Anda di halaman 1dari 44

BAB II

GAMBARAN UMUM
TENTANG KARYA SASTRA JAWA

A. Tinjauan Umum Tentang Karya Sastra Jawa


Sastra Jawa sebagai suatu istilah yang menunjuk kepada suatu ilmu
dengan bahasan yang luas, yang meliputi berbagai macam dimensi, yaitu :
pertama adalah teori sastra Jawa , (yaitu membicarakan tentang pengertian
sastra Jawa, unsur-unsur yang membentuk terjadinya sastra Jawa, jenis-jenis
sastra Jawa dan perkembangan pemikiran sastra Jawa), yang kedua adalah
sejarah sastra Jawa (yaitu membicarakan dinamika tentang sastra Jawa,
pertumbuhan / perkembangan suatu karya sastra Jawa tokoh-tokoh dan ciri-
ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra Jawa, termasuk
karya sastra Jawa ketika terkait dengan kondisi ideologi dan sosial yang
mempengaruhinya), yang ketiga adalah kritik sastra Jawa (yaitu
membicarakan pemahaman, penafsiran, penilaian dan penghayatan terhadap
suatu karya sastra Jawa)1
Kata sastra dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari bahasa
sansekerta ; berasal dari akar kata “sas” dalam kata kerja turunan yang berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk / instruksi. Akhiran “tra”
menunjuk pada alat atau sarana. Sehingga sastra Jawa berarti alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sastra juga bisa
bersifat kesenian yang diwujudkan dengan bahasa, seperti gubahan-gubahan
prosa dan puisi yang indah-indah.2
Biasanya kata sastra awalan “su” (menjadi susastra), su artinya baik,
indah sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang

1
Asmoro Achmadi, Islam dalam Sastra Pujangga, edisi no. 4 Jurnal Dinamika Islam dan
Budaya Jawa, Dewaruci, 2002, hlm. 1
2
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986,
hlm. 875
14

dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah atau dengan kata
lain tulisan yang indah dan sopan3
Sedangkan kata Jawa adalah salah satu pulau besar yang terpadat
penduduknya di wilayah Republik Indonesia yang secara administratif terbagi
menjadi tiga propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dialek
bahasa yang digunakan setiap hari oleh orang Jawa adalah bahasa daerah
masing-masing. Di antara berbagai bahasa daerah di Indonesia, bahasa Jawa
memiliki domentasi yang sangat penting dan lengkap antara lain adalah
prasasti dan karya sastra dari masa 800 – 1500 M yang masih tersimpan
sampai dewasa ini dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno.4
Salah satu fungsi sastra Jawa adalah mengungkapkan adanya nilai
keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Karya sastra Jawa dapat
dikatakan memiliki nilai keindahan dan manfaat karena setiap karya sastra
Jawa yang terungkap dalam bentuk puisi, prosa maupun drama merupakan
suatu karya sastra yang dapat dinikmati baik bagi pembaca, pendengar
maupun penontonnya. Sehingga baik pembaca, pendengar maupun
penontonnya tidak bosan. Tergantung pada kualitas suatu karya sastra Jawa
tersebut, apabila kualitas karya sastra Jawa tersebut rendah maka tentunya
akan membosankan pembaca, pendengar maupun penonton. Sebaliknya
apabila suatu karya sastra Jawa tersebut memiliki kualitas yang tinggi,
walaupun di ulang-ulang para pembaca, pendengar maupun penontonnya tidak
akan membosankan.
Demikian juga suatu karya sasta Jawa mengandung nilai moral, hal ini
dapat dilihat dari berbagai karya sastra Jawa baik berupa puisi, prosa maupun
drama tentu akan memiliki tema yang menjadi target atau misi yang
terkandung dalam setiap karya sastra tersebut. Misalnya karya sastra Jawa
yang ditulis oleh para pujangga tentunya akan memiliki maksud dan misi
yang diembannya. Maksud dan misi itu biasanya berisi pelajaran yang berupa

3
HAN KOL, Ensiklopedi Indonesia, P.T. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, t.th., hlm. 895
4
Ibid., hlm. 1599
15

berbagai nasehat, petunjuk ataupun bimbingan kepada semua orang dalam


memperbaiki kehidupan.
Tapi pada dasa warsa terakhir ini keberadaan sastra Jawa tidak dapat
dipungkiri bahwa keberadaan sastra Jawa berada di titik rawan kepunahan.
Hal ini bukan tanpa alasan karena sudah sejak lama huruf Jawa dilupakan dan
ditinggalkan dipendidikan-pendidikan formal. Proses termarginalisasinya
sastra Jawa terjadi sejak tersapunya tembang macapat oleh teriakan lagu-lagu
rock ataupun pop melayu. Semua ini dapat terjadi dengan adanya desakan
nasionalisme yang mengedepankan pandangan bahwa bangsa Indonesia harus
mewadah dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.5
Meskipun dalam penjelasan UUD 1945 Bab XV pasal 36 berbunyi
bahwa “Bahasa daerah akan dilindungi, dipelihara dan dihormati”. Tetapi
kenyataan sistem pemerintahan di Indonesia lebih diarahkan kepada konsep
persatuan dan kesatuan yang bermuara pada slogan politis nasionalisme
sehingga pada akhirnya upaya perlindungan pemerintah terhadap sastra Jawa
yang dijamin oleh undang-undang cenderung terabaikan.6
Untuk mengangkat keterpurukan sastra Jawa, ada sebagian orang Jawa
yang mendirikan sanggar-sanggar sastra Jawa sebagai wadah kegiatan
sastrawan Jawa. Sehingga bermunculan berbagai sanggar sastra Jawa, antara
lain sanggar Nur Praba yang diprakarsai oleh Nur Syahid Poernomo, sanggar
sastra Sasanamulya yang diprakarsai oleh Arswendo Atmowiloto, Grub
Diskusi Sastra Blora yang diprakarsai oleh Poer Adhie Prawoto, sanggar
sastra Pari Kuning yang diprakarsai oleh Esmiet dan lain sebagainya.
Kegiatan-kegiatan yang paling dominan dari sangar-sanggar sastra Jawa
tersebut adalah mengadakan diskusi yang berguna untuk memotivasi anggota /
peserta agar terus mencintai, melindungi bahkan menciptakan sastar Jawa.7
Memang sebagai bahan dasar sastra Jawa adalah bahasa Jawa, Bahasa
Jawa yang digunakan dalam kesusastraan Jawa memang berbeda dengan
keilmuan maupun dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Mengemukakan
5
Herry Mardiyanto, (artikel) Terpuruknya Sastra Jawa, Sleman, Yogyakarta, t.th., hlm. 1
6
Ibid., hlm. 2
7
Ibid., hlm. 2-3
16

bahwa bahasa sastra Jawa mempunyai fungsi ekspresif, menunjuk pada nada
dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra Jawa berusaha
mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya berusaha mengubah sikap
pembaca. Hal ini yang penting dalam bahasa sastra Jawa adalah tanda,
simbolisme dari kata-kata dalam sastra Jawa tersebut. Dalam bahasa sastra
Jawa sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematik dan dengan
sengaja. Berbicara mengenai sastra Jawa maka tidak lepas dari fungsi dan
sifatnya, yaitu untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu
terhadap manusia.8
Manuskrip-manuskrip Jawa (sastra Jawa) yang saat ini tersebar
keberadaannya dimusium-musium dalam maupun luar negeri, serta tempat-
tempat lain sebagai milik pribadi, merupakan sumber utama dalam
menyingkap sejarah Islam Jawa dan pemikirannya. Oleh karena itu saya
sebagai peniliti naskah Jawa ingin mengungkap masalah tersebut karena
merupakan warisan yang sangat berharga dari nenek moyang yang perlu dikaji
dan perlu diteliti.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa ada suatu hal yang perlu
diperhatikan, yaitu agama Budha, Hindu dan keprecayaan asli yang
berdasarkan pada animisme dan dinamisme telah berurat akar pada
masyarakat ini. Maka dengan kedatangan Islam, terjadilah benturan antara
Islam di satu pihak dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya.
Di lain pihak ada sekelompok masyarakat yang bisa menerima Islam dengan
sepenuh hati, ada pula masyarakat yang bisa menerimanya tetapi belum bisa
melepaskan diri dari ikatan-ikatan lama dan ada pula yang menolak dan
menantangnya, meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Dengan adanya tiga kelompok masyarakat dalam menerima Islam,
muncullah tiga macam kepustakaan Jawa (sastra Jawa). Yang pertama adalah
kepustakaan Islam santri, yaitu suatu kepustakaan yang berlandasan pada
syari’ah dan bisa diterima di semua lapisan mayarakat muslim. Kedua adalah

8
H. M. Darori Amin, MA., Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000,
hlm. 140-141
17

kepustakaan Islam kejawen yang memuat perpaduan antara Jawa lama dengan
unsur-unsur dari agama Islam. Dan ketiga adalah sastra yang muncul dari
kalangan yang menolak Islam, meskipun tidak berani terang-terangan.9
Dari ketiga keterangan mengenai pembagian karya sastra Jawa di atas
akan dijabarkan pada sub bab selanjutnya.

B. Pembagian Karya Sastra Jawa


Dengan adanya tiga kelompok masyarakat dalam menerima Islam, maka
muncullah tiga macam kepustakaan Jawa apabila dilihat dari subtansial isinya.
Yang pertama adalah kepustakaan Islam yang berlandaskan pada syari’ah
dan bisa diterima di semua lapisan masyarakat muslim. Kedua adalah
kepustakaan Islam kejawen yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa lama
dengan unsur-unsur dari agama Islam. Ketiga adalah sastra jawa yang muncul
dari kalangan yang menolak islam, meskipun tidak berani terang-terangan.10
Tentang sastra Jawa yang pertama Drewes, adalah seorang ahli tentang
Islam dan sastra Jawa dari Belanda telah meneliti empat buah naskah yang
berasal dari abad ke XVI dan mungkin juga dari abad ke XV. Naskah-naskah
yang ia teliti adalah murni bercorak Islam dan tidak berbau Hindu maupun
Budha meskipun naskah itu ditulis pada masa transisi dari masa Hindu Budha
ke Islam. Selain itu ditemukan juga tentang anjuran untuk melakukan syari’at
Islam, seperti sholat dan puasa serta sejumlah kata-kata hikmah dari tasawuf
moderat dan sama sekali tidak ditemukan pemikiran spekulatif yang berbau
monisme dan pantheisme.11
Adapun yang kedua adalah sastra Jawa yang berisi ajaran-ajaran Islam
yang sudah disinkretisasikan dengan agama Hindu, Budha dan kepercayaan-
kepercayaan asli orang Jawa. Hal ini terjadi karena penulisnya belum bisa
melupakan dan meninggalkan kepercayaan lama. Meskipun ia telah memeluk

9
H. M. Darori Amin, MA., Sastra Kitab dan Penanganannya, edisi no 4, Jurnal Dinamika
Islam dan Budaya Jawa, Dewaruci, 2002, hlm. 11
10
Ibid., hlm. 11
11
Ibid., hlm. 11
18

agama Islam. Simuh menamakan karya-karya ini sebagai “kepustakaan Islam


kejawen”, yang biasanya berbentuk primbon, suluk dan wirid.12
Yang disebut primbon adalah tulisan yang di mana masalah-masalah
yang ditulis (khususnya masalah keagamaan) disistematisasikan dan dicampur
adukkan dengan antara satu masalah dengan masalah lain sehingga terputus-
putus. Dan kadang-kadang penulisnya tanpa disertai dengan pemahaman yang
baik terhadap ketepatan artinya.
Perkataan suluk sering diasosiasikan dengan dunia pewayangan atau
kelompok tarekat. Dalam dunia pewayangan, suluk berarti sajak yang
dinyanyikan oleh seorang dalang sebelum menceritakan suatu episode dalam
pertunjukan wayang. Sedangkan dalam dunia tarekat, suluk berarti suatu
latihan yang dilakukan oleh pelaku tarekat dalam waktu tertentu dan dengan
cara-cara tertentu untuk memperoleh suatu keadaan akhwal dan maqom dari
seorang salik.
Dalam budaya Jawa, secara terminologis suluk dapat diartikan sebagai
nyanyian yang berisi tentang ajaran tentang masalah-masalah ghaib.13
Ensiklopedi Indonesia mengartikan sebagai ajaran filsafat untuk mencapai
hubungan dan persatuan antara manusia dengan Tuhan.14 Suluk juga dapat
diartikan sebagai ”wirid kang sinawang sekar” (wirid yang diungkapkan
melalui tembang).15
Sedangkan wirid sendiri mula-mulanya berarti bacaan-bacaan yang
berupa dzikir dan do’a yang dibaca setiap hari, kemudian dikalangan
masyarakat Islam kejawen, perkataan ini berubah maknanya menjadi
petunjuk atau ajaran tentang Tuhan, sifat, asma’ dan perbuatan-perbuatan Nya,
serta asal usul manusia. Petunjuk atau ajaran tersebut biasanya dituangkan
dalam bentuk prosa.

12
Ibid., hlm. 12
13
Poerwadarminta, Baoesastra Djawa, J.B. Wolter, Jakarta, 1939, hlm. 571
14
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru dan Elvesier Publishing Project,
Jakarta, 1984, hlm. 3349
15
Faqr Abd’l Haq, Susuk Sujinah, Keluarga Bratakesawa, Yogyakarta, 1953, hlm. 42
19

Karena berisi ajaran-ajaran Islam yang sudah disinkretisasikan dengan


ajaran-ajaran lainnya, di satu sisi kepustakaan Islam kejawen membawa
dampak negatif, karena telah mencampur adukkan ajaran-ajaran Islam dengan
ajaran-ajaran lainnya. Tetapi di sisi lain, karya-karya ini juga membawa
dampak positif, karena bisa dijadikan media untuk memperkenalkan nilai-nilai
mistik, budi luhur serta ajaran-ajaran Islam lainnya ke dalam masyarakat
Jawa. Sehingga dengan mudah mereka menerima Islam.16
Dengan demikian karya-karya ini dapat menjadi jembatan antara ajaran-
ajaran agama Islam dengan kebudayaan masyarakat Jawa, sehingga
masyarakat dapat menerima dan dapat dijadikan sebagai pedoman dan
pandangan hidup mereka.
Kelompok karya sastra Jawa yang ketiga adalah karya sastra Jawa yang
lahir dari orang-orang yang tidak mau menerima Islam sebagai agama mereka.
Dalam karya tersebut bisa dilihat bagaimana mereka mendiskriditkan Islam
dan para pemeluknya. Salah satu contoh kutipan bait dalam serat
Darmogandul, yaitu :
Alame lam min dalikal,
yen turu nyengkal kang wadi,
tegese kitabulla,
natab mlebu ala wadi,
tegese rahabapi,
rahaba kang ngangge sampur,
hudan lil muttakina,
yen wus wuda jalu estri,
den mutena wadi ala jrening ala

Adapun sesuai dengan bentuknya karya sastra Jawa dapat dibagi


menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Karya sastra Jawa yang berbentuk prosa
Pada dasarnya kata prosa tidak langsung berhubungan dengan karya sastra
Jawa. Prosa lebih dekat dengan pemaparan, dan sebuah pemaparan

16
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI Press, Jakarta, 1987,
hlm. 61
20

dikatakan mengandung nilai karya sastra Jawa karena ada cerita, tokoh dan
bersifat fiktif (tidak nyata).17
2. Karya sastra Jawa yang berbentuk puisi
Bentuk ini merupakan bentuk kesusastraan Jawa yang paling tua, seperti
contoh karya sastra Jawa yang tertuang dalam kitab Ramayana dan
Bharatayudha. Puisi tidak hanya menulis karya sastra Jawa, tapi juga
untuk memperindah kehidupan, terbukti bahwa lagu-lagu populer dalam
rangkaiannya berisi tentang puisi-puisi yang sangat menarik.18
3. Karya sastra Jawa yang berbentuk drama
Karya sastra Jawa yang berbentuk drama ini ditentukan dengan adanya
dialog antar tokoh (cerita yang terjadi karena dialog). Selain yang tertuang
dalam berbagai kitab dan buku, bentuk karya sastra Jawa ini juga dapat
dinikmati melalui pementasan.
Adapun pembagian karya sastra Jawa ditinjau menurut zamannya
dibagi menjadi tiga periode, yaitu :
1. Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa kuno ini dimulai dari Jawa purba hingga sekitar tahun 1400
M. Adapun karya sastranya adalah Kakawin Ramayanan dan Kakawin
Bharatayudha
2. Sastra Jawa Pertengahan
Untuk sastra Jawa pertengahan, dimulai pada tahun 1400 M sampai 1700
M. Adapun karya sastranya adalah tantu Pangelaran, Kidung Sundayana
termasuk juga Kidung Rumeksa Ing Wengi karya Sunan Kalijaga.
3. Sastra Jawa Baru
Di mulai pada tahun 1700 M sampai sekarang, adapun sastra baru ini
dapat dipilahkan menjadi dua sub besar, yaitu pada zaman Surakarta awal
dan Surakarta akhir19

17
H. M. Darori Amin, MA., Islam dan Kebudayaan Jawa, loc. cit., 141
18
Ibid, hlm. 141 - 142
19
Marwanto, Sejarah Perkembangan Macapat, http://www.giocities.com/ Aegean/3922/
opini.htm
21

a. Zaman Surakarta Awal


Zaman kerajaan Surakarta awal, sastra Jawa mengalami zaman
keagungannya. Banyak sekali hasil karya sastra Jawa yang tercipta
pada masa itu dan beranekaragam bentuknya. Hal ini dapat terjadi
karena berkat pengayoman para Raja yang sedang memegang peranan
pemerintahan dan pada saat itu bahasa Jawa dipergunakan sebagai
bahasa dinas pemerintahan. Terlebih lagi, para raja dan para ksatria
beserta punggawanya ikut serta menggubah pustaka Jawa. Ini
merupakan stimulan bagi para peminat dan pecintanya untuk
mencontoh berbuat hal yang sama. Sri Susuhanan Pakubuwana Ke III,
Sri Susuhanan Pakubuwana Ke IV, Sri Susuhanan Pakubuwana Ke V,
KGPAA. Mangkunegara IV, R. Ng. Sindu Sastra, KPA. Kusumadilaga
dan yang lainnya adalah tokoh-tokoh pemerintahan terkemuka yang
ikut serta mengembangkan dan mendukung kesusastraan Jawa di
samping para pujangga yang telah diwisuda.
Sementra yang sungguh-sungguh membawa sastra Jawa
memasuki abad keemasan pada zaman tersebut adalah R. Ng.
Yasadipura I, pujangga pertama keraton kasunanan Surakarta
Adiningrat. Sementara R. Ng. Yasadipura II atau Raden Sastranegara
adalah pujangga kasunanan yang kedua.20
b. Zaman Surakarta Akhir
Akhir abad ke XIX, atau tepatnya pada tanggal 24 Desember
1873, R. Ng. Ranggawarsita, pujangga keraton Surakarta wafat.
Sesudah itu Raja Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana IX tidak lagi
mewisuda penggantinya. Oleh sebab itu R. Ng. Ranggawarsita adalah
pujangga penutup atau pujangga terakhir. Dari keraton Kasunanan
Surakarta Adiningrat. Namun kematian sang pujangga agung ini tidak
berarti sastra Jawa itu mati atau terhenti. Kesusastraan Jawa terus
hidup bagai mengarungi zaman-zaman berikutnya.

20
Ibid. hlm. 1
22

Namun semenjak itu kesusastraan Jawa bergeser sumbernya,


yang semula bermata air di dalam keraton, setelah sang pujangga wafat
berangsur-angsur kemudian pindah keluar istana keraton. Isi sastra
Jawanya pun menjadi berubah yang tadinya didominasi oleh
pembahasan yang melingkupi suasana di seputar keraton, tetapi
kemudian pembicaraannya menjadi berubah pada masalah-masalah
kehidupan masyarakat dengan segala problematika kehidupannya.
Para pengarang dan penciptanya mendendangkan peristiwa-
peristiwa yang lumrah didapati dalam jalan hidup masyarakat awam
dengan gaya bahasa yang awam pula supaya mudah dipahami oleh
peminat dan pencintanya.
Setelah zaman Surakarta akhir, dilanjutkan oleh zaman Balai
Pustaka, yaitu setelah pemerintahan Belanda pada permulaan abad XX,
dibentuklah Komisi Bacaan Rakyat atau Commissie Voor De
Volksletuur yang kemudian berubah menjadi Balai Pustaka sampai
mendaratnya Jepang di pulau Jawa pada tahun 1942. Setelah itu sastra
Jawa yang berlaku adalah sastra Jawa modern.21

C. Unsur Unsur Teologis Islam Dalam Karya Sastra Jawa


Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, memegang
peran kunci dalam pengembangan agama Islam. Islam sufi sejak
kedatangannya pada abad XIII adalah Islam sufi yang berfaham Wahdatul
Wujud (monisme-pantheisme) yang merupakan pengembangan teori Tajalliyat
Ibnu Arabi.22 Islam dan tradisi budaya serta sastra melayu laksana dua sisi dari
mata uang. Dakwah Islam memang telah menyatu dengan perantara sastra dan
budaya melayu. Ajaran tasawuf yang berkembang lewat celah sastra kemudian
mengalir ke dalam kesultanan Cirebon yang melahirkan sastra suluk.
Perkembangan sastra mistik ini begitu cepat setelah digerakkan oleh para
pujangga Jawa yang menjabat sebagai penasehat kerajaan. Penyebaran Islam

21
Ibid. hlm. 2
22
Dr. Simuh, Sufisme Jawa, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996, hlm. 14
23

diikuti dengan mengalirnya kepustakaan Islam. Baik dalam bentuk huruf Arab
ataupun yang telah digubah dalam bahasa Melayu.
Mengalirnya kepustakaan Islam Jawa dengan cepat mempengaruhi
perkembangan tradisi dan kepustakaan Jawa. Sastra Jawa yang notabenenya
telah mengalami perpaduan dengan Hindu Budha, kemudian mendapat
masukan baru dari unsur-unsur Islam. Pengaruh Islam dalam sastra Jawa
(kepustakaan Jawa) melahirkan jenis kepustakaan baru, yang isinya
mempertemukan tradisi-tradisi kejawen dengan unsur-unsur Islam, sehingga
sastra jawa pun menjadi semakin indah ,menarik dan berkualitas.
Sehingga lahirlah sastra Jawa yang berupa serat suluk, serat wirid,
babad dan primbon. Serat suluk dan wirid berkaitan isinya dengan ajaran
tasawuf atau mistik dalam Islam. Babad berisi tentang cerita-cerita atau kisah-
kisah dalam Islam, seperti kisah para Nabi. Primbon isinya merangkum
berbagai ajaran yang berkembang dalam tradisi Jawa, seperti ngelmu petung,
ramalan, guna-guna dan lain sebagainya. Sastra Jawa baru yang menyerap
unsur-unsur Islam ini semakin berkembang, inilah yang disebut dengan
Kepustakaan Islam Kejawen.23
Berdirinya kerajaan Jawa Islam Mataram dengan Rajanya yang
terkenal Sultan Sultan Agung Anyakrakusuma (1613-1645 M), semakin
menyuburkan kepustakaan Islam kejawen. Sultan Agung dalam menjalankan
pemerintahan dan memperbesar wilayah dan kekuasaannya dengan cara
menjalankan politik Islamisasi, yaitu dengan cara mempertemukan tradisi-
tradisi jawa dengan ajaran Islam. Para pujangga Jawa bersifat pro-aktif,
menerima ajaran Islam dan mengolahnya secara kejawen.
Lahirnya pustaka Islam kejawen membawa dampak yang cukup besar
bagi perkembangan keagamaan masyarakat Jawa. Ajaran tasawuf Islam
mendapat perhatian yang cukup besar di kalangan masyarakat Jawa.
Kepustakan Jawa yang merupakan cermin pengolahan Jawa atas mistik yang
datangnya dari luar, baik itu Hindu-Budha maupun Islam semuanya
mengajarkan kesatuan hamba dengan Tuhan.

23
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, loc. cit., hlm. 22
24

Ajaran-ajaran luhur yang tersurat dalam karya sastrapun dalam tradisi


budaya merupakan warisan yang bernilai adi luhung, sehingga menjadi suatu
keyakinan. Bahwa warisan yang adi luhung itu harus dilestaraikan dan
dipertahankan. Pengaruh Islam yang begitu besar dalam budaya tradisi Jawa
membuat sekelompok orang untuk tetap mempertahankan keasliannya, maka
melalui pengolahan-pengolahan tersebut kemudian lahirlah sebuah aliran
kebatinan.
Dari penjelasan di atas bahwa karya sastra Jawa mulai sejak dulu
hingga sekarang banyak sekali nilai mistik yang berkaitan dengan agama
khususnya agama Islam. Salah satu nilai mistik ke Islaman dalam karya sastra
Jawa adalah meliputi Tuhan, Manusia dan Hubungan Manusia dengan
Tuhan.
1. Tentang Tuhan
Ciri paling utama budaya Jawa adalah sifatnya yang religius
karena orang Jawa pada umumnya percaya tentang adanya Tuhan. Dalam
pandangan kejawen, Tuhan dihayati sebagai Dzat Yang Maha Kuasa yang
tak dapat digambarkan bagaimana wujud dan keadaan Nya maupun
dilukiskan dengan kata-kata (Tan Kena Kinayangapa / tak dapat
dilukiskan, tak dapat dibayangkan), dalam sebutan lain sebagai berikut :
Gusti Allah, Gusti Ingkang Maha Asih, Gusti Ingkang Agung, Gusti
Ingkang Murbeng Dumadi, Gusti Ingkang Akarya Jagad Lan Saisine,
Gusti Kang Maha Wikan dan lain sebagainya, yang semuanya itu
menunjuk pada sifat Tuhan. Sebutan Gusti merupakan penghormatan
paling tinggi kepada Tuhan dan sesembahan paling tinggi pula bagi
manusia. Begitu akrabnya sebutan Gusti ini sehingga seringkali bermakna
Tuhan, misalnya dalam ungkapan manunggaling kawula gusti.24
Persepsi tentang Tuhan yang tergambar dalam ungkapan Tan Kena
Kinayangapa itu mengandung pengakuan bahwa setiap kali orang
mencoba melukiskan atau menjelaskan tentang hakekat Tuhan, maka

24
Ir. Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Dahara Prize,
Semarang, 1992, hlm. 47 - 48
25

pelukisan atau penjelasan tentang Tuhan itu pastilah tidak menggambarkan


hakekat Tuhan yang sebenarnya atau seutuhnya.25
Menyadari kenyataan seperti itu maka orang Jawa tidak suka
memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan. Mereka
tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan atau keyakinannya itu yang
paling benar dan yang lainnya salah. Sikap inilah yang merupakan lahan
subur bagi tumbuhnya toleransi Jawa baik di dalam agama maupun dalam
bidang-bidang yang lainnya.26
Ungkapan bahwa Tuhan Tan Kena Kinayangapa bagi orang Jawa,
semata-mata hanya percaya bahwa Tuhan itu ada, tak bisa digambarkan
dalam bentuk apapun. Sehingga setiap upaya untuk mendifinisikan
hakekat Tuhan, itu sama artinya sudah meng kinayangapa kan (memberi
bentuk) Tuhan. Karena orang Jawa menganggap bahwa dengan upaya
yang tekun dapat mencapai pengalaman religius secara sendirinya atau
sering disebut dengan Manunggaling Kawula Gusti, Pamoring Kawula
Gusti, Unio Mystic dan lain sebagainya, yang tak mungkin dijelaskan
dengan kata-kata.27
Dalam teks-teks sastra Jawa nilai keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa itu kadang-kadang berupa penyataan puji syukur seorang
penulis kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kadang-kadang juga diikuti
sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, yang biasanya dinyatakan dalam
permulaan teks atau pembukaan. Hal ini ditujukan agar seorang penulis
atau sastrawan selama menjalankan tugasnya selalu dalam keadaan
selamat dan selalu mendapatkan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa
sehingga karya sastra yang ditulisnya dapat terselesaikan sesuai dengan
rencana. Di samping itu juga para pembaca dan para pengguna karya itu
diharapkan kelak dapat memperoleh kemanfaatan dan keselamatan pula.28

25
Ibid., hlm. 48
26
Ibid., hlm. 49
27
Ibid., hlm. 50
28
Tirto Suwondo, Nilai Budaya Susastra Jawa, Pusat Pembinaan dan Pengambangan
Budaya, Jakarta, 1994, hlm. 66
26

Berkenaan dengan nilai keimanan tersebut di atas dalam permulaan


Babad Jaka Tingkir, pada bait ketiga sampai ketujuh tembang
Dhandanggula terdapat penyataan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan sholawat kepada Nabi Muhammad s.a.w., sebagai berikut :
……..
Kang mangka pandoning pudya,
Tarlen muhunh rising amurweng dumadi,
Widening subuwana.

Kang murah ing dunya sih ing akir,


Sang akerti ring saptapratala,
Len tang kasapta kasane,
Sesining rat sawegung,
Panggelarning wiyat pratiwi,
Tiningkah tatakrama,
Mamrih tartibipun,
Urut-uruting paningtah,
Sampurnaning dadining sakalir-kalir,
Pan ing dalem nem dina.

Nulya andadeken ngaras kurs,


Karsaning suksma saellawu ngasya,
Barang pakartenipun,
Ing manungsa den anget ing wit,
Aja na budi ganas,
Ing tingkah kasusu,
Sami nganggea ukara,
Ing tartibe denya pereng anuju kapti,
Wahyaning mangsa kala.

Ri titaning ulun mangastuti,


Ring Sang Hyang Kang Anurageng Jasad,
Tandya papudyeng dutane,
Ing Ywang Kang Maha Luhur,
Kanjeng Nabi Muhammadinil,
Mustapa Nabibullah,
Pangguluning Rasul,
Wakasaning para ambiya,
Nayakaning bawana dipaning bumi,
Gegentining Hyang Suksma,
27

Sang nuring rat tersandhaning widi,


Pan saistu witaning tumitah,
Nur Muhammad kajatene,
Muga-muga satuhu,
Winantua rahmaning widi,
Utami sulaming Hyang,
Lan pasianipun,
Tertamtu dhumawuh marang,
Nabi duta Muhammad ingkang sinelir,
Lintang kawula-warga.29

Artinya :
…… Sembahku kami tujukan tak ada lain kepada Sang Pencipta
Alam ini, Tuhan seru sekalian alam.

Yang Maha Kasih di dunia dan di akherat, yang menguasai sapta


pratala (tujuh bagian-bagian dunia) dan sapta akasa (tujuh langit). Dia
yang menciptakan di dalam hari gumelar dan isi dari bumi ini,angkasa,
bumi. Beliau pula yang mengatur dengan urut (tertib) segala perjalanan
di dunia ini.

Atas kehendak Nya manusia di dunia ini diberi pengertian dalam


segala hal. Atas kehendaknya pula bahwasanya manusia di dunia jangan
berbudi ganas, dalam tingkah laku, jangan terburu-buru. Pakailah pula
keseimbangan dalam menuju ketertiban, dan berbuatalah supaya jangan
sampai melukai orang. Demikian pula segala peri perbuatan hendaknya
disesuaikan dengan waktu dan tempat.

Kepada Sang Anurageng Jagad itulah sembahku saya tujukan,


pujiku kuhaturkan kepada kanjeng Nabi Muhammad utusan Tuhan Yang
Maha Esa. Demikian pula kepada Nabi Mustapa yang menjadi awal para
Rasul Allah. Akhirnya kepada para ambiya yang menjadi utusan di dunia
ini, mereka adalah pelita menerangi di dunia lagi pula mereka adalah
mewakili Hyang Suksma.

Sang Nur (cahaya) adalah tanda kebesaran Tuhan, pada


hakekatnya adalah awal dari kehidupan ini, Nabi Muhammad pun
kejadian dari nur. Mudah-mudahan selalu diberkahi oleh rahmat Tuhan
dan selalu diasihi Nya pula kepada Nabi Muhammad yang terpuji maupun
kepada keluarganya.30

29
Ibid., hlm. 67
30
Ibid., hlm. 68
28

2. Tentang Manusia
Mengenai kejadian manusia sebagaimana dalam bukunya Simuh,
Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia
dengan Tajalli Dzatnya (menampakkan diri keluar) sebanyak tujuh
martabat antara lain : sajaratul yaqin, nur Muhammad, mir’atul haya’I,
roh idlofi, kandil, darrah dan hijab. 31
Dari ke tujuh martabat tersebut tidak akan penulis jelaskan secara
terperinci tapi yang terjelas bahwa apabila dari ke tujuh martabat tersebut
dapat berkumpul dengan seimbang maka manusia akan mendapatkan
martabat insan kamil. Insan kamil ini dapat disebut juga dengan
Manunggaling Kawula Gusthi, yaitu suatu keadaan yang tidak dapat
dipisahkan dari Sang Pencipta (Tuhan). Di samping itu sifat-sifat Maha
Luhur meliputi keadaan manusia yang telah memperoleh derajat insan
kamil.32 Martabat-martabat tersebut di atas merupakan Tajjali Tuhan dan
penjelasan asal kejadian manusia pada umumnya. Seterusnya mengenai
penciptaan manusia dalam Serat Wirid Hidayat Jati dalam bukunya Simuh
diterangkan bahwa : sewaktu Tuhan berkehendak mewujudkan sifat Nya
yang dinamakan Adam berasal dari anasir empat perkara, yaitu tanah,
api, angin dan air. Dalam dalil lain juga diterangkan bahwa sesungguhnya
Aku (Allah) menciptakan Adam berasal dari unsur empat macam, yaitu :
tanah, api, air dan angin menjadi perwujudan sifatmu, kemudian Aku
memasukkan muddah (anasir halus) lima macam, yaitu : nur, rahsa, roh,
nafsu dan budi yang menjadi pernutup wajah Ku yang Maha Suci.
Masuknya muddah itu bermula pada ubun-ubun berhenti di otak dan
kemudian turun ke mata, telinga, hidung, mulut, dada dan tersebar ke
seluruh tubuh sempurna menjadi insan kamil.33

31
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, loc. cit., hlm. 309
32
Tardjan Hadidjaja Kamajaya, Serat Centhini terj. Bahasa Indonesia, UP Indonesia,
yogyakarta, 1978, hlm. 136
33
Dr. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, op. cit., hlm. 312
29

Pada intinya uraian tersebut di atas mengungkapkan bahwa Tuhan


menciptakan Adam (manusia) berasal dari empat anasir yang di dalamnya
ditaruh lima muddah sehingga antara empat unsur dan lima muddah
bergabung menjadi seorang manusia utuh.
Dalam pembahasan di atas, seakan-akan menyamakan Dzat Tuhan
dengan hidup manusia atau dapat disebut sebagai Pantheisme Monisme
yang mempunyai arti bahwa Tuhan dan manusia termasuk alam semesta,
bukan merupakan dua hakekat yang terpisah, melainkan bahwa Tuhan
sendiri merupakan segala-galanya dan segalanya itu adalah partisipasi ke
Tuhan an. Atau Tuhan adalah imanen pada segalanya sebagai hakekat
kodrat Nya, Tuhan bersemayam dalam segalanya, bila dipandang dari
sudut keabadian bersifat Illahi.

3. Tentang Hubungan Manusia Dengan Tuhan


Dalam masyarakat Jawa terdapat kepaercayaan bahwa Tuhan
memiliki sifat utama, yaitu Maha Murah, Maha Kasih, Maha Penyayang
dan lain sebagainya. Berkenaan dengan itu maka Tuhan berkenan
memberikan karunia Nya berupa kemurahan dan kasih sayang kepada
semua umat manusia.
Hal ini terbukti bahwa unsur-unsur ke Islam an masuk dalam karya
sastra Jawa melalui petuah-petuah yang fungsinya untuk mengingatkan
seseorang akan karunia Tuhan.
Realisasi hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilakukan oleh
semua orang dengan perbuatan yang disebut dengan sembah atau bekti.
Dalam Serat Wulang Reh pada bait ke tiga dan ke empat pupuh
Asmaradana disebutkan bahwa umat manusia wajib menanti sabda Tuhan
yang difirmankan melalui Nabi Muhammad sebagaimana tercantum dalam
Al Qur’an maupun Al Hadits, karena keduanya merupakan pelita
kehidupan. Bait tersebut berbunyi :
30

……..
Padha sira estokea ;
Parentahira Hyang Widhi
Kang dawuh maring Nabiyullah
Ing dalil kadis enggone
Ajana ingkang sembrana
Rasakna den karasa
Dalil kadis rasanipun
Dadi pandhang ing tyassira

Artinya :
………..
Perhatikan itu semua :
Perintah Tuhan
Yang di sampaikan lewat Nabi kita
Dalam dalil hadits tempatnya
Jangan sampai ada yang gegabah
Rasakan rasanya itu
Isi dalil haditsnya
Sebagai sesuluh batinmu34.

Dalam masyarakat Jawa terdapat paribahasa yang berbunyi bahwa


manungsa wiwenang ngupaya purba wasesa ing astane Kang Maha
Kwasa atau manusia wiwenang angudi purba wasesa ing astane Gusti,
yang artinya bahwa manusia berhak untuk berusaha, sedangkan kepastian
terletak di tangan Tuhan. Di samping itu ada kepercayaan orang Jawa
bahwa nasib manusia telah tersurat dalam takdir. Oleh karena itu untuk
mendapatkan kepastian terakhir maka segalanya harus diserahkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Sikap kepasrahan hamba dengan Sang Khalik ini merupakan salah
satu manifestasi hubungan manusia dengan Tuhan, dalam Serat Wedha
Tama pada bait ke dua puluh empat dan dua puluh lima disebutkan bahwa
seseorang dalam mencapai kesempurnaan diri harus melibatkan sembah
rasa (perasaan yang benar-benar pasrah kepada Allah) dan harus disertai
juga dengan adanya takdir dan di dukung oleh keteguhan, kesabaran,
keikhlasan dan ketawakalan hati. Bait tersebut berbunyi :

34
Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, Terjemahan Serat Wulang Reh, Dahara Prize,
Semarang, 1991, hlm. 116 - 119
31

Melako ujar iku


Yen wus ilang sumelanging kalbu
Amung kandel kumandel ngandel mring takdir
Iku den awas den emut
Den memet yen arsa momot.

Pamoting ujar iku


Kudu santosa ing budi teguh
Sarta sabar tawakal legaweng ati
Trima lila ambek sadu
Weruh wekasing dumados.

Artinya :
Jelasnya kata itu
Bila sudah hilang keraguan kalbu
Hanya tebal percaya terhadap takdir
Itu diwaspadai dan diingat
Dipertimbangkan masak bila akan disimpan.

Cara menyimpan itu


Harus kuat dalam budi teguh
Serta sabar tawakal dan ikhlas hati
Rela menerima watak utama
Tahu akhir kejadian.35

Kepasrahan yang dimaksud dari bait di atas adalah kepasrahan


setelah seseorang melakukan upaya atau ikhtiar secara lahir dan batin baru
keputusan terakhir diserahkan sepenuhnya kepada Allah s.w.t.

35
K.G.P.A.A. Mangkunagara IV Surakarta Hadiningrat, Terjemahan Wedha Tama, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 22
32

BAB III
DISKRIPSI KIDUNG RUMEKSA ING WENGI

Dalam pembahasan “Kidung Rumeksa Ing Wengi”, pasti tidak terlepas


dari sebuah sejarah, dimana sejarah itu tentu berkaitan dengan proses
Islamisasi di tanah Jawa, karena kidung tersebut sebagai salah satu media
dakwah ketika itu dan juga sebagai doa mistis. Keberhasilan peng Islaman
penduduk Jawa adalah berkat kerja keras para mubaligh yang tangguh.
Mereka adalah para wali yang terhimpun dalam suatu lembaga dakwah yang
terkenal yaitu wali sanga.1
Proses peng Islaman pada masa itu terjadi secara damai karena metode
yang digunakan oleh para wali dalam berdakwah menggunakan metode yang
akomodatif dan fleksibel, artinya dengan menggunakan unsur-unsur budaya
lama (Hinduisme dan Buddhisme), namun secara tidak langsung memasukkan
nilai-nilai Islam ke dalam unsur-unsur lama tersebut. Mereka sangat tekun dan
benar-benar memahami kondisi sosiokultural masyarakat Jawa. Sering metode
ini disebut sebagi metode sinkretisasi. Sebagai contoh dari cara kerja metode
ini antara lain dalam bidang ritual, pembakaran kemenyan yang semula
menjadi sarana dalam penyembahan terhadap para dewa, namun metode ini
tetap juga dipakai oleh Sunan Kalijaga (beliau adalah salah satu anggota wali
sanga) dengan pemahaman sebatas sebagai pengharum ruangan ketika seorang
muslim berdoa sehingga doa menjadi lebih khusyu’. Dalam bidang seni
bangunan, pembangunan atap masjid yang terdiri atas tiga lapisan yang
kemudian ditafsirkan sebagai simbolisme Iman, Islam, dan Ihsan adalah

1
Ridin Sofwan, “Dampak Metode Para Wali Mengislamkan Tanah Jawa”, dalam Ridin
Sofwan dkk, Jurnal Jarlit Dewa Ruci Nomor 3, (PPIS bekerja sama Dinamika Islam dan
Kebudayaan Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2000), hlm.1
33

pengambil alihan makna dari tempat-tempat suci atau tempat ibadah agama
Hindu.2
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah
Islam dahulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran
Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Seperti
halnya wali songo, mereka dapat dengan lebih mudah memasukkan Islam
karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, namun dalam
racikan dan kemasan yang bercita rasa Jawa. Artinya masyarakat diberi
“bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa namun isinya Islam.3 Dan masih
banyak lagi upaya mengambil unsur-unsur budaya lama dengan memasukkan
nilai-nilai Islam yang dalam hal ini nilai-nilai iman, misalnya seperti yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan “Kidung Rumeksa Ing Wengi”.
Ridin Sofwan mengutip ungkapan Katsumiko Seino tentang cara-cara
yang digunakan oleh para wali dalam menghadapi budaya lama yaitu sebagai
berikut:
1. Menjaga, memelihara (keeping) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama
contoh menerima upacara tingkeban, mitoni
2. Menambah (addition) upacara-upacara, tradisi-tradisi lama dengan tradisi
baru, contoh menambah perkawinan Jawa dengan akad nikah secara Islam.
3. Menginterpretasikan tradisi lama ke arah pengertian yang baru atau
menambah fungsi baru (modification) terhadap budaya lama, contoh
wayang di samping sebagai sarana hiburan juga sebagi sarana pendidikan.
4. Mengganti (exchange) sebagian unsur lama dalam suatu tradisi dengan
unsur baru, contoh selamatan atau kenduren motifasinya diganti.
5. Mengganti secara keseluruhan (subtitution) tradisi lama dengan tradisi
baru, contoh sembahyang di kuil diganti sembahyang di masjid sehingga
tidak ada unsur pengaruh Hindu di masjid.

2
Ibid. hlm. 2
3
Marwanto, Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya,
http://www.giocities.com/Aegean/3922/opini.htm
34

6. Menciptakan tradisi, upacara baru (creation of new ritual) dengan


menggunakan unsur lama, contoh menciptakan gamelan dan upacara
sekaten.
7. Menolak (negation) tradisi lama, contoh penghancuran patung-patung
Budha di candi-candi sebagai penolakan penyembahan patung.4
Menurut Siti Munawaroh Thowaf berkembangnya Islam di pulau Jawa adalah berkat jasa para mubaligh dan para
wali, dengan penampilan setrategis mereka sebagai penguasa dan sekaligus sebagai tokoh agama, dan ada faktor yang
sangat mendukung dalam keberhasilannya diantaranya:

1. Berjiwa patriotisme, ikhlas dalam perjuangan dan pengorbanan


2. Kreatif, komunitif, menguasai sosial psikologis
3. Kharismatik / berwibawa
4. Memiliki etos kerja yang tinggi
5. Berdedikasi tinggi, memiliki kualitas ilmu, takwa dan amalnya
6. Pandangan sosiologis, umumnya mereka bangsawan yang dihormati pada
zamannya. Merupakan cikal bakal, perintis inti masyarakat baru di
zamannya.5
Salah satu wali yang sangat terkenal bagi orang Jawa adalah Sunan
Kalijaga. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorang ulama’ yang sakti dan
cerdas. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa
kerajaan Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan
yang santun dan seniman wayang yang hebat. Di antara Dewan Wali, Sunan
Kalijaga merupakan wali yang populer di mata orang Jawa. Bahkan sebagian
orang Jawa menganggap guru agung dan suci di tanah Jawa.36
Beliau sangat pandai bergaul di segala lapisan masyarakat dan di
segala tingkatan, ujer-ujer dan toleransinya sangat tinggi. Maka beliau sangat
terkenal dan populer pada masa hidupnya, terkenal di kalangan kaum ningrat,
kaum priyayi, kaum sarjana dan dikalangan rakyat jelata sekalipun. Di dalam
peranannya sebagai seorang mubaligh pari purna tersebut, Sunan Kalijaga

4
Ibid, hlm. 4
5
Hj. Siti Munawaroh Thowaf, Aspek Theologi Islam Dalam Pewayangan, Siti
Munawaroh Thowaf, dkk. Jurnal Theologia, ( Theoligia No:15 1992), hlm. 22-23
36
Dr. Purwadi, Sejarah Sunan Kalijaga Sintesis Ajaran Wali Sanga Vs Syeh Siti Jenar,
Persada, Yogyakarta, 2003, hlm. 150
35

sangat berjasa bagi perkembangan agama Islam dan perkembangan


kebudayaan bangsa Indonesia, terutama kebudayaan daerah.37
Kemampuan dalam melakukan asimilasi, adaptasi dan akulturasi budaya Jawa dengan Islam, membawa eksis
yang positif dalam tugasnya sebagai seorang mubaligh yang tanpa menggunakan kekerasan sama sekali. Sehingga wajah
Islam yang ditempelkan tidak terkesan sangar dan galak sehingga memudahkan masyarakat untuk hijrah dari agama
terdahulu (dinamisme, animisme, Hindu dan Budha) ke agama Islam karena peran Sunan Kalijaga yang telah dibantu oleh
para Walisanga di tanah Jawa.
Sunan Kalijaga adalah profil tokoh agama yang sekaligus budayawan yang kreatif, hampir seluruh hidupnya
dipenuhi perjuangan untuk kepentingan umat. Salah satu usahanya dibidang kebudayaan adalah pelestarian wayang kulit,
kerawitan, sastra Jawa dan adat tradisi. Bahkan tanpa terasa dengan wayang kulit, gending sekaten dan lagu Ilir-Ilir dapat
dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam. Sebabnya tidak lain karena Sunan Kalijaga mampu mengolah
dan memberi bumbu penarik bagi masa yang dihadapinya.38
Di samping wayang kulit, gending sekaten dan lagu ilir-ilir, tokoh legendaris tersebut sering memanfaatkan
kesenian Jawa sebagai metode dakwah Islam. Misalkan, jika umumnya kedatangan bulan ramadlan disambut dengan
marhaban ya ramadlan, beliau memanfaatkan lagu dolanan Jawa yang telah populer di masyarakat, judulnya yaitu “E,
Dhayohe Teka”. Sunan Kalijaga juga mengajarkan asal-usul kejadian manusia melalui syair Jawa berjudul Cublak –
Cublak Suweng.9 Dan beliau juga menciptakan kidung wingit yang berfungsi sebagai tolak balak dari berbagai malapetaka
dan makhluk halus. Kidung ini diberi nama Kidung Rumeksa Ing Wengi, dan ini yang akan penulis bahas lebih mendalam
dalam penulisan skripsi ini.

A. Asal Usul Kidung Rumeksa Ing Wengi

1. Pengertian Kidung Rumeksa Ing Wengi


Sebelum membahas secara menyeluruh tentang Kidung
Rumeksa Ing Wengi secara khusus, maka perlu diuraikan terlebih
dahulu pengertian Kidung Rumeksa Ing Wengi itu sendiri, hal ini
dilakukan untuk mempermudah pembahasan tahap berikutnya.
Kidung dalam ensiklopedi Indonesia diartikan sebagai karya
sastra rakyat atau puisi dalam bahasa Jawa tengahan, berupa cerita
romantikal seperti cerita pelipur lara. Berbentuk tembang yang dapat
dinyanyikan. Salah satu kidung yang terkenal adalah kidung Bali, yaitu
nyannyian berbahasa Bali tengahan (kawi Bali), kidung ini sering
dinyanyikan pada upacara Panca Yadnya. Antara lain dikenal sebagai
kidung Wargasari, Tantri, Nalat, Alis Alis Ijo, Bramara Sangupati.
Kidung-kidung tersebut biasanya digubah di Bali, menceritakan zaman
sesudah Majapahit.10

37
Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, Menara Kudus, Kudus, tt, hlm. Pendahuluan
38
Imam Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga , Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. ix
9
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme Dalam
Budaya Spiritual Jawa, Narasi, Yogyakarta, 2003, hlm. 102-103
10
Ajip Rosidi, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, tt, hlm. 1776
36

Sedangkan arti “rumeksa” adalah menjaga atau merawat,11


“ing” merupakan kata tunjuk yang berarti di dan kata “wengi” berarti
waktu mulai senja sampai terbit matahari atau malam hari.12
Jadi Kidung Rumeksa Ing Wengi apabila diartikan secara
terminologi adalah sebuah karya sastra atau puisi berbahasa Jawa
tengahan yang berbentuk tembang dan dapat dinyanyikan yang
berguna untuk menjaga atau merawat sesuatu di malam hari. Kidung
ini adalah kidung wingit (keramat), atau mantra / doa yang disusun
dengan berbahasa Jawa sebagai doa perlindungan, penyembuhan.

2. Masa Penulisan Kidung Rumeksa Ing Wengi


Sunan Kalijaga mempunyai nama kecil Raden Sahid. Kapan
tepatnya kelahiran Raden Sahid menyimpan misteri. Ia diperkirakan
lahir pada tahun 1455-an, dihitung dari pernikahan Raden Sahid
dengan Putri Sunan Ampel. Ketika itu Raden Sahid diperkirakan
berusia 20-an tahun. Sunan Ampel yang diyakini lahir pada tahun 1401
ketika menikahkan putrinya dengan Raden Sahid berusia 50-an
tahun.13

Begitu juga dengan penciptaan Kidung Rumeksa Ing Wengi menyimpan

misteri yang sangat dalam sekali, kapan sebenarnya kidung ini ditulis.

Usaha dalam penelusuran tentang karya sastra ini ditulis sudah sejauh

mencari dan meneliti buku-buku literer yang membahas tentang Sunan

Kalijaga sampai penulis datang dan wawancara dengan bapak Raden

Muhammad Sudiyoko (78 tahun) yang merupakan sesepuh ahli waris

Sunan Kalijaga itupun tidak mengerti secara pasti kapan karya sastra itu

11
S.A. Mangunsuwita, Kamus Bahasa Jawa, Yrama Widya, Bandung, 2002, hlm. 219
12
Ibid, hlm. 300
13
Dr. Purwadi, Op. Cit., hlm. 150
37

ditulis. Yang jelas di sini bahwa Kidung Rumeksa Ing Wengi diciptakan

setelah Raden Sahid Setelah menjadi seorang menjadi seorang wali.

3. Penulis Kidung Rumeksa Ing Wengi


Ada banyak tokoh / tulisan14 yang mengatakan bahwa Kidung tersebut

diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang mempunyai nama asli Raden Sahid,

beliau adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta / Raden

Sahur. Raden Sahur adalah keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu.

Sunan Kalijaga diperkenalkan Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban

sejak kecil.

Beliau dikenal sebagai mubaligh / da’i keliling, ulama besar, seorang wali

yang memiliki karisma tersendiri di antara wali yang lain, paling terkenal di

berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat

juga dikenal bernama Syeh Malaya. Ia dapat dikatakan ahli budaya,

misalnya: pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat

istiadat / kesenian daerah (adat lama yang diberi warna Islami),

menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan

14
Achmad Chodjim, Mistik dan Ma’rifat Sunan Kalijaga, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,
2003,hlm.32-52.
Lihat,R.Wiryopanitra, Serat Kidungan Kawedar, DEPDIKBUD,Jakarta:1979,hlm.7.
Hasil wawancara dengan Raden Muhammad Sudiyoko (79) tahun, ahli waris Sunan
Kalijaga, Kadilangu, Demak
Kidung Sunan Kalijaga http://www.minggupagi.com/article.php?sid=1360.
Kidung Dandang Gula, Tolak Balak, Jum’at,8 Agustus 2003 14:42.
http://www.astaga.com/komentar/index.p hp?act=view&id=71906&cat-403&start,
M. Heriwijaya, Islam Kejawen: Sejarah, Anyaman Mistik dan Simbolisme Jawa,
(Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004), hlm. 44,
Kangdjeng Susuhunan Kalidjaga, Kidungan Pepak Djangkep, (Sala: S. Muliya t.th),
hlm. 3-4
38

destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya), menciptakan Tembang

Dandanggula dan Dandanggula Semarangan.15

Kidung Rumeksa Ing Wengi ditulis oleh Sunan Kalijaga untuk

menjembatani hal-hal yang bersifat supranatural. Karena pada tahun-tahun

awal perkembangan Islam di Jawa bersifat mistis yang pada dasarnya

kepercayaan pra Islam memandang tinggi animisme dan dinamisme.

Kenyataan yang terjadi pada penyebaran Islam pada waktu itu banyak

berbenturan pada orang-orang yang tidak kompromi dengan diplomasi

sehingga menyerang balik apa-apa yang telah diajarkan oleh Sunan

Kalijaga (ajaran Islam) yaitu dengan Black Magic. Sehingga beliau menulis

kidung wingit yang diberi nama Kidung Rumeksa Ing Wengi yang di

dalamnya memuat berbagai macam mantra untuk menolak balak di malam

hari, seperti teluh, tenung, santet dan lain sebagainya.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari seratus tahun

karena dalam buku sejarah dipaparkan bahwa beliau mengalami masa

keruntuhan Kerajaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,

Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan Pajang yang lahir

pada tahun 1546 serta awal kerajan Mataram di bawah pimpinan

panembahan senopati.16

4. Tujuan Penulisan Kidung Rumeksa Ing Wengi

15
Sunan Kalijaga, http//:www.jawapalace.org/sunankalijogo.html
16
Ibid
39

Sunan Kalijaga merupakan seorang ulama’ dan guru spiritual.


Salah satu ajaran Sunan Kalijaga pada masyarakat Jawa pada waktu itu
adalah Kidung Rumeksa Ing Wengi. Kidung ini merupakan sarana
dakwah dalam bentuk tembang yang populer dan menjadi “kidung
wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti. Dakwah
itu dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dhandanggula berisi
44 bait dan seolah-olah sampai saat ini abadi. Orang-orang pedesaan
masih banyak yang hapal dan mengamalkan syair kidung ini. Sebagai
sarana dakwah kepada anak cucu, nasehat dalam bentuk tembang lebih
langgeng dan awet dalam ingatan. Sepeninggal Sunan Kalijaga, kidung
ini menjadi milik rakyat, siapapun yang membaca dan mengamalkan
sebagai doa tidak dipungut royalti.17
Karena kidung ini merupakan doa, dan dalam berdoa seseorang
harus yakin apa bahasa yang digunakan itu (paham yang diucapkan),
tentu saja disertai keyakinan yang tinggi, serta mengerti makna doa
yang digunakan. Maka di sinilah Sunan Kalijaga menciptakan doa
mantra yang berbahasa Jawa. Karena dengan doa berbahasa Jawa akan
mudah dihayati dan diyakini bila bahasanya dimengerti.18
Selain itu juga untuk mengantisipasi menghadapi jaman edan
yang begitu menyengsarakan sendi-sendi kehidupan rakyat, hidup serba
tidak menentu, semuanya serba sulit menentukan sikap, serta tidak ada
fundamen keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang benar dan
kokoh.19

B. Diskripsi Tentang Kidung Rumeksa Ing Wengi

Teologi mengatakan bahwa Tuhan ada dan bahwa kita harus


mempercayai Nya. sedang Falsafah mengatakan, kita harus mengetahui
hubungan antara individu, semesta dan pencipta. Agama, dalam bentuk

17
Dr. Purwadi, loc, cit, hlm. 191-192
18
Achmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, Serambi, Jakarta, 2003, hlm. 16
19
http://www.jawapalace.org/kidungpurwajati.html
40

praktek sufi, memberikan visi langsung tentang Tuhan di dalam candi


tubuh.20
Ayat-ayat Al Qur’an adalah contoh teks yang paling indah dan
puitis ; ayat-ayat yang berirama tersusun begitu rapi sehingga mereka yang
akrab dengan bahasa arab menempatkannya sebagai kategori teks yang
sepenuhnya sangat khas. Bahasanya tidak bisa dimengerti bukan hanya
oleh orang Arab sendiri. mungkinkah ini tak lain adalah wahyu-wahyu
batin yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan tangan-tangan
malaikat jibril ? bukankah benar bahwa Nabi Islam Muhammad tak bisa
membaca ataupun menulis ?
Kalau kita melihat cuplikan cerita di atas tak jauh halnya dengan Sunan
Kalijaga menulis Kidung Rumeksa Ing Wengi dengan bahasa jawa yang
sangat khas. Bahasa ini “tidak mudah dimengerti” sehingga memerlukan
penafsiran secara mendalam dalam karya tersebut. Kidung tersebut pada waktu
dulu juga dianggap sakral dan kesakralnya itu hampir sama dengan kitab suci.
Adapun lirik kidung tersebut adalah sebagai berikut:
Ono kidung rumeksa ing wengi
teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
miwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah mring mami
guna duduk pan sirna

Sekehing lara pan samya bali


sekeh ngama pan sami miruda
welas asih pandulune
sekehing braja luput
kadi kapuk tibaning wesi
sekehing wisa tawa
sato galak tutut
kayu aeng lemah sangar
songing landak guwaning mong lemah miring
myang pakiponing merak

20
Soraya Susan Behbehani, Ada Nabi Dalam Diri, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003,
hlm. 229
41

Pagupakaning warak sakalir


nadyan arca myang segara asat
temahan rahayu kabeh
apan sariro ayu
ingideran kang widadari
reneksa malaikat
sekatahing rarasul
pan dadi sarira tunggal
ati Adam utekku baginda Esis
pangucapku ya Musa

Napasku Nabi Isa linuwih


Nabi Yakub pamyarsaningwang
Yusuf ing rupaku mangke
Nabi Daud swaraku
Jeng Sulaiman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawa
Idris ing rambutku
Baginda Ali kulitingwang
Abu Bakar getih daging Umar singgih
balung baginda Usman

Sumsungingsun Fatimah linuwih


Siti Aminah bajuning angga
Ayub ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
netraku ya Muhammad
panduluku Rasul
pinayungan Adam syara’
sampun pepak sekatahing para Nabi
dadya sarira tunggal

Wiji sawiji mulane dadi


apan pencar saisining jagad
kasamadan dening date
kang maca kang angrungu
kang anurat kang anyimpeni
dadi ayuning badan
kinarya sesembur
yen winacakna ing toya
kinarya dus rara tuwa gelis laki
wong edan nuli waras

Lamun ana wong kadendan kaki


wong kabanda wong kabotan uatang
42

yogya wacanen den age


nalika tengah dalu
ping sawelas macanen singgih
luwar saking kabanda
kang kadenda wurung
aglis nuli sinahuran
mring Hyang Sukma kang utang punika singgih
kang angring nuli waras

Lamun arsa tulus nandur pari


puwasaa sawengi sadina
iderana galengane
wacanen kidung iki
sekeh ngama sami abali
yen sira lunga perang
wateken ing sekul
antuka tigang pukulan
mungsuhira rep sarirep tan ana wani
rahayu ing payudan

Sing sapa reke bisa nglakoni


amutiha lawan anawaa
patang puluh dina bae
lan tangi wektu subuh
lan den sabar sukuring ati
Insya Allah tinekan
sukarsanireku
tumrap sanak rakyatira
saking sawabng ngelmu pangiket mami
duk aneng Kalijaga21

Terjemahannya:
Ada nyanyian yang menjaga di malam hari. Kukuh selamat
terbebas dari penyakit. Terbebas dari semua malapetaka. Jin setan jahat
pun tidak ada yang berani. Juga berbuat jahat. Guna-guna pun tak ada
yang berani. Api dan juga air. Pencuri pun jauh tak ada yang menuju
padaku. Guna-guna sakti pun lenyap

Semua penyakitpun bersama-sama kembali, Barbagai hama sama-


sama habis, Dipandang dengan kasih sayang, Semua senjata lenyap,
Seperti katuk jatuhnya besi, Semua racun menjadi hambar, Binatang buas
jinak, Kayu ajaib dan tanah angker, Lubang landak rumah manusia tanah
miring, Dan tempat merak berkipu

21
Kangdjeng Susuhunan Kalidjaga, Kidungan Pepak Djangkep, S. Muliya, Surakarta, t.th,
hlm. 3-4
43

Tempat tinggal semua badak, Walaupun arca dan lautan kering,


Pada akhirnya semua selamat, Semuanya sejahtera, Dikelilingi bidadari,
Dijaga oleh Malaikat, Semua rasul menyatu menjadi berbadan tunggal,
Hati Adam, otakku Baginda Sis, Bibirku Musa

Napasku Nabi Isa as, Nabi Yakub mataku, Yusuf wajahku, Nabi
Daud suaraku, Nabi Sulaiman kasaktianku, Nabi Ibrahim nyawaku, Idris
di rambutku, Baginda Ali kulitku, Abu Bakar darah, daging Umar, balung
baginda Usman

Sumsumku Fatimah yang mulia, Siti Aminah kekuatan badanku, Ayub


dalam ususku, Nabi Nuh di jejantung, Nabi Yunusdi ototku, Mataku Nabi
Muhammad, Wajahku Rasul, Dipayungi oleh syariat Adam, Sudah meliputi
seluruh para Nabi, Menjadi satu dalam tubuhku

Kejadian dari biji-biji yang satu, kemudian berpencar keseluruh


dunia, terimbas oleh Dzat-Nya, yang membaca dan yang mendengarkan, yang
menyalin dan yang menyimpannya, menjadi keselamatan badan, sebagai
sarna pengusir, jika dibacakan dalam air, dipakai mandi perawan tua cepat
bersuami. Orang gila cepat sembuh.

Jika ada orang didenda cucuku. Atau orang yang terbelenggu


keberatan hutang. Maka bacalah dengan segera. Di malam hari. Bacalah
dengan sungguh-sungguh sebelas kali. Maka tidak akan jadi didenda. Segera
terbayarkan oleh Tuhan. Karena Tuhanlah yang menjadikannya berhutang.
Yang sakit segera sembuh.

Jika ingin bagus menanam padi. Berpuasalah sehari semalam.


Kelilingi pematangnya. Bacalah nyanyian itu. Semua hama kembali. Jika
engkau pergi berperang. Bacakan kedalam nasi. Makanlah tiga suappan.
Musuhmu tersihir tidak ada yang berani. Selamat di medan perang.

Siapa sja yang dapat melakukan puasa. Mutih dan minum air putih.
Selama 40 hari. Dan bangun waktu subuh. Bersabar dan bersyukur di hati.
Insya Allah tercapai semua cita-citamu. Dan semua sanak keluargamu. Dari
daya kekuatan seperti yang mengikatku ketika di kalijaga.22
Kidung ini terdiri atas sembilan bait yang disertai laku dan fungsi
pragmatisnya secara spesifik. Dan dibagi atas dua bagian, bagian pertama,
terdiri lima bait yang wajib diamalkan setiap malam, kedua, terdiri empat

22
M. Heriwijaya, Islam Kejawen: Sejarah, Anyaman Mistik dan Simbolisme Jawa,
Gelombang Pasang, Yogyakarta, 2004, hlm. 48-50
44

bait berupa petunjuk yang menyertai laku dan wajib dilaksanakan oleh
setiap orang yang mengamalkannya.23
Adapun makna dari kidung atau sabda suci yang dimaksudkan
untuk menjaga diri di malam hari. Karena malam hari merupakan
“sumber” berbagai macam kejahatan. Walaupun siang hari tidak jauh
beda, namun malam hari lebih banyak lagi, karena malam hari kejahatan
tidak dilakukan secara tidak terang-terangan. pada bait pertama, berisi
ajaran tentang perlindungan dari dari berbagai kejahatan yang bisa
dilakukan di malam hari. Bukan hanya kejahatan dari hasil perbuatan jahat
orang atau pencuri, tetapi juga kejahatan ghaib seperti sihir, teluh, tuju,
santet dan sebagainya. Dengan melafalkan kidung ini, berbagai kejahatan
malam tersebut akan menyingkir. Bukan diperangi, tetapi ditolak. Bukan
disingkirkan, tetapi kejahatan itu sendiri yang menyingkir.24
Bait yang kedua, dari daya pujian itu, segala penyakit yang akan
menimpa lalu kembali tidak jadi mengena, segala hama yang menjadikan
kesulitan hidup pun akan menjauh, semuanya itu hanya memiliki belas
kasih. Seandainya ada yang hendak menyerang dengan senjata, dengan
sendirinya akan luput, bila pun kena , ya tidak terasakan apa-apa, ibarat
kapuk yang jatuh di atas besi. Bila terkena racun akan tawar, jika bertemu
dengan hewan buas juga tidak mau memangsa malah sebaliknya binatang
tersebut akan jinak, dan apa bila melewati pepohonan angker dan tanah
yang gawat, juga akan tawar.
Ada pun yang dimaksud dari kata; sarang landak rumahnya orang
miring dan tempat merak mendekam, itu sekedar simbol, menurut
pedoman ilmu artinya, menunjukkan asal kejadian manusia, dari pria dan
wanita (ayah dan ibu). R. Wiryapanitra menerangkan bahwa ayah
menurunkan benih kepada rahim ibu kemudian larutlah benih tersebut
dalam seperma, mani, madi, wadi di situlah Tuhan Yang Maha Kuasa

23
Ibid, hlm. 45
24
Achmad Chodjim, lok. cit, hlm. 37
45

menciptakan makhluknya, tetapi benih tadi masih berada di dalam nukan,


berupa cahaya bening.25
Chodjim pun menjelaskan bait kedua. Yang dimaksudkan Hayyu
dalam bahasa Arab namun dibaca dengan lidah Jawa menjadi kayu, yang
mempunyai arti hidup. Benih yang hidup disebut pohon ajaib. Sedangkan
tanah sebagai tempat tumbuhnya benih dinamakan tanah angker atau tanah
keramat. Karena tanah itu hanya layak ditanami bila dalam kedaan suci
dan halal.26
Kemudian makna dari bait ketiga, kata pagupakaning warak sekalir
yang memiliki arti bibit manusia itu dapat berwujud, karena berasal dari
berbagai daya, seperti titipan bapak dan ibu, titipan Allah dan anasir
delapan macam yaitu, surya, candra, kartika, swasana, sedangkan empat
anasir lainnya menjadi badan kasar atau wujud badaniah yang berupa, api,
angin, air dan tanah. Yen winaca ing segara asat adalah sebuah pribahasa
yang mempunyai arti, semua anasir itu hanya diambil intisarinya, ialah
dari daya kekuasaan dari Sang Sabda Kun (Allah) atau hanya dengan
disabdakan saja telah jadi. Temahan rahayu kabeh apan sarira ayu berarti
tiap-tiap anasir dijadikan sebagai alat kebutuhan hidup manusia yang
sempurna, kemudian dapat berwujud manusia ini. Angideran kang
widadari, keterangannya adalah setelah berwujud tubuh manusia, lalu
dimasuki lima macam mudah (isian rohani) nur, perasaan, roh, nafsu, dan
budi. Rineksa malaikat maksudnya adalah manusia itu juga dijaga
malaikat, malaikat yang menjaga kita yang berada di dalam tubuh kita,
menurut pedoman Ilmu pengetahuan agama ada empat orang jumlahnya.
adapun kedudukan mereka demikian, malaikat jibril berkedudukan pada
kulit, malaikat Mikail berkedudukan pada tulang, Isrofil bertempat pada
urat atau otot-otot kita, dan Izroil berkedudukan pada daging manusia.27

25
R. Wiryapanitra, Serat Kidungan Kawedhar, Effhar dan Dahara Prize, Semarang, 1995,
cet. I, hlm.9
26
Achmad Codjim, op. cit., hlm. 50
27
R. Wiryapanitra, T.W.K. Hadisoeprapto dan Siswoyo, Serat Kidungan Kawedhar,
Departemen P dan K, Jakarta, 1979, hlm. 12
46

Dalam perbendaharaan Islam Jawa ada seoranga Nabi yang tidak


banyak dikenal dalam dunia islam umumnya. Yaitu Nabi Sis. Beliau
diyakini sebagai anak Nabi Adam, yaitu anak nomer enam. Kata “sis”
berasal dari kata “sit” yang artinya enam. Karena itu Nabi sis juga dikenal
Nabi sita. Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa istri Nabi Adam,
yang disebut Siti Hawa, setiap kali melahirkan dua kembar. Tetapi, ketika
mengandung Sis, ternyata lahir tunggal, tetapi setiap kali melahirkan
kembar dua lagi. Nabi Sis dikenal bapaknya orang-orang bijasana. Nabi
Sis adalah bapak dari orang-orang yang memiliki daya cipta yang kuat.
Menurut kitab Paramayoga karya Ranggawarsita yang dikutip oleh
Chodjim, bahwa para dewa merupakan anak cucu dari Nabi Sis. Dan hasil
cipta hening dari para dewa itu berwujud kesurgaan, suatu tempat surgawi
yang ada di dalam metafisik, yang disebut swargaloka.28
Nabi Musa dinyatakan sebagai pangucapan dalam kidung. Dia
diyakini sebagai seorang Nabi yang bercakap-cakap secara langsung
dengan Allah. Nabi yang ucapannya dipercaya penuh oleh kaumnya.
Sehingga mampu melepaskan Bani Israel dari kekuasaan Fir’aun. Maka
dalam Kidung Rumeksa Ing Wengi ini, daya Nabi Musa diyakini sebagai
ucapan pembaca kidung. Yaitu ucapan yang mengandung daya dan
kekuatan yang sangat luar biasa.29
Maksud dari penempatan Nabi Musa sebagai pengucapan adalah
pengharapan terhadap apa yang dirapalkan. Ketika sang pembaca doa
menyebut semua penyakit, hama dan petaka tidak mengena, maka apa
yang diucapkan itu benar-benar menjadi kenyataan. Dalam agama hal ini
disebut wasilah, perantaraan. Jembatan yang dilakui pembaca dalam
berhubungan dengan Tuhan. Dalam kidung ini termuat dengan tegas
bahwa semua Nabi itu merupakan Nabinya orang Islam.30
Bait yang keempat, napasku Nabi Isa linuwih artinya napas itu
menjadi ikatan badan dan apa bila kita mampu memusatkan gerak napas
28
Achmad Chodjim, op. cit, hlm. 51
29
Ibid, hlm. 52
30
Ibid
47

yang berasal dari dalam atau luar, sesungguhnya dapat menimbulkan


kenyataan kehendak yang sungguh terhormat. Yang demikian itu
diumpamakan seperti halnya Nabi Isa yang juga menjadi pengikat agama.
Nabi Yakub pamiyar saningwang, Nabi Yakub adalah seorang Nabi yang
tetap pengabdiannya kepada Allah, serta selalu suka mendengarkan firasat
perintah Allah, maka diibaratkan pendengaran kita, agar kita paling tidak
juga mau mendengar-dengarkan (mendakwahkan) ajaran yang baik, atau
firasat dari Tuhan. Dawud swaraku mangke, Nabi Dawud dihadirkan
karena beliau telah deberi karunia oleh Allah yaitu Allah mengutusnya
sebagai Nabi dan rasul mengurniainya nikmah, kesempurnaan ilmu,
ketelitian amal perbuatan serta kebijaksanaan dalam menyelesaikan
perselisihan, Kepadanya diturunkan kitab "Zabur", kitab suci yang
menghimpunkan qasidah-qasidah dan sajak-sajak serta lagu-lagu yang
mengandungi tasbih dan pujian-pujian kepada Allah, kisah umat-umat
yang dahulu dan berita Nabi-Nabi yang akan datang, di antaranya berita
tentang datangnya Nabi Muhammad s.a.w., Allah menjadikan gunung-
gunung dan memerintahkannya bertasbih mengikuti tasbih Nabi Daud tiap
pagi dan senja, Burung-burung pun turut bertasbih mengikuti tasbih Nabi
Daud berulang-ulang, beliau diberi peringatan tentang maksud suara atau
bahasa burung-burung, Allah telah memberinya kekuatan melunakkan
besi, sehingga ia dapat membuat baju-baju dan lingkaran-lingkaran besi
dengan tangannya tanpa pertolongan api, Nabi Daud telah diberikannya
kesempatan menjadi raja memimpin kerajaan yang kuat yang tidak dapat
dikalahkan oleh musuh, bahkan sebaliknya ia selalu memperoleh
kemenangan di atas semua musuhnya, Nabi Daud dikurniakan suara yang
merdu oleh Allah yang enak didengar sehingga kini ia menjadi kiasan bila
seseorang bersuara merdu dikatakan bahwa ia memperoleh suara Nabi
Daud.31
Nabi Ibrahim Nyawaku, Orang Jawa menyebut Nabi Ibrahim
sebagai orang yang nyawanya rangkap. Karena meski dibakar, bukan

31
Kisah Para Nabi, http://www.dzikir.org/b_ceri16.htm
48

sekedar di atas bara api beliu tetap hidup dan utuh. Daya yang dapat
membuat panasnya api terasa dingin dan akhirnya tidak dapat membakar
Nabi Ibrahim.
Yusuf ing rupaku mangke, maksudnya Nabi Yusuf adalah seorang
yang menderita sejak kecil, karena dianiaya, tetapi penderitaannya itu
hanya menjadi pembuka ke arah kebenaran, sehingga dapat menduduki
jabatan Adipati di negei Mesir. Maka diibaratkan sebagai wajah kita,
karena wajah itu menjadi pembuka warna, sedangkan wajah itu menjadi
pintu pembuka kegaiban. Jadi wajah kita ini menjadi tirai gaib yang hebat
atau titipan Tuhan.32
Nabi Sulaiman kasekten mami, Nabi Sulaiman yang telah berkuasa
penuh atas kerajaan Bani Isra'il yang makin meluas dan melebar, Allah
telah menundukkan baginya makhluk-makhluk lain, yaitu Jin Angin dan
burung-burung yang kesemuanya berada di bawah perintahnya melakukan
apa yang dikehendakinya dan melaksanakan segala komandonya. Di
samping itu Allah memberinya pula suatu kurnia berupa mengalirnya
cairan tembaga dari bawah tanah untuk dimanfaatkannya bagi karya
pembangunan gedung-gedung, perbuatan piring-piring sebesar kolam air,
periuk-periuk yang tetap berada diatas tungku yang dikerjakan oleh
pasukan Jin-Nya. Sebagai salah satu mukjizat yang diberikan oleh Allah
kepada Sulaiman ialah kesanggupan beliau menangkap maksud yang
terkandung dalam suara binatang-binatang dan sebaliknya binatang-
binatang 33dapat pula mengerti apa yang ia perintahkan dan ucapkan.
Idris ing rambutku, Karena rambut sebagai pelindung kepala dan
sekaligus sebagai mahkota. Dalam Al-Qur’an nama Idris hanya disebut
dua kali, yaitu Q.S. Maryam: 56 dan al-Anbiya’ :85. Dalam ayat-ayat
tersebut, Idris digolongkan sebagai Nabi yang shiddiq, dan sabar. Shiddiq
ialah orang yang senantiasa berbuat kebenaran dan ucapannya setulus
hatinya. Orang yang shiddiq merupakan orang yang mampu dalam praktik,

32
R Wiryapanitra, loc cit, hlm.19
33
Kisah Nabi Sulaiman, http://www.dzikir.org/b_ceri17.htm
49

dan bukan hanya ngomong atau pandai dalam hal teori. Sedangkan orang
yang sabar dapat dipahami sebagai orang yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya, menahan diri dari berbaga godaan, dan mengikuti prosedur
yang benar dalam meniti hidupnya. Daya Nabi Idris dihadirkan pada
rambut agar daya shiddiq dan kesabarannya bisa menjadi peneduh dan
juga pelindung dari berbagai terpaan godaan dan bencana dalam
kehidupan.34
Nabi Idris adalah keturunan keenam dari Nabi Adam putera dari
Yarid bin Mihla'iel bin Qinan bin Anusy bin Syith bin Adam A.S. dan
adalah keturunan pertama yang dikurniai keNabian menjadi Nabi setelah
Adam dan Syith. Nabi Idris menurut sementara riwayat bermukim di
Mesir di mana ia berdakwah untuk agama Allah s.w.t. mengajarkan tauhid
dan beribadat menyembah Allah s.w.t. serta memberi beberapa pendoman
hidup bagi pengikut-pengikutnya agar menyelamat diri dari seksaan
diakhirat dan kehancuran serta kebinasaan di dunia. Ia hidup sampai usia
82 tahun.
Diantara beberapa nasihat dan kata-kata mutiaranya ialah :
1. Kesabaran yang disertai iman kepada Allah s.w.t. membawa
kemenangan
2. Orang yang bahagia ialah orang yang berwaspada dan mengharapkan
syafaat dari Tuhannya dengan amal-amal solehnya.
3. Bila kamu memohon sesuatu kepada Allah s.w.t. dan berdoa maka
ikhlaskanlah niatmu demikian pula puasa dan sholatmu
4. Janganlah bersumpah dalam keadaan kamu berdusta dan janganlah
menuntup sumpah dari orang yang berdusta agar kamu tidak
menyekutui mereka dalam dosa.
5. Taatlah kepada raja-rajamu dan tunduklah kepada pembesar-
pembesarmu serta penuhilah selalu mulut-mulutmu dengan ucapan
syukur dan puji kepada Allah s.w.t.

34
Achmad Chodjim, op, cit., hlm.60
50

6. Anganlah iri hati kepada orang-orang yang baik nasibnya, kerana


mereka tidak akan banyak dan lama menikmati kebaikan nasibnya.
7. Barang siapa melampaui kesederhanaan tidak sesuatu pun akan
memuaskannya.
8. Tanpa membagi-bagikan nikmat yang diperolehnya seorang tidak
dapat bersyukur kepada Allah s.w.t. atas nikmat-nikmat yang
diperolehinya itu.35

Kemudian keempat sahabat Nabi Muhamad disebut juga, yaitu


dimulai dari Ali dan dilanjutkan dengan sahabat Abu Bakar, Umar, dan
yang terakhir Umar. Ini memang tidak sesuai dengan urutan
kekahalifahannya. Ali adalah sepupu dan menantu Rasul. Suami Fatimah,
putri bungsu Nabi s.a.w. Ali bin Abu Thalib bin Abdul Mutthalib bin
Hisyam Abu Abdu Manaf al Quraisyi al Hasyimi. Dilahirkan sepuluh
tahun sebelum Nabi diutus sebagai Rasul. Sepupu Nabi ini adalah orang
pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ibunya bernama Fatimah
binti As’ad bin Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu kecil ia diberi nama
Haidarah oleh ibunya. Kemudian diganti oleh ayahnya menjadi Ali.
Menginjak usia enam tahun, ia diasuh oleh Nabi Muhammad saw.
Ia adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam setelah Khadijah
binti Khuwailid. Sebagai anak asuh Rasul, ia menguasai banyak masalah
keagamaan secara mendalam. Ia juga dikenal cerdas, sebagaimana sabda
Nabi saw, “Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali adalah pintu
gerbangnya.” 36
Dalam khazanah Jawa, dia dilambangkan sebagai kulit manusia.
Dalam kidung daya sahabat Ali dihadirkan sebagai kulit sang pembaca
kidung, yang diharapkan adalah sebagai perlindungan. Sebagaimana kulit
untuk melindungi tubuh manusia. Dan juga sebagai pintu rasa manusia
apabila tingkat rasa seseorang itu tinggi, maka kulitnya bagaikan radar.

35
Peradaban Masa Ali bin Abi Thalib,
http://tanbihul_ghafilin.tripod.com/himpunankisahparaNabi1.htm
36
Ibid., hlm. 61
51

Karena bila dilihat dari sejarah, dalam hal peperangan, Ali dikenal sebagai
panglima yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-
lawannya. Zul fiqar sebagai pedang yang selalu menemaninya dalam
setiap peperangan, ia tebas semua musuh dalam medan perang. Hampir di
semua peperangan yang terjadi di masa Nabi s.a.w, ia selalu menjadi
andalan barisan terdepan.37
Abu Bakar, Umar, dan Usman dihadirkan sebagai daya yang
mendukung eksistensi darah, daging dan tulang. Secara keseluruhan
sahabat empat adalah merupakan kulit, darah, daging dan tulang bagi
kebangkitan umat yang baru pada masa itu. Yaitu umat Islam. Maka daya
ke empat sahabat itu dihadirkan dalam kekuatan doa untuk keselamatan
lahir dan batin bagi pembacanya.
Abu Bakar getih, mengapa ini dihadirkan dalam kidung tersebut,
karena jika kita lihat sejarah dari sayidina Abu Abu Bakar As-Siddiq
adalah sifat rendah dirinya. Semasa beliau diangkat menjadi khalifah,
beliau telah memberi ucapan kepada umat Islam. Dengan segala rendah
hati beliau mengatakan bahwa beliau bukanlah yang terbaik di kalangan
umat Islam. Beliau juga memiliki sifat tawadhuk dan ini yang seharusnya
dimiliki oleh setiap manusia, dan kepribadian Abu Bakar sebelum menjadi
khalifah ia selalu membantu seorang wanita tua yang menjadi tetangganya,
yaitu membantu memberi makan unta-unta serata memerah susunya.38
Balung Baginda Utsman, karena beliau sebagai tulang penggung
Islam pada masa itu. Adapun tanda kebesaran beliau adalah, Menumpas
pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk di bawah
kekuasaan Islam pada zaman Umar. Seperti mengamankan Azerbaijan dan
Armenia, Melanjutkan perluasan ke daerah-daerah yang sempat terhenti
pada masa pemerintahan Umar.
Pembentukan armada laut yang kuat. Panglima Muawiyah bin Abi
Sofyan berulangkali mengajukan permohonan kepada Khalifah Umar

37
Peradaban Masa Ali bin Abi Thalib, op. cit.
38
Abu Bakar Assyidiq, http://www.muis.gov.sg/websites/khutbah/ser-m-250820.html
52

untuk menggerakkan pasukan Islam di laut. Akan tetapi, Umar selalu


menolak. Hingga Muawiyah menjadi Gubernur Syam pun jawabannya
tetap sama. Salah satu alasan Umar menolak adalah untuk memperkuat
basis pertahanan pada daerah taklukan. Dan negeri-negeri tersebut hanya
berada di daratan. Akhirnya niat baik Muawiyah, dapat terealisasikan pada
masa Utsman bin Affan. Mengingat kuatnya sektor pertahanan Roma
terutama di lautan. Lewat lautan inilah, imperium Roma banyak
menaklukkan negeri-negeri sekitar.
Pembentukan komite pembukuan Al Qur’an. Adanya keragaman
bacaan dan tulisan pada masa Utsman mendatangkan perpecahan yang
tidak kecil. Hal inilah yang membuat Huzaifah bin Yaman merasa perlu
meminta penyelesaian kepada khalifah Utsman. Maka segera dibentuklah
komite pembukuan Al Qur’an, dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan
beranggotakan Abdullah bin Zubeir dan Abdurrahman bin Harits. Langkah
awal adalah meminta kumpulan naskah Al Qur’an yang disimpan Hafsah
binti Umar. Naskah ini merupakan kumpulan tulisan Al Qur’an yang
berserakan pada masa Abu Bakar r.a. Kemudian dari kumpulan naskah itu,
dibentuklah sebuah mushaf, dengan cara menyalin ulang. Dialek yang
dipakai Al Qur’an adalah bahasa suku Quraisy.39
Sungsumingsun Patimah linuwih, Fatimah dihadirkan sebagai
sumsum, darah diproduksi oleh sumsum. Dan darah ibarat nyawa, sebab
jika kita kekurangan darah atau darah berhenti mengalir di dalam tubuh
menyebabkan kematian, jadi menghadirkan Fatimah dimaksudkan untuk
menghadirkan kekuatan kehidupan yang selalu mengalir di dalam tubuh
kita. Dalam tulisan Syed Hasan Alatas, Fatimah adalah putri Nabi s.a.w.
yang mendapat gelar Assidiqah (wanita terpercaya), Athahirah (wanita
suci), al-Mubarakah (yang diberkahi Allah) dan yang paling disebutkan
adalah Fatimah Azzahra (bunga yang mekar semerbak.40 Kemudian daya
dari ibunda Nabi, yaitu Aminah juga dihadirkan sebagai kekuatan jasmani.
39
Sofyan Wijananto, Peradaban Masa Utsman bin Affan,
http://kitamuslimfren.tripod.com/artikel.htm
40
Ustaz Syed Hasan Alatas, Siti Fatimah Azzahra, http://www.shiar-islam.com/doc32.htm
53

Kekuatan wadahnya zat hidup. Kekuatan yang dikandung oleh Aminah


yang menyebabkan kehadiran Nabi, kehadiran daya ini kepada pembaca
kidung untuk membangun kekuatan tubuh. Kuat untuk menolak petaka
serta menerima amanat atau ajaran yang luhur.41
Ayub Ing Ususku Mangke, Nabi Ayub di hadirkan dalam kidung
tersebut untuk menjadi kekuatan. Dalam kisah Nabi Ayub beliau adalah
orang yang sangat sabar walau diuji oleh Allah, ini terbukti ketika beliau
diuji dengan penyakit dan kehilangan ahli keluarganya, namun keimanan
dan ketakwaannya tetap utuh.42 Daya Nabi Nuh dihadirkan untuk menjadi
kekuatan jantung. Karena beliau selalu sabar dan kuat dalam mengemban
tugas sebagai Nabi Allah. Nabi Nuh yang dikurniakan Allah s.w.t. dengan
sifat-sifat yang patut dimiliki oleh seorang Nabi, fasih dan tegas dalam
kata-katanya, bijaksana dan sabar dalam tindak-tanduknya melaksanakan
tugas risalahnya kepada kaumnya dengan penuh kesabaran dan
kebijaksanaan dengan cara yang lemah lembut mengetuk hati nurani
mereka dan kadang kala dengan kata-kata yang tajam dan nada yang kasar
bila menghadapi para pembesar kaumnya yang keras kepala yang enggan
menerima hujjah dan dalil-dalil yang dikemukakan kepada mereka yang
tidak dapat mereka membantahnya atau mematahkannya.43 Kemudian
daya Nabi Yunus juga dihadirkan sebagai kekuatan otot. Jika dilihat dari
sejarah beliau tidak mati ketika ikan menelannya. Beliau ibarat otot yang
mampu menahan kekuatan negatif yang menelannya.
Maksud yang terkandung dalam bait ke enam, adalah sebagai
berikut; manusia itu adalah berasal dari setitik bibit, ialah hidup yang
berdiri sendiri serta berharga diri, kemudian dapat tersebar dan
berkembang biak menjadi beribu-ribu memenuhi dunia ini, itu semua
asalnya hanya berasal yang satu itu, ialah bibit kehidupan hamba Allah

41
Achmad Chodjim, loc. cit., hlm. 62
42
Iktibar: Nabi Ayub Diuji Sakit,
http://www.hmetro.com.my/Current_News/HM/Friday?Ad%20Din/20050506113557/Article/inde
xs_html
43
http://tanbihul_ghafilin.tripod.com/himpunankisahparaNabi1.htm, Ibid.
54

semua itu dijaga atau dilestarikan dan diberkahi oleh Zat Allah. Baik yang
membaca lagu pujian itu, maupun yang mendengarkan, ataupun yang
menuliskannya, bahkan yang hanya memelihara lagu pujian itu atau
menyimaknya, semua akan mendapat berkah keselamatan dalam segala
tingkah lakunya. Lagu pujian ini jika dibacakan dekat air, lalu
disemburkan ludahnya, air semburan itu mempunyai keberkahan; jika
dipakai mandi oleh gadis terlambat berjodoh, akan segera mendapatkan
jodoh, jika digunakan untuk mandi oleh orang yang berpenyakit gila, tentu
akan segera sembuh gilanya. Artinya bagi orang yang berilmu yang
dinamkan lagu pujian itu merupakan kiasan dari Sang Guru Sejati, karena
itu daya kewibawaannya juga diambilkan dari kekuasaan Sang Guru Sejati
juga, sehingga yang diperlukan adalah keselarasan dan penyesuaian
dengan Sang Guru Sejati, supaya kita dapat meminjam daya kewibawaan-
Nya itu.44
Sedangkan maksud dari bait ke tujuh, adalah memberikan
pengetahuan pada anak muda, jika ada yang didenda oleh negara / orang
yang dihukum denda. Serta orang yang tersangkut urusan polisi dan orang
yang terlalu banyak mempunyai pinjaman tetapi kesulitan untuk
membayar, hendaknya segeralah membaca kitab lagu pujian itu, artinya
yang dibacakan hanyalah lagu pujian yang terdapat pada lagu nomor satu,
tapi jika orang yang berilmu, lebih diutamakan memuji kebesaran Sang
Guru Sejati (Allah). Sedang waktu membacanya di malam hari dengan
nada yang lirih sebanyak dua puluh lima kali, dapat terbebas itu tentunya
dengan daya upaya juga dan telah dianugrahi berkah oleh Allah, jadi dapat
mengharukan pertimbangan negara. Serta yang mendapatkan hukuman
denda akan terbebas. Gusti Allah membayar hutangnya itu tetapi dengan
perantara orang lain, dan jika seseorang terkena sakit maka akan sembuh
yang jelas kesembuhannya itu, sebenarnya harus dengan cara pengobatan,
tetapi obatnya itu telah mendapatkan berkah.45

44
R.Wiryapanitra, loc.cit., hlm. 19-20
45
Ibid, hlm.20-21
55

Bait yang ke delapan, Sunan kalijaga menganjurkan orang-orang


yang hendak berdoa untuk melakukan puasa mutih. Yaitu, mengurangi
makan, dan yang dimakan hanya nasi putih atau ubi-ubian yang tawar
rasanya. Dan minumnya pun cukup air tawar. Tidak ada asin dan manis
dalam makanan dan minuman, puasa ini dilakukan setahun sekali selama
40 hari sudah cukup untuk menurunkan emosi dan dorongan hawa nafsu.
Jika pada waktu puasa usahakan bangun pada dini hari, setiap perbuatan
kita tampakkan dengan sikap sabar dan pasrah, apa bila ini dilakukan
dengan sungguh-sunguh dapat dikabulkan oleh Allah, dapat tercapai apa
yang dicita-citakan, serta dapat digunakan untuk menolong kepada segala
kesulitan sanak kerabat, anak cucu, dan sebagainya. Yang demikian itu
karena mendapat berkat dari puasa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.46
Bait ke sembilan, artinya adalah bila ingin selamat dalam menanam
padi, maka berpuasalah satu hari satu malam, kemudian kitarilah pematang
sawah yang akan ditanam padi sambil membacakan doa Kidung Rumeksa
Ing Wengi ini terutama pada bait pertama. Semua hama akan menjadi
takut dan tidak akan menyerang tanaman padi. Apa bila kamu akan
berangkat perang melaksanakan tugas negara, lafalkanlah doa ini saat
memegang nasi, lalu kunyah dan telan sampai tiga kali puluan (suapan).
Musuh kita akan merasa ngeri, pergi tidak ada yang akan melawan dan
akhirnya tidak menjadi perang dan akhirnya semua selamat.47
Dari berbagai penjelasan tentang arti atau maksud dari Kidung
Rumeksa Ing Wengi di atas sangatlah jelas dan lugas, sebenarnya inti laku
pembacaan kidung tersebut adalah agar kita senantiasa mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan
malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk
senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun fungsi dari kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung
itu, diantaranya yaitu: penyembuh segala macam penyakit, pembebas

46
Achmad Chodjim, loc. Cit., hlm.29
47
R.Wiryapanitra, op. cit., hlm. 39-41
56

pageblug, mempercepat jodoh bagi perawan tua, penolak bala’ yang


datang di malam hari, sepeti teluh, santet, hama dan pencuri, menang
dalam perang, memperlancar cita-cita luhur dan mulia.48
Semuanya itu harus didasari dengan keimanan, karena orang yang
teguh kepercayaannya, kokoh itikatnya, matang tauhidnya, tidak akan
terkena sihir atau tenung atau modhong. Dia ikhlas karena Allah,
menyerahkan diri sepenuh hati akan segala nasibnya kepada Tuhan, di
samping berusaha keras memenuhi segala syarat-syaratnya. Kecuali itu dia
percaya dan yakin bahwa segalanya akan kembali kepada-Nya. Maka
segala puja dan puji hanya teruntuk kepada-Nya. Berlindung diri kepada-
Nya, beriman hanya kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada
sesuatu yang menyekutui-Nya.49

48
M. Heriwijaya, loc. cit., hlm.45, dan http://www.jawapalace.org/kidungpurwajati.html
49
Umar Hasyim, Syetan Sebagai Tertuduh Dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan
dan Azimat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1991, hlm.182

Anda mungkin juga menyukai