Anda di halaman 1dari 31

Indonesia

Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada


jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia
lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih
berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai
pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap.
Tanpa mengulang kembali apa yang telah
disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana,
Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan
Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para
pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah
sastra Indonesia di era reformasi ini.

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on


Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan
Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra
Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan,
awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang
ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan
Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan
kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail
menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia
(empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi
Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad
ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai
pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak
dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan
Indonesia.

Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi
untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang
sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting
karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita
mengenai bangsa dan negara Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan


sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa
sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad
ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata
rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru
lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan
sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.

Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang
tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu
sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia.
Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan
Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan
pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka
tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak
mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.

Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan


dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu
saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah
menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba
dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi
kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane,
sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan
Arjuna (Timur).

Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra


Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada
sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda
yang membentuk Commissie voor de Indlandsche
School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan
Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada
1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat)
yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra
Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial
Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu
hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia.
Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian
kecil dari keindonesiaan kita.

Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah


terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk
Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari
peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik
awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan
wacana baru bahwa karya sastra yang tidak
melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu
tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang
ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”,
adalah juga termasuk dalam khasanah sastra
Indonesia.

Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia


tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa.
Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan
dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa,
seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J.
Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra
Indonesia yang berhasil diselamatkan.

Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya


Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada
2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan
terhadap eksistensi sastra Indonesia yang
menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena
telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra
(dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan


sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra
Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih
di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang
tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh
mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki
kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.

Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann,


sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran
berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa
Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada
masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri
menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya
Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-
liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut
Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam
kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena
memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia,


memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya
untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis
oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti
Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji
Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar
dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi
sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan
sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih
radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu
sendiri.

Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik


Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami
wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah
satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah
karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J.


Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang
menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan
Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-
1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah,
Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu
dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa
pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan
Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia


Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang
modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa
mengenal yang pertama, orang tidak mungkin
menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya
dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-
musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di
dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan
hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada
generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik,
dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat


telah memberi warna baru yang memperkaya dan
mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah
sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di
ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan
sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh
saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the
twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa,
memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak
mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin
Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa


setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia,
yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh
Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan
sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang
sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua
“kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan
penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini
diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang
memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa
(52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam
menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.*

Oleh: Asep Sambodja, penyair dan esais tinggal di Citayam. Redaktur


Cybersastra.net.
Sumber: Cybersastra

Dunia Esai

Islam di Nusantara dan Transformasi Kebudayaan Melayu


April 10, 2008 at 7:30 am | In Falsafah, Hikmah, Ibrah Sejarah, Sastra |

ISLAM DI NUSANTARA

DAN TRANSORMASI KEBUDAYAAN MELAYU


<!--[if !supportEmptyParas]-->
Abdul Hadi W. M.

<!--[if !supportEmptyParas]-->
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

***

Sebenarnya apa yang disebut orang Melayu bukanlah suatu komunitas etnik atau sukubangsa
sebagaimana dimengerti banyak orang dewasa ini. Ia sebenarnya mirip dengan bangsa atau kumpulan etnik-
etnik serumpun yang menganut agama yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Ke dalamnya melebur
pula penduduk keturunan asing seperti Arab, Persia, Cina dan India, disamping keturunan dari etnik Nusantara
lain. Semua itu dapat terjadi karena selain mereka hidup lama bersama orang Melayu, karena juga memeluk
agama yang sama serta menggunakan bahasa Melayu dalam penuturan sehari-hari. Inilah yang menyebabkan
orang Melayu memiliki keunikan tersendiri dibanding misalnya orang Jawa atau Sunda.

Etnik-etnik serumpun lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu. Tetapi orang Melayu tidak.
Mereka tinggal di beberapa wilayah yang terpisah, bahkan di antaranya saling berjauhan. Namun di mana pun
berada, bahasa dan agama mereka sama, Melayu dan Islam. Adat istiadat mereka juga relatif sama, karena
didasarkan atas asas agama dan budaya yang sama. Karena itu tidak mengherankan apabila Kemelayuan identik
dengan Islam, dan kesusastraan Melayu identik pula dengan kesusastraan Islam. Bagi mereka yang tidak
mengetahui latar belakang sejarahnya fenomena ini tidak mudah dipahami. Untuk itu uraian tentang sejarahnya
sangat diperlukan.

Setidak-tidaknya ada delapan faktor yang menyebabkan orang Melayu mengidentifikasikan diri dan
kebudayaannya dengan Islam. Pertama, faktor perdagangan; kedua, perkawinan, yaitu antara pendatang Muslim
dengan wanita pribumi pada tahap awal kedatangan Islam; ketiga, faktor politik seperti mundurnya kerajaan
Hindu dan Buddha seperti Majapahit dan Sriwijaya; keempat, faktor kekosongan budaya pasca runtuhnya
kerajaan Buddhis Sriwijaya di kepulauan Melayu; kelima, hadirnya ulama sufi atau faqir bersama tariqat-tariqat
yang mereka pimpin; keenam, pengislaman raja-raja pribumi oleh para ulama sufi atau ahli tasawuf; ketujuh,
dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga
pendidikan Islam; delapan, mekarnya tradisi intelektual baru di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu sebagai
dampak dari maraknya perkembangan Islam.

Faktor perdagangan telah sering dikemukakan. Agama Islam muncul di Nusantara


disebabkan kehadiran pedagang-pedagang Muslim dari negeri Arab dan Persia sejak abad ke-8 dan 9
M. Dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan kaum Muslimin pada abad-
abad berikutnya, terutama dari abad ke-11 hingga abad ke-17 M, perkembangan agama Islam ikut
marak pula. Pada mulanya komunitas Islam tumbuh di kota-kota pesisir yang merupakan pelabuhan
utama atau transit pada zamannya. Di sini tidak sedikit pedagang Muslim asing itu tinggal lama dan
kawin mawin dengan penduduk setempat. Semua itu merupakan cikal bakal berkembangnya
komunitas Islam di Nusantara. Kegiatan perdagangan dan penyebaran Islam kemudian juga
melibatkan penduduk pribumi, termasuk orang Melayu dan etnik-etnik pesisir lain yang meleuk
agama Islam. Tradisi dagang (merantau untuk berniaga) lantas tumbuh di kalangan etnik pesisir ini.
<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Islam dan Kepulauan Melayu


Masuk dan berkembang pesatnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-13 – 17 M memunculkan
banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Khususnya tentang darimana
agama ini datang dan siapa yang membawanya masuk. Begitu pula mengenai saluran-saluran
komunikasi yang digunakan sehingga memungkinkan agama ini diterima secara luas oleh penduduk
Nusantara dalam waktu yang relatif singkat. Semula diduga bahwa yang membawa dan
memperkenalkan agama ini di kawasan ini ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak itu
perdagangan dipandang sebagai saluran utama bagi pesatnya perkembangan Islam di kepulauan
Nusantara. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum
berkembang pesat, Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan
faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.

Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal
memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri
asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India
seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan
pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya
kekacauan dan peperangan di Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur
Tengah semakin ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara (Hasan Muarif Ambary 1998;
Azyumardi Azra 1999).

Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab dan
Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan ke atas
negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir dengan jatuhnya kekhalifatan Baghdad pada
1258 M. Peristiwa ini mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin
ke India dan ke Asia Tenggara. Bersama mereka hadir pula sejumlah besar faqir dan sufi
pengembara dengan pengikut tariqat yang mereka pimpin (John 1961; Ismail L. Faruqi 1992).

Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur. Karena itu tidak
heran jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-
1511 M) muncul di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan atau bandar dagang, dan
menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam. Dengan munculnya kerajaan-
kerajaan ini maka perlembagaan Islam, termasuk lembaga pendidikan, dapat didirikan. Semua
itulah yang memungkin penyebaran agama Islam dan transformasi budayanya dapat dilakukan.
Faktor lain bagi pesatnya perkembangsan Islam ialah mundurnya perkembangan agama Hindu dan
Buddha, mengikuti surutnya kerajaan Hindu dan Buddha yang diikuti oleh mundurnya peranan
politiknya. Abad ke-13 M ketika agama Islam mulai berkembang pesat di kepulauan Melayu, sebagai
contoh, ditandai dengan mundurnya kerajaan Sriwijaya atau Swarnabhumi. Pusat imperium Buddhis
di Nusantara ini mulai mengalami kemunduran disebabkan ronngrongan dua kerajaan Hindu Jawa –
Kediri dan Singasari – disusul dengan krisis ekonomi yang membelitnya. Seabad berikutnya negeri ini
dua kali diserbu Majapahit, sebuah imperium Hindu yang mulai bangkit di Jawa Timur. Serbuan
terakhir pada penghujung abad ke-14 M menyebabkan negeri itu hancur dan tamat riwayatnya
(Wolter 1970).

Mundurnya kerajaan Sriwijaya menyebabkan daerah-daerah taklukannya melepaskan diri dan


muncul menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka. Di antaranya ialah Lamuri, Aru, Pedir,
Samalangga dan Samudra di pantai timur, dan Barus di pantai barat. Menjelang akhir abad ke-13 M,
kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil dipersatukan dan bergabung di bawah imperium baru, Samudra
Pasai. Setelah rajanya yang pertama, Meura Silu memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi
Malik al-Saleh, kerajaan ini berubah menjadi kerajaan Islam. Pada tahun 1340 M Sriwijaya diserbu
oleh Majapahit yang menjadikan negeri itu semakin lemah dan kehilangan pamor. Sebaliknya
Samudra Pasai, walaupun juga digempur oleh Majapahit dan banyak sekali harta kerajaan itu yang
dirampas, masih dapat melanjutkan eksistensinya sebagai bandar dagang utama di Selat Malaka.

Pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya, Paramesywara yang masih muda, berhasrat memulihkan
kedaulatan negerinya. Lantas ia memaklumkan diri sebagai titisan (avatara) Boddhisatwa. Ini
membuat murka penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas diserbu sekali lagi dan kali ini
dihancur leburkan. Bersama ratusan sanak keluarga, karib kerabat, pendeta dan pegawainya,
Paramesywara berhasil melarikan diri. Mula-mula ke Temasik, Singapura sekarang, dan akhirnya ke
Malaka di mana dia mendirikan kerajaan baru. Karena letaknya yang strategis, Malaka segera
berkembang menjadi bandar dagang regional yang penting di Selat Malaka.Pada tahun 1411 M,
Paramesywara memeluk agama Islam setelah menikah dengan putri raja Pasai. Maka negerinya
muncul menjadi kerajaan Islam baru kedua setelah Samudra Pasai (Wolter 1970).

Begitulah sejarah awal pesatnya perkembangan agama Islam di kepulauan Nusantara. Berbeda
dengan agama Buddha yang hadir sebagai agama elite aristokratik, walaupun dipeluk juga oleh
masyarakat di luar istana dan vihara, tetapi budaya baca tulis dan tradisi intelektualnya tidak
meluas ke tengah masyarakat. Sebab pendidikan diperuntukkan hanya untuk kaum bangsawan.
Islam hadir sebagai agama egaliter dan populis. Agama ini tidak mengenal sistem kasta dan
kependetaan, dan karenanya memungkinkan keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam
seluruh bidang kehidupan, termasuk dalam pendidikan dan intelektual. Lembaga pendidikan Islam
sejak awal dibuka untuk segenap lapisan masyarakat dan golongan. Lagi pula Islam adalah agama
kitab. Belajar menulis dan membaca diwajibkan bagi seluruh pemeluknya. Demikianlah, dengan
berkembangnya Islam membuat tradisi keterpelajaran lambat laun juga berkembang.

Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan
intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kecuali itu
Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya.
Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual serta membebaskan mereka dari belenggu
mitologi yang menguasai jiwa mereka sebelumnya. Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan
menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern
1917; Schrieke 1955). Lebih jauh lagi, oleh karena pesatnya perkembangan ini dihantar oleh
maraknya kegiatan pelayaran dan perdagangan, sedangkan Islam memiliki kecenderungan terhadap
aktivisme keduniaan dan sosial, maka ethos dan budaya dagang pun bangkit di kalangan etnik yang
memeluk agama ini, terutama yang tinggal di pesisir.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Tahapan Perkembangan Islam

Agama Islam berkembang tahap demi tahap di kepulauan Nusantara, melalui jalan yang
berliku-liku dan berbeda di daerah yang satu dengan yang lain. Masa-masa penyebarannya itu juga
tidak berjalan serentak di wilayah yang berbeda-beda. Ketika di suatu kawasan baru berada dalam
tahap pengenalan dasar-dasar dan pokok ajaran agama, di daerah lain telah memasuki fase
pengenalan implikasi-implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam tentang Tauhid. Secara
umum tahapan-tahapan perkembangan itu dari abad ke-13 s/d awal abad ke-20 dapat dibagi lima.

Tahap I, dari awal abad ke-13 M hingga pertengahan abad ke 15 M, dapat disebut tahapan
pemelukan secara formal. Yang ditekankan ialah pengenalan dasar-dasar kosmopolitanis Islam,
ketentuan dasar pelaksanaan syariat agama dan fiqih.

Tahap II, dari akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-16 M. Periode ini proses islamisasi
kepulauan Melayu berjalan dengan pesat diikuti kian tersebarnya Islam ke berbagai pelosok
Nusantara. Berkat meningkatnya tingkat pemahaman dan pendidikan yang diperoleh kaum
Muslimin, ajaran Islam kian dipahami lebih mendalam. Memeluk agama Islam tidak sekadar
formalitas. Di kepulauan Melayu dan pesisir Jawa tradisi intelektual Islam mulai terbentuk. Kitab-
kitab keagamaan dan sastra Islam telah ditulis dengan produktifnya dalam bahasa Melayu dan Jawa
Madya. Pengaruh tasawuf sangat dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya sastra.
Implikasi rasional dan intelektual dari ajaran Islam kian dilibatkan dalam penyebaran agama Islam.
Pada masa ini kita menyaksikan semakin terintegrasinya kebudayaan Melayu dengan Islam.

Tahap III berlangsung pada abad ke-17 M, adalah tahapan penyempurnaan pemahaman
ajaran Islam dan tradisi intelektualnya. Pada masa ini kita menyaksikan suburnya penulisan sastra
dan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu. Pokok-pokok yang dibahas dalam kitab-kitab Melayu
meliputi bidang-bidang seperti fiqih ibadah dan muamalah, fiqih duali (ketatanegaraan), syariah,
usuluddin, kalam, tasawuf falsafah dan tasawuf akhlaq, tafsir al-Qur’an, ilmu hadis, eskatologi,
historiografi, tatabahasa (nahwu), retorika, ilmu ma`ani (semantik), estetika (balaghah),
astromomi, ilmu hisab, perkapalan, ekonomi dan perdagangan, sastra dan seni, ketabiban, farmasi,
dan lain-lain. Kemajuan yang dicapai di bidang intelektual ini mempermantap kedudukan dan
perkembangan bahasa Melayu.

Tahap IV pada abad ke-18 – 19, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syariah.
Ini memberi dampak besar bagi perkembangan tariqat. Beberapa tariqat sufi mengalami pembaruan
dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan yang kian memberikan perhatian pada aktivisme
keduniaan. Pada abad ke-18 dan 19 M proses ortodoksi ini mendorong lahirnya gerakan anti-kolonial
yang merata di seluruh kepulauan Nusantara. Pengaruh gerakan pemurnian agama yang muncul di
Arab Saudi pada akhir abad ke-18, Wahabisme, semakin memperkuat kecenderungan pada syariat
dan fiqih. Tidak berarti tasawuf falsafah terhambat perkembangannya. Pada tahapan ini Islam
muncul sebagai kekuatan efektif menentang kolonialisme. Sementara itu proses islamisasi juga
terus berlangsung, bahkan kian deras dan Islam semakin mengukuhkan diri sebagai faktor inetgratif
atau pemersatu bangsa Indonesia.

Tahap V munculnya gerakan pembaharuan (tajdid). Gerakan-gerakan keagamaan tumbuh


menjadi gerakan kebangsaan. Sebagian seperti SI (Sarekat Islam) menekankan pada perjuangan
politik, sebagian lagi seperti Muhammadiyah menekankan pada bidang sosial seperti pendidikan dan
dakwah. Islam tradisional juga bangkit, ditandai dengan berdirinya organisasi seperti NU. Lembaga
pendidikan tradisional, khususnya pesantren, mengalami revitalisasi dan dari waktu ke waktu kian
relevan sebagai model pendidikan alternatif di tengah derasnya proses sekularisasi pendidikan
nasional. Walaupun umat Islam tidak berhasil menyalurkan aspirasinya dalam bidang politik sejak
Pemilu 1955, namun bangunan budayanya masih tetap utuh.

Pada tahapan pertama, daya tarik Islam yang menyebabkan penduduk Nusantara memeluk
agama ini ialah watak dan semangat egaliternya, serta kehidupan pemeluknya yang awal yang
terdiri dari para pedagang yang kaya, makmur dan terpelajar. Dengan memeluk agama ini penduduk
pribumi berpeluang meningkatkan taraf hidup dan status sosialnya. Misalnya dapat berpartisipasi
dalam perdagangan regional dan antar pulau, serta dapat memasukkan anak-anak mereka ke
lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan di mana saja terdapat komunitas Muslim. Melalui cara
itu pula mereka menjadi bagian dari masyarakat kosmopolitan dan naik martabatnya. Sudah
menjadi kebiasaan di mana saja terdapat komunitas Islam dalam jumlah besar, di situ hadir pula
para pendakwah dan guru agama. Masjid-masjid didirikan, begitu pula madrasah. Pengajian-
pengajian diselenggarakan secara intensif.
Penggunaan kesenian sebagai media dakwah merupakan daya tarik yang lain. Inilah yang
dilakukan wali sanga di Jawa seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan
Sunan Gunungjati. Seorang sejarawan Persia abad ke-15 M yang tinggal lama di Malabar, Zainuddin
al-Ma`bari, menulis dalam bukunya Tuhfat al-Mujahidin bahwa banyak penduduk India Selatan dan
Nusantara tertarik memeluk agama Islam setelah menyaksikan dan mendengar pembacaan riwayat
hidup dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. yang disampaikan dalam bentuk syair dan
dinyanyikan. Terutama dalam peringatan Maulid Nabi (Ismail Hamid 1983). Yang dimaksud Zainuddin
al-Ma`bari ialah pembacaan Kasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid, dan yang sejenis
itu yang hingga sekarang masih kita saksikan di kalangan masyarakat Muslim tradisional di seluruh
dunia Islam. Media kesenian ini pulalah yang digunakan para wali di Jawa dan tariqat-tariqat sufi,
seperti misalnya pembacaan Rawatib Syekh Samman, Rawatib Syekh Abdul Jadir Jailani, dan lain-
lain.

Kian meningkatnya jumlah Muslim pribumi dari berbagai etnik dalam jaringan dan kegiatan
perdagangan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan ekonomi. Mereka yang tinggal di kota-
kota pelabuhan mulai banyak yang meninggalkan pasar tradisional, menjadi perantau dan pelayar
yang tangguh. Dengan demikian mobilitas sosial terjadi baik secara horisontal maupun secara
vertikal. Etos dan budaya dagang juga berkembang. Ini bisa kita lihat pada etnik-etnik Pesisir yang
telah lama memeluk Islam dan menjadikan Islam sebagai bagian dari dirinya seperti Minangkabau,
Bugis, Makassar, Banjar, Madura, Jawa Pesisir, Palembang, dan lain-lain. Mereka adalah di antara
sukubangsa-sukubangsa Nusantara yang memiliki budaya dagang yang kuat. Khusus etnik Bugis,
Makassar, dan Madura, memiliki tradisi pelayaran jarak jauh yang tangguh hinggga kini. Semua itu
merupakan dampak dari kedatangan dan perkembangan Islam.

