PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui secara singkat Perkembangan Sastra Islam
2. Untuk mengetahui riwayat tentang Helvy Tiana Rosa
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2
formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11—12). Seorang religius adalah orang
yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari
sekadar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia
ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya sekaligus religius,
tetapi tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama tertentu, yang
terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius. Moral adalah
menjunjung tinggi sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat
serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia.
Tindakan yang memaksakan kehendak, apalagi dari pihak yang lebih
berkuasa, apa pun wujud itu, adalah perbuatan yang tidak manusiawi, tidak
religius. Kehendak yang dipaksakan itu yang jelas tidak sejalan dengan kehendak
pihak yang dipaksa, menghilangkan kebebasan pribadi, menurunkan harkat
kemanusiaan. Hal semacam ini sudah tampak dalam novel-novel Indonesia pada
awal pertumbuhannya dalam wujud pemilihan jodoh. Gejala itu, walaupun oleh
pengarang mungkin lebih ditekankan sebagai pesan kritik sosial, terkandung
perjuangan menegakkan kebebasan manusiawi, pesan moral religius (dalam
Nurgiyantoro, 2002:327). Menurut Vries, (dalam Santosa et al, 2004:1) wacana
sastra keagamaan dalam khazanah sastra Indonesia mendapat sambutan meriah
dari sastrawan untuk diproduksi dalam bentuk hikayat, prosa, drama, dan puisi.
Cerita-cerita Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ditulis
berdasarkan kitab suci agama Kristen/Nasrani itu sesungguhnya juga merupakan
bentuk karya sastra; di dalamnya terdapat kisah “Di Dalam Taman Eden”, “Dosa
Pertama”, dan “Banjir Besar” yang mengacu pada kisah Adam-Hawa, Kabil-
Habil, dan Nuh. Meskipun merupakan karya terjemahan dari bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia, buku tersebut telah menunjukkan contoh wacana
keagamaan yang diaktualisasikan dalam bacaan anak-anak dan umum.
Selanjutnya, menurut Hanafiah dan Hasan (dalam Santosa et al, 2004:1)
kesusastraan Indonesia lama telah mengenal kisah tentang nabi-nabi Kisasul
Anbiya atau surat Al-Anbiya. Karya itu juga merupakan contoh wacana sastra
keagamaan yang ditulis berdasarkan kitab suci Alquran, kitab suci umat Islam,
yang di dalamnya, antara lain terdapat “Kisah Nabi Adam Alaihissalam” dan
“Kisah Nabi Nuh Alaihissalam”. Dengan demikian, sejak awal perkembangan
sastra Indonesia, sudah ada suatu kecenderungan umum untuk menulis masalah
keagamaan menjadi karya sastra. Untuk itu, sastra keagamaan menarik untuk
dijadikan objek penelitian karena ada hubungan erat antara karya sastra dan
agama.
Genre sastra seperti itu merupakan hasil perpaduan dari dua kebudayaan
yang berlatar belakang berbeda, yaitu budaya bangsa sendiri dan yang terkandung
dalam ajaran agama yang telah dihayatinya sebagai kepercayaan yang dipegang
teguh oleh sastrawan dan diekspresikan kembali dalam bentuk karya sastra.
Semua bentuk karya sastra seperti itu juga menunjukkan adanya reaksi aktif
pengarang Indonesia dalam menghayati makna kehadiran keagamaan yang
dipeluknya dengan teguh. Jadi, banyak hal yang dapat digali dalam karya sastra
keagamaan itu dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, sastra Islam
menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari sejarah perkembangan sastra Indonesia.
3
2.2 Helvy Tiana Rosa
Kutipan Helvy Tiana Rosa : ingin mencerahkan sesama. Kemunculan
penulis perempuan yang kian menunjukkan eksistensinya semakin memperkaya
khasanah dunia sastra Tanah Air. Mereka datang dengan ciri khas serta
keunikannya masing-masing. Salah satunya adalah Helvy Tiana Rosa. Bagi
penggemar karya tulis fiksi bernuansa Islami, namanya pasti tidak asing lagi.
Karya-karya Helvy mampu menggugah rasa kemanusiaan pembacanya.
Sebagian besar diolah dalam bingkai sastra Islami. Putu Wijaya bahkan menyebut
karya Helvy adalah sastra zikir dan meditasi.
Helvy terlahir di keluarga yang kental darah seninya, sang ayah Amin Usman
adalah penulis lirik lagu Jangan Ada Dusta Di Antara Kita yang dipopulerkan oleh
Dewi Yull. Bakat seni Helvy dalam bidang tulis menulis sudah terlihat sejak kecil
karena kegemarannya membaca dan menulis. Meski demikian ia mengaku
termasuk orang yang tak percaya pada bakat. Menurut Helvy, peran bakat dalam
menulis itu hanya sebesar 10 persen, sementara yang 90 persennya lagi adalah
tekad. Selain tekad, juga harus latihan.
“Meski orang tua saya memang memiliki darah seni, ayah saya penulis lagu,
ibu saya penari. Tapi, saya merasa kemampuan saya dalam menulis karya-karya
sastra ini karena dari tekad saya dan latihan. Bakat itu bonus dari Allah,” ujarnya.
Sejak kelas 1 SD, putri dari Maria Eri Susianti ini sering mencorat-coret di buku
untuk menulis catatan harian. Kelas 3 SD tulisannya sudah dimuat di majalah
anak-anak dan koran, dan ketika kelas 6 SD ia sudah menulis cerpen. Awalnya,
karena terlahir dari keluarga yang sederhana, selain karena hobi, menulis juga
untuk membiayai sekolahnya. Waktu itu ia berpikir cara mencari uang yang cepat
adalah dengan menulis. Ketika SMP, tulisan Helvy bahkan sudah dimuat di Koran
Sinar Harapan. Dalam kurun waktu tahun 1980-1990 memenangkan berbagai
perlombaan menulis tingkat provinsi dan nasional. Buku yang paling
menginspirasinya dalam menulis menurutnya adalah buku karya Toto Chan.
Ketika masih anak-anak, cita-cita Helvy sebenarnya terbilang sederhana. Ia
mengaku ingin bisa berbicara di hadapan orang banyak dengan baik dan lancar,
juga bisa menulis semua gagasan, pikiran-pikirannya dengan baik dan lancar.
“Kita harus terampil membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Dengan
keterampilan yang saya miliki tersebut akhirnya saya manfaatkan untuk menulis
dan membuat karya,” jelas Helvy.
Karena sejak kecil ia sudah bertekad bahwa menulis adalah bentuk
keterampilan yang harus bisa dilakukan dan dikuasainya, maka setiap kali ia
menulis selalu ada inspirasi karena sedari kecil ia sudah banyak membaca karya
sastra. Setiap dia membaca, dia pun mengaku selalu berpikir sebaiknya dia
menulis. Akhirnya, ia pun mencoba untuk menulis. Menulis buat Helvy malah
bisa jadi salah satu obat jiwa yang sakit. Ia banyak bertutur tentang cerita haru
orang-orang yang tadinya sama sekali merasa tidak punya harapan, akhirnya
tercerahkan.
4
Sebagai seorang muslimah maka pada tahun 1988 ia mulai mengangkat
tema-tema bernuansa Islami. Meski dikenal sebagai penulis yang mengangkat
tema Islami, Helvy ingin karyanya universal dan dapat dinikmati oleh semua
penganut agama. perempuan kelahiran Medan, Sumatera Utara, 2 April 1970 ini
menyelesaikan S1 di Fakultas Sastra UI jurusan Sastra Arab dan S2 jurusan Ilmu
Susastra Fakultas Ilmu Budaya UI. Meski berlatar belakang pendidikan sastra,
namun Helvy menekankan kalau menulis itu tidak mengandalkan latar belakang
pendidikannya. Menurutnya yang terpenting adalah tekad dan latihan.
Menurutnya, meskipun tidak mempunyai latar belakang sastra, sangat bisa untuk
menjadi sastrawan, tergantung bagaimana mengasahnya. “Contohnya anak saya
Faiz suka bilang; Bundaku, aku mau jadi Presiden yang penulis atau atlet yang
sastrawan, seperti halnya Taufik Ismail sastrawan yang dokter hewan,” kata
Dosen Berprestasi UNJ tahun 2008 itu.
Puluhan judul buku, berupa kumpulan cerpen, novel, cerita anak, drama,
kritik sastra, kumpulan esai, kumpulan puisi, dan sejumlah antologi telah berhasil
dihasilkannya. Beberapa di antaranya, baik cerpen maupun tulisan-tulisan dalam
bentuk esai juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Arab,
Jepang serta Swedia. Novelnya Mc Alliester misalnya, pertama kali terbit di
London, Inggris. Novel ini merupakan novel bersambung di majalah Inthilaq dari
bahasa Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di
samping itu, ia adalah editor puluhan buku dan kerap diundang sebagai juri dalam
berbagai sayembara penulisan di dalam dan luar negeri. Karena dedikasinya yang
tinggi pada dunia tulis menulis, karya-karyanya pun mendapat pengakuan dengan
keberhasilannya meraih sejumlah penghargaan sastra. Cerpennya “Jaring-Jaring
Merah”, yang menggambarkan kehidupan dan kekerasan masyarakat di Nangro
Aceh Darussalam misalnya, menjadi salah satu cerpen terbaik majalah sastra
Horison dalam satu dekade (1990-2000). Namun karena cerpennya itu pula, ia
pernah diancam akan dibunuh. Penyebabnya, karena salah satu tulisannya
mengenai kasus bom di Aceh. Tapi menanggapi teror-teror itu, Helvy
menganggapnya hanya ulah penggemar.
Atas kontribusi dan perannya mengembangkan sastra Islami dan membina
banyak penulis muslim, Eramuslim dalam rangka Milad ke-6 memilih Helvy
Tiana Rosa sebagai salah satu penerima eramuslim award. Tapi Helvy sendiri
mengaku sebenarnya tidak pernah mengharapkan penghargaan-pengghargaan itu.
Tak hanya piawai menulis cerpen, Helvy juga piawai menulis cerpen puisi.
Puisinya yang berjudul Fi Sabililah memenangkan Sayembara Penulisan Puisi
tingkat nasional yang diselenggarakan Yayasan Iqra (1992) dengan Ketua Dewan
Juri HB. Jassin dan lain-lain.
Di sela-sela kesibukan menulis karya sastra, ia juga pernah bekerja sebagai
redaktur dan pemimpin Redaksi Majalah Annida selama 10 tahun. Sebuah
majalah bernuansa Islami yang ditujukan untuk remaja. Di samping menulis puisi
dan cerpen serta sebagai redaktur, ia juga menulis 10 naskah drama dan
5
menyutradai pementasan-pementasan teater Bening di Gedung Kesenian Jakarta,
Taman Ismail Marzuki, dan keliling Jawa serta Sumatera. Teater Bening adalah
teater yang anggotanya mayoritas perempuan. Teater ini didirikan Helvy ketika
dia masih aktif sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra UI pada tahun 1990.
Tak hanya aktif sebagai penulis, ibu dari Abdurrahman Faiz dan Nadya Paramitha
ini juga dikenal sebagai motivator bagi para penulis pemula. Ia ingin agar menulis
menjadi sebuah kegiatan seperti halnya makan. Karenanya, Helvy ingin agar di
seluruh pelosok negeri ini, kegiatan menulis menjadi sebuah kegiatan rutin yang
harus terus menerus dilakukan.
Untuk mewujudkan obsesinya itu, Helvy kemudian mendirikan Forum
Lingkar Pena (FLP) pada tahun 1997. FLP merupakan sebuah forum penulis
muda beranggotakan lebih 7000 orang yang tersebar di 125 kota di Indonesia dan
mancanegara. Ia terpilih sebagai Ketua Umum FLP (1997-2005). Dalam kapasitas
dan pengalamannya sebagai pendiri sekaligus ketua umum FLP, membuat ia
secara rutin diundang memberikan ceramah dan pelatihan penulisan karya sastra
keliling Indonesia dan luar negeri. Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand,
Hongkong, Jepang, serta pernah membacakan karyanya di Universitas Al Azhar,
Kairo, Mesir (2002) adalah negara-negara yang sudah dikunjungi Helvy dalam
memotivasi kegiatan menulis fiksi. Bahkan di tahun 2003, ia diminta
menyampaikan ceramah sastra di Universitas Michigan dan Universitas
Wisconsin, Amerika Serikat.
Selain itu, bersama teman-temannya di FLP, ia mendirikan dan mengelola
“Rumah baCA dan HAsilkan karYA” (Rumah Cahaya) yang tersebar di berbagai
kota di Indonesia. Selama 11 tahun keberadaannya, bekerjasama dengan puluhan
penerbit, FLP telah meluncurkan lebih dari 1000 judul buku. Teori sastra modern
yang mengatakan ketika tulisan dilempar ke publik maka pengarangnya sudah
mati karena dia telah menjadi milik publik, tidak disetujui oleh Helvy karena hal
itu menurutnya dapat membuka celah bagi penulis untuk lepas tangan atas
karyanya. Padahal menurutnya, penulis yang baik adalah penulis yang dapat
mempertanggungjawabkan karyanya dari mulai niat membuatnya sampai karya
itu dilempar ke publik bahkan sampai pengarang itu meninggal.
Pemikiran itu pulalah yang melatarbelakangi Helvy membentuk FLP, sebab
ia tidak ingin sendiri berpendapat seperti itu, tetapi orang juga mempunyai
gagasan yang sama bahwa menulis itu untuk mencerahkan orang lain, menulis
dengan hati nurani, berkumpul bersama dan membina generasi yang lebih muda
untuk ikut menulis.
Pengalaman lainnya yang pernah digeluti Helvy adalah Ketua Departemen
Litbang Yayasan Prakasa Insan Mandiri (1997-2002), Litbang Senat Mahasiswa
UI (1994-1995, dan Litbang Senat Mahasiswa FSUI (1993-1994). Karena
dedikasi dan semangat yang dikobarkan Helvy dalam dunia tulis menulis
membuat surat kabar Tempo menyebutnya sebagai “Lokomotif Penulis Muda
Indonesia”
6
Kesibukan sehari-hari Helvy Tiana Rosa, selain sebagai pengarang adalah
dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Jakarta. Istri dari Tomi Satryatomo, ini pernah menjadi
Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006).
Bagi Helvy sebagai seorang muslim, segala sesuatu yang dijalani mulai dari
bangun tidur hingga tidur lagi harus bernilai ibadah. Oleh karena itu ia menulis
dengan mengikuti hati nuraninya. Ketika ia menulis, ia berusaha menghasilkan
karya yang bernilai ibadah.
Kalaupun banyak orang yang mengatakan tulisannya itu sastra Islami,
sebenarnya itu bukan datang dari Helvy melainkan dari penilaian mereka. Walau
demikian, untuk hal tersebut Helvy tak mengelak. Karena menurutnya itulah
pikiran, perasaan, dan perjuangannya. Ia hanya ingin tulisannya tersebut dapat
memberikan kebaikan bagi umat dan bernilai pahala di sisi Allah. Dan yang
terpenting, bila sudah menyangkut dengan urusan ibadah, setidaknya ia bisa
merubah orang yang “ambisius dan rakus”.
Dalam setiap tulisannya, Helvy berharap bisa mencerahkan para
pembacanya, sekaligus bisa membuat mereka tergerak. Tentunya menurut
pengarang buku “Pelangi Nurani” itu, orang yang pertama kali tergerak dan
tercerahkan adalah si penulis. Karena tulisan yang baik itu adalah tulisan yang
bisa mencerahkan dan membuat si penulis maupun orang yang membacanya
bergerak dalam artian setelah membaca tulisan itu dapat melakukan sesuatu yang
lebih baik. Jadi ada efeknya, begitulah pendapat mantan anggota Komite Sastra
Dewan Kesenian Jakarta itu.
Sebelum namanya banyak dikenal orang, Helvy menapaki jalan panjang
menjadi seorang penulis, di masa awal memulai karirnya ia sering kali
mendapatkan penolakan. Namun hal itu tak mematahkan semangatnya untuk terus
menulis. Tulisan yang ditolak itu kemudian diperbaikinya hingga ada penerbit
yang mau memuatnya. Buah kerja keras serta semangat pantang menyerahnya kini
dapat dipetiknya. Keadaan telah berbalik, jika dulu penerbit yang telah menolak
karyanya yang bernafaskan Islam, kini malah mengejarnya dan minta satu naskah
buku.
Sejak dikenal sebagai penulis bernuansa Islam, ia sering diundang ke
sejumlah tempat. Hampir seluruh Indonesia pernah ia sambangi untuk mengisi
pelatihan sampai masuk ke hutan, ke pabrik, dan ke kelompok anak petani.
Kepiawaiannya menulisnya bahkan menghantarkan namanya terdengar hingga ke
luar negeri, Mesir sampai ke Amerika Serikat yang penduduknya non muslim
mengundang pendiri Teater Bening itu lantaran tertarik dengan karya Islami.
Helvy telah memenangkan sedikitnya 20 kejuaraan tingkat nasional, di antaranya
sebuah lomba esai yang memberinya hadiah Rp100 juta.
Disinggung mengenai dua profesi yang dijalaninya, yakni penulis dan dosen,
Helvy mengakui kedua profesi itu sangat mendukung. Karena, kebanyakan orang
tidak mengira bahwa kegiatan menulis sudah menjadi profesinya sekarang ini.
“Sampai sekarang ini saya kalau ditanya pekerjaannya apa, pasti saya langsung
7
jawab sebagai pengarang. Menjadi dosen itu bagi saya adalah hobi. Karena,
penghasilan yang paling besar yang saya dapat adalah dari mengarang. Untuk
kualifikasi S2, untuk gaji dosen, golongan III B itu sangat kecil sekali. Itu tak
akan cukup. Tapi, dengan menjadi dosen, saya dapat mengajar yang merupakan
hobi saya. Dua-duanya saya senang menjalaninya. Saya merasa sayang sekali
kalau ilmu yang saya miliki tidak dimanfaatkan dan dikembangkan,” ujarnya
menjelaskan.
Dalam proses kreatifnya membuat suatu karya tulis, ia mengaku tidak
pernah membuat kerangka tulisan. Alasannya sederhana saja, capai. “Selama ini
saya hampir tak pernah menulis kerangka. Tapi, kalau untuk penulis pemula
seharusnya membuat kerangka tulisan terlebih dahulu. Tapi, ketika sudah mahir
menulis, sebaiknya lepaskanlah kerangka-kerangka itu,” nasihat Helvy.
Helvy juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib dan
kesejahteraan para penulis, terlebih di masa tuanya. Ia berharap agar pemerintah
lebih memerhatikan dan melindungi karya anak bangsa. Selain itu, seharusnya
pajak terhadap penulis sudah selayaknya dihapuskan.
Menurutnya, sudah sepantasnya juga kreativitas lebih dihargai lagi.
Memperbanyak penghargaan terhadap karya sastra, penulis sastrawan baik yang
tua dan muda. Pemerintah juga perlu menyosialisasikan buku sastra ke sekolah.
Terakhir, sebaiknya pemerintah memperbanyak rumah baca demi menggalakkan
kebiasaan membaca.
Obsesinya yang lain adalah ingin membuat sebuah buku, novel, atau
kumpulan cerpen yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa di dunia. Sejauh ini
cerpen-cerpen karangannya sudah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa. Ia ingin
punya satu buku khusus yang diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa. Selain itu,
pemerintah sebaiknya mempermudah penerjemahan karya sastra. Sehingga, buku
Indonesia juga dapat dijual ke luar negeri. Jadi, jangan hanya karya orang luar saja
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tapi karya anak bangsa Indonesia
juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain di dunia.
Bagi Helvy, aktivismenya untuk menggadang Sastra Islami di Indonesia,
bahkan dunia, bukanlah sebentuk aktivisme ideologis belaka. Helvy menyatakan
bahwa Sastra Islami sebetulnya "memotret hal-hal yang humanis". Baginya,
Sastra Islami adalah sastra yang "membangun spirit yang baik" bagi umat Islam,
masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Itulah sebab, baginya, seorang Kristen
Maronit seperti Kahlil Gibran pun karya-karyanya Islami. Helvy juga pernah
mengatakan bahwa “islam itu ramah, Islam itu cinta, Islam itu indah."
8
BAB 3
KESIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.umm.ac.id/22111/2/jiptummpp-gdl-nurwardhan-42796-2-
babi.pdf
http://biografi-penulis.blogspot.com/2015/04/biografi-helvy-tiana-rosa.html
10