Anda di halaman 1dari 17

SASTRA

INDONESIA
PERIODE 1933 -
1942
Anggota
1. Ziauddin Riady
Kelompok :
(03020220071)
(Pujangga
2. DiahBaru,
SaputriPolemik Kebudayaan)
(03040220082)
3. Siti Imro’atul Latifah (03040220104)
Pujangga Baru
 Sastra pujangga baru merupakan nama majalah sastra dan bahasa terbitan tahun 1933. Pujangga baru terjadi
karena semangat persatuan yang ada dalam masyarakat Indonesia, merupakan sebuah gerakan di bidang
kebudayaan yang didalamnya mencakup sastra. Dilatarbelakangi kejadian “sumpah pemuda” yang dipelopori
golongan muda yang pada 28 Oktober 1928 mencetuskan ikrar sumpah pemuda.

 Peristiwa tersebut mendorong para sastrawan ikut berjuang mempersatukan bangsa dengan mengadakan
pembaharuan dibidang kesusastraan. Timbul maksud untuk mempersatukan para penulis yang karyanya
tersebar di beberapa majalah untuk membuat majalah khusus yang membahas tentang bahasa, sastra, daan
kebudayaan umum. sehingga dibuatlah sebuah perkumpulan penulis muda yang disebut "pujangga baru". 
 Tepat pada 26 Juni 1933 terbitlah sebuah majalah yang
dinamakan Poedjangga Baroe, didirikan oleh tiga penulis
dari pulau Sumatra yakni Armijn Pane, Amir Hamzah, dan
Sutan Takdir Alisjahbana, yang telah memulai proses
pembentukan majalah ini pada September 1932 dimana
pada waktu itu tidak bisa mereka lakukan di Balai Pustaka
yang melarang karya-karya yang berbau nasionalisme.
 Karya-karya yang ditebitkan dalam majalah kebudayaan ini berkisar pada persoalan kebangsaan
dan juga persoalan emansipasi wanita. Para sastrawan periode ini ingin lepas dari kekangan
Belanda. Mereka ingin berkarya tanpa harus menuruti aturan Balai Pustaka bentukan kolonial.

 Terbit sebulan sekali dan tersebar luas di kalangan sastrawan dan sejumlah terpelajar waktu itu.
Namun majalah ini ternyata tidak tanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, bahkan di kritik keras
oleh para guru yang setia kepada pemerintah kolonial belanda, mereka menganggap majalah
teersebut akan merusak bahasa Melayu, karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.

 Majalah ini bertahan terbit hingga bulan Februari tahun 1942, kemudian dilarang oleh penguasa
militer Jepang karena dianggapnya kebarat-baratan dan progresif.
Setelah Indonesia merdeka, yakni pada tahun 1949 – 1953, Takdir Alisjahbana dan angkatan
pujangga baru lainnya yakni Armijn Pane, Asrul Sani, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Ali Hasymi, J.E
Tatengkeng, Selasih, dan Mozasa mulai menerbitkan sejumlah buku lagi. Di antaranya ialah :
Ciri & Karakteristik
 Penggunaan bahasa Melayu: Sastrawan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu yang dapat diakses oleh
massa dan membantu menciptakan identitas yang bersatu bagi masyarakat.
 Tema kebangsaan: Sastra Pujangga Baru memiliki tema nasionalisme yang kuat, karena para pengarangnya
peduli dengan perjuangan kemerdekaan dan perkembangan jati diri bangsa.
 Teknik modernis: Penulis Pujangga Baru bereksperimen dengan teknik modernis, seperti aliran kesadaran,
banyak narator, dan narasi yang terfragmentasi.
 Komentar sosial: Sastra Pujangga Baru sering membahas masalah sosial seperti kemiskinan, eksploitasi, dan
kolonialisme, dan mengkritik struktur sosial yang menindas pada masa itu.
 Humanisme: Sastra Pujangga Baru menekankan pentingnya martabat manusia, individualisme, dan
kebebasan, dan sering merayakan semangat rakyat jelata.Secara keseluruhan, sastra Pujangga Baru
merupakan gerakan budaya dan intelektual penting yang membantu membentuk identitas Indonesia modern
dan berkontribusi pada perjuangan kemerdekaan.
Karya Pujangga Baru
Siti Nurbaya (Marah Rusli) Siti Nurbaya adalah sebuah novel yang menceritakan
kisah seorang gadis Minang yang dikhianati oleh kekasihnya yang berasal dari
luar daerah. Novel ini menjadi salah satu karya sastra paling terkenal dari
Pujangga Baru dan dianggap sebagai karya sastra nasional Indonesia.

Salah Asuhan (Abdoel Moeis) Salah Asuhan adalah sebuah novel yang
menceritakan kisah kehidupan seorang pemuda Indo yang dibesarkan di keluarga
Belanda. Novel ini menggambarkan konflik batin antara kebudayaan Timur dan
Barat, serta menyoroti perbedaan kelas sosial dalam masyarakat kolonial.
Karya Pujangga Baru
Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana) Layar Terkembang adalah sebuah
novel yang menggambarkan kehidupan nelayan di daerah pantai Sumatera. Novel
ini menyoroti isu-isu sosial seperti kemiskinan, perbudakan, dan ketidakadilan
dalam masyarakat kolonial.