Pemakaian bahasa Melayu sebagai media penyebaran agama dan bahasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan, terutama sejak abad ke-16 M, memudahkan penduduk Nusantara di
kota-kota pelabuhan memahami ajaran Islam dan sekaligus memudahkan orang-orang Islam dari
berbagai etnik itu saling berkomunikasi dan berinteraksi. Ditambah lagi dengan kesamaan agama
yang mereka anut. Sebagai dampaknya, sebagaimana terjadi pada akhir tahapan kedua nanti,
bahasa Melayu mengalami proses islamisasi yang begitu deras. Yaitu dengan diserapnya ratusan
kata-kata Arab dan Persia, yang tidak sedikit di antaranya adalah istilah-istilah tehnis ilmu-ilmu
agama dan falsafah Islam. Derasnya proses islamisasi bahasa Melayu itu tampak secara menonjol
dalam risalah dan syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, seorang cendikiawan sufi abad ke-16 M.
Dalam karya-karyanya itu kita menjumpai lebih 2000 kata-kata Arab diserap dalam bahasa Melayu
(Abdul Hadi W. M. 2000). Pemakaian huruf Arab Melayu juha meluas. Tidak hanya penulis kitab
Melayu menggunakan huruf ini, tetapi juga penulis dari daerah lain di kepulauan Nusantara seperti
Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Makassar, Banjar, Sasak, Minangkabau, Mandailing, Palembang, Bima,
Ternate dan lain-lain.

Demikianlah segera setelah agama Islam berkembang pesat, segera pula agama ini
memperlihatkan watak dan wajah kebudayaannya yang berbeda dari dua agama sebelumnya, Hindu
dan Buddha yang lebih dahulu hadir di Asia Tenggara. Perbedaannya yang menyolok ialah: Pertama,
dalam Islam hanya ada teks suci tunggal yang utuh dan mantap, karena itu tidak membingungkan
penganutnya. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat banyak teks suci yang sukar dipelajari
penganutnya yang awam. Kedua, ajaran ketuhahan dan sistem peribadatan Islam lebih sederhana
dan jelas, serta mudah dipahami. Ia mengharuskan hubungan mesra antara penganutnya dengan
Sang Khaliq tanpa perantaraan pendeta. Ketiga, Islam adalah agama yang egaliter sebagaimana
telah dijelaskan. Tiadanya sistem kasta mendorong penduduk kepulauan Nusantara cepat tertarik
pada agama ini. Dengan masuk Islam mereka berpeluang besar menjadi pemimpin keagamaan dan
masyarakat asal saja memenuhi syarat seperti memperoleh pendidikan yag juga terbuka kepada
semua lapisan dan golongan masyarakat.

Kecuali itu para pendakwah Islam yang awal dalam menyampaikan khotbah-khotbahnya
menggunakan bahasa yang mudah dipahami, namun jelas pesan yang ingin disampaikannya tanpa
perlu melakukan pendangkalan. Baru pada tahapan kedua implikasi rasional dan intelektual dari
pokok-pokok ajaran Islam, seperti Tauhid, dilibatkan dalam mengomunikasikan ajaran Islam.
Demikianlah penyampaian ajaran Islam dan jiwa kebudayaannya itu tahap demi tahap pada
akhirnya sampai juga ke tujuannya (Braginsky 1998).

Karena yang penting memberikan dasar-dasar keimanan yang kuat, dan memperkenalkan
kosmopolitanisme Islam sebagai pegangan hidup, pada tahap awal ini tidak dirasakan perlu
menyertakan implikasi-implikasi rasional dan intelektual yang terlalu jauh sehubungan dengan
konsep Tauhid yang merupakan ajaran sentral Islam (al-Attas 1972). Pengajaran dan ceramah
tentang berbagai perkara berkenaan dengan keimanan dan ketaqwaan, atau yang bersangkut paut
dengan rukun Islam dan rukun iman, dirasakan cukup memadai. Tentunya dengan menggunakan
uraian yang mudah dicerna. Begitu pula ceramah yang berhubungan dengan ide-ide kemasyarakatan
dalam Islam, disampaikan sesederhana mungkin.

Tidak diperlukannya uraian yang bercorak intelektual sebagian disebabkan karena


pemahaman tentang Tauhid atau kepercayaan akan keesaan Tuhan dalam pikiran penduduk
Nusantara masih kabur. Konsep-konsep ketuhanan yang diajarkan Hinduisme dan Syamanisme masih
berpengaruh. Jika implikasi rasional dan inetelektual dari Tauhid disertaka, maka kemungkinan
akan terjadi kekaburan yang membingungkan (al-Attas 1972) Yang dapat dilakukan untuk mengikis
pengaruh kepercayaan lama itu ialah dengan memperkenalkan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam.
Dasar-dasar kosmoplitanisme Islam itu antara lain ialah pandangan bahwa hidup di dunia ini bersifat
sementara, sedang kampung halaman manusia sebenarnya ialah akhirat.

Dari Pasai dan Aceh, Islam kemudian tersebar ke wilayah-wilayah lain di kepulauan
Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam pun bermunculan di pulau-pulau lain sejak abad ke-16 M
setelah penguasa setempat memeluk agama Islam dan kerajaannya terlibat dalam kegiatan
perdagangan regional. Di Jawa muncul kerajaan Demak, Banten, Pajang, Mataram, Cirebon dan
Madura pada abad ke-16 – 17 M; di Maluku kerajaan Ternate dan Tidore pada abad ke-16 juga; di
Sulawesi Buton, Selayar dan Gowa, di Nusatenggara Bima dan Lombok, di Kalimantan Banjarmasin
dan Pontianat, dan seterusnya pada abad ke-17 dan 18 M (Hasan Muarif Ambary 1998). Di kepulauan
Melayu sendiri pusat-pusat kekuasan dan peradaban Islam yang lain juga muncul menyusul
kemunduran Aceh Darussalam sejak awal abad ke-18 M. Misalnya Palembang, Johor, Riau,
Banjarmasin, Minangkabau, dan lain-lain.

Tidak banyak ekspedisi militer diperlukan dalam proses islamisasi itu Yang paling aktif bergerak
ialah para wali dan sufi, atau para pemimpin tariqat dengan gilda-gilda mereka. Sumber-sumber
sejarah lokal banyak memberikan keterangan ini. Misalnya Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis pada
akhir abad ke-14 M) yang menceriterakan bahwa raja Samudra Pasai dan penduduk negeri itu
diislamkan oleh Syekh Ismail, seorang faqir yang berlayar bersama 70 pengikutnya dari Yaman. Gibb
(1957) mengatakan kepada kita bahwa seorang musafir Arab dari Maroko, Ibn Batutah yang
mengunjungi negeri itu pada tahun 1345-6 M, memberitakan bahwa raja negeri itu sangat egaliter
dan suka berbincang dengan ulama-ulama madzab Syafii dan para cendekiawan Persia dari Bukhara
dan Samarqand. Dia berjalan kaki ke masjid setiap hari Jumat. Usai salat Jumat sang raja biasa
bertatap muka dan berbincang dengan orang kebanyakan sebelum kembali ke istana.

Tiga Lingkaran Pusat Peradaban

Faktor penting lain yang menyebabkan Islam berkembang pesat ialah penempatan pusat-
pusat lingkaran peradaban di tiga titik yang tepat, yaitu Istana, Pesantren dan Pasar (Taufik
Abdullah 1988, dalam Sidiq Fadil 1991). Istana sebagai pusat kekuasaan berperan di bidang politik
dan penataan kehidupan sosial. Di sini dengan dukungan ulama yang terlibat langsung dalam
birokrasi pemerintahan, hukum Islam dirumuskan dan diterapkan. Di sini pula kitab sejarah ditulis
sebagai landasan legitimasi bagi penguasa Muslim. Pesantren berperan di bidang pendidikan, dan
merupakan pusat kebudayaan kedua setelah istana. Di sini jaringan-jaringan pengajian agama di
lingkungan masyarakat luas dibangun, di kota atau pun di pedesaan, begitu pula tema-tema
pengajian. Di sini pula kitab-kitab keagamaan ditulis dan disalin untuk disebarkan.

Peran pesantren, atau dayah dan meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, semakin
menonjol pada abad ke-18 M di seluruh pelosok Nusantara. Ia sekaligus berperan sebagai pusat
kegiatan tariqat sufi. Lembaga yang semula bersifat kedaerahan ini berkembang menjadi lembaga
supra-daerah yang kepemimpinan dan peserta didiknya tidak lagi berdasarkan kesukuan. Ia tumbuh
menjadi lembaga universal yang menerima guru dan murid tanpa memandang latar belakang suku
dan daerah asal. Pada masa itulah pesantren atau dayah mampu membentuk jaringan
kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar-daerah (lihat
juga Azyumardi Azra 1999).

Sedangkan pasar berperan di bidang ekonomi dan perdagangan. Pasar merupakan daerah
pemukiman para saudagar, kaum terpelajar dan kelas menengah lain, termasuk para perajin, yang
berhadapan langsung dengan situasi kultural yang sedang berkembang. Di sini orang dari berbagai
etnik dan ras yang berbeda-beda bertemu dan berinteraksi, serta bertukar pikiran tentang masalah
perdagangan, politik, sosial dan keagamaan. Di sini pula perkembangan bahasa Melayu mengalami
dinamika yang menentukan bagi luasnya penyebarannya ke berbagai wilayah Nusantara lain. Di
tengah komunitas yang majemuk ini tentu saja terdapat masjid yang merupakan tempat mereka
berkumpul dan menghadiri pengajian-pengajian keagamaan. Di sini pula madrasah-madrasah
didirikan, dan buku-buku keagamaan didatangkan dari negeri Arab dan Persia, dikirim ke pesantren
untuk disalin, disadur atau diterjemahkan agar dapat disebarluaskan. Di sini pula dirancang strategi
penyebaran agama mengikuti jaringan-jaringan emporium yang telah mereka bina sejak lama.
Tentu saja tiga titik pusat lingkaran peradaban ini saling mendukung satu dengan yang lain, dan
saling berinteraksi. Ini tercermin dalam tatanan kota yang dibangun pada zaman kejayaan imperium
dan emporium Islam.

Kota-kota Islam di Nusantara dibangun mengikuti model kota di negeri Arab dan Persia. Ia
berbeda dengan kota-kota pada zaman Hindu dan kota-kota lama di Eropa. Kota-kota lama di Eropa
dibangun dengan menempatkan istana sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan tatanan
kehidupan kota. Kota-kota Islam menempatkan istana sebagai bagian integral dari kehidupan kota.
Dengan begitu istana tidak terasing dan dapat berinteraksi secara dinamis dengan pusat-pusat
peradaban di luarnya seperti lembaga pendidikan dan pasar. Model kota seperti itu memungkinkan
istana mempengaruhi kebudayaan kota dengan kuat lewat kehidupan di pesantren dan pusat
pemukiman para saudagar, perajin dan cendikiawan yang disebut Pasar atau Bazzar (Fylstinsky
1971, melalui Braginsky 1998).

Penataan kota seperti itu dan penempatan tiga titik lingkaran pusat peradaban, semakin
efektif berfungsi ketika proses islamisai memasuki tahapan kedua. Yaitu ketika implikasi rasional
dan filosofis dari konsep Tauhid mulai disertakan dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan terutama
sekali pada tahapan ketiga nanti. Islam tidak cukup diterima secara formal atau berdasarkan aspek
legallistik formal. Jika itu yang ditekankan, maka Islam tidak akan berakar sedemikian mendalam di
dalam jiwa, pikiran dan pandangan hidup penduduk Nusantara.
Pendalaman terhadap ajaran Islam pada tahapan kedua ini dilakukan dengan pengenalan
konsep-konsep metafisika, epistemologi, etika dan estetika sufi. Pada masa ini ulama-ulama
pribumi mulai mengambil alih peranan ulama dari luar, termasuk dalam struktur birokrasi
pemerintahan. Mereka juga tampil sebagai cendekiawan yang mahir menyampaikan persoalan-
persoalan keagamaan melalui karangan-karangan ilmiah dan sastra dalam bahasa lokal, khususnya
bahasa Melayu dan Jawa, di samping dalam bahasa Arab. Tidak mengherankan apabila pada tahapan
ini penulisan kitab keagamaan berkembang subur, khususnya di Aceh yang merupakan imperium
Islam terbesar di Nusantara pada abad ke-16 dan 17 M. Pada peralihan abad ke-16 dan 17 M, ketika
tahapan kedua perkembangan Islam mencapai puncaknya, muncul sastrawan besar seperti Hamzah
Fansuri dan murid-muridnya, antara lain Syamsudin al-Sumatrani, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan
lain-lain. Karangan-karangan mereka pada umumnya sarat dengan uraian berkenaan doktrin Wahdat
al-Wujud (‘kesatuan transenden wujud’)yang bercorak filosofis dan intelektual.

Salah satu kecenderungan kuat pada tahapan ini ialah cara menafsirkan hukum agama dan
sistem kekuasaan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat yang tatanan sosialnya bercorak
agraris feodal dan kesukuan, dan menyukai hal-hal yang bersifat magis dan supernatural. Teks-teks
Jawa yang menggambarkan proses pengislaman penduduk oleh para wali pada abad ke-16 M,
dengan jelas memperlihatkan hal ini. Tetapi peringkat ini kemudian dilanjutkan dengan penafsiran
metafisika dan psikologi sufi yang bercorak filosofis, dan penafsiran teologi dari para mutakallimun
yang bercorak rasional. Setelah itu penulisan historiografi dan penafsiran estetika sufi dilakukan
melalui penciptaan karya sastra dan seni Islam yang lain. Maka dasar-dasar tradisi intelektual Islam
pun telah diletakkan secara kokoh. Begitu pula dasar-dasar adab dan estetikanya.

Tahapan kedua dan ketiga itu berlangsung tepat ketika imperium besar di Nusantara,
kesultanan Aceh Darussalam, mulai menyongsong puncak kejayaannya sebagai pusat peradaban dan
kegiatan perdagangan.. Negeri ini telah memiliki perguruan tinggi Islam terkemuka, Jami` al-Bayt
al-Rahman, sejak awal abad ke-16 M. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat menjelang akhir
abad yang sama. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan Muslim terkemuka memperoleh
pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatra, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia
Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh Nusantara.
Islam dan bahasa Melayu lantas muncul sebagai kekuatan integratif bagi etnik-etnik yang berbeda-
beda di kepulauan Nusantara.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Tasawuf dan Kebudayaan

Dalam konteks Indonesia dan transformasi Islam ke dalam kebudayaan Melayu, abad ke-17
M merupakan periode penting. Islam tampil sebagai faktor utama perekat etnik Nusantara yang
bhineka. Peradaban ini membuktikan dirinya sebagai peradaban yang didasarkan atas rasionalitas
dan inetlektualitas, dibanding atas mitologi dan ritual. Kerasionalan ini didasarkan pula atas sendi-
sendi keimanan yang tidak kalah kuatnya, sehingga tidak mengherankan kelak apabila Gellner
(1992) mengatakan, “Dari peradaban tulis dunia (baca Kristen, Hindu, Konfusianisme dan Islam),
kelihatan hanya Islam yang dapat mempertahankan keimanan pra-industrialnya dalam abad 21 yang
akan datang.”.

Ini disebabkan karena Islam mempunyai dua tradisi yang saling melengkapi, terus
dipertahankan dan dikembangkan, serta selalu diperbarui, yang mengikat baik tampilan universal
dan kosmoplitannya di satu pihak, dan tampilan lokal dan nasionalnya di lain pihak. Dua tradisi ini
menyediakan sumber-sumber ide dan ilham yang berlimpah bagi kreativitas penganutnya.

Yang pertama, tradisi besar yang terkandung dalam tasawuf filosofis dan syariat. Jika
syariat memuat ketentuan-ketentuan hukum positif dalam menjalankan peribadatan dan keharusan
membangun tatanan masyarakat Muslim yang berpegang pada al-Qur’an dan sunnah Rasul, maka
tasawuf mempunyai pandangan dunia yang inklusif yang mendorong bangkitnya budaya dagang dan
aktivisme dalam kegiatan sosial dan intelektual. Yang kedua, tradisi kecil seperti tercermin dalam
mistisisme popular yang dikembangkan tariqat-tariqat sufi dan aliran-aliran fiqih tertentu yang di
Indonesia telah benar-benar berfungsi, terutama dalam membentuk budaya-budaya lokal yang unik.
Dua tradisi ini berkembang sebagai kelanjutan dari dialog lama antara kecenderungan ortodoksi dan
heterdoksi, rasionalitas dan mitos, keperluan akan tertib sosial dan anarki, hukum Tuhan dan adat
istiadat bikinan manusia, kota dan desa (Gellner 1981).

Begitulah tahap II dan III perkembangan Islam di kepulauan Melayu sangat ditentukan oleh
pesatnya perkembangan ilmu tasawuf dan syariat. Pada tahap kedua, derasnya proses islamisasi
kepulauan Melayu itu ditandai dengan dua gejala dominan dalam kehidupan intelektual: Pertama,
munculnya banyak sekali karangan, baik prosa maupun puisi, berisi renungan-renungan tasawuf
yang mendalam tentang masalah ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan, serta arti
penciptaan dan kedudukan manusia di alam dunia; Kedua, munculnya teori kekuasan yang bertolak
dari pendekatan sufistik dan diungkapkan melalui karya sastra (lihat juga Taufik Abdullah 2002).
Gejala pertama tampak pada karya Hamzah Fansuri, berupa sejumlah -risalah tasawuf yang begtu
filosofis dan mendalam, seperti Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi) dan Asrar al-`Arifin
(Rahasia Ahli Makrifat), serta syair-syairnya yang indah dan memikat. Dalam karangan-karangan sufi
dari Barus itu derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu tampak bukan saja pada persoalan
yang dikemukakan, tetapi juga pada konsep-konsep yang mendasari pemikirannya.

Gejala kedua tampak pada munculnya kitab ketatanegaraan bercorak sastra, Taj al-Salatin
(Mahkota Raja-raja), karangan Bukhari al-Jauha.. Buku ini selesai dituliis pada 1603 M menguraikan
adab pemerintahan yang ideal menurut Islam. Konsep-konsep dan pemerintahan raja-raja Melayu
banyak diturunkan dari kitab ini. Negara tidak lagi dipandang sebagai sekadar refleksi dari kedirian
seorang raja, tetapi juga sebagai pranata yang merupakan terwjudnya kesatuan yang harmonis
antara raja dan rakyat, makhluq dan Khaliq, yaitu dengan melaksanakan keadilan dalam
pemerintahan. Raja yang adil dan dipandang sebagai ‘Bayang-bayang Tuhan di muka bumi’ (Zill
Allah fi al-`ardh), sedang raja yang zalim dan menurutkan egonya disebut ‘Bayang-bayang Iblis di
muka bumi’.

Berdasarkan anggapan ini penulis Taj al-Salatin mengemukakan bahwa selama raja yang
tidak adil tidak menimbulkan kekacauan dan anarki, maka tidaklah terlalu diacuhkan apalagi
dihormati. Ini karena mereka ini telah memalingkan wajahnya dari Allah, menyimpang dari hukum
Tuhan dan menolak syariat. Konsep tentang tatanan pemerintahan yang ideal menurut Islam juga
dipertegas. Yaitu dengan mengukuhkan lembaga yudikatif (qadi) yang berperan merumuskan dan
melaksanakan hukum Islam, serta mendampingi raja dalam menjalankan pemerintahan.
Pemberlakuan lembaga yudikatif ini juga berfungsi untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak
sewenang-wenang. Didukung oleh fungsi ulama sebagai pemberi legitimasi bagi kekuasaannya, raja
lantas tidak dapat berbuat sewenang-wenang (Abdul Hadi W. M. 2003).

