Anda di halaman 1dari 2

Kritik Sastra: Pintu yang Terbuka

oleh Duhanita Adiarahmah, 1606912240

Menurut Mahayana (2015), kritik sastra bertujuan untuk membangun dunia sastra ke
arah yang lebih baik dan menciptakan peluang yang besar bagi perkembangan kesusastraan.
Kritik sastra memiliki berbagai keunikan, salah satunya adalah awal perjalanannya di media
massa, yaitu majalah dan surat kabar. Sebuah ulasan atau tanggapan atas karya sastra
bertujuan untuk memberikan apresiasi kepada sastrawan. Latar belakang munculnya kritik
sastra di Indonesia bermula dari terbitnya berbagai majalah dan surat kabar pada akhir abad
ke-18. Hal tersebut, mendorong kemunculan profesi wartawan yang sastrawan atau sastrawan
yang wartawan. Sastra Indonesia tumbuh dan berkembang lantaran peran media massa.
Selain menyajikan iklan dan berita, media massa juga menyajikan hal lain yang membuat
masyarakat berlangganan surat kabar atau majalah. Oleh sebab itu, terbitlah rubrik sastra
yang memuat cerita pendek (cerpen), puisi, dan cerita bersambung.
Karya-karya sastra di Indonesia hadir di tengah kebudayaan Indonesia yang
multikultur. Hal ini membuat kehidupan sastra Indonesia menjadi semarak, media massa
secara tidak langsung turut mengukuhkan tradisi budaya lisan menuju budaya baca-tulis.
Mulai dari tradisi salin-menyalin dengan tulisan tangan, sekarang sudah berganti menuju
proses produksi melalui mesin cetak. Karya sastra berupa pantun, syair, hikayat, dan puisi-
puisi yang ditulis dengan tulisan tangan dalam huruf Jawi, Pegon, atau Arab-Melayu,
berubah bentuk menjadi produk cetak dalam huruf latin. Proses inilah yang kemudian
dikatakan sebagai kesusastraan Indonesia Modern. Kesusastraan Indonesia tumbuh dan
berkembang karena ada masyarakat pendukungnya, yaitu pengarang, pembaca, dan kritikus.
Perkembangan kesusastraan Indonesia mengalami revolusi setelah terjadi perubahan proses
produksi dari tulis tangan menjadi cetakan.
Menurut Amir Hamzah, kesusastraan Indonesia ada lantaran terjadinya pertemuan
budaya-budaya asing dengan budaya pribumi, kemudian bertautan menjadi kebudayaan
Indonesia. Kebudayaan Indonesia lahir sebagai hibrida. Ekornya menyebar pada kosakata
(bahasa) dan ekspresi budayanya, terutama kesusastraan.
Berbagai macam karya sastra puisi lahir dan hidup di tengah masyarakat etnis
Indonesia, diterima dengan berbagai tujuan dan kepentingan. Tidak ketinggalan mantra, doa
pengasihan, jampi-jampi pengobatan adalah perpaduan antara pengaruh budaya yang datang
dari luar dan menyatu dengan tahayul, sinkretisme, bi’dah yang seolah-olah dilegitimasi oleh
sistem kepercayaan agama. Teks-teks yang telah disebutkan adalah pesan bujuk rayu kepada
makhluk gaib. Oleh karena itu, terdapat penekanan bunyi yang dapat menghadirkan aura
magis. Kekuatan bunyi, repitisi, dan kesamaan rima akhir, kemudian dianggap sebagai salah
satu penanda karakteristik puisi. Selain itu, puisi juga telah dikenal pada dolonan anak-anak.
Begitu pula dengan mantra yang pada hakikatnya adalah puisi.
Sultan Takdir Alisjahbana (STA) memberikan gambaran yang luas mengenai fungsi,
isi, dan bentuk, teks dan konteks sastra, serta berbagai hal lain yang berkaitan dengan hal
yang disebutnya sebagai kesusastraan dan puisi baru. Puisi baru bagi STA adalah suara
sukma-jiwa bernyanyi dengan irama dan bahasa baru, individualism yang menyangkut tema
dan gaya pengucapan, bukan individualism yang asyik-masyuk dengan dirinya sendiri.
Individualisme yang lahir atas kebebasan pribadi.
Pada masa sebelum Indonesia merdeka, belum ada buku kritik sastra yang terbit.
Dinamika kritik sastra hanya semarak di media massa. Setelah medeka, H.B. Jassin
mengawali penerbitan berupa buku-buku kritik. Sebuah buku antologi yang menghimpun
puisi dan cerpen yan pernah dipublikasi pada zaman Jepang yang terbit pada tahun 1948.
Pada tahun ini pula, Jassin menerbitkan buku kumpulan prosa dan puisi. Memasuki tahun
1950-an, berbagai buku antologi puisi dan cerpen, kumpulan esai kritik, dan buku-buku
pelajaran sastra, seperti mendapat lahan subur. Meski begitu, buku-buku tersebut hanya
gambaran selintas mengenai sastra Indonesia. Memasuki tahun 1960-an, mulai muncul buku
kajian yang khusus membicarakan satu atau dua karya berikut posisi pengarangnya. Buku-
buku tersebut berasal dari skripsi atau penelitian ilmiah karya mahasiswa atau dosen Fakultas
Sastra Universitas Indonesia. Buku-buku kritik yang ditulis kalangan akademikus FSUI
memengaruhi dalam institusi pendidikan sastra Indonesia. Dari sanalah lahir penamaan Kritik
Sastra Aliran Rawamangun.
Sejak arus aliran ini memasuki institusi sastra di Indonesia, terjadi dua gerakan besar
dalam perkembangan kritik sastra di Indonesia. Pertama, kritik umum yang muncul jauh
sebelum merdeka telah semarak dalam lembaran-lembaran media massa. Kedua, kritik
akademik yang lahir, tumbuh, dan berkembang secara ilmiah di dunia akademis. Hal-hal
itulah yang terjadi dalam perjalanan kritik sastra Indonesia belakangan ini. Namun, naskah-
naskah penelitian akademis jarang dipublikasikan dalam ruang publik. Kedua arus besar
kritik sastra itu seolah tidak bersentuhan. Padahal, keduanya sebaliknya saling melengkapi
dengan memberikan kontribusi bagi perkembangan kritik sastra dan secara keseluruhan bagi
dunia sastra Indonesia.
Sumber: Mahayana, Maman S. 2015. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai