Anda di halaman 1dari 40

DINAMIKA PUISI KEAGAMAAN DI INDONESIA

oleh Abdul Wachid B.S. 1

1. Dari Sastra Keagamaan ke Sastra Bernapaskan Islam

Lahirnya berbagai ragam paham dan estetika karya sastra Indonesia, yang

kemudian melahirkan berbagai ragam paham pembacaan terhadap karya sastra itu,

senyampang dengan perkembangan pemikiran kreativitas sastrawan yang hidup di

tengah masyarakat bangsa yang juga berkembang. Membicarakan wacana sastra

profetik dalam kesejarahannya tidak bisa luput dari pembicaraan terhadap suatu

istilah yang di awal perdebatannya disebut sebagai “sastra keagamaan”.

Di awal tahun 1960-an Goenawan Mohamad menulis tentang “Posisi

Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini” (Ed. Hoerip, Cet. II, 1982:137-146).

Goenawan Mohamad “...mempertegas kehadiran suatu genre dalam tubuh

kesusastraan kita, yakni genre “sastra keagamaan” sekaligus mempertanyakan

latar belakang kehadiran sastra keagamaan ini “...hanya bersifat sementara,

ataukah ia cukup mempunyai landasan yang kukuh buat hidupnya di kemudian

hari?”

Selanjutnya, Goenawan Mohamad mengidentifikasi ada dua hal yang bisa

diketengahkan sebagai motif yang melatarbelakangi hadirnya genre tersebut:

Pertama, adalah motif-motif dalam kesusastraan, yakni pencarian identitas


sastrawan-sastrawannya; dan yang kedua adalah motif-motif di luar
kesusastraan, yakni pengaruh penggolongan serta rivalitas antar-golongan
di dalam masyarakat (Editor Hoerip, Cet. II, 1982:138).

1
Penulis adalah seorang penyair, alumni Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Sebelas Maret (UNS), dan menjadi dosen negeri di Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Purwokerto.
2

Namun, Goenawan Mohamad mempertanyakan keberadaaan sastra

keagamaan itu, “... adakah motif-motif itu mempunyai dasar-dasar yang kuat dan

masuk akal?” (Editor Hoerip, Cet. II, 1982:139). Persoalan tersebut dianalisis dan

dijawab oleh Goenawan Mohamad yang berujung bahwa “...kita belum dapat

menemukan alasan yang bertanggungjawab bagi genre sastra keagamaan itu untuk

hadir dalam kesusastraan kita dewasa ini. Meskipun demikian, adakah hal itu

berarti tidak mungkinnya sastra keagamaan diketengahkan, sekarang ini?”

Goenawan Mohamad menyimpulkan bahwa :

“Saya kira prinsip ini sesuai dengan posisi sastra keagamaan itu
dan fungsinya yang khusus: fungsi yang tidak bermaksud untuk
mengislamkan pembaca atau mengkristenkannya, melainkan fungsi untuk
membantu pembaca dalam menyelesaikan sendiri persoalan hidupnya.
Dari sinilah mutu sastra keagamaan bisa kita perbaiki, sebab
prinsip tersebut sesuai dengan kodrat kesusastraan, yakni demokratik,
sehingga pada perkembangan selanjutnya sastra keagamaan tidak identik
dengan khotbah-khotbah yang dibungkus dalam sajak, novel ataupun
reportoire” (Editor Hoerip, Cet. II, 1982:145).

Akan tetapi, apa yang dikemukakan Goenawan Mohamad tersebut, motif

yang melatarbelakangi hadirnya genre sastra keagamaan di awal tahun 1960-an,

pada dekade itu kehidupan masyarakat sosial budaya Indonesia belumlah

sekompleks sekarang dekade milenium 2000-an ini. Penggunaan istilah “sastra

keagamaan” itu sendiri mencerminkan pandangan umum berkenaan dengan sastra

yang secara dimensi sastra dan pemikiran berorientasi kepada sumber-sumber

keagamaan. Istilah “sastra keagamaan”, sebagai cikal-bakal perkembangan “sastra

religi” dan “sastra religius”, “sastra profetik” dan “sastra sufistik” atau “sastra

mistik”, “sastra Islam” dan “sastra Islami”, dan semacamnya.


3

Hal itulah apresiasi awal dari kehadiran genre sastra keagamaan sebagai

bentuk seni sastra dan pemikirannya di awal tahun 1960-an, dengan munculnya

buku puisi karya Frodolin Ukur, Suparwata Wiraatmadja, Muhammad Saribi,

karya teater Mohammad Diponegoro, serta novel-novel Djamil Suherman.

Pemikiran Goenawan Mohamad tersebut bisa dijadikan rujukan awal tentang apa,

bagaimana, dan mengapa dengan kehadiran sastra keagamaan di tengah

kehidupan kesusastraan dan keindonesiaan.

Kehadiran genre sastra keagamaan ini terus berkembang bersamaan

dengan perkembangan kehidupan dan keberagamaan manusia di Indonesia.

Bahkan, pada masa ditulisnya artikel tersebut oleh Goenawan Mohamad (di

bagian bawah artikel itu tertulis “Jakarta, 7 Juli 1964”), bersamaan dengan

gencarnya polemik kebudayaan, antara orang-orang berpaham atheis yang

tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dengan seniman Manifes

Kebudayaan yang berfalsafah kebudayaan Pancasila (ber-“Ketuhanan Yang Maha

Esa”). Di antara kaum Manifes Kebudayaan ini adalah Taufiq Ismail, yang pada

masa itu menulis sajak-sajak yang kemudian diterbitkan sebagai buku puisi

Benteng (1966) dan Tirani (1966). Kedua buku puisi itu menjadi bagian penting

bagi perkembangan sajak keagamaan sekaligus sajak protes sosial.

Menanggapi persoalan sastra keagamaan tersebut, Abdul Hadi W.M.

memfokuskan kepada persoalan sastra keagamaan Islam berpendapat bahwa :

Sejak akhir 1930-an sampai kini, perdebatan-perdebatan itu mencerminkan


kegelisahan mendalam para sastrawan muslim, khususnya terhadap
kecilnya perhatian dan kurangnya penerimaan di lingkungan terpelajar
muslim sendiri. Di lain hal ia merupakan pergulatan untuk merespon
perkembangan kebudayaan modern, termasuk ideologi seni dan politik
yang mempengaruhi sastra.
4

Dua motif yang dikemukakan Goenawan Mohamad, motif-motif dalam

kesusastraan yakni pencarian identitas sastrawan-sastrawannya, dan motif-motif

di luar kesusastraan yakni pengaruh penggolongan serta rivalitas antar-golongan

di dalam masyarakat, menjadi bagian penting dari “perdebatan, pergulatan, dan

pencapaian sastra bernafas Islam di Indonesia” sebagaimana dikupas oleh Abdul

Hadi W.M. (2004:198):

Kegelisahan dan pergulatan tersebut juga mencakup hasrat dan keperluan


pengakuan, bahwa sudah selayaknya sebagai bagian dari komunitas yang
besar, sastrawan muslim memiliki kebebasan untuk mengkespresikan
pandangan dunia dan pencariannya dalam karya seni atau sastra.

Di antara mempertegas kehadiran sekaligus mempertanyakan kehadiran

sastra keagamaan sebagaimana artikel Goenawan Mohamad, Abdul Hadi W.M.

berpendapat bahwa :

“Para sastrawan muslim sendiri tidak kunjung lelah mencari wawasan


estetik yang relevan bagi hasratnya tersebut. Maka tidak mengherankan
apabila dalam setiap babakan penting sejarah sastra Indonesia modern,
selalu muncul karya-karya bernapaskan Islam yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik mutu maupun napas Islamnya” (2004:199).

Yang dimaksudkan oleh Abdul Hadi W.M. tersebut di antaranya adalah :

karya-karya Amir Hamzah, Hamka, Ali Hasymi, Karim Halim, Mohamad

Dimyati, Aoh K. Hadimaja, dan lainnya. Begitu juga dalam novel yang secara

implisit mengemukakan pandangan Islam seperti Salah Asuhan (1927) karya

Abdul Muis. Sementara itu, karya-karya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah

(1938), dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1939), Merantau ke Deli (1940),

menitikberatkan kehidupan beragama sebagai latar belakang, dan sebagai

pemecah persoalan kehidupan.


5

Novel-novel karya Hamka dipandang oleh A. Teeuw (1977) sebagai

kurang menonjol. Ada pula yang berpandangan bahwa novel-novel Hamka

tersebut hanya menggunakan Islam sebagai setting, bukan sebagai permasalahan

keagamaan Islam. Pandangan tersebut tidaklah didasari pengertian yang memadai

tentang Islam. Islam bukanlah sekadar masalah teologi, tetapi juga soal

mu’amalah. Dalam hal ini, justru yang dipermasalahkan dalam novel-novel karya

Hamka adalah perkara muamalah, yang tidak kalah mutunya, baik dari aspek

kesastraan maupun pemikirannya, dibandingkan dengan Siti Nurbaya karya

Marah Rusli, atau Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di Bawah

Lindungan Ka’bah, dengan menggunakan cerita berbingkai, Hamka mengkritik

soal yang mendasar dalam Islam yaitu perbedaan kelas. Adapun kepergian tokoh

utama novel itu ke Makkah bukanlah sekadar memupus keputusasaannya,

melainkan harus dimaknai secara simbolik sebagai perjalanan keruhanian dan

melaksanakan rukun Islam (haji), yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim

yang baik. Sependapat dengan Abdul Hadi W.M. (2004:200) :

Dalam novel itu (Di Bawah Lindungan Ka’bah) Hamka juga mengungkap
sesuatu hal penting, yang sering diabaikan oleh banyak kaum terpelajar
kita: Ternyata Makkah dan Kairo juga merupakan tempat penting
penggodokan semangat nasionalisme. Keindonesiaan dan keislaman
dengan demikian telah lama menyatu dalam diri putra-putri Indonesia, dan
tidak dapat diperdebatkan dengan dalih apapun.

