GAMBARAN UMUM
TENTANG KARYA SASTRA JAWA
1
Asmoro Achmadi, Islam dalam Sastra Pujangga, edisi no. 4 Jurnal Dinamika Islam dan
Budaya Jawa, Dewaruci, 2002, hlm. 1
2
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986,
hlm. 875
14
dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah atau dengan kata
lain tulisan yang indah dan sopan3
Sedangkan kata Jawa adalah salah satu pulau besar yang terpadat
penduduknya di wilayah Republik Indonesia yang secara administratif terbagi
menjadi tiga propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dialek
bahasa yang digunakan setiap hari oleh orang Jawa adalah bahasa daerah
masing-masing. Di antara berbagai bahasa daerah di Indonesia, bahasa Jawa
memiliki domentasi yang sangat penting dan lengkap antara lain adalah
prasasti dan karya sastra dari masa 800 – 1500 M yang masih tersimpan
sampai dewasa ini dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno.4
Salah satu fungsi sastra Jawa adalah mengungkapkan adanya nilai
keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Karya sastra Jawa dapat
dikatakan memiliki nilai keindahan dan manfaat karena setiap karya sastra
Jawa yang terungkap dalam bentuk puisi, prosa maupun drama merupakan
suatu karya sastra yang dapat dinikmati baik bagi pembaca, pendengar
maupun penontonnya. Sehingga baik pembaca, pendengar maupun
penontonnya tidak bosan. Tergantung pada kualitas suatu karya sastra Jawa
tersebut, apabila kualitas karya sastra Jawa tersebut rendah maka tentunya
akan membosankan pembaca, pendengar maupun penonton. Sebaliknya
apabila suatu karya sastra Jawa tersebut memiliki kualitas yang tinggi,
walaupun di ulang-ulang para pembaca, pendengar maupun penontonnya tidak
akan membosankan.
Demikian juga suatu karya sasta Jawa mengandung nilai moral, hal ini
dapat dilihat dari berbagai karya sastra Jawa baik berupa puisi, prosa maupun
drama tentu akan memiliki tema yang menjadi target atau misi yang
terkandung dalam setiap karya sastra tersebut. Misalnya karya sastra Jawa
yang ditulis oleh para pujangga tentunya akan memiliki maksud dan misi
yang diembannya. Maksud dan misi itu biasanya berisi pelajaran yang berupa
3
HAN KOL, Ensiklopedi Indonesia, P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, t.th., hlm. 895
4
Ibid., hlm. 1599
15
bahwa bahasa sastra Jawa mempunyai fungsi ekspresif, menunjuk pada nada
dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra Jawa berusaha
mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya berusaha mengubah sikap
pembaca. Hal ini yang penting dalam bahasa sastra Jawa adalah tanda,
simbolisme dari kata-kata dalam sastra Jawa tersebut. Dalam bahasa sastra
Jawa sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematik dan dengan
sengaja. Berbicara mengenai sastra Jawa maka tidak lepas dari fungsi dan
sifatnya, yaitu untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu
terhadap manusia.8
Manuskrip-manuskrip Jawa (sastra Jawa) yang saat ini tersebar
keberadaannya dimusium-musium dalam maupun luar negeri, serta tempat-
tempat lain sebagai milik pribadi, merupakan sumber utama dalam
menyingkap sejarah Islam Jawa dan pemikirannya. Oleh karena itu saya
sebagai peniliti naskah Jawa ingin mengungkap masalah tersebut karena
merupakan warisan yang sangat berharga dari nenek moyang yang perlu dikaji
dan perlu diteliti.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa ada suatu hal yang perlu
diperhatikan, yaitu agama Budha, Hindu dan keprecayaan asli yang
berdasarkan pada animisme dan dinamisme telah berurat akar pada
masyarakat ini. Maka dengan kedatangan Islam, terjadilah benturan antara
Islam di satu pihak dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya.
