Anda di halaman 1dari 7

Nama: Alma nadhifa Agustin

NIM: A23221B1063
Mata Kuliah : Teori dan sejarah sastra
Dosen pengampu: Chika Gianistika M, Pd
RESUME MATERI 10
PERIODESASI SASTRA 1961-SEKARANG
Periodisasi sangat penting guna mengetahui perkembangan apa saja yang terjadi dari
masa ke masa. Dengan adanya periodisasi atau pembabakan waktu, kita bisa membedakan
kejadian-kejadian menurut para ahli dengan pendapatnya masing-masing. Seperti hal nya
sastra, sastra memiliki periodisasinya sendiri. Dengan adanya periodisasi sastra, para ahli
mengemukakan pendapatnya sesuai dengan apa yang telah diteliti. Tentunya, periodisasi dari
masa ke masa memiliki kesamaan yang erat. Periodisasi sastra dilakukan menurut sudut
pandang masing-masing. Periodisasi tersebut bisa didasarkan atas beberapa hal, seperti
berdasarkan kejadiannya, berdasarkan penerbitan, berdasarkan norma, dan berdasarkan situasi
zaman.
Berbicara tentang periodisasi, Ajip Rosidi mengemukakan dalam bukunya "Ikhtisar
Sejarah Sastra Indonesia" bahwa pembabakan digunakan istilah "periode" dan bukan
"angkatan" karena "angkatan" dalam sastra Indonesia sekarang telah menimbulkan kekacauan.
Pembedaan antara periode yang satu dengan yang lain berdasarkan adanya perbedaan norma-
norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan
perbedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan pada adanya
perbedaan konsepsi masing-masing Angkatan.
Dari banyaknya periode-periode sastra, periode yang akan dibahas kali ini adalah
periodesasi sastra tahun 1961-sekarang. Dalam bab Period 1961-sampai Sekarang ini
dibicarakan ihwal sastra dan politik, manifes kebudayaan dan konperensi karyawan pengarang
se-Indonesia, pengarang-pengarang Lekra yang penting, para pengarang keagamaan yang
penting, sajak-sajak perlawanan terhadap tirani, beberapa penulis drama dan prosa, beberapa
penyair penting, para pengarang wanita, drama, dan esei.
Masalah sastra dan politik yang dibicarakan adalah masalah seputar pertentangan antara
kubu realis-me sosial dan kubu manifes dengan menelusuri hubungan sastra dan politik dalam
sejarah sastra Indonesia awal. Bagian ini menjelaskan periode yang penuh pergolakan dengan
banyaknya pertentangan para sastrawan yang mewakili kepentingan dan golongannya masing-
masing. Di masa pemerintahan Soekarno, perbedaan ideologi yang demikian tajam
nasionalisme, agama, komunisme juga berdampak langsung terhadap perkembangan sastra
Indonesia, yakni dengan merasuknya ideologi dalam diri sastrawan maupun dalam karya sastra
yang dihasilkan. Hal ini dapat terbaca dengan jelas dalam polemik antara sastrawan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mengusung nilai-nilai Realisme Sosial dengan sastrawan
Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung nilai-nilai Humanisme Universal.
Pada tahun 1950 muncul organisasi yang bergerak dalam bidang kebudayaan, salah
satunya adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra didirikan oleh D.N. Aidit, M.S.
Ashar, A.S. Dharta dan Njoto pada tanggal 17 Agustus 1950. Anggota awal Lekra adalah
pengurusnya sendiri yaitu terdiri dari A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, henk Ngantung,
Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebar Ajoeb. Aktivitas-aktivitas budaya Lekra selalui
dilakukan dengan semboyan “Seni untuk Rakyat” dan “Seni untuk Revolusi”. Lekra muncul
untuk mencegah kemerosotan dari Revolusi yang tidak hanya dibebankan kepada kaum
politisi, tetapi menjadi tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun
kekuatan yang setia mendukung Revolusi dan kebudayaan Nasional.
Organisasi Lekra mengalami perkembangan pesat sejak tahun 1959. Kedudukan Lekra
yang cukup kuat dalam budaya Indonesia dipengaruhi oleh kedudukan PKI yang kuat dalam
politik Indonesia. Organisasi Lekra mendapatkan dukungan kuat dari Presiden Soekarno yang
menyebabkan Lekra mendapat keuntungan untuk menjatuhkan lawan-lawan yang
berseberangan secara ideologi. Lekra melakukan serangan-serangan secara sepihak kepada
pihak yang dianggap membahayakan keberadaannya, salah satunya manikebu.
Sebagai reaksi dan kritik total terhadap segala teror yang lancarkan Lekra maka
dideklrasikan Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963. Naskah Manifes Kebudayaan
dibuat oleh Wiratmo Soekito dimuat pertama kali dalam ruang kebudayaan harian Berita
Republik, 19 Oktober 1963, dan majalah Sastra, nomor 9/10, September /Oktober 1963. Dan
di tanda tangani oleh Para penandatangan Manifes Kebudayaan di Jakarta yaitu Wiratmo
Soekito, H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut,
Bur Rasuanto, Zaini, Djufri Tanissan, A. Bastari Asni, Boen S. Oemarjati, Purnawarman
Tjondronagoro, Sjawhwil, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Taufiq Ismail, M. Saribi Afn., Binsar
Sitompul, dan Hartojo Andangdjaja.
Manifes Kebudayaan mendapatkan dukungan dari individu dan berbagai kelompok
kebudayaan yang hampir semuanya non partisan. Maka segera para seniman maupun sastrawan
memberikan dukungan kepada manifes kebudayaan. Organisasi yang mendukung Manifes
Kebudayaan antara lain: Ikatan Sarjana Pancasila, Badan Pembina Teater Nasional Indonesia
Sumatera Selatan, Teater Muslimin Wilayah Palembang, serta Lembaga Kebudayaan Kristen
Indonesia.
Melihat banyak yang mendukung manifes, mula-mula kelompok Lekra tidak begitu
merisaukan kehadiran Manifes Kebudayaan. Akan tetapi, ketika kelompok Maninef
Kebudayaan akan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta
pada Maret 1964 dan menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang (PKPI), maka Lekra dan
simpatisannya pun mulai melancarkan serangan. Upaya yang dilakukan Lekra adalah
mempengaruhi Soekarno untuk menghadapi Manifes Kebudayaan yang makin meluas
dukungannya. Akhirnya, Soekarno menghendaki perubahan Manifes Kebudayaan. Akibat
kehendak Bung Karno itu, timbul pro dan kontra di antara pendukung Manifes Kebudayaan
sendiri. Sebagian menginginkan perubahan, sebagian lagi tidak. Golongan terakhir ini
termasuk Wiratmo Soekito penggagas Manifes Kebudayaan
Pelarangan Manifes Kebudayaan kemudian disusul dengan peristiwa yang memojokkan pelaku
Manifes Kebudayaan. H.B. Jassin dan Boen Oemarjati yang keduanya mengajar di Fakultas
Sastra UI harus mengundur diri dari kampus tersebut. Majalah sastra, penerbitan yang
menyuarakan Manifestasi Kebudayaan akhirnya berhenti karena situasi politik.
Namun setelah Lekra mengalami perkembangan pesat dan setelah manifes akhirnya di
tiadakan. Nasib Lekra Setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang didalangi oleh PKI
juga otomatis semua ormas dan orpol yang mendapatkan pengaruh PKI dibersihkan dan
dilarang semua kegiatannya. Hal ini juga berlaku bagi Lembaga Kebudayaan Rakyat dan
seniman yang bergabung didalamnya. Setelah peristiwa Gerakan 30 September birokrasi
negara dengan cepat dibersihkan melalui pemecatan dan penangkapan terhadap puluhan ribu
orang, dengan tuduhan diduga terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September. Dan Lekra
dibubarkan berdasarkan ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan Ajaran
Komunisme,Leninisme, dan pembubaran Organisasi PKI beserta Organisasi massanya.
Selain manifes yang memiliki banyak tokoh di lembaganya, lekra juga mempunyai
beberapa tokoh-tokoh dalam Lembaga nya, Melalui lekra maraklah sastra yang bercorak
realisme dari sejumlah pengarang lekra seperti Rivai Apin, Hr bandaharo, Pramoedya Ananta
Toer, A. S. Dharta, Bakri Siregar, Utuy Tatang Sontani, S, Anantaguna, Zubir A. A., Kusni
Sulang, Bachtiar Siagian, Agam Wispi, dan Sobron Aidit. Hersri Setiawan. S. Rukiah, Kuslam
Budiman, S. Wisnu Kuntjahjo, Bakri Siregar, F.L. Risakotta, Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail
Hamid, B.A. Simanjuntak, Sugiarti Siswadi, Hadi S, Dll
Selain mereka pengarang-pengarang lekra, ada partai-partai keagamaan juga yang tidak
ketinggalan mendirikan Lembaga-lembaga kebudayaan yang berinduk kepadanya. Dan
beberapa pengarang-pengarang keagamaan yang menerbitkan buku pada periode ini.
Salah satunya ada Pengarang dari para pengarang Kristen yaitu Kumpulan sajak dari
Soeparto Wiraatmadja yang karya nya sudah diterbitkan oleh penerbit yaitu: Kidung
keramahan (1963), lalu Hari-hari pertama oleh Gerson poyk, dan kumpulan sajak Malam
sunyi (1961) dan Darah Peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur
Kemudian ada buku-buku karya sastera dari pengarang yang membuat karya
bernafaskan islam, walaupun tidak diterbitkan oleh Lembaga-lembaga atau badan-badan yang
ada sangkut pautnya dengan Lembaga-lembaga kebudayaan, salah satunya yaitu: Kumpulan
cerpen dan roman Djamil Suherman yang berjudul Umi Kalsum dan Perjalanan ke akhirat di
terbitkan oleh Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn. Gema lembah Cahaya (1964) di
terbitkan oleh Pembangunan. Dan kumpulan sajak delapan orang penyair islam yang berjudul
Manifestasi (1963) di terbitkan oleh penerbit Tintamas.
Setelah itu ada Dick Hartoko dari katolik yang mula-mula hanya memuat sajak-sajak
dan esai serta kitik saja, tetapi juga kemudian bertambah cerpen. Walau demikian, pada masa
itu penerbitan karya-karya sastera berupa buku boleh dibilang tidak ada, namun Penyair katolik
yang paling penting W.S. Rendra, menerbitkan kumpulan -kumpulan sajaknya pada penerbit
pembangunan. Selain menerbitkan atau membuat sajak-sajak Rendra banyak mengkritik
pastor-pastor dan dogma-dogma agama katolik. Apalagi dalam sajak-nya yang terakhir seperti
“Khotbah” Selain Rebdra ada juga A.A Navis yang sering mengkritik orang-orang islam
ortodoks yang fanatik dan taklid saja.
Diantara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-
cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah tetapi belum menerbitkan buku yaitu: M. Abnar
Romli, Abdulhadi W.N, B Jass, M. Jusa Biran, Moh. Diponegoro dari agama Islam dan M.
Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Joerip Soeprobo, Bakdi Soemanto, j. Sijara
namual dll dari agama Kristen dan katolik.
Kemudian pada awal tahun 1966 ada sajak-sajak juga yang terlahir dari demontrasi
para mahasiswa dan pelajar juga penyair, yang kemudian demonstrasi itu disebut dengan
Tritura,Demonstrasi tersebut dilakukan atas dasar kekecewaan mereka terhadap kondisi politik
dan ekonomi yang sedang terjadi di negara Indonesia.Mereka aktif dalam melahirkan sajak-
sajak perlawanan terhadap tirani. Aristoteles mengemukakan bahwasanya tirani adalah bentuk
pemerintahan yang kekuasaannya dijalankan oleh orang yang menjalankan kekuasaan untuk
kepentingan mereka sendiri. Dan Demonstrasi tersebut dilakukan atas dasar kekecewaan
mereka terhadap kondisi politik dan ekonomi yang sedang terjadi di negara Indonesia.
Sajak yang terbit di Jakarta adalah sajak Tirani dan Benteng yang diciptakan oleh Taufiq
Ismail. Sajak Perlawanan yang diciptakan oleh Mansur samin. Sajak Mereka Telah Bangkit
yang diciptakan oleh Bur Rasuanto. Sajak Pembebasan yang diciptakan oleh Abdul Wahid
Situmeang. Sajak Kebangkitan yang diciptakan oleh lima penyair mahasiswa fakultas sastra.
Sajak Tirani dan Benteng yang dilahirkan oleh Taufiq Ismail merupakan hal yang paling
penting dari semua kumpulan sajak yang lain. Tetapi bukan berarti sajak yang lain tidak
penting, hanya saja sajak Tirani dan Benteng merupakan suatu hal yang penting. Sajak Tirani
diterbitkan dan tercetak pada tahun 1966 sedangkan sajak Benteng diterbitkan dan tercetak
pada tahun 1968.
Ada beberapa pengarang juga pada periode ini yaitu soelarto,
1. Soelarto
Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan
protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Balai Pustaka
juga menerbitkan dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi.
2. Bur Rasuanto
Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai dan roman, Cerpen-cerpennya
dikumpulkan dalam Bumi Yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-
sajaknya berjudul Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan stensil. Romannya berjudul Sang
Ayah (1969), dan Manusia Tanah Air.
3. A. Bastari Asnin
Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja sebagai anggota
redaksi Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan yaitu
Ditengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.
4. Satyagraha Hoerip Soeprobo
Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai tentang
kebudayaan. Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang suami politikus.
Ia juga pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi Bisma.
5. Gerson Poyk
Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya sebuah roman pendek
berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.
Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul
Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari
Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan
Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan
Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin
Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.
Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan,
Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat
kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.
Selain pengarang juga ada beberapa penyair di periodesasi 1961-sekarang pada sastra
yaitu :
1. Taufiq Ismail
Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai
mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada awal
tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak
diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan
“Tritura”.
2. Goenawan Mohamad
Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak da esai-esainya belum
diterbitkan sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam
manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afn. Goenawan Mohamad dikenal sebagai
penulis esai yang tajam dan penuh dengan kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang
penyair berbakat dan produktif. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-
sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi
tanpa kata banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jafi Kecil, Kota pun jadi Putih’
(Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan
kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki yang Roboh di Taman ini ?’
(Basis 1964).
Beberapa penyair di periode itu juga yang mempenyai dan membuat karya yaitu :
1. Saini K.M
beliau juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan
bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968)
memuat sepilihan sajak-sajaknya.
2. Sapardi Djoko Damono
menulis sajak yang kesederhaan pengucapannya langsung menyentuh hati. Sajak-sajak
yang ditulisnya tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan judul “Duka Mu Abadi”.
3. Wing Kardjo Wangsaatmadja
ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan seni
umumnya.
Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis
sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer,
Abdulhadi W.M, Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.
Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya
Kamal Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing” (1965), dan Rachmat Djoko
Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten) menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air” (1967)
dan Slamet Kirnanto menerbitkan “Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).
Selain itu ada banyak juga para penyair Wanita yang juga melahirkan karyanya pada
periode 1961,diantaranya yaitu:
titie Said, S. dengan karyanya sebuah cerpen-cerpen yang kemudian dikumpulkan
menjadi buku berjudul”Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962), “maria” dan “Kalimutu”
yang merupakan cerpen terbaik beliau. Tjahjaningsih, dengan karyanya juga yang berjudul
“Dua Kerinduan” (1963) Titis Basino, yang menulis cerpen dengan produktif yang dalam
cerpennya banyak melukiskan sifat dan tabiat Wanita yang kadang-kadang tak terduga.
Sugiarti Siswandi, dengan kumpulan cerpen-nya yaitu “Sorga di Bumi” (1960) Sedangkan
Ernisiswati Nutomo, juga banyak menulis cerpen yang dimuat dalam majalah sastra, tetapi
belum ada yang dibukukan. Enny Sumargo, yang banyak membuat cerpen daerah, dan kini ia
telah menerbitkan sebuah roman berjudul “ Sekeping Hati Perempuan “. dan lain-lain sebagai
pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri,yang sellau
menulis sajak dengan lebih dewasa dan lebih baik, Dwiarti Mardjono, yang sajak nya banyak
dimuat dalam majalah sastra, Susy Aminah Aziz, yang berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya
dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961) Bipsy Soerharjo, Toeti Heraty Noerhadi,
yang sajak-sajak nya juga banyak dimuat dalam majalah sastra,dan majalah-majalah lain pada
awal tahun 60an,yang kumpulan kwatrin nya diberi judul “Kwatrin”.Rita Oetoro dan lain-lain.
Selain sajak,cerpen,roman dll, di era periode 1961 juga ada drama, tentunya berbeda
drama masa dulu dan masa sekarang, Penulisan drama pada masa dulu lebih banyak
dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang drama baru lebih erat hubungannya dengan
pementasan. Para penulis drama kebanyakan ialah orang-orang yang aktif dalam bidang
pementasan, baik sebagai sutradara maupun pemain. Contoh pengarang drama
1.mohamad diponegoro
2.M Yunan Helmy Nasution
3.Saini k.m
4.B soelarto
5.Arifin c Noer
Selain drama juga ada esai yang popular di zaman periode ini, namun pada angkatan
45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari. Setelah itu bermunculan penulis-penulis esai
dan yang paling dikenal Iwan Simatupang. Dia banyak melontarkan gagasan-gagasan dan
perspektif-prespektif baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-majalah yang pertama
memuatnya hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan sastra telah diterbitkan
oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul "antologi Esai sekitar persoalan sastra (1969).
Referensi
(Lembaran, 2011)Chaln Chavez, A. M., & Guevara Paredes, K. E. (2014). No 主観的健康感
を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分散構造分析Title.
2(3), 453–465.
Erowati, R., & Bahtiar, A. (2011). 0 | Sejarah Sastra Indonesia. 74. www.lemlit.uinjkt.ac.id
Lembaran, kebudayaan banyuwangi. (2011). Sejarah sastra periode 1961-sekarang dan
sajak-sajak armaya.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=http://lemba
rankebudayaanbanyuwangi.blogspot.com/2011/04/sejarah-sastra-periode-1961-
sekarang.html%3Fm%3D1&ved=2ahUKEwj5odLfnMSAAxUD3jgGHQepBs0QFnoEC
BUQAQ&usg=AOvVaw0HkC8amhzAsOPDG63mHn7h
Rosidi, A. (2000). Ikhtisar sejarah sastera indonesia: Bandung: Bina Cipta.

Anda mungkin juga menyukai