42.
Nurdin, A. R. (2023). LITERASI MANUSKRIP TASAWUF. An-Nahdah Al-'Arabiyah, 3(1),
59-77.
Sangidu. (2003). Wachdatul wujud: polemik pemikiran sufistik antara Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As-Samatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri. Gama Media.
Soeratno, S. C. (1982). Memahami Karya-karya Nuruddin Ar-Raniri. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tarobin, M., Rosadi, M., & Bahri, S. Koleksi dan Katalogisasi Naskah Klasik Keagamaan
Bidang Tasawuf.

13

Anda mungkin juga menyukai