Atheis (A.A. Navis) Atheis adalah sebuah novel yang menceritakan kisah seorang
intelektual muda yang kehilangan kepercayaannya pada agama dan memilih untuk
hidup tanpa keyakinan. Novel ini menyoroti isu-isu agama, kebebasan berpikir,
dan perjuangan individu untuk menemukan makna dalam hidup.
Polemik Kebudayaan
 Sumbangan Pujangga baru terhadap pemikiran kebudayaan Indonesia adalah diberikannya kesempatan
pada sastrawan dan budayawan untuk menyalurkan pendapatnya sehingga menjadi polemik yang hebat
dan meluas.
 Dalam perjalanannya, golongan Pujangga Baru berpolemik dengan kaum tua dalam berbagai hal
termasuk diantaranya masalah bahasa dan sastra, kebudayaan, pendidikan, dan pandangan hidup
bermasyarakat.
 Dalam edisi kedua (Agustus) tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan
Kebudayaan Baru” yang kemudian mengundang reaksi banyak pihak. Artikel ini pula yang belakangan
menjadi titik pangkal terjadinya polemik kebudayaan yang melebar dari Pujangga Baru lewat
Poerbatjaraka (3/III/ September 1935) sampai ke media massa lain, seperti Suara
Umum (Surabaya), Bintang Timur (Ja-karta), Pewarta Deli (Medan) dan Wasita (Yogyakarta).
Di antara kritik atas artikel itu,
Alisjahbana malah melanjutkan gagasannya
dan sekalian melakukan kritik balik atas
berbagai sanggahan yang dialamatkan
kepadanya. Serangkaian perbalahan itulah
yang kemudian dikumpulkan Achdiat Karta
Mihardja dan kemudian menerbitkannya
dalam buku Polemik Kebudayaan (1948).
Dalam Kata Pengantarnya disebutkan bahwa polemik itu terjadi
dalam tiga tahap.
 Pertama, terjadi dalam Pujangga Baru Bintang
Timur dan Suara Umum (Agustus–September 1935) antara
Alisjahbana, Sanusi Pane dan Poerbatjaraka.
 Kedua, dalam Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli,
dan Wasita (Oktober 1935–April 1936) antara Alisjahbana,
Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Dr. M. Amir, Adinegoro, dan Ki
Hadjar Dewantara.
 Ketiga, terjadi dalam Pujangga Baru dan Pewarta Deli (Juni
1939) antara Alisjahbana dan Dr. M. Amir.
 Secara ringkas, perdebatan itu berkisar pada gagasan Alisjahbana yang begitu
mengagungkan dan memberi penghargaan tinggi pada kebudayaan Barat,
sebaliknya ia tidak memberi tempat pada kebudayaan Indonesia di masa lalu.
 Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada gagasan itu, Alisjahbana yang
memicu terjadinya pemikiran akan pentingnya merumuskan kebudayaan Indonesia.
 Alisjahbana menegaskan bahwa hanya dengan jalan mereguk ilmu dan roh Barat
sepuas-puasnyalah kita dapat mengimbangi Barat.
 Ia berhadapan dengan Dr. Soetomo dan Ki Hajar Dewantara dan lain-lain yang
hendak mempertahankan tradisionalisme yang dianggap kepribadian bangsa.
Sanusi Pane yang juga turut serta dalam
polemik-polemik itu akhirnya menyatakan
bahwa baginya Manusia (Indonesia) baru
haruslah merupakan campuran antara Faust
(yang dianggap mewakili roh kepribadian Barat)
dengan Arjuna (sebagai wakil roh kepribadian
Timur). Sikap ini dinyatakan dalam
dramanya Manusia Baru (1940). Sebelumnya
Sanusi Pane dikenal sebagai seorang yang sangat
mempertahankan Timur dalam menghadapi S.
Takdir.
 Titik berat pada persoalan kebudayaan dan sosial, makin tampak dalam usia Pujangga Baru memasuki
tahun keempat (Juli 1936).
 Subjudulnya juga diganti menjadi: “pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentuk
keboedajaan baroe, ke-boedajaan persatoean Indonesia.” Dalam pengantarnya, juga dinyatakan
adanya pergeseran perhatian: “Dari madjallah jang teroetama mementingkan kesoesasteraan perla-
han-lahan Poedjangga Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita…
keboedajaan persatoean Indonesia.” Dan kembali, sedikitnya lima artikel Alisjahbana melanjutkan
gagasannya mengenai “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.”
 Dalam Nomor Peringatan Pujangga Baru (1933–1938), orientasi ke kebudayaan Barat
dikatakan tidaklah dalam arti sempit, melainkan “dalam arti yang seluas-luasnya.”
 Dengan begitu, pemahaman kebudayaan Barat itu juga ditempatkan sebagai kebudayaan
internasional. Soetan Sjahrir yang juga menulis dalam Nomor Peringatan itu, menegaskan
konsekuensi Pujangga Baru: “pergerakan Poedjangga Baroe hanja soeatoe roepa dari
keboedajaan universeel jang ada didoenia.” Sesungguhnya, perjuangan Pujangga Baru dalam
mengangkat harkat kebudayaan persatuan Indonesia, justru di dalam kerangka universalitas itu.
 Dan sikap itu terus dipertahankannya secara konsisten sampai Pujangga Baru menghentikan
penerbitannya
Daftar Pustaka
Yudiono, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo, 2020

Basroni, M. Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. 2020

Dita Nurhayati. (2022, 15 Juli). Sastra Indonesia Periode 1933 – 1942.


Diakses pada 11 Mei 2023, dari
https://www.indonesiana.id/read/156369/sastra-indonesia-periode-193
3-%E2%80%93-1942
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai