NIM : 1205030204
KELAS : 2E
Angkatan ini menjadi gambaran dunia sastra indonesia pasca kemerdekaan. Corak
kesusastraan pada periode ini tidak lepas dari polemik kebudayaan yang tejadi di Indonesia
pada masa itu. Di tengah-tengah segala kekacauan dan perang ideologi yang terjadi muncul
lemaga kebudayaan yang mewakili setiap institusi ideologi lembaga tersebut dikenal dengan
nama LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Selain muncul berbagai lembaga kebudayaan,
media massa juga muncul sebagai sarana sosialisasi ideologi partai-partai tertentu misalnya
Harian Rakyat.
Pada awal tahun 1960 timbul perpecahan dan polemik yang berkepanjangan karena
Lembaga kebudayaan Rakjat (Lekra) memiliki konsep sastra realisme-sosialis, diketahui juga
bahwa Lekra ini berada dibawah naungan PKI, hal ini menyebabkan tertundanya
perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965.
Terjadi juga polarisasi di antara sastrawan karena pergolakan politik antara orde lama dan
orde baru, penerbit juga terkena imbas politik, sehingga sulit menerbitkan karya. Beberapa
sastrawan Angkatan 50 pun menulis di majalah atau surat kabar. Pada keadaan terparanya
bahkan para sastrawan kesulihan menerbitkan karyanya, majalah tersebut bertahan sampai
tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya.
Karya sastra pada periode ini banyak menghasilkan karya-karya dalam bentuk cerpen
dan puisi. Contoh karya pada angkatan itu, “kranji dan Bekasi Jatuh” (1947) karya Pramudya
Ananta Toer, “Tak ada esok” (1950) karya Mochtar Lubis. Adapun sastrawan yang termasuk
dalam periode 50-an ini di antaranya Kirdjomuljo, WS Rendra, Ajib Rosidi, Toto Sudarto
Bachtiar, Ramadhan KH, Nugroho Notosanto, Subagio Sastrowadojo, Mansur Samin, N.H.
Dini, Trisnojuwono, Rijono Pratikno, Alexandre Leo, Jamil Suherman, Bokor Hutusahut,
Bastari Asnin, B. Sularto, Motinggo Busye Nasjah Djamin, Mohamad Diponegoro, Toha
Mochtar, Ratmono Sn. Piek Ardidyanto, Hartojo Andangjaya, dan sebagainya.
Lalu beberapa ciri-ciri karya sastra angkatan 1950-1960 yang membedakan karya
sastra pada periode ini dengan periode lainnya adalah didominasi cerita pendek dan
kumpulan puisi, pusat kegiatan sastra pada periode ini makin banyak jumlahnya dan sudah
meluas ke seluruh pelosok Indonesia, pada periode ini kebudayaan daerah dan Sastra
Nasional Indonesia diungkapkan dengan lebih mendalam, nilai keindahan karya sastra juga
mulai diukur dengan karakteristik Sastra Indonesia sendiri. Lalu, gaya slogan dan retorik
makin berkembang, gaya mantra mulai tampak, corak karya cukup beragam juga dikarenakan
faktor politik/idelogi partai yang berbeda-beda, pada periode ini juga terjadi peristiwa yang
dikenal dengan G 30 S/PKI dimana membuat sastrawan-sastrawan Lekra disingkirkan.