Begitu pula masa Angkatan Pujangga Baru, buku puisi Nyanyi Sunyi

(November 1937) dan Buah Rindu (Juni 1941) karya Amir Hamzah, dan karya

Sanusi Pane Puspa Mega (1927) dan Madah Kelana (1931), dapat dinilai sebagai

fondasi bagi perkembangan sastra keagamaan. Bahkan, H.B. Jassin setelah

banyak mengumpulkan dan menulis tentang karya-karya Amir Hamzah sedari


6

buku Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (Gunung Agung, 1962), dia

menyimpulkan bahwa:

“Amir Hamzah adalah penyair besar dan religius yang meletakkan tradisi
besar kesusastraan Indonesia modern. Kemurnian dan nada
kepenyairannya tak dapat ditiru, kerinduannya kepada Tuhan, niscaya akan
menempatkan kepenyairannya melampaui batas-batas angkatan serta
lingkungan geografis dan sosial.” (Editor Yusra, 1996:8).

Karakteristik perpuisian Chairil Anwar sangatlah kompleks, berbagai gaya

kepuitisan perpuisian Indonesia kemudian seakan dapat dicarikan rujukannya

kepada sajak-sajak karyanya, tidak terkecuali genre sastra keagamaan.

Setelah kemerdekaan Indonesia dapat kita temui karya-karya sastra, baik

secara eksplisit maupun implisit mempermasalahkan Islam sebagai agama, dan

sikap-sikap hidup yang bersumber dari penghayatan terhadap Islam, di antaranya

dalam novel Atheis (1949) karya Achdiat K. Miharja, Tuan Direktur (1952) karya

Hamka, dan Jabal el-Nur (1955) karya Bachrum Rangkuti. Begitu pula halnya

dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dan novel Kemarau karya A.A.

Navis. Dalam Atheis, diceritakan konflik seorang pemuda muslim sebagai

pengikut tarekat, yang hidup di lingkungan budaya modern yang sudah dipenuhi

pandangan individualis, atheis, marxis, sosialis, bahkan anarkis. Novel Atheis ini

merupakan kritik seorang muslim modernis terhadap sikap hidup tradisionalis

dalam menafsirkan ajaran agama. Dalam novel Tuan Direktur, Hamka

menceritakan kemenangan seorang muslim yang beriman terhadap direkturnya

yang karena rapuhnya iman maka melakukan korupsi.

Sajak keagamaan ini meneruskan alurnya dalam perpuisian Indonesia

dengan kita menyimak karya Toto Sudarto Bachtiar, sebagai representasi dari
7

sastra keagamaan Angkatan 50 (periode 1950-1970, Pradopo, 1995:28-31), baik

dalam kumpulan sajak Suara (1956) maupun Etsa (1958).

Menurut Abdul Hadi W.M. “Karya bernapaskan Islam kian banyak

tumbuh pada dasawarsa 1960-an” (2004:201). Bahkan, Ajip Rosidi dalam

tulisannya “Islam dalam Kesusastraan Indonesia” (Budaya Jaya, No.9:1976)

mengemukakan, “Karya sastra bercorak atau bernapaskan Islam kian meningkat

sejak tahun 1967.”

Rachmat Djoko Pradopo menyimpulkan ada lima ragam perpuisian

Indonesia periode 1970-1990, yakni 1) puisi mantra, 2) puisi bergaya imajisme, 3)

puisi lugu atau mbeling, 4) puisi yang menonjolkan latar sosial budaya Nusantara

(daerah), 5) puisi lirik yang masih meneruskan gaya perpuisian Angkatan 45.

Menurut Rachmat Djoko Pradopo bahwa selanjutnya puisi bergaya mantra

berkembang ke arah puisi mistik, yang di Indonesia dikenal dengan nama puisi

sufistik, yaitu puisi yang bernafaskan sufistik atau mistik Islam, yang mengikuti

pandangan ketuhanan para tokoh sufi (1995:49-55). Namun, dalam periode 1970-

1990 versi Rachmat Djoko Pradopo itu genre sastra keagamaan tidaklah

dimasukkan sebagai ragam yang kecenderungannya menguat sebagai gaya ungkap

puisi. Padahal menurut pembacaan penulis, justru pada periode inilah tumbuh

suburnya sastra keagamaan. Aprinus Salam (2004) mengkaji secara mendalam

tumbuh suburnya sastra sufi pada periode 1970-1990 ini sebagai “Oposisi Sastra

Sufi” terhadap represi sosial politik yang dilakukan oleh negara pada masa rejim

Orde Baru Soeharto.


8

Para penyair yang menonjol pada awal tahun 1970-an adalah mereka yang

sudah menulis sejak awal tahun 1960-an. Pada periode ini, sastrawan yang karya

puisinya bersendikan nilai keagamaan ialah Taufiq Ismail (kumpulan sajak

Benteng, 1966; dan Tirani, 1966), Kuntowijoyo (kumpulan sajak Suluk Awang-

uwung, 1975; Isyarat, 1976; Makrifat Daun Daun Makrifat, 1995), Sutardji

Calzoum Bachri (kumpulan sajak 1966-1979, O Amuk Kapak, 1981), dan Abdul

Hadi WM (kumpulan sajak Laut Belum Pasang, Meditasi, Cermin, Tergantung

pada Angin, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Anak Laut Anak

Angin, Madura: Luang Prabhang, Pembawa Matahari, dan Tuhan Kita Begitu

Dekat).

Dari sejumlah nama yang karya puisinya dominan bersendikan kepada

nilai keagamaan Islam periode sesudah tahun 1970, yaitu: Emha Ainun Nadjib

(M Frustasi, Sajak-sajak Sepanjang Jalan, 99 untuk Tuhanku, Seribu Masjid Satu

Jumlahnya, Lautan Jilbab, Cahaya Maha Cahaya, Syair-syair Asmaul Husna, dan

masih banyak lagi lainnya), di samping itu D. Zawawi Imron (Bulan Tertusuk

Lalang, 1982; Nenek Moyangku Airmata, 1985, dan masih banyak lagi lainnya).

Didasarkan pada Tonggak Antologi Puisi Indonesia Modern, 1-4, editor

Suryadi AG, 1987) yang puisinya dominan pemikiran religi atau religiositas,

bahkan latar kehidupannya santri (kaum agama), di antaranya: Jamil Suherman,

Taufiq Ismail, Motinggo Busye, Ajip Rosidi, Apip Mustopa, Arifin C. Noer,

Syu’bah Asa, Mohammad Diponegoro, M. Saribi Afn, Daelan Mohammad,

Kuntowijoyo, D. Zawawi Imron, Faisal Ismail, Hamid Jabbar, Ahmadun Y.

Herfanda, Acep Zamzam Noor, dan Soni Farid Maulana.


9

Mengacu kepada buku Horison Sastra Indonesia 1, Kitab Puisi (editor

Ismail, dkk., 2002), penyair periode 1970-1990-an yang puisinya dominan

pemikiran religi atau religiositas, bahkan latar kehidupannya santri (kaum agama)

di antaranya: Sutardji Caloum Bachri, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Nadjib

(ketiganya menolak puisinya dimasukkan dalam antologi Tonggak), Husni

Jamaluddin, A. Mustofa Bisri, Mustofa W. Hasyim, Isbedy Stiawan ZS, Zeffry J.

Alkatiri, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Ahmad Nurullah, Mathori A. Elwa, Abdul

Wachid B.S., Ulfatin Ch, dan Jamal D. Rahman. Penyair selain yang tercantum

dalam buku tersebut, tetapi pemikirannya senafas ialah puisi Abidah El-Khalieqy

dan Hamdy Salad.

Munculnya gerakan sastra sufistik sejak 1970-an, dan masih marak hingga

masa akhir ini, semakin mengukuhkan keberadaan karya-karya bernapaskan Islam

dalam sejarah sastra Indonesia (Hadi W.M., 2004:201). Demikian pula dengan

munculnya gerakan sastra transendental, yang oleh Abdul Hadi W.M. dipandang

sebagai bagian dari sastra sufistik (1999:23), tetapi oleh konseptornya yaitu

Kuntowijoyo dikatakan “barulah sepertiga dari kebenaran sastra profetik”

(2013:9), justru dari sinilah perdebatan dan pencarian sastra keagamaan Islam

dimulai.

2. Perdebatan Sastra Keagamaan Islam sebagai Latar-belakang Munculnya

Sastra Profetik

Pertumbuhan sastra keagamaan Islam diwarnai perdebatan akan

keberadaannya. Bermula pada akhir 1930-an berdasarkan tulisan-tulisan Hamka,


10

M. Dimyati, Karim Halim, yang dimuat majalah Pedoman Masjarakat (Medan)

dan Suara MIAI (Jakarta). Perdebatan berlanjut sampai pertengahan 1950-an dan

awal 1960-an, yang intinya mengkhawatirkan perkembangan sastra Islam dan

kegelisahan akan keberadaannya (Hadi W.M., 2004:2001).

Di antara perdebatan sastra keagamaan Islam tersebut yaitu

mempersoalkan keberadaan roman Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan

Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1939) yang ditulis oleh Hamka, seorang

ulama. Dari kalangan yang menolak roman menilai bahwa tidaklah pantas seorang

ulama menulis roman percintaan, walaupun bernapaskan Islam. Berdasarkan

pendapat E.U. Kratz (dalam Hadi W.M., 2004:2002), pada masa itu masih begitu

kuat anggapan bahwa menulis roman itu dilarang dalam Islam. Anggapan itu

muncul sebab kekhawatiran atas pengaruh buruk dari roman, khususnya kepada

generasi muda. Akan tetapi, Hamka melalui artikelnya “Mengarang Roman”

meluruskan anggapan buruk tersebut dengan menegaskan bahwa tidak sedikit

roman yang memberi pengaruh positif kepada pembacanya, khususnya dalam

menyikapi masalah pembaruan pemikiran keagamaan. Hamka mencontohkan

roman-roman yang terbit pada periode 1920-1930-an, justru membicarakan adat

yang kolot, kawin paksa, poligami demi kepuasan nafsu, dan pembedaan kelas

yang masih berlaku dalam masyarakat yang beragama Islam, padahal hal-hal itu

bertentangan dengan ajaran Islam. Namun demikian, roman semacam itu justru

dikecam oleh kalangan muslim itu sendiri. Di samping itu, Balai Pustaka

disebabkan pengaruh politik pemerintah kolonial Belanda sehingga enggan untuk

menerbitkan karya sastra yang bernafaskan Islam. Politik pemerintah kolonial


11

Belanda tersebut untuk menghambat perkembangan sastra Islam. Di Bawah

Lindungan Ka’bah karya Hamka sendiri barulah diterbitkan setelah melalui

pertimbangan yang lama (Hadi W.M., 2004:2003).

Pada ranah puisi, pada tahun 1940-an setelah pendudukan Jepang, para

penulis muslim mendapatkan optimisme baru. Karim Halim dalam tulisannya

“Puisi Islam dalam Kesusastraan Indonesia” dimuat di majalah Pujangga Baru

(No.8, 1940) menyatakan, “Dulu sastra dipandang haram, tetapi dengan

munculnya pemikiran baru keagamaan dalam Islam, maka pertumbuhan sastra

Islam dimungkinkan kian maju (Hadi W.M., Ibid.). Akan tetapi, optimisme baru

itu segera padam sebab selama masa pendudukan Jepang, sensor-sensornya justru

menghambat perkembangan sastra Indonesia secara umum. Datangnya

kemerdekaan Republik Indonesia juga tidak membantu perkembangan sastra

keagamaan Islam. Dikatakan oleh M. Dimyati (dalam Hadi W.M., Ibid.), ulama

dan cendekiawan muslim sangat kurang perhatiannya pada sastra, di lembaga

pendidikan Islam pengajaran sastra diabaikan sehingga tradisi sastra Islam yang

pernah berkembang pada abad 16-18 M menjadi merosot. Penulis muslim modern

kebanyakan mendapatkan pendidikan Barat sehingga sudah tidak mengenal

kesusastraan Islam.

Pada tahun 1950-an sebagaimana dikemukan M. Dimyati, tantangan sastra

keagamaan ialah tidak adanya karya sastra Islam yang mendalam, di samping itu

banyaknya penerbitan pornografi. Sementara itu, Hamka dan Bachrum Rangkuti

menyesalkan pandangan yang masih memperdebatkan sastra pada posisi

persilangan fikih, halal ataukah haram. Sampai muncul sebuah dokumen yang
12

disebut Amanat Putih, yang disiarkan oleh para budayawan Muslim pada tahun

1956, berisi menyesalkan tidak adanya pengakuan dari pengamat sastra terhadap

karya sastra keagamaan Islam. Pada tahun 1956 itu juga melalui Simposium

Kebudayaan Islam, Pelajar Islam Indonesia (PII) menyatakan bahwa seni tidak

dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan apabila tujuan dan pengaruhnya baik.

Simposium tersebut juga menyatakan bahwa seni Islam ialah seni yang

bernapaskan Islam, dan membawakan pandangan dan sikap hidup Islam, hal ini

hanya dapat dihasilkan oleh seniman yang mendalami ajaran Islam (dalam Hadi

W.M., 2004:204).

Di awal tahun 1960-an Goenawan Mohamad menulis tentang “Posisi

Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini”. Dia mengidentifikasi ada dua hal sebagai

motif yang melatarbelakangi hadirnya genre tersebut: Pertama, motif-motif dalam

kesusastraan, yakni pencarian identitas sastrawan-sastrawannya; kedua, motif-

motif di luar kesusastraan, yakni pengaruh penggolongan serta rivalitas antar-

golongan di dalam masyarakat (Editor Hoerip, Cet. II, 1982:138-139). Dijelaskan

oleh Goenawan Mohamad, jika motif utamanya pencarian identitas dengan

menceritakan apa-apa tentang kehidupan beragama dan sekadar pencarian

identitas belaka, maka kehadirannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan

karenanya akan musnah dengan segera.

Perdebatan yang terjadi sebelum tahun 1960-an tentang sastra keagamaan

Islam berada pada area motif kedua, yaitu motif-motif di luar kesusastraan, yakni

pengaruh penggolongan serta rivalitas antar-golongan di dalam masyarakat. Hal

ini mengalami klimaksnya pada awal 1960-an di bawah rejim kekuasaan


13

Demokrasi Terpimpin Soekarno, dengan menguatnya pengaruh sosial politik

Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

sebagai sayap kebudayaan dari PKI begitu provokatif menghantam wacana-

wacana kebudayaan lain selain dirinya. Perdebatan antara Lekra dengan kaum

Manifes Kebudayaan berlangsung sejak disahkan Mukadimah Lembaga

Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam Kongres Nasional Pertama Lekra di Solo 22-

28 Januari 1959 (dalam Samboja, 2011:17-18). Perdebatan tersebut berakar

kepada masalah pengklaiman Lekra yang mengatasnamakan rakyat Indonesia

dalam memandang realitas kebudayaan berkonsep “politik adalah penglima” dan

“realisme sosial”. Kemudian muncul seniman-seniman yang tidak setuju terhadap

cara pandang Lekra itu, dan melawan, yang kemudian melahirkan “Manifes

Kebudayaan” (pertama kali dimuat dalam lembaran budaya Berita Republik, 19

Oktober 1963). Akhir perdebatan periode ini bukan saja perdebatan pemikiran

kebudayaan, melainkan dilatari oleh perpecahan politik menuju kepada transisi

kekuasaan: “Demokrasi Terpimpin” Soekarno memunculkan krisis ekonomi yang

meluas kepada krisis politik sehingga menimbulkan perebutan pengaruh

kekuasaan di antara tiga kekuatan besar, Presiden, Angkatan Bersenjata, dan

Partai Komunis Indonesia (PKI). “Orde Baru” mempersiapkan diri untuk

mengakhiri tujuan dan kegagalan “Orde Lama” Soekarno, presiden pertama

Indonesia yang diturunkan secara paksa.

Di samping Lekra gencar menghantam kaum Manifes Kebudayaan, Lekra

juga menghantam sastrawan dan karya sastra keagamaan Islam, sebagaimana

ditujukan kepada novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka (1939).
14

Abdullah Said Patmadji di surat kabar Bintang Timur (5 dan 7 Oktober 1962)

sebuah media massa yang dikuasai Lekra, secara terbuka menjatuhkan nama

ulama sekaligus penulis roman tersebut dengan mengatakan, “Aku Mendakwa

Hamka Plagiat!” Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai

plagiasi dari novel Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr (1832), yang

diterjemahkan Luthfi al-Manfaluthi ke bahasa Arab dengan judul Madjdulin,

kemudian diterjemahkan A.S. Alatas ke bahasa Indonesia dengan judul

Magdalena (1963). H.B. Jassin (1985:59-69) dengan tegas berpendirian bahwa

Tenggelamnya Kapal van der Wijck bukanlah saduran ataupun terjemahan (harfiah

atau bebas) dari karya Alphonse Karr ataupun Luthfi al-Manfaluthi sebab Hamka

menimba dari sumber pengalamannya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan

pengungkapan sendiri demikian kuat hingga tak dapat orang bicara tentang

jiplakan, kecuali kalau tiap pengaruh mau dianggap jiplakan. Salah satu adat

Minang yang ditentang oleh Hamka karena berlawanan dengan agama yang

universal ialah adanya larangan atau keengganan menerima suku lain di

Minangkabau dalam perkawinan.

Awal Orde Baru ditandai maraknya kekerasan sipil, demonstrasi pelajar-

mahasiswa, dan tergulingnya para pemimpin yang dianggap korup dan menindas

rakyat dari puncak kekuasaan. Penggolongan serta rivalitas antar-golongan dalam

masyarakat juga masih tajam sehingga berpengaruh pada pandangan-

pandangannya terhadap sastra keagamaan Islam. Pada tahun 1968 cerpen “Langit

Makin Mendung” dituduh telah menghina agama dan golongan tertentu. Tuduhan

yang dialamatkan kepada Kipanjikusmin atas cerpen karyanya “Langit Makin


15

Mendung” ialah: 1. merendahkan kekuasaan, kebesaran, dan kesempurnaan Tuhan

Yang Mahaesa; 2. merendahkan kemuliaan para Nabi, Nabi Muhammad, dan

Jibril, dan 3. merendahkan dan menolak sendi-sendi agama Islam lainnya dengan

karangannya “Langit Makin Mendung”. Akan tetapi, menurut H.B. Jassin,

tuduhan tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu oleh Penuntut Umum

berdasarkan hukum positif di Indonesia bahwa : 1. Tuhan yang diceritakan itu

bukanlah Tuhan yang imajiner, tapi Tuhan yang sesungguhnya; 2. Nabi dan Jibril

yang diceritakan itu bukanlah Nabi dan Jibril yang imajiner, tapi Nabi dan Jibril

yang sesungguhnya, dan 3. seluruh cerita itu adalah laporan sejarah dan bukan

cerita imajiner. Selanjutnya haruslah ia: 4. memanggil saksi utama untuk

mengecek kebenaran tuduhannya, yaitu Tuhan Yang Mahaesa, Nabi dan Jibril

yang historis, apakah mereka itu sungguh-sungguh merasa terhina oleh lukisan

imajinasi pengarang, dan 5. membuktikan bahwa fungsi cerita imajiner adalah

sama dengan fungsi kitab pelajaran agama (Jassin, 1983:102).

H.B. Jassin sebagai penanggungjawab majalah Sastra tempat cerpen

tersebut dimuat tetap tidak mau mengungkap siapa yang bersembunyi di balik

nama samaran Kipanjikusmin itu. Akibatnya, H.B. Jassin sendiri yang berhadapan

langsung dengan pengadilan. Di depan pengadilan H.B. Jassin berkata:

Saya berpendapat bahwa cerpen “Langit Makin Mendung” adalah hasil


imajinasi, mempunyai dunia lain dan logika lain dari karya agama dan
karena itu tidak bisa dikur dengan akidah-akidah agama. ... dengan
kesadaran minta perhatian buat perbedaan antara dunia imajinasi seniman
dan dengan dunia realitas dengan hukum positifnya, karena keputusan
Saudara Hakim yang kurang tepat akan mempunyai akibat merugikan bagi
masa depan kreativitas para seniman, bukan saja di Ibukota, tetapi
terutama di daerah-daerah.
16

Dalam persoalan cerpen “Langit Makin Mendung”, H.B. Jassin

berseberangan pandangan dengan Hamka. Padahal sebelumnya ketika novel

Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka dituding sebagai karya plagiasi

di surat kabar Bintang Timur dan Suluh Indonesia oleh seniman-seniman Lekra,

H.B. Jassin meluruskan tudingan itu. Menurut H.B. Jassin bahwa Hamka sejak

semula mempunyai prasangka terhadap maksud baik pengarang. Karena

permulaan cerita, yang menurut Hamka bertentangan dengan pengetahuannya

tentang kaidah agama sehingga sudah menutup hatinya terhadap bagian-bagian

yang cerah dalam cerpen itu, yang sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan

Hamka sebagai orang beragama, misalnya percakapan antara Jibrail dan

Muhammad ini :

-- Sesungguhnya padukakah nabi terakhir, ya Muhammad?


-- Seperti telah tersurat di kitab Allah (sahut nabi dengan rendah hati).
-- Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.
-- Apa peduliku dengan nabi palsu!
-- Ummat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu, Nasakom!
-- Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang ummatku takluk,
nonsens!! (Kegusaran mulai mewarna wajahnya).
-- Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih? (Terdengar
suara iblis, disambut tertawa riuh-rendah). Nabi tengadah ke atas.
-- Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada,
walau bumi hancur sekalipun! Suara Nabi mengguntur dahsyat,
menggema di bumi; di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di
kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas. Gaungnya terdengar
sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak;
-- Amien, amien, amien.
Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk
pwtir bersahut-sahutan (Jassin, 1983:107).

Perdebatan-perdebatan yang mewarnai sejarah sastra Indonesia tersebut

dapat dimaknai sebagai upaya mencari “”bentuk” dan “isi” seni sastra keagamaan

Islam, yaitu masalah estetika dan sastra sebagai media “dakwah”. Dua aspek
17

tersebut dalam sejarah perkembangan sastra keagamaan Islam menjadi

perdebatan, dan aspek “dakwah” dalam sastra bernapaskan Islam terkesan

menjadi beban. Kata “dakwah” menjadi dipertentangkan dengan masalah estetika

dan ekspresi puitik sastra. Dari tarik-menarik inilah kemudian memunculkan

banyak istilah, yang membawa sudut-pandang masing-masing terhadap kehidupan

sehingga berdampak kepada berkesusastraan dan karya sastra yang diciptakannya.

Istilah “sastra keagamaan” yang digunakan pada awal perdebatannya tahun 1930-

an sampai akhir 1960-an, setelah Demokrasi Terpimpin Soekarno tumbang

sehingga kebebasan kreatif pulih kembali, karenanya memunculkan gagasan-

gagasan segar yang membawa istilah-istilah baru, yang merupakan perkembangan

dari sastra keagamaan seperti “sastra religius” dan “sastra religius Islam”, “sastra

sufi”, “sastra sufistik”, “sastra transendental”, “sastra profetik”, dan semacamnya.

Memasuki tahun 1970-an senyampang munculnya kesadaran bahwa

persoalan kebudayaan, setelah bercermin kepada sejarah clash of interest yang

bersifat politik beserta ambisi politiknya pada masa Demokrasi Terpimpin

Soekarno, gagasan “Persatuan Indonesia” sebagaimana ideologi negara tidak bisa

direalisasikan hanya dengan tindakan politik, melainkan dengan tindakan kultural.

Tindakan kultural ini menurut Goenawan Mohamad (dalam Hoerip, 1982:141)

“adalah bersikap kreatif, yang membawa kita ke arah cara berpikir yang dialektik,

sehingga segala macam ortodoksi setapak demi setapak akan luntur, demikian

pula segala macam fanatisme dan segala bentuk sektarisme”. Dari kesadaran

realitas sejarah seperti itulah perdebatan sastra keagamaan Islam mengalami

perkembangan, dari motif pencarian identitas sastrawannya, dan motif pengaruh


18

penggolongan serta rivalitas antar-golongan dalam masyarakat, menuju kepada

“tugas kesusastraan bukanlah memberikan jawaban, tetapi justru memberikan

pertanyaan”: bagaimanakah sastra keagamaan Islam muncul dengan hasil karya

sastra yang lebih baik? Tak dapatkah orang sekarang menggunakan sistem nilai

yang bersifat tradisional keagamaan untuk menyelesaikan dan menjawab

persoalan masyarakat? Pertanyaan ini pula yang memunculkan persoalan sastra

keagamaan Islam sebagai estetika dan sebagai media dakwah.

3. Masalah Estetika dan Dakwah

“Dakwah secara etimologis berarti seruan untuk berbuat baik dan

menjauhi kejahatan,” demikian menurut Abdul Hadi W.M. Selanjutnya dia

menjelaskan bahwa:

Seruan itu dilaksanakan sesuai dengan peresapan yang mendalam terhadap


ajaran Islam yang aspek-aspeknya amat luas, tidak hanya dalam kerangka
fiqih dan teologi, tetapi juga dapat dalam kerangka hikmah, adab dan
tasawuf. Tidak dapat disangkal, karya sastra besar selalu mengandung
pesan moral dan kerohanian, tetapi pesan tersebut tidak dengan sendirinya
dimaksud sebagai propaganda. Sementara itu, semboyan seni sebagai
media dakwah, cenderung diartikan sebagai karya-karya yang
mengandung propaganda (2004:205).

Karya sastra yang mengandung propaganda, penulisnya menyampaikan

amanat dengan cara menyodorkan jawaban yang sudah jadi, normatif, dengan

gaya kekhotbah-khotbahan. Karya sastra yang demikian tidak memberi

kesempatan kepada pembaca untuk berdialektika sebagai seorang manusia yang

merdeka terhadap teks yang dibacanya sehingga pembaca menjadi jemu dan

bosan.
19

Karya sastra yang menarik perhatian, setelah dibaca, justru mampu

memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menggoda pembaca sekaligus

memberikan ruang dialektika kepadanya untuk merdeka menemukan jawabannya,

suatu jawaban yang bersemi dalam diri pembaca itu sendiri, dan bukan sebuah

jawaban yang sudah disediakan oleh pengarang secara gampang.

Setiap seni termasuk seni sastra berangkat dari realitas. Tidak ada

keindahan itu tanpa realitas. Di dalam Islam, pemaknaan terhadap realitas itu

beresensi eksistensinya berada kepada kekuasaan Allah, yaitu tiada tuhan selain

Allah (laa ilaaha illallah). Padahal, Allah “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,

Yang Dlahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Huwal

awwalu wal aakhiru wadh dhaahiru wal baathinu wa Huwa bikulli syai-in ‘aliim;

Q.S. al-Hadiid, 57:3). Dengan demikian, pemaknaan terhadap realitas keindahan

pun tiada terpisahkan antara yang jasmani dan rohaninya sebab tiada realitas yang

subtansinya tidak ilahiah, “Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai

keindahan: Innallaaha jamil yuhibbul jamal (H.R. Thabrani dan al-Hakim).

Sudut-pandang tersebut menjadi rujukan dalam memaknai keindahan dalam sastra

keagamaan Islam.

Yang dhahir di dalam karya sastra adalah bahasa yang menjadi medium

bagi yang batin yaitu amanat, yang merupakan pengalaman batin dan pandangan

hidup sastrawan, termasuk pengalaman estetiknya, yang diekspresikan di dalam

karya sastranya. Keduanya tidaklah saling meniadakan sebab sastrawan yang

benar-benar memahami estetika Islam akan mengerti bahwa keindahan tertinggi

yang hendak dicapai dalam sebuah karya seni justru pencapaian moral dan
20

pengetahuan kerohanian-ketuhanan yang hakiki, yang disebut hikmah atau

makrifat.

Dalam rangka memformulasikan “seruan” tersebut bermunculanlah

gagasan yang merupakan perkembangan dari sastra keagamaan seperti “sastra

religius” dan “sastra religius Islam”, “sastra sufi”, “sastra sufistik”, “sastra

transendental”, “sastra profetik”, dan semacamnya.

(1) Sastra Religius

Religiositas ini oleh filsuf profetik Paul Tillich disebut sebagai “dimensi

kedalaman” (“Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama”, Terj. Soe Hok

Djin, Horison, No. 2, Juli 1966, hal. 12). Menurutnya, manusia dapat menjadi

religius sebab dengan penuh kerinduan menanyakan tentang eksistensinya dan

sangat menginginkan memperoleh jawaban, sekalipun mungkin jawabannya akan

“menyakitkan”. Seorang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup

dan kehidupan secara lebih dalam daripada batas lahiriah semata; yang bergerak

dengan dimensi vertikal dari kehidupan ini; dan mentransendensikan hidup.

Orang demikian, menurut Paul Tillich, dapat memeluk agama tertentu, tetapi tidak

sebagai keharusan. Dalam konteks itu, dia rupanya memahami dari dua

pendekatan, yakni religiositas yang agamis dan yang nonagamis. Di satu segi,

Y.B. Mangunwijaya (1988:12) berpandangan bahwa agama hanya lebih

menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi

dan yuridis, sedangkan di segi lain religiositas dipandangnya lebih melihat aspek

yang “di dalam lubuk hati”, sikap personal yang sedikit misteri bagi orang lain.
21

Namun, Y.B. Mangunwijaya masih berharap bahwa paling tidak seorang

agamawan sepantasnya sekaligus hommo religius. Sebagaimana ungkapan

William James yang dikutip oleh Abdul Rozak (“Sastra dan Agama dalam Tiga

Kategori Hubungan”, Horison, No. 5, Th. XX, hal. 166) bahwa manusia religius

selalu sadar dalam melaksanakan institusional religion, menghayatinya dengan

sepenuh jiwanya sehingga ia pun kerap tenggelam dalam pengalaman religius

yang merupakan puncak pengalaman estetis. Di sinilah tampak betapa dekatnya

hubungan seni dan religi.