Di lain pihak ada sekelompok masyarakat yang bisa menerima Islam dengan
sepenuh hati, ada pula masyarakat yang bisa menerimanya tetapi belum bisa
melepaskan diri dari ikatan-ikatan lama dan ada pula yang menolak dan
menantangnya, meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Dengan adanya tiga kelompok masyarakat dalam menerima Islam,
muncullah tiga macam kepustakaan Jawa (sastra Jawa). Yang pertama adalah
kepustakaan Islam santri, yaitu suatu kepustakaan yang berlandasan pada
syari’ah dan bisa diterima di semua lapisan mayarakat muslim. Kedua adalah
8
H. M. Darori Amin, MA., Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000,
hlm. 140-141
17
kepustakaan Islam kejawen yang memuat perpaduan antara Jawa lama dengan
unsur-unsur dari agama Islam. Dan ketiga adalah sastra yang muncul dari
kalangan yang menolak Islam, meskipun tidak berani terang-terangan.9
Dari ketiga keterangan mengenai pembagian karya sastra Jawa di atas
akan dijabarkan pada sub bab selanjutnya.
9
H. M. Darori Amin, MA., Sastra Kitab dan Penanganannya, edisi no 4, Jurnal Dinamika
Islam dan Budaya Jawa, Dewaruci, 2002, hlm. 11
10
Ibid., hlm. 11
11
Ibid., hlm. 11
18
12
Ibid., hlm. 12
13
Poerwadarminta, Baoesastra Djawa, J.B. Wolter, Jakarta, 1939, hlm. 571
14
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru dan Elvesier Publishing Project,
Jakarta, 1984, hlm. 3349
15
Faqr Abd’l Haq, Susuk Sujinah, Keluarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1953, hlm. 42
19
16
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI Press, Jakarta, 1987,
hlm. 61
20
dikatakan mengandung nilai karya sastra Jawa karena ada cerita, tokoh dan
bersifat fiktif (tidak nyata).17
2. Karya sastra Jawa yang berbentuk puisi
Bentuk ini merupakan bentuk kesusastraan Jawa yang paling tua, seperti
contoh karya sastra Jawa yang tertuang dalam kitab Ramayana dan
Bharatayudha. Puisi tidak hanya menulis karya sastra Jawa, tapi juga
untuk memperindah kehidupan, terbukti bahwa lagu-lagu populer dalam
rangkaiannya berisi tentang puisi-puisi yang sangat menarik.18
3. Karya sastra Jawa yang berbentuk drama
Karya sastra Jawa yang berbentuk drama ini ditentukan dengan adanya
dialog antar tokoh (cerita yang terjadi karena dialog). Selain yang tertuang
dalam berbagai kitab dan buku, bentuk karya sastra Jawa ini juga dapat
dinikmati melalui pementasan.
Adapun pembagian karya sastra Jawa ditinjau menurut zamannya
dibagi menjadi tiga periode, yaitu :
1. Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa kuno ini dimulai dari Jawa purba hingga sekitar tahun 1400
M. Adapun karya sastranya adalah Kakawin Ramayanan dan Kakawin
Bharatayudha
2. Sastra Jawa Pertengahan
Untuk sastra Jawa pertengahan, dimulai pada tahun 1400 M sampai 1700
M. Adapun karya sastranya adalah tantu Pangelaran, Kidung Sundayana
termasuk juga Kidung Rumeksa Ing Wengi karya Sunan Kalijaga.
3. Sastra Jawa Baru
Di mulai pada tahun 1700 M sampai sekarang, adapun sastra baru ini
dapat dipilahkan menjadi dua sub besar, yaitu pada zaman Surakarta awal
dan Surakarta akhir19
17
H. M. Darori Amin, MA., Islam dan Kebudayaan Jawa, loc. cit., 141
18
Ibid, hlm. 141 - 142
19
Marwanto, Sejarah Perkembangan Macapat, http://www.giocities.com/ Aegean/3922/
opini.htm
21
20
Ibid. hlm. 1
22
21
Ibid. hlm. 2
22
Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996, hlm. 14
23
diikuti dengan mengalirnya kepustakaan Islam. Baik dalam bentuk huruf Arab
ataupun yang telah digubah dalam bahasa Melayu.
Mengalirnya kepustakaan Islam Jawa dengan cepat mempengaruhi
perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa. Sastra Jawa yang notabenenya
telah mengalami perpaduan dengan Hindu Budha, kemudian mendapat
masukan baru dari unsur-unsur Islam. Pengaruh Islam dalam sastra Jawa
(kepustakaan Jawa) melahirkan jenis kepustakaan baru, yang isinya
mempertemukan tradisi-tradisi kejawen dengan unsur-unsur Islam, sehingga
sastra jawa pun menjadi semakin indah ,menarik dan berkualitas.
Sehingga lahirlah sastra Jawa yang berupa serat suluk, serat wirid,
babad dan primbon. Serat suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran
tasawuf atau mistik dalam Islam. Babad berisi tentang cerita-cerita atau kisah-
kisah dalam Islam, seperti kisah para Nabi. Primbon isinya merangkum
berbagai ajaran yang berkembang dalam tradisi Jawa, seperti ngelmu petung,
ramalan, guna-guna dan lain sebagainya. Sastra Jawa baru yang menyerap
unsur-unsur Islam ini semakin berkembang, inilah yang disebut dengan
Kepustakaan Islam Kejawen.23
Berdirinya kerajaan Jawa Islam Mataram dengan Rajanya yang
terkenal Sultan Sultan Agung Anyakrakusuma (1613-1645 M), semakin
menyuburkan kepustakaan Islam kejawen. Sultan Agung dalam menjalankan
pemerintahan dan memperbesar wilayah dan kekuasaannya dengan cara
menjalankan politik Islamisasi, yaitu dengan cara mempertemukan tradisi-
tradisi jawa dengan ajaran Islam. Para pujangga Jawa bersifat pro-aktif,
menerima ajaran Islam dan mengolahnya secara kejawen.
Lahirnya pustaka Islam kejawen membawa dampak yang cukup besar
bagi perkembangan keagamaan masyarakat Jawa. Ajaran tasawuf Islam
mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan masyarakat Jawa.
Kepustakan Jawa yang merupakan cermin pengolahan Jawa atas mistik yang
datangnya dari luar, baik itu Hindu-Budha maupun Islam semuanya
mengajarkan kesatuan hamba dengan Tuhan.
23
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, loc. cit., hlm. 22
24
24
Ir. Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Dahara Prize,
Semarang, 1992, hlm. 47 - 48
25
25
Ibid., hlm. 48
26
Ibid., hlm. 49
27
Ibid., hlm. 50
28
Tirto Suwondo, Nilai Budaya Susastra Jawa, Pusat Pembinaan dan Pengambangan
Budaya, Jakarta, 1994, hlm. 66
26
Artinya :
…… Sembahku kami tujukan tak ada lain kepada Sang Pencipta
Alam ini, Tuhan seru sekalian alam.
29
Ibid., hlm. 67
30
Ibid., hlm. 68
28
2. Tentang Manusia
Mengenai kejadian manusia sebagaimana dalam bukunya Simuh,
Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia
dengan Tajalli Dzatnya (menampakkan diri keluar) sebanyak tujuh
martabat antara lain : sajaratul yaqin, nur Muhammad, mir’atul haya’I,
roh idlofi, kandil, darrah dan hijab. 31
Dari ke tujuh martabat tersebut tidak akan penulis jelaskan secara
terperinci tapi yang terjelas bahwa apabila dari ke tujuh martabat tersebut
dapat berkumpul dengan seimbang maka manusia akan mendapatkan
martabat insan kamil. Insan kamil ini dapat disebut juga dengan
Manunggaling Kawula Gusthi, yaitu suatu keadaan yang tidak dapat
dipisahkan dari Sang Pencipta (Tuhan). Di samping itu sifat-sifat Maha
Luhur meliputi keadaan manusia yang telah memperoleh derajat insan
kamil.32 Martabat-martabat tersebut di atas merupakan Tajjali Tuhan dan
penjelasan asal kejadian manusia pada umumnya. Seterusnya mengenai
penciptaan manusia dalam Serat Wirid Hidayat Jati dalam bukunya Simuh
diterangkan bahwa : sewaktu Tuhan berkehendak mewujudkan sifat Nya
yang dinamakan Adam berasal dari anasir empat perkara, yaitu tanah,
api, angin dan air. Dalam dalil lain juga diterangkan bahwa sesungguhnya
Aku (Allah) menciptakan Adam berasal dari unsur empat macam, yaitu :
tanah, api, air dan angin menjadi perwujudan sifatmu, kemudian Aku
memasukkan muddah (anasir halus) lima macam, yaitu : nur, rahsa, roh,
nafsu dan budi yang menjadi pernutup wajah Ku yang Maha Suci.
