Anda di halaman 1dari 2

Sastra Pesantren

Sastra pesantren  bagian dari sastra Islam yang mewujud dalam kitab-kitab keagamaan yang
menjadi pedoman masyarakat pesantren.
Dalam tradisi pesantren, kitab-kitab keagamaan itu disebut kitab-kitab Islam klasik (Dhofier, 1982: p. 50)
atau juga disebut kitab kuning karena kertas pada halaman sebagian kitab-kitab tersebut berwarna kuning.
Dilihat dari perspektif wadah (corpus), sastra pesantren mewujud, sebagian besar, dalam bentuk kitab-
kitab berbahasa Arab dengan berbagai macam corak. Dilihat dari perspektif isi (mentes), kitab-kitab
itu memuat ilmu-ilmu: gramatika bahasa Arab, puisi Arab, prosodi Arab, tafsir, hadis, tarikh, dan
tasawuf. Semua ilmu ini dipelajari dan didalami oleh kiai bersama santrinya di pesantren dan masyarakat
yang hidup di sekitar pesantren. Selanjutnya, kiai, santri, dan masyarakat yang hidup di sekitar pesantren
itu disebut masyarakat pesantren. Santri –yang dalam perjalanan sosialnya banyak yang menjadi kiai–
memiliki tradisi menuntut ilmu dari kiai melalui kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Arab. Dari
kitab-kitab inilah para santri terbentuk sikapnya yang moderat dan inklusif dalam menghadapi realitas
sosial-budaya (Syafi’i, 2008: p. 94) sehingga masyarakat pesantren dapat menyumbangkan kecerdasan
spritual masyarakat melalui sarana sastra.

Pada masa silam, karya-karya sastra komunitas pesantren ini banyak ditulis dalam huruf Arab Pegon
dengan beragam bahasa di Nusantara. Bentuknya pun bermacam-macam, mulai dari roman yang
mengandung sejarah dan realitas sosial, hingga kisah-kisah yang dipenuhi dengan tema-tema moralitas
dan kepahlawanan. Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh pesantren ini walaupun bersifat fiktif, namun
memiliki kesan realis yang melibatkan tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial kehidupan
bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.

Pada abad ke-17 dan abad ke 18 dikatakan bahwa pesantren menjadi tempat para pujangga dan para
sastrawan menghasilkan berbagai karya. Seperti pujangga kraton yakni Yosodipuro I, Yosodipuro II, dan
Ranggawarsita yang merupakan santri-santri yang menghasilkan banyak karya, baik itu dalam
bentuk kakawin, serat dan babad. Sumber dari karya-karya mereka pun dikatakan tidak hanya berasal
dari kitab kuning, melainkan juga pengalaman sejarah bangsa mereka sendiri sebagaimana yang dialami
kerajaan Hindu, Budha di zaman para Wali Songo. Selain mereka ada lebih banyak lagi karya sastra
pesantren yang dihasilkan pada zamannya yang masih bisa ditemukan hingga kini.

Fungsi sastra pesantren:


1. Menguatkan budaya lokal karena ia berbicara tentang kitab-kitab keagamaan yang isinya
berupa ajaran kehidupan tentang kebaikan yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat di pedesaan
yang dekat dengan lingkungan pesantren  Sastra pesantren lebih fokus pembahasannya pada isi
kitab yang diresepsi dan diproduksi oleh masyarakat pesantren. Jadi, penciptaan sasta pesantren
lebih ditekankan pada faktor tempat dan subjek produksinya (kiai sebagai pengarang) serta fungsi
keagamaannya yang menguatkan dan memperkaya budaya lokal.
2. Sastra pesantren –sebagai sebuah genre sastra– dipandang dapat memberi kontribusi terhadap
khazanah sastra dan ilmu sastra.  Hal ini dikarenakan pesantren sebagai sebuah institusi,
bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan
dan lembaga kehidupan serta salah satu sumber lahirnya kebudayaan.
3. berfungsi pedagogis yang artinya digunakan sebagai pengajaran etika atau akhlak, sastra
pesantren juga mengintegrasikan tradisi kesyuyukhiya-an (jejer pandita) sebagai bagian
penting dari lakon dalam karya-karya klasik. Misalnya seperti penulisan kembali Hikayat
Iskandar Dzulqarnain dari Timur Tengah dalam berbagai versi bahasa Nusantara, dengan
memasukkan figur Nabi Khaidir sebagai guru. Yang mana di dalamnya ia berperan sebagai sosok
yang membimbing, mengarahkan, dan membawa kesuksesan bagi Iskandar yang juga
digambarkan sebagai murid yang taat kepada gurunya tersebut. Berbagai versi hikayat seperti ini
yang menunjukkan penekanan kepada relasi guru-santri juga muncul dalam karya lain, misalnya
seperti dalam Sejarah Melayu, Hikayat Aceh, dan Tambo Minangkabau.
4. sastra pesantren sebagai salah satu produk budaya juga menampilkan diri dalam karya-
karya etnografis kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan yang merekam tradisi-tradisi
masyarakat setempat dalam bentuk sastra. Seperti dalam karya berjudul Poerwa Tjarita Bali
yang ditulis pada abad 1875 dalam bahasa Jawa oleh seorang santri di Pondok Sepanjang,
Malang, bernama Raden Sasrawijaya, asal Yogyakarta. Pengetahuan mengenai kota-kota, adat
istiadat pembesar dan orang kebanyakan yang tinggal di desa-desa dituangkan dalam karya
tersebut sebagai bagian dari kegiatan bersastra orang-orang pesantren.

Anda mungkin juga menyukai