Lahirnya berbagai ragam paham dan estetika karya sastra Indonesia, yang
kemudian melahirkan berbagai ragam paham pembacaan terhadap karya sastra itu,
profetik dalam kesejarahannya tidak bisa luput dari pembicaraan terhadap suatu
Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini” (Ed. Hoerip, Cet. II, 1982:137-146).
hari?”
1
Penulis adalah seorang penyair, alumni Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Purwokerto.
2
keagamaan itu, “... adakah motif-motif itu mempunyai dasar-dasar yang kuat dan
masuk akal?” (Editor Hoerip, Cet. II, 1982:139). Persoalan tersebut dianalisis dan
dijawab oleh Goenawan Mohamad yang berujung bahwa “...kita belum dapat
menemukan alasan yang bertanggungjawab bagi genre sastra keagamaan itu untuk
hadir dalam kesusastraan kita dewasa ini. Meskipun demikian, adakah hal itu
“Saya kira prinsip ini sesuai dengan posisi sastra keagamaan itu
dan fungsinya yang khusus: fungsi yang tidak bermaksud untuk
mengislamkan pembaca atau mengkristenkannya, melainkan fungsi untuk
membantu pembaca dalam menyelesaikan sendiri persoalan hidupnya.
Dari sinilah mutu sastra keagamaan bisa kita perbaiki, sebab
prinsip tersebut sesuai dengan kodrat kesusastraan, yakni demokratik,
sehingga pada perkembangan selanjutnya sastra keagamaan tidak identik
dengan khotbah-khotbah yang dibungkus dalam sajak, novel ataupun
reportoire” (Editor Hoerip, Cet. II, 1982:145).
religi” dan “sastra religius”, “sastra profetik” dan “sastra sufistik” atau “sastra
Hal itulah apresiasi awal dari kehadiran genre sastra keagamaan sebagai
bentuk seni sastra dan pemikirannya di awal tahun 1960-an, dengan munculnya
Pemikiran Goenawan Mohamad tersebut bisa dijadikan rujukan awal tentang apa,
Bahkan, pada masa ditulisnya artikel tersebut oleh Goenawan Mohamad (di
bagian bawah artikel itu tertulis “Jakarta, 7 Juli 1964”), bersamaan dengan
Esa”). Di antara kaum Manifes Kebudayaan ini adalah Taufiq Ismail, yang pada
masa itu menulis sajak-sajak yang kemudian diterbitkan sebagai buku puisi
Benteng (1966) dan Tirani (1966). Kedua buku puisi itu menjadi bagian penting
berpendapat bahwa :
Dimyati, Aoh K. Hadimaja, dan lainnya. Begitu juga dalam novel yang secara
(1938), dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1939), Merantau ke Deli (1940),
tentang Islam. Islam bukanlah sekadar masalah teologi, tetapi juga soal
mu’amalah. Dalam hal ini, justru yang dipermasalahkan dalam novel-novel karya
Hamka adalah perkara muamalah, yang tidak kalah mutunya, baik dari aspek
Marah Rusli, atau Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di Bawah
soal yang mendasar dalam Islam yaitu perbedaan kelas. Adapun kepergian tokoh
melaksanakan rukun Islam (haji), yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim
Dalam novel itu (Di Bawah Lindungan Ka’bah) Hamka juga mengungkap
sesuatu hal penting, yang sering diabaikan oleh banyak kaum terpelajar
kita: Ternyata Makkah dan Kairo juga merupakan tempat penting
penggodokan semangat nasionalisme. Keindonesiaan dan keislaman
dengan demikian telah lama menyatu dalam diri putra-putri Indonesia, dan
tidak dapat diperdebatkan dengan dalih apapun.
Begitu pula masa Angkatan Pujangga Baru, buku puisi Nyanyi Sunyi
(November 1937) dan Buah Rindu (Juni 1941) karya Amir Hamzah, dan karya
Sanusi Pane Puspa Mega (1927) dan Madah Kelana (1931), dapat dinilai sebagai
buku Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (Gunung Agung, 1962), dia
menyimpulkan bahwa:
“Amir Hamzah adalah penyair besar dan religius yang meletakkan tradisi
besar kesusastraan Indonesia modern. Kemurnian dan nada
kepenyairannya tak dapat ditiru, kerinduannya kepada Tuhan, niscaya akan
menempatkan kepenyairannya melampaui batas-batas angkatan serta
lingkungan geografis dan sosial.” (Editor Yusra, 1996:8).
dalam novel Atheis (1949) karya Achdiat K. Miharja, Tuan Direktur (1952) karya
Hamka, dan Jabal el-Nur (1955) karya Bachrum Rangkuti. Begitu pula halnya
dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dan novel Kemarau karya A.A.
pengikut tarekat, yang hidup di lingkungan budaya modern yang sudah dipenuhi
pandangan individualis, atheis, marxis, sosialis, bahkan anarkis. Novel Atheis ini
dengan kita menyimak karya Toto Sudarto Bachtiar, sebagai representasi dari
7
puisi lugu atau mbeling, 4) puisi yang menonjolkan latar sosial budaya Nusantara
(daerah), 5) puisi lirik yang masih meneruskan gaya perpuisian Angkatan 45.
berkembang ke arah puisi mistik, yang di Indonesia dikenal dengan nama puisi
sufistik, yaitu puisi yang bernafaskan sufistik atau mistik Islam, yang mengikuti
pandangan ketuhanan para tokoh sufi (1995:49-55). Namun, dalam periode 1970-
1990 versi Rachmat Djoko Pradopo itu genre sastra keagamaan tidaklah
puisi. Padahal menurut pembacaan penulis, justru pada periode inilah tumbuh
tumbuh suburnya sastra sufi pada periode 1970-1990 ini sebagai “Oposisi Sastra
Sufi” terhadap represi sosial politik yang dilakukan oleh negara pada masa rejim
Para penyair yang menonjol pada awal tahun 1970-an adalah mereka yang
sudah menulis sejak awal tahun 1960-an. Pada periode ini, sastrawan yang karya
Benteng, 1966; dan Tirani, 1966), Kuntowijoyo (kumpulan sajak Suluk Awang-
uwung, 1975; Isyarat, 1976; Makrifat Daun Daun Makrifat, 1995), Sutardji
Calzoum Bachri (kumpulan sajak 1966-1979, O Amuk Kapak, 1981), dan Abdul
pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak
Angin, Madura: Luang Prabhang, Pembawa Matahari, dan Tuhan Kita Begitu
Dekat).
nilai keagamaan Islam periode sesudah tahun 1970, yaitu: Emha Ainun Nadjib
Jumlahnya, Lautan Jilbab, Cahaya Maha Cahaya, Syair-syair Asmaul Husna, dan
masih banyak lagi lainnya), di samping itu D. Zawawi Imron (Bulan Tertusuk
Lalang, 1982; Nenek Moyangku Airmata, 1985, dan masih banyak lagi lainnya).
Suryadi AG, 1987) yang puisinya dominan pemikiran religi atau religiositas,
Taufiq Ismail, Motinggo Busye, Ajip Rosidi, Apip Mustopa, Arifin C. Noer,
pemikiran religi atau religiositas, bahkan latar kehidupannya santri (kaum agama)
di antaranya: Sutardji Caloum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Nadjib
Wachid B.S., Ulfatin Ch, dan Jamal D. Rahman. Penyair selain yang tercantum
dalam buku tersebut, tetapi pemikirannya senafas ialah puisi Abidah El-Khalieqy
Munculnya gerakan sastra sufistik sejak 1970-an, dan masih marak hingga
dalam sejarah sastra Indonesia (Hadi W.M., 2004:201). Demikian pula dengan
munculnya gerakan sastra transendental, yang oleh Abdul Hadi W.M. dipandang
sebagai bagian dari sastra sufistik (1999:23), tetapi oleh konseptornya yaitu
(2013:9), justru dari sinilah perdebatan dan pencarian sastra keagamaan Islam
dimulai.
Sastra Profetik
dan Suara MIAI (Jakarta). Perdebatan berlanjut sampai pertengahan 1950-an dan
Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1939) yang ditulis oleh Hamka, seorang
ulama. Dari kalangan yang menolak roman menilai bahwa tidaklah pantas seorang
pendapat E.U. Kratz (dalam Hadi W.M., 2004:2002), pada masa itu masih begitu
kuat anggapan bahwa menulis roman itu dilarang dalam Islam. Anggapan itu
muncul sebab kekhawatiran atas pengaruh buruk dari roman, khususnya kepada
yang kolot, kawin paksa, poligami demi kepuasan nafsu, dan pembedaan kelas
yang masih berlaku dalam masyarakat yang beragama Islam, padahal hal-hal itu
bertentangan dengan ajaran Islam. Namun demikian, roman semacam itu justru
dikecam oleh kalangan muslim itu sendiri. Di samping itu, Balai Pustaka
Pada ranah puisi, pada tahun 1940-an setelah pendudukan Jepang, para
Islam dimungkinkan kian maju (Hadi W.M., Ibid.). Akan tetapi, optimisme baru
itu segera padam sebab selama masa pendudukan Jepang, sensor-sensornya justru
keagamaan Islam. Dikatakan oleh M. Dimyati (dalam Hadi W.M., Ibid.), ulama
pendidikan Islam pengajaran sastra diabaikan sehingga tradisi sastra Islam yang
pernah berkembang pada abad 16-18 M menjadi merosot. Penulis muslim modern
kesusastraan Islam.
keagamaan ialah tidak adanya karya sastra Islam yang mendalam, di samping itu
persilangan fikih, halal ataukah haram. Sampai muncul sebuah dokumen yang
12
disebut Amanat Putih, yang disiarkan oleh para budayawan Muslim pada tahun
1956, berisi menyesalkan tidak adanya pengakuan dari pengamat sastra terhadap
karya sastra keagamaan Islam. Pada tahun 1956 itu juga melalui Simposium
Kebudayaan Islam, Pelajar Islam Indonesia (PII) menyatakan bahwa seni tidak
dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan apabila tujuan dan pengaruhnya baik.
Simposium tersebut juga menyatakan bahwa seni Islam ialah seni yang
bernapaskan Islam, dan membawakan pandangan dan sikap hidup Islam, hal ini
hanya dapat dihasilkan oleh seniman yang mendalami ajaran Islam (dalam Hadi
W.M., 2004:204).
Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”. Dia mengidentifikasi ada dua hal sebagai
Islam berada pada area motif kedua, yaitu motif-motif di luar kesusastraan, yakni
wacana kebudayaan lain selain dirinya. Perdebatan antara Lekra dengan kaum
Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam Kongres Nasional Pertama Lekra di Solo 22-
cara pandang Lekra itu, dan melawan, yang kemudian melahirkan “Manifes
Oktober 1963). Akhir perdebatan periode ini bukan saja perdebatan pemikiran
ditujukan kepada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka (1939).
14
Abdullah Said Patmadji di surat kabar Bintang Timur (5 dan 7 Oktober 1962)
sebuah media massa yang dikuasai Lekra, secara terbuka menjatuhkan nama
Hamka Plagiat!” Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai
plagiasi dari novel Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr (1832), yang
Tenggelamnya Kapal van der Wijck bukanlah saduran ataupun terjemahan (harfiah
atau bebas) dari karya Alphonse Karr ataupun Luthfi al-Manfaluthi sebab Hamka
pengungkapan sendiri demikian kuat hingga tak dapat orang bicara tentang
jiplakan, kecuali kalau tiap pengaruh mau dianggap jiplakan. Salah satu adat
Minang yang ditentang oleh Hamka karena berlawanan dengan agama yang
mahasiswa, dan tergulingnya para pemimpin yang dianggap korup dan menindas
pandangannya terhadap sastra keagamaan Islam. Pada tahun 1968 cerpen “Langit
Makin Mendung” dituduh telah menghina agama dan golongan tertentu. Tuduhan
Jibril, dan 3. merendahkan dan menolak sendi-sendi agama Islam lainnya dengan
bukanlah Tuhan yang imajiner, tapi Tuhan yang sesungguhnya; 2. Nabi dan Jibril
yang diceritakan itu bukanlah Nabi dan Jibril yang imajiner, tapi Nabi dan Jibril
yang sesungguhnya, dan 3. seluruh cerita itu adalah laporan sejarah dan bukan
mengecek kebenaran tuduhannya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa, Nabi dan Jibril
yang historis, apakah mereka itu sungguh-sungguh merasa terhina oleh lukisan
tersebut dimuat tetap tidak mau mengungkap siapa yang bersembunyi di balik
nama samaran Kipanjikusmin itu. Akibatnya, H.B. Jassin sendiri yang berhadapan
Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka dituding sebagai karya plagiasi
di surat kabar Bintang Timur dan Suluh Indonesia oleh seniman-seniman Lekra,
H.B. Jassin meluruskan tudingan itu. Menurut H.B. Jassin bahwa Hamka sejak
yang cerah dalam cerpen itu, yang sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan
Muhammad ini :
dapat dimaknai sebagai upaya mencari “”bentuk” dan “isi” seni sastra keagamaan
Islam, yaitu masalah estetika dan sastra sebagai media “dakwah”. Dua aspek
17
Istilah “sastra keagamaan” yang digunakan pada awal perdebatannya tahun 1930-
dari sastra keagamaan seperti “sastra religius” dan “sastra religius Islam”, “sastra
“adalah bersikap kreatif, yang membawa kita ke arah cara berpikir yang dialektik,
sehingga segala macam ortodoksi setapak demi setapak akan luntur, demikian
pula segala macam fanatisme dan segala bentuk sektarisme”. Dari kesadaran
sastra yang lebih baik? Tak dapatkah orang sekarang menggunakan sistem nilai
menjelaskan bahwa:
amanat dengan cara menyodorkan jawaban yang sudah jadi, normatif, dengan
merdeka terhadap teks yang dibacanya sehingga pembaca menjadi jemu dan
bosan.
19
suatu jawaban yang bersemi dalam diri pembaca itu sendiri, dan bukan sebuah
Setiap seni termasuk seni sastra berangkat dari realitas. Tidak ada
keindahan itu tanpa realitas. Di dalam Islam, pemaknaan terhadap realitas itu
beresensi eksistensinya berada kepada kekuasaan Allah, yaitu tiada tuhan selain
Allah (laa ilaaha illallah). Padahal, Allah “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,
Yang Dlahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Huwal
awwalu wal aakhiru wadh dhaahiru wal baathinu wa Huwa bikulli syai-in ‘aliim;
pun tiada terpisahkan antara yang jasmani dan rohaninya sebab tiada realitas yang
keagamaan Islam.
Yang dhahir di dalam karya sastra adalah bahasa yang menjadi medium
bagi yang batin yaitu amanat, yang merupakan pengalaman batin dan pandangan
yang hendak dicapai dalam sebuah karya seni justru pencapaian moral dan
20
makrifat.
religius” dan “sastra religius Islam”, “sastra sufi”, “sastra sufistik”, “sastra
Religiositas ini oleh filsuf profetik Paul Tillich disebut sebagai “dimensi
kedalaman” (“Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama”, Terj. Soe Hok
Djin, Horison, No. 2, Juli 1966, hal. 12). Menurutnya, manusia dapat menjadi
dan kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah semata; yang bergerak
Orang demikian, menurut Paul Tillich, dapat memeluk agama tertentu, tetapi tidak
sebagai keharusan. Dalam konteks itu, dia rupanya memahami dari dua
pendekatan, yakni religiositas yang agamis dan yang nonagamis. Di satu segi,
dan yuridis, sedangkan di segi lain religiositas dipandangnya lebih melihat aspek
yang “di dalam lubuk hati”, sikap personal yang sedikit misteri bagi orang lain.
21
William James yang dikutip oleh Abdul Rozak (“Sastra dan Agama dalam Tiga
Kategori Hubungan”, Horison, No. 5, Th. XX, hal. 166) bahwa manusia religius
tiap kebangkitan religiositas selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat
suatu kebaikan kepada sesama makhluk. Pada konteks kebaikan ini pula, orang
ke arah makna yang baik. Penulis sependapat dengan Syekh Muhammad Abduh,
religi dan religiositas adalah satu kesatuan. Memang hal tersebut lebih islamis, di
dalamnya “demi penuntunan ke arah makna yang baik” merupakan salah satu ciri
yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada
pembaca yang seperti itu amatlah wajar sebab sebagai pembaca yang baik tentu
sajak tentang laut, tentu terlebih dahulu ia mesti mempunyai pengalaman tentang
laut, setidaknya lewat bacaan, dan lebih baik lagi jika dia pernah hadir dalam
situasi objek. Dengan demikian, dia akan dapat memadukan nuansa objek (laut)
kebaikan moralitas pengarang. Jika seorang pengarang tidak meyakini dan tidak
pernah hadir dalam situasi nilai moral yang sedang dia citrakan dalam karyanya,
pengucapan moral dalam karya sastra religius Islam (Hadi W.M., 1985:vii).
Disebabkan pengaruh etik dan estetik al-Qur’an pula, banyak kepustakaan sufi
dalam bentuk puisi yang maha indah, kaya simbol dan imajinasi, serta sangat
puitik. Contohnya dapat dilihat dalam kesungguhan estetis dan etik puisi karya
Jalaluddin Rumi dan Hafiz. Selain karya sufi tersebut, di Indonesia juga ada
karya-karya yang semacam itu, puisi karya Amir Hamzah, Sutardji Calzoum
Bachri, Abdul Hadi W.M., Emha Ainun Nadjib, dan K.H.A. Mustofa Bisri. Karya
mereka tidak hanya berhenti pada estetika, tetapi melalui realitas yang dibangun
transendental.
moralitas dalam karya sastra religius Islam bersumber dari al-Qur’an, tetapi tidak
didasari oleh penafsiran yang sempit. Karya religius semacam itu dapat dijadikan
dan Hadis. Meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral,
sastrawan tetap memiliki kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni, yang
sejalan dengan hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermanfaat
24
(dulce et utile). Jauh hari Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa keindahan
demikian, kesusastraan religius Islam dapat menjadi bagian penting dari gerakan
Postmodern sebab mengaitkan kembali sastra dengan kehidupan yang lebih luas.
yang oleh Abdul Hadi W.M. disebut “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber”
(1999:3). Salah satu buah dari gerakan tersebut ialah lahirlah “sastra sufistik”.
Abdul Hadi W.M. ialah kumpulan cerpen Godlob, Adam Ma’rifat, dan Berhala
karya Danarto, Novel Khotbah di Atas Bukit dan kumpulan sajak Isyarat dan
Fudoli Zaini, dan kumpulan sajak O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri.
25
Di samping itu, karya sastra sufistik tampak dalam beberapa karya Taufiq Ismail,
lainnya.
sebagai sastra sufistik oleh Abdul Hadi W.M., dia menolak kategori-kategori
sastra sufi, sufistik, tasawwuf, dan lain sebagainya. Namun, Emha Ainun Nadjib
berangkat dari tasawuf bahwa “Sastra tasawwufi atau bisa juga disebut sastra
‘isyqy, titik pandangnya hanya satu: Allah.” Dalam hal ini Emha Ainun Nadjib
memilih “Lebih arif untuk berhati-hati dan mengucapkan: Tak ada sastra sufi di
Indonesia.” Hal itu bagi Emha Ainun Nadjib alasannya, “... kita tak bisa mengelak
Dalam perspektif Abdul Hadi W.M. (1999:23), sastra sufistik dapat juga
Apakah sama sastra sufi dan sastra sufistik itu? Sastra sufistik di Indonesia
menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham bagi karya
“Sufi adalah sebuah nama yang diberikan, dan pernah diberikan, kepada
wali-wali dan ahli-ahli kerohanian. Salah seorang Syeikh berkata: Man
saffahu ‘l-hubb fa-huwa safin wa-man saffahu ‘l-habib fa-huwa Suffy;
dialah yang telah dimurnikan oleh cinta adalah murni, dan dia yang telah
terserap dalam Kekasih dan menyangkal selain Dia adalah Sufi.”
dipahami bahwa kepribadian karya sastra sufi merupakan realisasi dari kehidupan
kepribadian seorang sufi, yang telah dimurnikan oleh cinta ketuhanan sehingga
segala cinta kehidupan keduniawian ditolaknya selain cinta kepada Tuhan. Dalam
kemurnian (safa). Bagi para sufi, “Kemurnian (safa) adalah kewalian dengan
sebuah tanda dan hubungan (riwayat), dan tasawuf (tasawwuf) adalah peniruan
lantas merupakan gagasan cemerlang dan nyata, dan tasawuf merupakan tiruan
dari gagasan tersebut. Pengikut tasawuf dalam tingkatan rohani ini dapat
kategori itu :
Sufi ialah dia yang “mematikan” dirinya dan dihidupi oleh Yang Maha
Benar (al-Haqq); dia telah membebaskan diri dari tabiat manusia biasa dan
benar-benar mencapai makrifat. Mutasawwif adalah dia yang berusaha
mencapai tingkatan ini dengan jalan mati raga (mujahadat) dan dalam
pencariannya mencuci tindakan-tindakannya meneladani sufi. Mustaswif
adalah dia yang menciptakan dirinya seperti mereka (sufi) dengan tujuan
mendapatkan uang, kekayaan, kekuasaan dan keuntungan dunia, namun
tak memiliki pengetahuan mengenai kemurnian (safa) dan tasauf.
menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham bagi karya
sastra mereka”, sudah jelas persepsi dan posisi dirinya. Pertama, memposisikan
27
tasawuf dan karya sastra para sufi hanya sebagai sumber ilham, bukan sebagai
sumber acuan perilaku; kedua, sebagai sumber ilham itu hanya bagi karya sastra
penulisnya. Oleh sebab itu, dalam banyak penyebutan di dalam karya tulisnya,
Abdul Hadi W.M. lebih mempersepsi dan memposisikan gerakan sastra ini
sebagai “sastra sufistik”, yaitu sastra yang bersifat sufi (kalau dalam perspektif Al-
karya sastra Indonesia sejak tahun 1970-an itu oleh Abdul Hadi W.M.
Fudoli Zaini, dan Sutardji Calzoum Bachri. Hal itu pun tidaklah teridentifikasi
secara utuh dan jelas akan apa yang menjadi karakteristik konsepsi sufisme
selain hal-hal yang bersifat umum bahwa sastra sufistik berorientasi ketuhanan
Orientasi ketuhanan yang bersumber dari karya sastra para sufi itu justru
dapat ditemukan pada kajian Abdul Hadi W.M. tentang perpuisian Hamzah
Nusantara. Hamzah Fansuri seorang sufi penyair yang hidup dan bekerja di
Sumatera Utara, khususnya di Kesulatanan Aceh, dalam bagian kedua abad 16,
28
dan wafat pada tahun 1590 M, Namun, seorang pakar sastra Indonesia lama dan
dalam sastra Indonesia modern itu bisa saja digali dari sumbernya, sebagaimana
estetika puitika Hamzah Fansuri, yang memang memiliki kepribadian seorang sufi
dalam kehidupannya.
itu? Setiap penyair besar melahirkan karya sastra yang khas, yang memiliki ciri-
sastra sufi Hamzah Fansuri, hal ini bisa menjadi acuan bagi perbincangan wacana
pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian
(musyahadah) bahwa Tuhan itu Esa”. Lebih praktis lagi, Abu al-Wafa al-Taftazani
(1985:6) mengatakan:
Oleh sebab sastra sufi untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana’, maka
yang dialami oleh sufi dalam menempuh ilmu suluk, yang dilukiskan melalui
Ali Utsman al-Hujwiri (sufi abad ke-11 M) dalam Kashf al-Mahjub (melalui Hadi
W.M., 2004:111):
untuk menjumpai Sang Kekasih. Penyair sufi melukiskan perjalanan naik jiwa
Perjalanan naik itu sesuai dengan tatanan kenyataan atau keindahan yang
116). Diungkapkan oleh Md. Salleh Yaapar (2002:83), tatanan tersebut dari bawah
ke atas ialah:
Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam
syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga
alam misal); ketiga, alam jabarut (alam rohani); dan keempat, alam lahut
(alam ketuhanan).
selaras dengan hadis qudsi “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”
hadis tersebut diperdebatkan, tetapi bila ditafsirkan secara benar merujuk kepada
asas tauhid, maka akan relevan untuk menjelaskan pencarian jati-diri sebagai tema
utama dalam sastra sufi. Berkenaan hadis qudsi itu para sufi merujuk kepada ayat
segala penjuru, juga yang ada pada diri mereka sendiri” (sanuriihim aayaatinaa
fii al-aafaaqi wafii anfusihim hattaa yatabayyana lahum annahu alhaqqu awa
semesta dan Tuhan. Sejak abad ke-13 M unsur-unsur tasawuf telah masuk ke
Melayu dan Nusantara mengenal estetika dan puitika sufi. Filosof sufi yang
karyanya berpengaruh luas terhadap sastra sufi di Nusantara ialah Imam al-
Ghazali, Ibnu al-‘Arabi, Abu Nasir al-Sarraj, Abdul Qadir al-Jilani, Abdul Karim
al-Jili, dan lainnya. Menurut Abdul Hadi W.M. (2004:118), sufi lain yang juga
disebut-sebut oleh Hamzah Fansuri dalam risalah tasawufnya ialah Bayazid al-
al-Jami. Para sufi tersebut membicarakan estetika dan seni terkait dengan
teori sastra atau ilmu puitika Islam yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, Abdul
Qahir al-Jurjani, dan lainnya. Dalam pandangan Abdul Hadi W.M. (2004:119),
puitika al-Jurjani sangat relevan bagi penulisan syair dan alegori sufi karena
pesan moral.
32
Hamzah Fansuri bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh al-Jurjani tersebut,
konsentrik (sepusat) karena tertuju pada keindahan Yang Maha Tinggi. Menurut
Imam al-Ghazali :
luar yang dilihatkan dengan mata telanjang dapat dialami oleh anak-anak,
sedangkan keindahan batin dapat dicerap hanya dengan mata hati atau cahaya
33
Penglihatan batin lebih kuat dari penglihatan indra, “hati” lebih peka
dalam melakukan pencerapan dari mata, keindahan yang ditangkap
melalui “akal” lebih tinggi dari keindahan bentuk luar yang tampak pada
mata. Oleh karena itu, kepuasan hati terhadap kemuliaan dan kesucian
objek yang kelihatan dan objek yang terlalu tinggi untuk dicerap oleh
pancaindra berlainan. Keindahan batin niscaya lebih sempurna dan lebih
tinggi nilainya, dan kecenderungan sifat dan pikiran ke arah itu menjadi
lebih besar” (Hadi W.M., 2002:87).
penglihatan batin dan indra dalam perspektif Imam al-Ghazali tersebut dengan
dua sudut-pandang:
sebagai berikut.
(1) keindahan lahir atau bentuk luar yang diperoleh di alam syahadah dan
dapat dicerap indra atau mata jasmani. Tempatnya di alam al-mulk atau
alam nasut. Dalam hubungannya dengan keindahan lahir ini, termasuk
keindahan sensual atau nafsani, yang timbul dari cinta jasmani; (2)
keindahan akliah atau yang hanya menampakkan diri pada akal dengan
bantuan imajinasi, seperti misalnya keindahan sebuah puisi atau lukisan
yang bermutu, yang tidak dapat dicerap semata-mata dengan indra tetapi
menggunakan pikiran. Tempatnya di alam malakut atau mental; (3)
keindahan kalbiah, yang dapat dicerap melalui perenungan kalbu atau
secara intuitif, misalnya kepribadian dan moralitas seseorang atau nilai-
34
Demikianlah pandangan sufi tentang keindahan dalam karya seni, yang hal
tersebut menjadi acuan bagi sastra sufistik di Indonesia, seperti dinyatakan oleh
Indonesia menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham
bagi karya sastra mereka”. Dapat disimpulkan, sastra sufistik secara hakiki seni
wujud hakiki itu Satu, tidak ada suatu realitas pun jika dia tidak ilahiah (laa
ilaaha illallaah, tidak ada Tuhan kecuali Allah), maka segala sesuatu mesti
merefleksikan sumbernya yang asal. Karenanya, seorang sufi penyair Ibn ‘Arabi
seni dan puisi akan mencapai puncaknya apabila didukung oleh pemusatan pikiran
Di mana titik temu antara sastra sufistik gagasan Abdul Hadi W.M. dan
makalahnya:
Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena
tampak aktualitas tidak dicetak oleh roh kita, tetapi dikemas oleh pabrik,
birokrasi, kelas sosial, dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah
kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkret dan empiris
yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan
sastra adalah sebuah kesaksian --- jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama
kita harus membedakan diri dari peralatan indrawi kita.
selanjutnya. Sastra sufi (dan sastra sufistik) melukiskan perjalanan naik jiwa
manusia itu, karenanya dapat disebut sebagai “sastra pendakian” ruhani menuju
Tuhan.
sebaliknya.
36
sastra sufi, sastra sufistik, sastra transendental, hal tersebut menguat dan
mewarnai sebagian besar karya sastra Indonesia sejak 1970-an sampai sekarang,
aspek inilah yang menjadikan karya seni dan sastra akan mencapai puncaknya
sehingga relevan sampai kekinian. Dari pernyataan, baik dari Ibn ‘Arabi maupun
ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang menjadikan karya sastra yang ditulis oleh
Rabindranath Tagore, Kahlil Gibran, dan Muhammad Iqbal dari belahan dunia
Timur mendunia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj.
Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
37
Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan
Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus.
Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.
Tagore, Rabindranath. 2017. Agama Manusia. Yogyakarta: Narasi.
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende, Flores: Nusa Indah.
_________ . 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.
_________. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Tillich, Paul. "Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama", Terj. Soe Hok
Djin. Horison. Jakarta. No. 2 Juli 1966.
Wachid B.S., 2002. Religiositas Alam: Dari Surealisme ke Spiritualisme D.
Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media.
________. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri.
Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari
Press.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.
Yaapar, Md. Salleh. 2002. Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Yusra, Abrar (Ed.). 1996. Amir Hamzah 1911-1946. Jakarta: Yayasan Pradopo,
Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.