Anda di halaman 1dari 3

MANIFESTASI KEBUDAYAAN

1. Para penandatangan Manifes Kebudayaan di Jakarta adalah Wiratmo Soekito, H.B Jassin,
Trisno Sumardjo, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto,
Zaini, Djufri Tanissan, A. Bastari Asni, Boen S. Oemarjati, Purnawarman Tjondronagoro,
Sjawhwil, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Taufiq Ismail, M. Saribi Afn., Binsar Sitompul, dan
Hartojo Andangdjaja.

2. Setelah Manifes Kebudayaan dimumkan melalui media massa, pendukung Manifes


Kebudayaan muncul di berbagai kota. Beberapa dukungan muncul berupa pernyataan
masyarakat kebudayaan di Palembang seperti Badan Pembina Teater Nasional Indonesia,
Lembaga Seni Sastra Palembang, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, Teater
Muslim Wilayah Palembang, Himpunan Seni Budaya Islam, Ikatan Pencitan Seni, Himpunan
Bekas Pelajara Quraniah, dan Pelajar Seniman Indonesia. Dukungan lain berasal dari DPP
Ikatan Sarjana Pancasila, 39 orang Seniman Yogyakarta (Rusli, F.X Soetopo, Dick Hartoko,
Amri Jahjam Adjib Hamzah, Andre Hardjana, Sapardi Djoko Damono, Darmato Jatman, dan
lain-lain), Sastrawan dan Seniman Medan, 38 Seniman Bandung (Kaboel, A.D. Pirous,
Gandjar Sakri, Sanento Yuliman, Imam Boechori, Souw Tjoan Sin, dan lainlain).
Diperkirakan sekitar seribuan orang sastrawan, seniman, budayawan, di seluruh Indonesia
ikut menandatangai Manifes Kebudayaan.

3. Mula-mula kelompok Lekra tidak begitu merisaukan kehadiran Manifes Kebudayaan.


Akan tetapi, ketika kelompok Maninef Kebudayaan akan menggelar Konferensi Karyawan
Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta pada Maret 1964 dan menghasilkan Persatuan
Karyawan Pengarang (PKPI), maka Lekra dan simpatisannya pun mulai melancarkan
serangan. Kelompok Lekra menyingkat Manifes Kebudayaan menjadi “Manikebu” yang
asosiasinya kurang baik. Lantas Bakri Siregar mengatakan bahwa Manifes Kebudayaan
“hendak mengaburkan lawan dan kawan revolusi’. Lebih keras lagi reaksi Sitor Situmorang,
yang saat itu menjabat Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN).

4. Akibat kehendak Bung Karno itu, timbul pro dan kontra di antara pendukung Manifes
Kebudayaan sendiri. Sebagian mengingkan perubahan, sebagian lagi tidak. Golongan terakhir
ini termasuk Wiratmo Soekito penggagas Manifes Kebudayaan. Akan tetapi, karena didesak
terus oleh pendukungnya dan simpatisan Manifes Kebudayaan, akhirnya Wiratno Soekito
menyerah dan bersedia mengubah Manifes Kebudayaan itu. Namun, sebelum Wiratno
menyetakan kesediaannya, Bung Karno sudah melarang Manifes Kebudayan pada tanggal 08
Mei 1964, dengan alasan “karena Manifestasi Politik Republik sebagai pancaran Pancasila
telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan Manifesto
lain, apalalagi kalau Manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan
memberi kesan berdiri di sampingnya”. Atas nama pendukung Manifes Kebudayaan, 10 Mei
1964 H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Sumardjo mengirim kawat kepada Presiden
Soekarno yang menyatakan “mematuhi larangan tersebut”. Dan atas nama pendukung
Manifestasi Kebudayaan di seluruh Indonesia 19 Mei 1964 mereka sekali lagi mengirim
kawat meminta maaf dan mengharapkan petunjuk kepada Presiden Soekarno. Namun, hal itu
tidak sedikit pun mengubah keadaan, bahkan menjadi semakin buruk. Pelarangan Manifes
Kebudayaan kemudian disusul dengan peristiwa yang memojokkan pelaku Manifes
Kebudayaan. H.B. Jassin dan Boen Oemarjati yang keduanya mengajar di Fakultas Sastra UI
harus mengundur diri dari kampus tersebut. Majalah sastra, penerbitan yang menyuarakan
Manifestasi Kebudayaan akhirnya berhenti karena situasi politik yang tidak menguntungkan.
Akibat terbesar dari pelarangan Manifes Kebudayaan adalah pelarangan buku pengarang-
pengarang yang ikut menandatangani manifes tersebut.

KRISIS SASTRA

1. Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-
kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis
Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya. Tahun 1953 di Amsterdam
diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam
simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain.
Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra
Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis
baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada
pertengahan tahun 1954.

2. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi”
dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang
mengalami krisis. Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis
karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar psikologisme
perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis. Karangan Soejatmoko ini
mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti : Nugroho
Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B. Jassin dalam
simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan
Indonesia Modern tidak ada krisis” 30 Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia
(Bandung : Penerbit Binacipta) hlm. 236-238 dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang
kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra
Indonesia. Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya
Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan
“Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka).

3. Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan
orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat
kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945
mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran. Sitor
Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” dalam majalah Mimbar
Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan
krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam
diri Jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.

Anda mungkin juga menyukai