Ada religiositas yang memang bangkit dari pribadi non-agama. Namun,

tiap kebangkitan religiositas selalu dilandasi oleh keinginan baik untuk berbuat

suatu kebaikan kepada sesama makhluk. Pada konteks kebaikan ini pula, orang

memasuki lembaga Ilahi (agama), yang menurut Syekh Muhammad Abduh

(dalam Mangunwijaya, 1988:15), bukan demi pemisahan, tetapi demi penuntunan

ke arah makna yang baik. Penulis sependapat dengan Syekh Muhammad Abduh,

religi dan religiositas adalah satu kesatuan. Memang hal tersebut lebih islamis, di

dalamnya “demi penuntunan ke arah makna yang baik” merupakan salah satu ciri

khas religiositas yang autentik.

Dengan demikian, kesusastraan menjadi religius jika di dalamnya

mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi

transendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan

yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada

Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya.


22

(2) Sastra Religiositas Islam

Karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya mengandung

moralitas. Menghadapi karya demikian pembaca sastra sering mengasumsikan

bahwa moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Tuntutan

pembaca yang seperti itu amatlah wajar sebab sebagai pembaca yang baik tentu

akan menilai nilai-nilai kesungguhan dalam karya itu, di samping kesungguhan

moralitas yang sedang ditawarkan pengarang.

Perihal kesungguhan ini memang penting, baik itu kesungguhan estetis

maupun kesungguhan moralitas. Kesungguhan estetis berhubungan dengan

ekspresi kebahasaan karya sastra. Misalnya, sebelum seorang penyair menulis

sajak tentang laut, tentu terlebih dahulu ia mesti mempunyai pengalaman tentang

laut, setidaknya lewat bacaan, dan lebih baik lagi jika dia pernah hadir dalam

situasi objek. Dengan demikian, dia akan dapat memadukan nuansa objek (laut)

dengan nuansa subjektivitasnya (pikir) sehingga dari perpaduan itu diharapkan

dapat memunculkan citraan sajak secara baik.

Demikian pula dengan kesungguhan moralitas. Pembaca yang kritis

tentu menuntut keharmonisan antara moralitas-baik dalam karya sastra dengan

kebaikan moralitas pengarang. Jika seorang pengarang tidak meyakini dan tidak

pernah hadir dalam situasi nilai moral yang sedang dia citrakan dalam karyanya,

tentu saja karya semacam ini perlu dipertanyakan “kebenarannya. Dalam

pandangan Islam, kesungguhan teramat penting sebagaimana yang dikemukakan

al-Qur’an sebagai berikut :

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah


kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan
23

bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak


mengerjakan(nya), kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan
beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan
sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan
mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali (QS., 26:224-227).

Pengaruh al-Qur’an akan kesungguhan ini menjadi pijakan bagi

pengucapan moral dalam karya sastra religius Islam (Hadi W.M., 1985:vii).

Disebabkan pengaruh etik dan estetik al-Qur’an pula, banyak kepustakaan sufi

diungkapkan dalam bentuk puisi sebab kenyataan al-Qur’an sendiri diungkapkan

dalam bentuk puisi yang maha indah, kaya simbol dan imajinasi, serta sangat

merangsang penciptaannya untuk menulis puisi dan melakukan berbagai tafsir

puitik. Contohnya dapat dilihat dalam kesungguhan estetis dan etik puisi karya

Jalaluddin Rumi dan Hafiz. Selain karya sufi tersebut, di Indonesia juga ada

karya-karya yang semacam itu, puisi karya Amir Hamzah, Sutardji Calzoum

Bachri, Abdul Hadi W.M., Emha Ainun Nadjib, dan K.H.A. Mustofa Bisri. Karya

mereka tidak hanya berhenti pada estetika, tetapi melalui realitas yang dibangun

di dalamnya, karya mereka itu menjadi simbol yang menyampaikan makna

transendental.

Menjadi jelas bahwa konsep kesungguhan estetis dan kesungguhan

moralitas dalam karya sastra religius Islam bersumber dari al-Qur’an, tetapi tidak

didasari oleh penafsiran yang sempit. Karya religius semacam itu dapat dijadikan

sarana pengungkapan hasil penghayatan kehidupan yang merujuk pada al-Qur’an

dan Hadis. Meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral,

sastrawan tetap memiliki kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni, yang

sejalan dengan hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermanfaat
24

(dulce et utile). Jauh hari Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa keindahan

dan kemanfaatan mestilah dicapai dalam karya sastra :

Sejumlah puisi mengandung hikmah; hikmah adalah onta orang


beriman yang hilang, apabila ia menemukan kembali, ia memiliki
kebenaran terbaiknya (al-Hujwiri melalui Hadi W.M., 1985:31).
Titik temu antara kesungguhan estetis dan kesungguhan etik atau

moralitas, serta keindahan dan kemanfaatan, inilah yang dapat menggeser

anggapan bahwa kesusastraan hanyalah aktivitas lamunan belaka. Pada posisi

demikian, kesusastraan religius Islam dapat menjadi bagian penting dari gerakan

Postmodern sebab mengaitkan kembali sastra dengan kehidupan yang lebih luas.

(3) Sastra Sufistik dan Sastra Transendental

Pada permulaan tahun 1970-an muncullah gerakan dalam sastra Indonesia,

yang oleh Abdul Hadi W.M. disebut “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber”

(1999:3). Salah satu buah dari gerakan tersebut ialah lahirlah “sastra sufistik”.

Ditegaskan oleh Abdul Hadi W.M. (1999:21) bahwa :

“Sejak awal, semangat dan pandangan dunia yang melatari


kemunculannya mempunyai pertalian dengan tasawuf dan sastra sufi.
Sejak awal pula para pendukungnya menjadikan tasawuf dan karya para
penulis sufi sebagai salah satu sumber ilham penulisan karya mereka. Di
antara penulis sufi yang memberi ilham mereka ialah Rabi’ah al-
Adawiyah, Mansur al-Hallaj, Fariduddin ‘Attar, Ibn ‘Arabi, Jalaluddin
Rumi, Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal.”

Di antara karya mereka yang dikategorikan sebagai sastra sufistik oleh

Abdul Hadi W.M. ialah kumpulan cerpen Godlob, Adam Ma’rifat, dan Berhala

karya Danarto, Novel Khotbah di Atas Bukit dan kumpulan sajak Isyarat dan

Suluk Awang-uwung karya Kuntowijoyo, kumpulan cerpen Arafah karya M.

Fudoli Zaini, dan kumpulan sajak O Amuk Kapak karya Sutardji Calzoum Bachri.
25

Di samping itu, karya sastra sufistik tampak dalam beberapa karya Taufiq Ismail,

Ikranagara, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Ibrahim Sattah, Ahmad

Nurullah, Ahmadun Y. Herfanda, Ajamuddin Tifani, Hamid Jabbar, dan beberapa

lainnya.

Sementara itu, Emha Ainun Nadjib yang karya sastranya dikategorikan

sebagai sastra sufistik oleh Abdul Hadi W.M., dia menolak kategori-kategori

sastra sufi, sufistik, tasawwuf, dan lain sebagainya. Namun, Emha Ainun Nadjib

(1995:56-62) sempat memberikan identifikasi terdekat sastra sufistik yang

berangkat dari tasawuf bahwa “Sastra tasawwufi atau bisa juga disebut sastra

‘isyqy, titik pandangnya hanya satu: Allah.” Dalam hal ini Emha Ainun Nadjib

memilih “Lebih arif untuk berhati-hati dan mengucapkan: Tak ada sastra sufi di

Indonesia.” Hal itu bagi Emha Ainun Nadjib alasannya, “... kita tak bisa mengelak

bahwa menemukan Sufi haruslah dengan mengandaikan bahwa kita telah

memiliki ‘mata’ dan ‘kerangka’ ilmu untuk memahami kontinum dialektika

multidimensional antara gejala hasil karya sastra dengan manusia pekerjanya.”

Dalam perspektif Abdul Hadi W.M. (1999:23), sastra sufistik dapat juga

disebut sebagai sastra transendental sebab pengalaman yang dipaparkan oleh

penulisnya sama, yaitu pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan,

persatuan mistikal dengan Yang Transenden (Tuhan). Pengalaman yang demikian

itu berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis.

Apakah sama sastra sufi dan sastra sufistik itu? Sastra sufistik di Indonesia

menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham bagi karya

sastra mereka. Namun, Al-Hujwiri (melalui Hadi W.M., 1985:27) mengatakan:


26

“Sufi adalah sebuah nama yang diberikan, dan pernah diberikan, kepada
wali-wali dan ahli-ahli kerohanian. Salah seorang Syeikh berkata: Man
saffahu ‘l-hubb fa-huwa safin wa-man saffahu ‘l-habib fa-huwa Suffy;
dialah yang telah dimurnikan oleh cinta adalah murni, dan dia yang telah
terserap dalam Kekasih dan menyangkal selain Dia adalah Sufi.”

Dengan pengertian sufi yang diberikan oleh Al-Hujwiri itu dapatlah

dipahami bahwa kepribadian karya sastra sufi merupakan realisasi dari kehidupan

kepribadian seorang sufi, yang telah dimurnikan oleh cinta ketuhanan sehingga

segala cinta kehidupan keduniawian ditolaknya selain cinta kepada Tuhan. Dalam

kehidupan pada umumnya, yang hadir justru adalah bertentangan dengan

kemurnian (safa). Bagi para sufi, “Kemurnian (safa) adalah kewalian dengan

sebuah tanda dan hubungan (riwayat), dan tasawuf (tasawwuf) adalah peniruan

yang setia terhadap kemurnian (hikayatun lil-safa bila shikayat).” Kemurnian

lantas merupakan gagasan cemerlang dan nyata, dan tasawuf merupakan tiruan

dari gagasan tersebut. Pengikut tasawuf dalam tingkatan rohani ini dapat

diidentifikasi menjadi tiga kategori, yakni Sufi, Mutasawwif, dan Mustaswif.

Selanjutnya keterangan Al-Hujwiri (melalui Hadi W.M., 1985:28) tentang tiga

kategori itu :

Sufi ialah dia yang “mematikan” dirinya dan dihidupi oleh Yang Maha
Benar (al-Haqq); dia telah membebaskan diri dari tabiat manusia biasa dan
benar-benar mencapai makrifat. Mutasawwif adalah dia yang berusaha
mencapai tingkatan ini dengan jalan mati raga (mujahadat) dan dalam
pencariannya mencuci tindakan-tindakannya meneladani sufi. Mustaswif
adalah dia yang menciptakan dirinya seperti mereka (sufi) dengan tujuan
mendapatkan uang, kekayaan, kekuasaan dan keuntungan dunia, namun
tak memiliki pengetahuan mengenai kemurnian (safa) dan tasauf.

Dengan pernyataan Abdul Hadi W.M. bahwa “sastra sufistik di Indonesia

menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham bagi karya

sastra mereka”, sudah jelas persepsi dan posisi dirinya. Pertama, memposisikan
27

tasawuf dan karya sastra para sufi hanya sebagai sumber ilham, bukan sebagai

sumber acuan perilaku; kedua, sebagai sumber ilham itu hanya bagi karya sastra

mereka, dengan pengertian, belumlah tentu sumber ilham bagi kepribadian

penulisnya. Oleh sebab itu, dalam banyak penyebutan di dalam karya tulisnya,

Abdul Hadi W.M. lebih mempersepsi dan memposisikan gerakan sastra ini

sebagai “sastra sufistik”, yaitu sastra yang bersifat sufi (kalau dalam perspektif Al-

Hujwiri disebut Mutasawwif), “yang dalam pencariannya mencuci tindakan-

tindakannya meneladani sufi.”

Dengan begitu, identifikasi sastra sufistik yang dikategorikan kepada

karya sastra Indonesia sejak tahun 1970-an itu oleh Abdul Hadi W.M.

mengidealkan pandangan kehidupan sebagaimana konsepsi sufisme. Akan tetapi,

penulis hanya menemukan mozaik-mozaik pemikiran sastra sufistik ini dari

analisis-analisis Abdul Hadi W.M. terhadap karya Kuntowijoyo, Danarto, M.

Fudoli Zaini, dan Sutardji Calzoum Bachri. Hal itu pun tidaklah teridentifikasi

secara utuh dan jelas akan apa yang menjadi karakteristik konsepsi sufisme

masing-masing karya sastra yang dikatakannya sebagai sastra sufistik tersebut,

selain hal-hal yang bersifat umum bahwa sastra sufistik berorientasi ketuhanan

yang bersumber dari karya sastra para sufi.

Orientasi ketuhanan yang bersumber dari karya sastra para sufi itu justru

dapat ditemukan pada kajian Abdul Hadi W.M. tentang perpuisian Hamzah

Fansuri, yang bukan termasuk puisi Indonesia modern, melainkan puisi

Nusantara. Hamzah Fansuri seorang sufi penyair yang hidup dan bekerja di

Sumatera Utara, khususnya di Kesulatanan Aceh, dalam bagian kedua abad 16,
28

dan wafat pada tahun 1590 M, Namun, seorang pakar sastra Indonesia lama dan

modern dari Belanda A. Teeuw menemukan kemodernan perpuisian Hamzah

Fansuri sehingga menyimpulkan bahwa “Hamzah Fansuri, Sang Pemula Puisi

Indonesia” (1994:45). Karenanya, untuk mengidentifikasi gagasan sastra sufistik

dalam sastra Indonesia modern itu bisa saja digali dari sumbernya, sebagaimana

estetika puitika Hamzah Fansuri, yang memang memiliki kepribadian seorang sufi

dalam kehidupannya.

Bagaimana gagasan sastra sufistik dalam memandang estetika dan dakwah

itu? Setiap penyair besar melahirkan karya sastra yang khas, yang memiliki ciri-

ciri pembaharuan yang tidak dimiliki oleh karya sastra penyair-penyair

sebelumnya. Pembaharuan yang dimilikinya kemudian diterima oleh masyarakat

sehingga menjadi konvensi baru sastra dalam masyarakatnya. Demikian pula

sastra sufi Hamzah Fansuri, hal ini bisa menjadi acuan bagi perbincangan wacana

sastra sufistik di Indonesia. Pembaharuan perpuisian Hamzah Fansuri yang

menonjol, menurut Abdul Hadi W.M. (2004:103-105), sebagai berikut.

Pertama, penekanan penyair terhadap individualitas atau kesadaran diri,


yaitu kebebasannya untuk mengekspresikan pengalaman pribadinya, ...
Semboyan “Puisi sebagai gerakan sukma yang mengalir ke indah kata”
(Pujangga Baru), dan perombakan terhadap bahasa lama demi lahirnya
pengucapan puitik baru (Chairil Anwar), sudah terlebih dahulu dilakukan
Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 M. Kedua, puisinya bukan sekadar
ungkapan perasaan biasa untuk memuaskan pembacanya dari duka-lara
sebagaimana umumnya karya sastra dalam masyarakat ketika itu. Puisinya
untuk mengungkapkan pengalaman makrifat, kegairahan mistik, dan fana’
yaitu hapusnya ego rendah dalam Wujud Yang Hakiki (unio mystica).
Ketiga, seiring dengan penekanannya terhadap individualitas, maka tema
pencarian diri mendapat perhatian utama pula. Tema ini dapat dirujuk pada
sebuah hadis qudsi “Barangsiapa mengenal dirinya akan mengenal
Tuhannya... Keempat, dialah penyair Melayu pertama yang mengasaskan
bahwa ungkapan-ungkapan puitik al-Qur’an dan kandungan maknanya,
serta tamsil-tamsil yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan rujukan dan
29

titik-tolak renungan puitik... Kelima, tamsil-tamsil sufistik atau citraan-


citraan simbolik yang digunakan dalam syair-syairnya diambil dari
kehidupan budaya masyarakatnya dan lingkungan alam Nusantara...

Penekanan terhadap individualitas dalam puisi sufi Hamzah Fansuri sebab

hakikat pengalaman sufi itu sendiri sangatlah personal, sebagaimana diungkapkan

Annemarie Schimmel (1981:17), “Tasawuf berarti, pada periode perumusannya,

terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara rohaniah, suatu pengalaman

pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian

(musyahadah) bahwa Tuhan itu Esa”. Lebih praktis lagi, Abu al-Wafa al-Taftazani

(1985:6) mengatakan:

“Tasawuf atau mistisisme secara keseluruhan adalah falsafah hidup, yang


dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa seseorang secara moral melalui
latihan-latihan praktis tertentu, kadang untuk menyatakan pemenuhan
keadaan fana’ (hapusnya diri jasmani, nafs yang rendah) di dalam hakikat
tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, bukan secara
rasional, yang buahnya adalah kebahagiaan rohani...”

Oleh sebab sastra sufi untuk menyatakan pemenuhan keadaan fana’, maka

sastra sufi mengungkapkan tahapan-tahapan (maqam) dan keadaan rohani (ahwal)

yang dialami oleh sufi dalam menempuh ilmu suluk, yang dilukiskan melalui

tamsil-tamsil. Maqam yang bisa diartikan sebagai peringkat kerohanian, dikatakan

Ali Utsman al-Hujwiri (sufi abad ke-11 M) dalam Kashf al-Mahjub (melalui Hadi

W.M., 2004:111):

... merupakan tahapan pertama yang dicapai seorang sufi dalam


memenuhi kewajiban yang disyaratkan, dan mampu memelihara peringkat
rohani yang telah dicapainya seperti taubat, inabah (perubahan sikap),
zuhud, dan tawakkal. Tahapan kedua ialah ahwal, yaitu keadaan rohani
yang muncul sebagaimana cinta Ilahi (‘isyq), kemabukan mistik (shawq),
ma’rifat, ketakjuban pada keindahan hakiki (hayrat), kadamaian agung
(istighna), fana’, baqa’, dan tersingkapnya hijab yang menutupi
penglihatan batin (kashf). Tahapan kedua ini disebut wajd, pertemuan
dalam batin dan penyaksian (mushahadah) Yang Haqq, yang melahirkan
30

kepastian mendalam (haqq al-yaqin). Kedaan ini menimbulkan kegairahan


mistik (tawajjud). Tahapan ketiga disebut tamkin, yaitu keberadaan ahli
makrifat di “tempat yang tinggi”, yaitu tercapainya keadaan bersatu
dengan Yang Haqq (shahid al-haqq).

Tahapan-tahapan dan keadaan rohani yang dicapai oleh seorang sufi

tersebut dilukiskan melalui tamsil-tamsil. Kemabukan mistik ditamsilkan sebagai

meminum anggur. Perjalanan rohani dari tingkatan awal mendaki menuju

tingkatan rohani selanjutnya ditamsilkan sebagai perjalanan mendaki puncak bukit

untuk menjumpai Sang Kekasih. Penyair sufi melukiskan perjalanan naik jiwa

manusia dari kenyataan di alam rendah menuju kenyataan di alam tinggi.

Perjalanan naik itu sesuai dengan tatanan kenyataan atau keindahan yang

berperingkat sebagaimana terdapat dalam ontologi sufi (Hadi W.M., 2004:111-

116). Diungkapkan oleh Md. Salleh Yaapar (2002:83), tatanan tersebut dari bawah

ke atas ialah:

Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam
syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga
alam misal); ketiga, alam jabarut (alam rohani); dan keempat, alam lahut
(alam ketuhanan).

Seorang manusia yang mengenal tatanan alam sebagaimana tersebut, dia

akan dapat menyempurnakan dirinya dan berpeluang mengenal hakikat dirinya,

selaras dengan hadis qudsi “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”

(Barangsiapa mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya). Sekalipun kesahihan

hadis tersebut diperdebatkan, tetapi bila ditafsirkan secara benar merujuk kepada

asas tauhid, maka akan relevan untuk menjelaskan pencarian jati-diri sebagai tema

utama dalam sastra sufi. Berkenaan hadis qudsi itu para sufi merujuk kepada ayat

al-Qur’an (Fushshilat, 41:53) “Akan Kami tunjukkan mereka bukti-bukti Kami di


31

segala penjuru, juga yang ada pada diri mereka sendiri” (sanuriihim aayaatinaa

fii al-aafaaqi wafii anfusihim hattaa yatabayyana lahum annahu alhaqqu awa

lam yakfi birabbika annahu ‘alaa kulli syay-in syahiidun).

Berkaitan tema utama tersebut, estetika sastra sufi bersumber dan

bermuara kepada pencarian jati-diri sebagai manusia dihadapkan kepada alam

semesta dan Tuhan. Sejak abad ke-13 M unsur-unsur tasawuf telah masuk ke

dalam kebudayaan Melayu melalui tarekat kemudian meresapi pula kebudayaan

penduduk kepulauan Nusantara. Bersamaan dengan hal ini penulis-penulis

Melayu dan Nusantara mengenal estetika dan puitika sufi. Filosof sufi yang

karyanya berpengaruh luas terhadap sastra sufi di Nusantara ialah Imam al-

Ghazali, Ibnu al-‘Arabi, Abu Nasir al-Sarraj, Abdul Qadir al-Jilani, Abdul Karim

al-Jili, dan lainnya. Menurut Abdul Hadi W.M. (2004:118), sufi lain yang juga

disebut-sebut oleh Hamzah Fansuri dalam risalah tasawufnya ialah Bayazid al-

Bisthami, Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, Fariduddin al-‘Attar, Jalaluddin

Rumi, Fakhruddin al-‘Iraqi, Mahmud al-Shabistari, Maghribi, dan Abdul Rahman

al-Jami. Para sufi tersebut membicarakan estetika dan seni terkait dengan

ontologi, kosmologi, dan psikologi sufi.

Penulis-penulis Melayu termasuk Hamzah Fansuri berkenalan dengan

teori sastra atau ilmu puitika Islam yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, Abdul

Qahir al-Jurjani, dan lainnya. Dalam pandangan Abdul Hadi W.M. (2004:119),

puitika al-Jurjani sangat relevan bagi penulisan syair dan alegori sufi karena

menekankan pada makna kerohanian dalam penciptaan karya sastra, di samping

pesan moral.
32

Teori al-Jurjani bercorak strukturalis semiotik, seperti halnya teori Lotman

di masa modern, di antaranya mengemukakan bahwa :

Di dalam struktur puisi tersembunyi makna... Komposisi bersajak (nazm)


merupakan bangunan kejiwaan atau kerohanian karya sastra yag
susunannya kompleks dan menimbulkan berbagai nuansa. Biasanya nazm
seperti itu terjelma melalui tamsil (citraan puitik yang simbolik), yaitu
pernyataan tidak langsung yang menggerakkan baik akal maupun hati dan
perasaan pembaca... Kalau ungkapan prosa melahirkan satu atau sedikit
makna, ungkapan puitik menurunkan makna dari makna-makna (dalam
Hadi W.M., 2002:76, 89, 209).

Dalam penelitian Abdul Hadi W.M. (2002) ditemukan bahwa syair-syair

Hamzah Fansuri bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh al-Jurjani tersebut,

sedangkan asas estetikanya dapat dipahami melalui penjelasan Imam al-Ghazali

dalam Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya-i Sa’adah (Kimia Kebahagiaan).

Dalam pandangan Imam al-Ghazali tentang keindahan tidak hanya terkait

dengan keindahan karya seni, tetapi juga dengan keindahan pengalaman

keagamaan dan kesufian. Sistem estetika yang dikemukakannya bercorak

konsentrik (sepusat) karena tertuju pada keindahan Yang Maha Tinggi. Menurut

Imam al-Ghazali :

Semua nilai yang berhubungan dengan keindahan dan bentuk-bentuknya


yang dicerap oleh manusia, dicintai dan disukai bukan karena memberi
keuntungan, tetapi disebabkan nilai-nilai yang diberikan oleh keindahan
itu sendiri. Sebagai subjek yang hendak disajikan dalam karya seni,
keindahan tidak terbatas hanya pada keindahan yang dicerap oleh kelima
indra kita. Di atas keindahan indrawi yang lebih tinggi peringkatnya ialah
keindahan yang dapat dicerap oleh indra keenam. Indra-indra keenam itu
ialah akal pikiran, kalbu dan ruh, atau cahaya (nur) penglihatan batin
(Ettinghausen melalui Hadi W.M., 2004:120).

Selanjutnya Imam al-Ghazali mengatakan, “Keindahan lahir atau bentuk

luar yang dilihatkan dengan mata telanjang dapat dialami oleh anak-anak,

sedangkan keindahan batin dapat dicerap hanya dengan mata hati atau cahaya
33

penglihatan batin”. Untuk menjelaskan perbedaan penglihatan batin dan

penglihatan indra itu, Imam al-Ghazali berkata :

Penglihatan batin lebih kuat dari penglihatan indra, “hati” lebih peka
dalam melakukan pencerapan dari mata, keindahan yang ditangkap
melalui “akal” lebih tinggi dari keindahan bentuk luar yang tampak pada
mata. Oleh karena itu, kepuasan hati terhadap kemuliaan dan kesucian
objek yang kelihatan dan objek yang terlalu tinggi untuk dicerap oleh
pancaindra berlainan. Keindahan batin niscaya lebih sempurna dan lebih
tinggi nilainya, dan kecenderungan sifat dan pikiran ke arah itu menjadi
lebih besar” (Hadi W.M., 2002:87).

Abdul Hadi W.M. mempersepsi konsepsi keindahan dalam pandangan

penglihatan batin dan indra dalam perspektif Imam al-Ghazali tersebut dengan

dua sudut-pandang:

Pertama, Imam al-Ghazali, sebagaimana filsuf sufi secara umum,


membangun sistem estetika yang meletakkan keindahan bukan sesuatu
yang nilai-nilainya berdiri sendiri. Keindahan sebagai sifat yang ada pada
sesuatu pada dasarnya memiliki kaitan dengan nilai lain seperti kebaikan,
kemuliaan dan kesempurnaan. Seorang penulis sufi harus menghubungkan
keindahan dengan nilai-nilai tersebut untuk mencapai kebenaran hakiki
dan keindahan tertinggi. Pengalaman-pengalaman jiwa atau rohani
berkenaan dengan nilai-nilai inilah yang merupakan tujuan agama. Kedua,
melalui pemaparannya itu Imam al-Ghazali membagi peringkat-peringkat
keindahan sesuai dengan ontologi dan kosmologi sufi (2004:121).

Adapun peringkat-peringkat keindahan sesuai dengan ontologi dan

kosmologi sufi perspektif Imam al-Ghazali (melalui Hadi W.M., 2004:122)

sebagai berikut.

(1) keindahan lahir atau bentuk luar yang diperoleh di alam syahadah dan
dapat dicerap indra atau mata jasmani. Tempatnya di alam al-mulk atau
alam nasut. Dalam hubungannya dengan keindahan lahir ini, termasuk
keindahan sensual atau nafsani, yang timbul dari cinta jasmani; (2)
keindahan akliah atau yang hanya menampakkan diri pada akal dengan
bantuan imajinasi, seperti misalnya keindahan sebuah puisi atau lukisan
yang bermutu, yang tidak dapat dicerap semata-mata dengan indra tetapi
menggunakan pikiran. Tempatnya di alam malakut atau mental; (3)
keindahan kalbiah, yang dapat dicerap melalui perenungan kalbu atau
secara intuitif, misalnya kepribadian dan moralitas seseorang atau nilai-
34

nilai keindahan yang berhubungan dengan moral dan pengalaman mistik.


Tempatnya di alam jabarut atau alam kerohanian; (4) keindahan ilahi atau
transendental, berupa pengalaman kesufian seperti cinta ilahi (‘ishq-i
ilahi), makrifat, fana’ dan baqa’, sukr, wajd, dan lain-lain. Ini bisa dicerap
melalui cahaya penglihatan batin, tertuju ke alam lahut (ketuhanan).

Demikianlah pandangan sufi tentang keindahan dalam karya seni, yang hal

tersebut menjadi acuan bagi sastra sufistik di Indonesia, seperti dinyatakan oleh

Abdul Hadi W.M. sebagai penggagas utamanya bahwa “sastra sufistik di

Indonesia menjadikan tasawuf dan karya sastra para sufi sebagai sumber ilham

bagi karya sastra mereka”. Dapat disimpulkan, sastra sufistik secara hakiki seni

merupakan ekspresi dari kebenaran universal, yang di dalamnya terdapat cahaya,

yang merupakan penurunan dari cahaya kalam ilahi. Simbolismenya berwujud

berbagai kias tentang tingkatan-tingkatan wujud yang tersusun vertikal. Karena

wujud hakiki itu Satu, tidak ada suatu realitas pun jika dia tidak ilahiah (laa

ilaaha illallaah, tidak ada Tuhan kecuali Allah), maka segala sesuatu mesti

merefleksikan sumbernya yang asal. Karenanya, seorang sufi penyair Ibn ‘Arabi

dalam al-Futuhat al-Makkiyah (melalui Hadi W.M., 2002:88) mengatakan “Karya

seni dan puisi akan mencapai puncaknya apabila didukung oleh pemusatan pikiran

sepenuhnya terhadap Keesaan Tuhan. Dengan pemusatan pikiran seseorang dapat

menghidupkan afinitas rahasia (munasabah) antara lubuk terdalam hatinya dengan

asal-usul kerohaniannya di alam transendental.”

Di mana titik temu antara sastra sufistik gagasan Abdul Hadi W.M. dan

sastra transendental gagasan Kuntowijoyo? Dengan sudut-pandang yang sama

dengan sufisme, dalam memandang realitas dengan penglihatan batin,

Kuntowijoyo menyerukan pembebasan diri dari aktualitas yang menjauhkan


35

kejasmanian dari kerohanian manusia. Oleh sebab itu, Kuntowijoyo (Dewan

Kesenian Jakarta, 1984:154) menyikapi aktualitas sebagaimana dalam

makalahnya:

Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena
tampak aktualitas tidak dicetak oleh roh kita, tetapi dikemas oleh pabrik,
birokrasi, kelas sosial, dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah
kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkret dan empiris
yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan
sastra adalah sebuah kesaksian --- jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama
kita harus membedakan diri dari peralatan indrawi kita.

Dalam kesadaran sufisme, penglihatan batin itu demi mengungkapkan

perjalanan rohani dari tingkatan awal mendaki menuju tingkatan rohani

selanjutnya. Sastra sufi (dan sastra sufistik) melukiskan perjalanan naik jiwa

manusia itu, karenanya dapat disebut sebagai “sastra pendakian” ruhani menuju

Tuhan.

Sementara itu, penglihatan batin yang dimaksudkan dalam sastra

transendental Kuntowijoyo, setelah mencapai puncak kerohanian tertinggi, bukan

hanya berhenti pada ketinggian rohani belaka, melainkan kembali ke bumi

melakukan peran-peran kemanusiaannya. Kata Kuntowijoyo (Ibid.), “Sastra

transendental adalah kesadaran balik yang melawan arus dehumanisasi atau

subhumanisasi.” Peran-peran kemanusian itu sebagai usaha manusia untuk

melaksanakan peran profetiknya sebab menurut Kuntowijoyo (2013:9),

“Kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari sastra profetik.” Kesadaran

ketuhanan harus mempunyai continuum (kesatuan) kesadaran kemanusian, dan

sebaliknya.
36

Semangat transendental sebagaimana sudah diuraikan, baik hal itu yang

mendasari sudut-pandang sastra keagamaan, sastra religius, sastra religius Islam,

sastra sufi, sastra sufistik, sastra transendental, hal tersebut menguat dan

mewarnai sebagian besar karya sastra Indonesia sejak 1970-an sampai sekarang,

termasuk puisi-puisi karya A. Mustofa Bisri.

Sejak gerakan sastra modern muncul di Indonesia, tidak banyak karya

sastra yang menyajikan renungan kerohanian mendalam, selain karya sastra

Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Sastrawan Indonesia sempat mengabaikan

dimensi transendental dan spiritualitas dalam penulisan karya sastra, padahal

aspek inilah yang menjadikan karya seni dan sastra akan mencapai puncaknya

sehingga relevan sampai kekinian. Dari pernyataan, baik dari Ibn ‘Arabi maupun

Kuntowijoyo, dapat dipahami bahwa seorang sastrawan tidak akan dapat

menyumbangkan gagasan segar dan bermakna bagi terbangunnya pandangan

hidup yang khas (Indonesia) tanpa sastrawan memiliki kesadaran kesemestaan

yang mengandung nilai-nilai transendental dan semangat profetik. Kesadaran

ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang menjadikan karya sastra yang ditulis oleh

Rabindranath Tagore, Kahlil Gibran, dan Muhammad Iqbal dari belahan dunia

Timur mendunia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ataftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj.
Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
37

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci


al-Qur’an Departemen Agama RI.
Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata (Secrets Need Words).
Magelang: Indonesiatera.
Bachri, Sutardji Calzoum.1981. O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Bisri, A. Mustofa. 1991. Ohoi (Kumpulan Puisi Balsem). Jakarta: Pustaka
Firdaus.
________. 1993. Tadarus (Antologi Puisi). Cet.II, 2003. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa.
________. 1995. Pahlawan dan Tikus (Kumpulan Puisi). Cet.II, 2005.
Yogyakarta: Hikayat.
________. 1995. Rubayat Angin dan Rumput (Kumpulan Puisi). Jakarta: Majalah
Humor bekerjasama dengan PT Matra Multi Media.
________. 1996. Wekwekwek (Sajak-sajak Bumilangit). Surabaya: Risalah Gusti.
________. 1998. Gelap Berlapis-lapis. Jakarta: Fatma Press.
________. 2000. Sajak-sajak Cinta, Gandrung. Rembang: Yayasan al-Ibriz.
________. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang Budaya.
________. 2006. Aku Manusia. Rembang: CV MataAir Indonesia.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa
Catatan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
________. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dewan Kesenian Jakarta. 1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar
Harapan.
Eneste, Pamusuk (Ed.). 2009. Chairil Anwar: Yang Terampas dan Yang Putus.
Jakarta: Gramedia.
Garaudy, Roger. 1984. Janji-janji Islam. Cet.II. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
________. 1986. Mencari Agama Abad XX, Wasiat Filsafat Roger Garaudy, Terj.
H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Hadi W.M., Abdul. (Ed.). 1985-a. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
________ . (Ed.). 1985-b. Rumi Sufi dan Penyair. Bandung: Penerbit Pustaka.
________. 1995. Hamzah Fansuri Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya. Bandung:
Penerbit Mizan.
________. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________. 2000. Islam Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
38

________. 2001. Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-


karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Penerbit Paramadina.
________. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, Esai-esai Sastra
Sufistik dan Seni Rupa. Yogyakarta: Mahatari.
________. 2014. Hermeneutika Sastra Barat & Timur. Jakarta: Sadra Press.
Hamka. 1984. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta : Pustaka
Panjimas.
_______. 1990. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamzah, Amir. 1985-a. Nyanyi Sunyi. Cet.X. Jakarta: Dian Rakyat.
_______. 1985-b. Buah Rindu. Cet. VII. Jakarta: Dian Rakyat.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Hoerip, Satyagraha (Ed.). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Sinar
Harapan.
Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Terj.
Ali Audah, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Jakarta: Tintamas.
_________. 2008. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam. Yogyakarta:
Jalasutra.
Ismail, Taufiq. 1969. “Wawancara Taufiq Ismail”. Jakarta: Sinar Harapan, 30 Juli
1969.
_______. 1993. Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.
_______. dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia Jilid 1, Kitab Puisi . Jakarta:
Horison.
_______. dkk. 2004. Horison Esai Indonesia, Jilid 1-2. Jakarta: Horison.
Jassin, H.B. 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta : PT.
Gramedia
_______. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1).
Jakarta: PT. Gramedia.
_______. (Peny. Oyon Sofyan). 2013. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
Yogyakarta: Narasi.
_______. 2013. Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI., 1988.
Kuntowijoyo. 1991.Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
_______. 1995. Makrifat Daun Daun Makrifat. Jakarta: Gema Insani Press.
_______. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
39

_______. 2005. Islam sebagai Ilmu. Cet.II. Jakarta: Teraju.


_______. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo
bekerjasama dengan Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.
_______. 2018. Muslim Tanpa Masjid. Cet.I-2001. Yogyakarta: MataBangsa.
Mahayana, Maman S. 2016. Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci. Jakarta:
Kompas.
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
Massardi, Yudhistira ANM. 1983. Sajak Sikat Gigi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Mohamad. Goenawan. 1967. Majalah Horison, Edisi Maret. Jakarta: Horison.
________. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera.
________. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
________. 2011. Di Sekitar Sajak. Jakarta: Tempo.
________. 2013. “Gus Mus, Teks, dan Manusia”, Labibah Zain dan Lathiful
Khuluq (Ed.). 2013. Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu. Yogyakarta:
LkiS.
Nadjib, Emha Ainun. 1983. 99 untuk Tuhanku. Bandung: Penerbit Pustaka.
_________. 1995. Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasr, Sayyid Husein. 1994. Tasauf Dulu dan Sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
_________. 2004. Intelegensi dan Spiritualitas Agama-agama. Yogyakarta:
Inisiasi Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________. 2001. Pengkajian Puisi. Cet. VIII. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
________. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan
Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Cet. II. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia.
________. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press.
________. 2013. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rozaq, Abdul. 1986. “Sastra dan Agama dalam Tiga Kategori Hubungan”.
Jakarta: Horison, No. 5, Th. XX.
Salam, Aprinus. 2004. Oposisi sastra Sufi. Yogyakarta: Penerbit LKiS.
40

Sambodja, Asep. 2011. Asep Sambodja Menulis tentang Sastra Indonesia dan
Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus.
Suryadi AG, Linus. 1987. Tonggak, Jilid 1-4. Jakarta: Gramedia.
Tagore, Rabindranath. 2017. Agama Manusia. Yogyakarta: Narasi.
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende, Flores: Nusa Indah.
_________ . 1983. Tergantung pada Kata. Cet. II. Jakarta: Pustaka Jaya.
_________. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Tillich, Paul. "Dimensi Kedalaman yang Hilang dalam Agama", Terj. Soe Hok
Djin. Horison. Jakarta. No. 2 Juli 1966.
Wachid B.S., 2002. Religiositas Alam: Dari Surealisme ke Spiritualisme D.
Zawawi Imron. Yogyakarta: Gama Media.
________. 2005. Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri.
Yogyakarta: Grafindo Litera Media.
________. 2008. Gandrung Cinta Tafsir terhadap Puisi Sufi A. Mustofa Bisri.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari
Press.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.
Yaapar, Md. Salleh. 2002. Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Yusra, Abrar (Ed.). 1996. Amir Hamzah 1911-1946. Jakarta: Yayasan Pradopo,
Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai