PENDAHULUAN
2. Seperti apa sumbangan majalah Pujangga Baru bagi sastra dan kebudayaan
Indonesia dikaitkan dengan polemik kebudayaan dalam periode Pujangga
Baru?
1
3. Siapa saja sastrawan yang ada diperiode angkatan 30 Pujangga Baru dan
hasil karyanya?
a. Novel Belenggu
5. Siapa yang mendapat julukan Raja Penyair Pujangga Baru dan apa
alasannya?
6. Adakah situasi sosial politik yang mempengaruhi sastra periode ini? Jika
ada jelaskan!
7. Bagaimana sinopsis dari salah satu karya sastra di dalam era angkatan 30
Pujangga Baru?
1.3 TUJUAN
2. Mengetahui seperti apa sumbangan majalah Pujangga Baru bagi sastra dan
kebudayaan Indonesia dikaitkan dengan polemik kebudayaan dalam
periode Pujangga Baru.
a. Novel Belenggu
2
5. Mengetahui siapa Raja Penyair Pujangga Baru dan alasannya.
7. Mengetahui sinopsis dari salah satu karya sastra di dalam era angkatan 30
Pujangga Baru.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir
Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan
1949-1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi,
“majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak
tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan
dan bahasa serta kebudayaan umum” dan sejak tahun 1936 bunyinya berubah
pola menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk
kebudayaan persatuan Indonesia”.
3
Semangat yang mendorong lahirnya Pujangga Baru adalah perasaan
ingin bebas, merdeka, tidak terkungkung dalam melahirkan perasaan,
kehendak, dan pendapat menurut gerak sukma dan jiwa masing-masing.
Sedangkan para pembantunya datang dari segala penjuru tanah air dan
berasal dari segala golongan serta suku bangsa: Dr. M. Amir (Tanjungpura),
L.K. Bohang (Jakarta), M.R. Dajoh (Bogor), Fatimah H. Delais (Palembang),
Muhammad Dimjati (Solo), Karim Halim (Padang), Ali Hasjmy (Seulimeum,
Aceh), Intojo (Rangkasbitung), Aoh K. Hadimidja (Parakan Salak), Or.
Mandank (Medan), Selasih (Padang panjang), Sutan Sjahrir (Bandaneira),
Suwandhi (Yogyakarta), J.E. Tatengkeng (Ulu-Siau), A.M. Thahir
(Ujungpandang), I Gusri Njoman P. Tisna (Singaraja), dan lain-lain.
Majalah ini terbit dengan setia, meskipun bukan tanpa kesulitan, berkat
pengorbanan dan keuletan Sutan Takdir Alisjahbana. Oplahnya pernah hanya
sekitar 500 eksemplar saja setiap terbit, dan langganan yang membayar tetap
hanya sekitar 150 orang. Kerugian ditanggung oleh kantong Sutan Takdir
Alisjahbana dan Armijn Pane.
4
Ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah Poedjangga
Baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap “kebarat-baratan”. Tetapi
setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir
Alisjahbana dengan staf redaksi yang diperkuat dengan tenaga-tenaga muda,
seperti Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiar K. Mihardja, Dodong
Djiwapradja, Harjidi S., Hartowardojo, S. Rukiah, dan lain-lain. Majalah ini
terus terbit sampai tahun 1953. Kemudian dihentikan penerbitannya dan Sutan
Takdir Alisjahbana menerbitkan majalah baru bernama Konfrontasi
(1954-1962) yang dalam staf redaksinya pernah duduk, antara lain
Soedjatmoko, Beb Vuyk, Hazil Tanzil, Achdiat K. Mihardja, Sutan Takdir
Alisjahbana, dan lain-lain.
5
d. Tumbuhnya ungkapan-ungkapan baru.
Sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat
berpegang kepada kemurnian bahwa Melayu Tinggi, seperti H. Agus Salim
(1884-1954), Sutan Moh. Zain (lahir 1887), S.M. Latif yang menggunakan
nama samaran Linea Recta dan lain-lain. Maka terjadilah polemik tentang
6
bahasa yang tidak hanya dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, melainkan
juga meluas dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah yang terbit pada
masa itu.
Polemik golongan Poedjangga Baroe dengan kaum tua itu tidak hanya
mengenai bahasa saja, karena gerakan Poedjangga Baroe bukanlah hanya
gerakan bahasa dan sastra belaka. Juga mengenai soal-soal lainnya, seperti
kebudayaan, pendidikan, pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemik
yang seru. Sutan Takdir yang pro-Barat dan mengatakan bahwa hanya dengan
jalan mereguk ilmu dan roh Barat sepuas-puasnya sajalah kita dapat
mengimbangi Barat, merupakan seorang polemis yang tajam dan
bersemangat.
Orang-orang lain yang turut serta dalam polemik itu, antara lain ialah
Dr. M. Amir, Ki Banjaktjakra, Tjindarbumi, Dr. Ng. Poerbatjaraka,
Adinegoro, dan lain-lain. Sebagian dari polemik mengenai kebudayaan itu
kemudian dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja dan diterbitkan sebagai
buku dengan judul Polemik Kebudayaan (1949).
7
1. Sultan Takdir Alisjahbana/Natal, 1908-1993
8
b. Buah Rindu (kumpulan puisi, 1941)
9
g. Syair untuk ASIB (1935)
l. Cemburu (1961)
10
n. Ayahku (Biografi, 1967)
9. Hamidah/Bangka, 1914-1953
11
14. Hasibuan/Bengkalis, 1904
a. Belenggu
1) Alurnya lurus.
b. Layar Terkembang
Perkenalan
12
pertemuan itu terjadi. Sehingga di hari-hari berikutnya Yusuf sangat
ingin menjumpai Maria. Ternyata Yusuf menyadari bahwa
perasaannya kepada Maria adalah perasaan suka. Bak gayung
bersambut, ternyata Maria pun merasakan hal yang sama. Hubungan
Yusuf dan Maria semakin dekat sampai pada akhirnya mereka
memutuskan untuk bertunangan.
Konflik
Konflik terjadi antara Tuti dan Maria yang disebabkan oleh kritikan
tajam Tuti yang ditujukan kepada Maria. Kritikan Tuti berkenaan
dengan cinta Maria terhadap Yusuf yang amat berlebihan sehingga
melemahkan diri Maria sendiri.
Klimaks
Antiklimaks
Penyelesaian
13
4) Menggunakan majas personifikasi, litotes, hiperbola, dan majas
parabel.
c. Nyanyi Sunyi
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
14
Baris tersebut mengandung majas personifikasi, yaitu benda mati
seolah hidup yang menyatakan cinta seolah-olah terbang layaknya
burung.
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Karena kasihmu
1. Kekayaan ide yang diungkapkan, gagasan baru yang segar, pilihan kata
yang tepat, bunyi yang merdu, membuat puisinya mempesona dibanding
puisi sezamannya.
15
2. Berorientasi kebudayaan sendiri, tetap berakar pada yang lama. Bentuk
dan bahasa yang lama itu memang tetap hidup sehidup-hidupnya.
3. Pendiri dan tokoh Pujangga Baru dan masih kerabat raja (kemenakan
Sultan Langkat).
b. Piagam Anugerah Seni, sebagai sastrawan utama (Nyanyi Sunyi) dari Dep.
P dan K.
16
2. Kebetulan bangsa Indonesia pada saat itu dibawah kekuasaan pemerintah
Belanda
17
a. Keduanya menentang sastra sebelumnya yang sudah merosot nilainya
dan yang penuh dengan konvensi-konvensi. Pujangga Baru
menentang sastra Melayu klasik yang dirasa statis dan beku,
sedangkan Angkatan 80 menentang sastra domine (pendeta) yang
dirasa sangat lamban.
Raden Wiriaatmaja memiliki dua orang anak gadis yang sifatnya sangat
berbeda, yaitu Tuti dan Maria. Tuti si sulung adalah seorang gadis yang
pendiam, tegap, kukuh pendiriannya, jarang sekali memuji, dan aktif dalam
organisasi-organisasi wanita. Sementara Maria adalah gadis yang periang,
lincah, dan mudah kagum. Itulah sebabnya, semua orang yang berada di
dekatnya pasti akan menyenangi kehadirannya.
18
berkunjung ke rumah Maria. Beberapa waktu kemudian Yusuf dan Maria
sepakat menjalin hubungan cinta kasih.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Karya sastra pada masa ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sosial dan
politik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun, pengaruh yang
diterima bukan berarti ditelan begitu saja, melainkan mengolah dan menempa
unsur baru itu sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia.
3.2 SARAN
20
apabila dapat dikemas dengan baik. Hal ini dapat memperkaya ilmu kita
tentang dunia sastra serta dapat dipelihatkan kepada negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1984. Sari Kesusastraan Indonesia. Cetakan ketiga puluh sembilan.
Bandung: Pustaka Prima.
Jassin, H. B. 1963. Pudjangga Baru Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/A_A_Pandji_Tisna
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/O_R_Mandank
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sutan_Takdir_Alisjahbana
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Amir_Hamzah
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/M_R_Dayoh
21
22