Masuknya muddah itu bermula pada ubun-ubun berhenti di otak dan
kemudian turun ke mata, telinga, hidung, mulut, dada dan tersebar ke
seluruh tubuh sempurna menjadi insan kamil.33
31
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, loc. cit., hlm. 309
32
Tardjan Hadidjaja Kamajaya, Serat Centhini terj. Bahasa Indonesia, UP Indonesia,
yogyakarta, 1978, hlm. 136
33
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, op. cit., hlm. 312
29
……..
Padha sira estokea ;
Parentahira Hyang Widhi
Kang dawuh maring Nabiyullah
Ing dalil kadis enggone
Ajana ingkang sembrana
Rasakna den karasa
Dalil kadis rasanipun
Dadi pandhang ing tyassira
Artinya :
………..
Perhatikan itu semua :
Perintah Tuhan
Yang di sampaikan lewat Nabi kita
Dalam dalil hadits tempatnya
Jangan sampai ada yang gegabah
Rasakan rasanya itu
Isi dalil haditsnya
Sebagai sesuluh batinmu34.
34
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, Terjemahan Serat Wulang Reh, Dahara Prize,
Semarang, 1991, hlm. 116 - 119
31
Artinya :
Jelasnya kata itu
Bila sudah hilang keraguan kalbu
Hanya tebal percaya terhadap takdir
Itu diwaspadai dan diingat
Dipertimbangkan masak bila akan disimpan.
35
K.G.P.A.A. Mangkunagara IV Surakarta Hadiningrat, Terjemahan Wedha Tama, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 22
32
BAB III
DISKRIPSI KIDUNG RUMEKSA ING WENGI
1
Ridin Sofwan, “Dampak Metode Para Wali Mengislamkan Tanah Jawa”, dalam Ridin
Sofwan dkk, Jurnal Jarlit Dewa Ruci Nomor 3, (PPIS bekerja sama Dinamika Islam dan
Kebudayaan Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2000), hlm.1
33
pengambil alihan makna dari tempat-tempat suci atau tempat ibadah agama
Hindu.2
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah
Islam dahulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran
Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Seperti
halnya wali songo, mereka dapat dengan lebih mudah memasukkan Islam
karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, namun dalam
racikan dan kemasan yang bercita rasa Jawa. Artinya masyarakat diberi
“bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa namun isinya Islam.3 Dan masih
banyak lagi upaya mengambil unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan
nilai-nilai Islam yang dalam hal ini nilai-nilai iman, misalnya seperti yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan “Kidung Rumeksa Ing Wengi”.
Ridin Sofwan mengutip ungkapan Katsumiko Seino tentang cara-cara
yang digunakan oleh para wali dalam menghadapi budaya lama yaitu sebagai
berikut:
1. Menjaga, memelihara (keeping) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama
contoh menerima upacara tingkeban, mitoni
2. Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan tradisi
baru, contoh menambah perkawinan Jawa dengan akad nikah secara Islam.
3. Menginterpretasikan tradisi lama ke arah pengertian yang baru atau
menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh
wayang di samping sebagai sarana hiburan juga sebagi sarana pendidikan.
4. Mengganti (exchange) sebagian unsur lama dalam suatu tradisi dengan
unsur baru, contoh selamatan atau kenduren motifasinya diganti.
5. Mengganti secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan tradisi
baru, contoh sembahyang di kuil diganti sembahyang di masjid sehingga
tidak ada unsur pengaruh Hindu di masjid.
2
Ibid. hlm. 2
3
Marwanto, Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya,
http://www.giocities.com/Aegean/3922/opini.htm
34
4
Ibid, hlm. 4
5
Hj. Siti Munawaroh Thowaf, Aspek Theologi Islam Dalam Pewayangan, Siti
Munawaroh Thowaf, dkk. Jurnal Theologia, ( Theoligia No:15 1992), hlm. 22-23
36
Dr. Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga Sintesis Ajaran Wali Sanga Vs Syeh Siti Jenar,
Persada, Yogyakarta, 2003, hlm. 150
35
37
Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Menara Kudus, Kudus, tt, hlm. Pendahuluan
38
Imam Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga , Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. ix
9
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme Dalam
Budaya Spiritual Jawa, Narasi, Yogyakarta, 2003, hlm. 102-103
10
Ajip Rosidi, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, tt, hlm. 1776
36
misteri yang sangat dalam sekali, kapan sebenarnya kidung ini ditulis.
Usaha dalam penelusuran tentang karya sastra ini ditulis sudah sejauh
Sunan Kalijaga itupun tidak mengerti secara pasti kapan karya sastra itu
11
S.A. Mangunsuwita, Kamus Bahasa Jawa, Yrama Widya, Bandung, 2002, hlm. 219
12
Ibid, hlm. 300
13
Dr. Purwadi, Op. Cit., hlm. 150
37
ditulis. Yang jelas di sini bahwa Kidung Rumeksa Ing Wengi diciptakan
diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang mempunyai nama asli Raden Sahid,
sejak kecil.
Beliau dikenal sebagai mubaligh / da’i keliling, ulama besar, seorang wali
yang memiliki karisma tersendiri di antara wali yang lain, paling terkenal di
14
Achmad Chodjim, Mistik dan Ma’rifat Sunan Kalijaga, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,
2003,hlm.32-52.
Lihat,R.Wiryopanitra, Serat Kidungan Kawedar, DEPDIKBUD,Jakarta:1979,hlm.7.
Hasil wawancara dengan Raden Muhammad Sudiyoko (79) tahun, ahli waris Sunan
Kalijaga, Kadilangu, Demak
Kidung Sunan Kalijaga http://www.minggupagi.com/article.php?sid=1360.
Kidung Dandang Gula, Tolak Balak, Jum’at,8 Agustus 2003 14:42.
http://www.astaga.com/komentar/index.p hp?act=view&id=71906&cat-403&start,
M. Heriwijaya, Islam Kejawen: Sejarah, Anyaman Mistik dan Simbolisme Jawa,
(Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004), hlm. 44,
Kangdjeng Susuhunan Kalidjaga, Kidungan Pepak Djangkep, (Sala: S. Muliya t.th),
hlm. 3-4
38
Kenyataan yang terjadi pada penyebaran Islam pada waktu itu banyak
Kalijaga (ajaran Islam) yaitu dengan Black Magic. Sehingga beliau menulis
kidung wingit yang diberi nama Kidung Rumeksa Ing Wengi yang di
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari seratus tahun
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan Pajang yang lahir
panembahan senopati.16
15
Sunan Kalijaga, http//:www.jawapalace.org/sunankalijogo.html
16
Ibid
39
17
Dr. Purwadi, loc, cit, hlm. 191-192
18
Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, Serambi, Jakarta, 2003, hlm. 16
19
http://www.jawapalace.org/kidungpurwajati.html
40
20
Soraya Susan Behbehani, Ada Nabi Dalam Diri, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003,
hlm. 229
41
Terjemahannya:
Ada nyanyian yang menjaga di malam hari. Kukuh selamat
terbebas dari penyakit. Terbebas dari semua malapetaka. Jin setan jahat
pun tidak ada yang berani. Juga berbuat jahat. Guna-guna pun tak ada
yang berani. Api dan juga air. Pencuri pun jauh tak ada yang menuju
padaku. Guna-guna sakti pun lenyap
21
Kangdjeng Susuhunan Kalidjaga, Kidungan Pepak Djangkep, S. Muliya, Surakarta, t.th,
hlm. 3-4
43
Napasku Nabi Isa as, Nabi Yakub mataku, Yusuf wajahku, Nabi
Daud suaraku, Nabi Sulaiman kasaktianku, Nabi Ibrahim nyawaku, Idris
di rambutku, Baginda Ali kulitku, Abu Bakar darah, daging Umar, balung
baginda Usman
Siapa sja yang dapat melakukan puasa. Mutih dan minum air putih.
Selama 40 hari. Dan bangun waktu subuh. Bersabar dan bersyukur di hati.
Insya Allah tercapai semua cita-citamu. Dan semua sanak keluargamu. Dari
daya kekuatan seperti yang mengikatku ketika di kalijaga.22
Kidung ini terdiri atas sembilan bait yang disertai laku dan fungsi
pragmatisnya secara spesifik. Dan dibagi atas dua bagian, bagian pertama,
terdiri lima bait yang wajib diamalkan setiap malam, kedua, terdiri empat
22
M. Heriwijaya, Islam Kejawen: Sejarah, Anyaman Mistik dan Simbolisme Jawa,
Gelombang Pasang, Yogyakarta, 2004, hlm. 48-50
44
bait berupa petunjuk yang menyertai laku dan wajib dilaksanakan oleh
setiap orang yang mengamalkannya.23
Adapun makna dari kidung atau sabda suci yang dimaksudkan
untuk menjaga diri di malam hari. Karena malam hari merupakan
“sumber” berbagai macam kejahatan. Walaupun siang hari tidak jauh
beda, namun malam hari lebih banyak lagi, karena malam hari kejahatan
tidak dilakukan secara tidak terang-terangan. pada bait pertama, berisi
ajaran tentang perlindungan dari dari berbagai kejahatan yang bisa
dilakukan di malam hari. Bukan hanya kejahatan dari hasil perbuatan jahat
orang atau pencuri, tetapi juga kejahatan ghaib seperti sihir, teluh, tuju,
santet dan sebagainya. Dengan melafalkan kidung ini, berbagai kejahatan
malam tersebut akan menyingkir. Bukan diperangi, tetapi ditolak. Bukan
disingkirkan, tetapi kejahatan itu sendiri yang menyingkir.24
Bait yang kedua, dari daya pujian itu, segala penyakit yang akan
menimpa lalu kembali tidak jadi mengena, segala hama yang menjadikan
kesulitan hidup pun akan menjauh, semuanya itu hanya memiliki belas
kasih. Seandainya ada yang hendak menyerang dengan senjata, dengan
sendirinya akan luput, bila pun kena , ya tidak terasakan apa-apa, ibarat
kapuk yang jatuh di atas besi. Bila terkena racun akan tawar, jika bertemu
dengan hewan buas juga tidak mau memangsa malah sebaliknya binatang
tersebut akan jinak, dan apa bila melewati pepohonan angker dan tanah
yang gawat, juga akan tawar.
Ada pun yang dimaksud dari kata; sarang landak rumahnya orang
miring dan tempat merak mendekam, itu sekedar simbol, menurut
pedoman ilmu artinya, menunjukkan asal kejadian manusia, dari pria dan
wanita (ayah dan ibu). R. Wiryapanitra menerangkan bahwa ayah
menurunkan benih kepada rahim ibu kemudian larutlah benih tersebut
dalam seperma, mani, madi, wadi di situlah Tuhan Yang Maha Kuasa
23
Ibid, hlm. 45
24
Achmad Chodjim, lok. cit, hlm. 37
45
25
R. Wiryapanitra, Serat Kidungan Kawedhar, Effhar dan Dahara Prize, Semarang, 1995,
cet. I, hlm.9
26
Achmad Codjim, op. cit., hlm. 50
27
R. Wiryapanitra, T.W.K. Hadisoeprapto dan Siswoyo, Serat Kidungan Kawedhar,
Departemen P dan K, Jakarta, 1979, hlm. 12
46
31
Kisah Para Nabi, http://www.dzikir.org/b_ceri16.htm
48
sekedar di atas bara api beliu tetap hidup dan utuh. Daya yang dapat
membuat panasnya api terasa dingin dan akhirnya tidak dapat membakar
Nabi Ibrahim.
Yusuf ing rupaku mangke, maksudnya Nabi Yusuf adalah seorang
yang menderita sejak kecil, karena dianiaya, tetapi penderitaannya itu
hanya menjadi pembuka ke arah kebenaran, sehingga dapat menduduki
jabatan Adipati di negei Mesir. Maka diibaratkan sebagai wajah kita,
karena wajah itu menjadi pembuka warna, sedangkan wajah itu menjadi
pintu pembuka kegaiban. Jadi wajah kita ini menjadi tirai gaib yang hebat
atau titipan Tuhan.32
Nabi Sulaiman kasekten mami, Nabi Sulaiman yang telah berkuasa
penuh atas kerajaan Bani Isra'il yang makin meluas dan melebar, Allah
telah menundukkan baginya makhluk-makhluk lain, yaitu Jin Angin dan
burung-burung yang kesemuanya berada di bawah perintahnya melakukan
apa yang dikehendakinya dan melaksanakan segala komandonya. Di
samping itu Allah memberinya pula suatu kurnia berupa mengalirnya
cairan tembaga dari bawah tanah untuk dimanfaatkannya bagi karya
pembangunan gedung-gedung, perbuatan piring-piring sebesar kolam air,
periuk-periuk yang tetap berada diatas tungku yang dikerjakan oleh
pasukan Jin-Nya. Sebagai salah satu mukjizat yang diberikan oleh Allah
kepada Sulaiman ialah kesanggupan beliau menangkap maksud yang
terkandung dalam suara binatang-binatang dan sebaliknya binatang-
binatang 33dapat pula mengerti apa yang ia perintahkan dan ucapkan.
Idris ing rambutku, Karena rambut sebagai pelindung kepala dan
sekaligus sebagai mahkota. Dalam Al-Qur’an nama Idris hanya disebut
dua kali, yaitu Q.S. Maryam: 56 dan al-Anbiya’ :85. Dalam ayat-ayat
tersebut, Idris digolongkan sebagai Nabi yang shiddiq, dan sabar. Shiddiq
ialah orang yang senantiasa berbuat kebenaran dan ucapannya setulus
hatinya. Orang yang shiddiq merupakan orang yang mampu dalam praktik,
32
R Wiryapanitra, loc cit, hlm.19
33
Kisah Nabi Sulaiman, http://www.dzikir.org/b_ceri17.htm
49
dan bukan hanya ngomong atau pandai dalam hal teori. Sedangkan orang
yang sabar dapat dipahami sebagai orang yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya, menahan diri dari berbaga godaan, dan mengikuti prosedur
yang benar dalam meniti hidupnya. Daya Nabi Idris dihadirkan pada
rambut agar daya shiddiq dan kesabarannya bisa menjadi peneduh dan
juga pelindung dari berbagai terpaan godaan dan bencana dalam
kehidupan.34
Nabi Idris adalah keturunan keenam dari Nabi Adam putera dari
Yarid bin Mihla'iel bin Qinan bin Anusy bin Syith bin Adam A.S. dan
adalah keturunan pertama yang dikurniai keNabian menjadi Nabi setelah
Adam dan Syith. Nabi Idris menurut sementara riwayat bermukim di
Mesir di mana ia berdakwah untuk agama Allah s.w.t. mengajarkan tauhid
dan beribadat menyembah Allah s.w.t. serta memberi beberapa pendoman
hidup bagi pengikut-pengikutnya agar menyelamat diri dari seksaan
diakhirat dan kehancuran serta kebinasaan di dunia. Ia hidup sampai usia
82 tahun.
Diantara beberapa nasihat dan kata-kata mutiaranya ialah :
1. Kesabaran yang disertai iman kepada Allah s.w.t. membawa
kemenangan
2. Orang yang bahagia ialah orang yang berwaspada dan mengharapkan
syafaat dari Tuhannya dengan amal-amal solehnya.
3. Bila kamu memohon sesuatu kepada Allah s.w.t. dan berdoa maka
ikhlaskanlah niatmu demikian pula puasa dan sholatmu
4. Janganlah bersumpah dalam keadaan kamu berdusta dan janganlah
menuntup sumpah dari orang yang berdusta agar kamu tidak
menyekutui mereka dalam dosa.
5. Taatlah kepada raja-rajamu dan tunduklah kepada pembesar-
pembesarmu serta penuhilah selalu mulut-mulutmu dengan ucapan
syukur dan puji kepada Allah s.w.t.
34
Achmad Chodjim, op, cit., hlm.60
50
35
Peradaban Masa Ali bin Abi Thalib,
http://tanbihul_ghafilin.tripod.com/himpunankisahparaNabi1.htm
36
Ibid., hlm. 61
51
Karena bila dilihat dari sejarah, dalam hal peperangan, Ali dikenal sebagai
panglima yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-
lawannya. Zul fiqar sebagai pedang yang selalu menemaninya dalam
setiap peperangan, ia tebas semua musuh dalam medan perang. Hampir di
semua peperangan yang terjadi di masa Nabi s.a.w, ia selalu menjadi
andalan barisan terdepan.37
Abu Bakar, Umar, dan Usman dihadirkan sebagai daya yang
mendukung eksistensi darah, daging dan tulang. Secara keseluruhan
sahabat empat adalah merupakan kulit, darah, daging dan tulang bagi
kebangkitan umat yang baru pada masa itu. Yaitu umat Islam. Maka daya
ke empat sahabat itu dihadirkan dalam kekuatan doa untuk keselamatan
lahir dan batin bagi pembacanya.
Abu Bakar getih, mengapa ini dihadirkan dalam kidung tersebut,
karena jika kita lihat sejarah dari sayidina Abu Abu Bakar As-Siddiq
adalah sifat rendah dirinya. Semasa beliau diangkat menjadi khalifah,
beliau telah memberi ucapan kepada umat Islam. Dengan segala rendah
hati beliau mengatakan bahwa beliau bukanlah yang terbaik di kalangan
umat Islam. Beliau juga memiliki sifat tawadhuk dan ini yang seharusnya
dimiliki oleh setiap manusia, dan kepribadian Abu Bakar sebelum menjadi
khalifah ia selalu membantu seorang wanita tua yang menjadi tetangganya,
yaitu membantu memberi makan unta-unta serata memerah susunya.38
Balung Baginda Utsman, karena beliau sebagai tulang penggung
Islam pada masa itu. Adapun tanda kebesaran beliau adalah, Menumpas
pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk di bawah
kekuasaan Islam pada zaman Umar. Seperti mengamankan Azerbaijan dan
Armenia, Melanjutkan perluasan ke daerah-daerah yang sempat terhenti
pada masa pemerintahan Umar.
Pembentukan armada laut yang kuat. Panglima Muawiyah bin Abi
Sofyan berulangkali mengajukan permohonan kepada Khalifah Umar
37
Peradaban Masa Ali bin Abi Thalib, op. cit.
38
Abu Bakar Assyidiq, http://www.muis.gov.sg/websites/khutbah/ser-m-250820.html
52
41
Achmad Chodjim, loc. cit., hlm. 62
42
Iktibar: Nabi Ayub Diuji Sakit,
http://www.hmetro.com.my/Current_News/HM/Friday?Ad%20Din/20050506113557/Article/inde
xs_html
43
http://tanbihul_ghafilin.tripod.com/himpunankisahparaNabi1.htm, Ibid.
54
semua itu dijaga atau dilestarikan dan diberkahi oleh Zat Allah. Baik yang
membaca lagu pujian itu, maupun yang mendengarkan, ataupun yang
menuliskannya, bahkan yang hanya memelihara lagu pujian itu atau
menyimaknya, semua akan mendapat berkah keselamatan dalam segala
tingkah lakunya. Lagu pujian ini jika dibacakan dekat air, lalu
disemburkan ludahnya, air semburan itu mempunyai keberkahan; jika
dipakai mandi oleh gadis terlambat berjodoh, akan segera mendapatkan
jodoh, jika digunakan untuk mandi oleh orang yang berpenyakit gila, tentu
akan segera sembuh gilanya. Artinya bagi orang yang berilmu yang
dinamkan lagu pujian itu merupakan kiasan dari Sang Guru Sejati, karena
itu daya kewibawaannya juga diambilkan dari kekuasaan Sang Guru Sejati
juga, sehingga yang diperlukan adalah keselarasan dan penyesuaian
dengan Sang Guru Sejati, supaya kita dapat meminjam daya kewibawaan-
Nya itu.44
Sedangkan maksud dari bait ke tujuh, adalah memberikan
pengetahuan pada anak muda, jika ada yang didenda oleh negara / orang
yang dihukum denda. Serta orang yang tersangkut urusan polisi dan orang
yang terlalu banyak mempunyai pinjaman tetapi kesulitan untuk
membayar, hendaknya segeralah membaca kitab lagu pujian itu, artinya
yang dibacakan hanyalah lagu pujian yang terdapat pada lagu nomor satu,
tapi jika orang yang berilmu, lebih diutamakan memuji kebesaran Sang
Guru Sejati (Allah). Sedang waktu membacanya di malam hari dengan
nada yang lirih sebanyak dua puluh lima kali, dapat terbebas itu tentunya
dengan daya upaya juga dan telah dianugrahi berkah oleh Allah, jadi dapat
mengharukan pertimbangan negara. Serta yang mendapatkan hukuman
denda akan terbebas. Gusti Allah membayar hutangnya itu tetapi dengan
perantara orang lain, dan jika seseorang terkena sakit maka akan sembuh
yang jelas kesembuhannya itu, sebenarnya harus dengan cara pengobatan,
tetapi obatnya itu telah mendapatkan berkah.45
44
R.Wiryapanitra, loc.cit., hlm. 19-20
45
Ibid, hlm.20-21
55
46
Achmad Chodjim, loc. Cit., hlm.29
47
R.Wiryapanitra, op. cit., hlm. 39-41
56
48
M. Heriwijaya, loc. cit., hlm.45, dan http://www.jawapalace.org/kidungpurwajati.html
49
Umar Hasyim, Syetan Sebagai Tertuduh Dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan
dan Azimat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1991, hlm.182