Yang tidak kalah penting ialah bahwa sejak munculnya karangan-karangan Hamzah Fansuri
dan Bukhari al-Jauhari, kegiatan penulisan kitab dan sastra bertambah subur. Kitab-kitab yang
ditulis di Aceh pada abad ke-17 M ini berperan besar dalam transformasi pemikiran keagamaan dan
kebudayaan di Indonesia. Bukti luasnya penyebaran dan pengaruh kitab-kitab Aceh ialah banyaknya
salinan naskah dari kitab-kitab tersebut yang dibuat oleh penyalin di daerah yang berbeda-beda di
berbagai pusat penyebaran Islam di kepulauan Nusantara. Demikianlah proses islamisasi tahapan
kedua dan ketiga itu berlangsung di kepulauan Melayu.

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemikiran ulama-ulama dan cendekiawan sufi
terhadap kebudayaan, sangat banyak contoh bisa diberikan. Tetapi cukuplah beberaja dikemukakan
di sini. Dalam wilayah politik dan ketatanegaraan, konsep seperti ‘raja adil raja disembah’, ‘raja
sebagai ulil albab’ dan lain-lain dapat dicari sumbernya dalam kitab Taj al-Salatin, Bustan al-
Salatin, dan lain-lain. Begitu pula konsep seperti Dar al-Salam yang digunakan oleh raja-raja
Nusantara untuk menyebut nama negerinya seperti Samudra Dar al-Salam, Aceh Dar al-Salam,
Brunei Dar al-Salam, dan lain-lain, bersumber dari kitab-kitab sejenis. Begitu juga sebutan raja-raja
Melayu seperti Syah dan Sultan, dan gelarnya seperti Khalifah Allah di muka bumi. Gelar serupa
digunakan pula oleh raja-raja Jawa seperti Sultan Agung, Amangkurat IV, Hamengkubawana, bahkan
juga Pangeran Diponegoro, dengan berbagai tambahan.

Salah satu konsep penting dalam tasawuf yang demikian mempengaruhi pandangan hidup
dan gambaran dunia (Weltanschaung) orang Melayu dan masyarakat Muslim Nusantara lain ialah
konsep ‘faqir’ atau ‘dagang’. Konsep ini djelaskan secara rinci mula-mula oleh Hamzah Fansuri dan
penulis kitab Taj a-Salatin. Dijelaskan bahwa walaupun dunia ini merupakan tempat persinggahan
sementara bagi manusia, namun tidak berarti bahwa kehidupan atau dunia ini tidak penting. Dunia
menjadi penting karena di sini seseorang harus mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya agar bisa
pulang ke kampung halamannya dengan selamat. Bekal yang dimaksud ialah amal saleh dan amal
ibadah (Abdul Hadi W. M. 2003).

Konsep ini dikembangkan berdasarkan sebuah hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru
sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing di dunia ini, singgahlah
sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”). Ini berlaku bagi seluruh pemeluk
agama Islam. Konsep inilah yang melahirkan etos atau budaya dagang, semangat jihad,
pengurbanan diri dan semangat mementingkan kepentingan sosial di atas kepentingan diri. Hamzah
Fansuri menerjemahkan kata-kata gharib (asing) menjadi ‘dagang’, yang dalam bahasa Melayu
berarti orang yang merantau ke negeri asing untuk berniaga. Penerjemahan itu dilakukan sejalan
dengan konteks sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di kepulauan Nusantara yang
dimulai dengan kedatangan para pedagang Arab dan Persia. Pada waktu bersamaan ia
menghubungkannya dengan konsep faqr yang telah dikenal dalam tasawuf. Dalam syairnya Hamzah
Fansuri menulis:

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Hadis ini daripada Nabi al-Habib

Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib

Barang siapa da’im kepada dunia qarib

Manakan dapat menjadi habib

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Hidup dalam dunia upama dagang

Datang musim kita ’kan pulang

La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang

Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Arti dari petikan ayat ”La tasta’khiruna sa`atan” (Q 34:30) ialah tidak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari
sudut agama kata ‘anak dagang’ diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah seseorang yang menyadari bahwa
kehidupan yang benar hanya bersama Tuhan, dalam keimanan terhadap-Nya sebagai hakikat wujud tertinggi.
Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqr yang oleh ahli-ahli tasawuf diberi arti sebagai ”Pribadi yang
tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan.
Jika ditelusuri secara mendalam, arti yang dikandung dalam konsep faqr dan dagang, dapat dikatakan
mendasari semangat sosialisme religius yang terpancar dari ajaran kemasyarakatan Islam yang intipatinya
adalah keadilan sosial dan pemarataan kesempatan berusaha. Semangat ini mendasari kehidupan masyarakat
Muslim sejak awal, seperti tercermin dalam kehidupan pesantren, tariqat dan gilda-gilda sufi (ta`ifa)
(Tirmingham 1972). Kegiatan perdagangan yang dilakukan pedagang Muslim dan gilda-gilda itu tidak hanya
membuat makmur para pedagang, tetapi juga perajin, tukang dan muballigh. Di lingkungan pedesaan para petani
dan kiyahi juga ikut menikmati kemakmuran, sebagaimana anggota tariqat yang lain. Begitulah gagasan
kefakiran melahirkan semacam kolektivisme

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Syariah dan Aktivisme Islam

Syariah dan tasawuf dipandang oleh ahli-ahli sejarah kebudayaan sebagai sendi utama
terbentuknya kebudayaan Islam. Ini benar terutama semenjak abad ke-13 M, khususnya di bagian
timur Dunia Islam, sebelum dan terlebih-lebih sesudah jatuhnya kekhalifatan Baghdad ke tangan
bangsa Mongol pada 1258 M. Ketakhadiran falsafah rasional ala al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd,
tidak menyebabkan peradaban Islam kehilangan dimensi rasional dan intelektual oleh karena
falsafah sebenarnya telah merembes masuk ke dalam tasawuf. Khususnya melalui pemikiran Imam
al-Ghazali, Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn `Arabi yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan
tradisi intelektual Islam.

Tetapi sebagaimana falsafah, tasawuf juga mengandung benih-benih pemikiran yang dapat
bertabrakan dengan syariah. Kemungkinan munculnya berbagai paham heterodoks dalam tubuh
tasawuf yang tidak diinginkan oleh para pendukung syariah, sama besarnya dengan kemungkinan
munculnya pemikiran liberal yang dianggap nyleneh dan menyimpang seperti terjadi pada
perkembangan Mu`tazila. Jika ketegangan itu muncul, maka kekuatiran akan terjadinya disintegrasi
dalam masyarakat Muslim sangat beralasan. Ini rupa-rupanya disadari oleh ulama-ulama di
Nusantara sejak akhir abad ke-17 M, sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan Nuruddin al-
Raniri.

Nuruddin al-Raniri sebenarnya seorang ahli tasawuf dan malahan mengaku sebagai penganut
paham wujudiyah Ibn `Arabi. Tetapi karena pengalaman buruk yang disaksikan di India, di mana
penafsiran yang berlebihan terhadap ajaran Ibn `Arabi melahirkan paham sinkretik dan heterodoks
pada abad ke-16 M, maka sejak kehadirannya di Aceh pada tahun 1637 M Nuruddin al-Raniri gencar
sekali mengecam pengikut dan pemimpin wujudiyah. Kecaman itu tertuju pada ahli-ahli tasawuf
yang cenderung berpikiran pantheistik dan memandang remeh syariah. Sebagai seorang sufi,
Nuruddin sebenarnya tidak memandang tasawuf itu tidak penting. Namun dengan lebih menekankan
pada syariah, pemikirannya lantas kehilangan banyak dimensi filosofis yang dimiliki tasawuf pada
umumnya ketika itu.
Dengan munculnya Nuruddin al-Raniri, proses ke arah ortodoksi pun mulai. Penekanan pada syariah
dan fiqih, yang merupakan rincian syariah, lantas menjadi gejala dominan pada tahapan keempat
perkembangan Islam. Tradisi penafsiran ajaran agama yang bercorak hermeneutik lantas diganti
dengan penafsiran rasional formal. Tasawuf lantas lebih dipahami sebagai media untuk
meningkatkan intensitas ibadah dan penyempurnaan akhlaq. Konsep zuhud (semacam asketisme)
diterjemahkan menjadi kesalehan sosial dan pengendalian diri dari kecenderungan materialisme
dan hedonisme yang merusak kepribadian seorang Muslim, sebagaimana diajarkan oleh al-Ghazali.
Penekanan terhadap syariah ini juga melahirkan pandangan hidup yang lebih berorientasi kepada
aktivitas sosial dan keduniaan (Azyumardi Azra 1999).

Tetapi tokoh yang paling berkompeten dalam menjelaskan kecenderungan ini ialah Abdul
Rauf al-Singkili. Ulama yang masih mempunyai pertalian darah dengan Hamzah Fansuri ini
merupakan sufi pertama di Nusantara yang menyusun kitab kodifikasi hukum Islam yang
komprehensif dalam bahasa Melayu. Karyanya yang terkenal ialah Mir`at al-Tullab fi Tashil
Ma`rifat Ahkam al-Syar`iyyah atau Cermin bagi mereka yang meuntut ilmu fiqih pada memudahkan
mengenal segala hukum Syara` Allah. Kitab ini menjadi semacam kitab induk bagi mereka yang
ingin mempelajari syariah dalam bahasa Melayu. Mir`at al-Tullab menjadi rujukan utama
penyusunan undang-undang Islam di Nusantara dan menjadi bacaan yang popular di kalangan ulama
dan raja-raja Melayu hingga abad ke-19 M.

Karena berbagai alasan yang dapat dimengerti, yaitu demi tegaknya syiar Islam dan
kokohnya perkembangan masyarakat Islam, penekanan terhadap syariah ini mendapat sambutan
luas dari ulama dan raja-raja pesisir, serta sejumlah tariqat sufi dan pesantren-pesantren di
berbagai pelosok Nusantara. Penguasa pesisir menyambut baik karena memerlukan kepastian hukum
dalam memelihara keamanan dan ketertiban negara, serta dalam mengatur kegiatan perdagangan
di dalam dan dengan luar negeri. Peranan ulama dan martabatnya lantas lebih naik lagi di mata
masyarakat. Mereka juga semakin terlibat jauh dalam birokrasi pemerintahan dan ikut menentukan
kebijakan politik. Tidaklah mengejutkan apabila pusat-pusat kekuasaan Islam yang telah terrsebar
luas di Nusantara pada abad ke-18 M berlomba-lomba melahirkan ulama-ulama terkemuka di bidang
fiqih dan syariah. Contoh terbaik ialah Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Daud al-
Fatani, Nawawi al-Bantani, dan lain-lain. Mereka adalah ahli tasawuf, tetapi cenderung
menekankan signifikansi syariah dan fiqih.

Tentu saja pengaruh awal dari kitab Abdul Rauf itu dirasakan di Aceh sendiri. Kesultanan
Aceh dengan tegas menerapkan Syariat Islam. Dalam undang-undang kerajaan itu dikatakan
misalnya bahwa “Diwajibkan bagi rakyat Aceh untuk belajar dan mengajar agama Islam dan syariat
Nabi Muhammad s.a.w. atas mazhab ahlul Sunnah wal Jama`ah”. Orientasi pada aktivitas keduniaan
juga ditekankan. Misalnya seperti disebutkan dalam undang-undang Aceh: “Diwajibkan bagi rakyat
Aceh belajar dan mengajar jual beli di dalam dan luar negeri; belajar dan mengajar mengukir;
memelihara ternak yang halal dan bermanfaat; mengerjakan kenduri Maulid.” (Ibrahim Alfian
2005).

Pola penerapan syariat dalam pemerintahan lokal dan pengintegrasian tasawuf ke dalam tradisi
masyarakat Muslim sebagaimana berlaku di Aceh, juga diikuti oleh kerajaan-kerajaan pesisir lain di
kepulauan Nusantara seperti di Kalimantan, Sulawesi, Banten, Madura, Bima, dan lain-lain.
Penerapan ini lebih ditekankan pada soal-soal yang berhubungan dengan kewajiban mempelajari
agama dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Kepustakaan

Abdul Hadi W. M. (2000). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap

Karya-karya Hamzah Fansur. Jakarta: Paramadina.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

——————— (2003). “Taj al-Salatin: Adab Pemerintahan Dari Nanggroe

Aceh Darussalam”. Dalam Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara.

Penyelenggara

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Abdul Hadi W.M, Edwar Djamaris dan Amran Tasai. Jakarta: Pusat Bahasa.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

——————— (2005). “Aceh dan Kesusastraan Melayu”. Dalam Aceh Kembali

Ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian

Jakarta.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Al-Attas, S. M. Naquib (1970). The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur:

Universiti Malaya Press.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

————————— (1972). Preliminary Statement on a General Theory of the

Islamization of Malaysia Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Azyumardi Azra (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan. Jakarta: Rosda.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Braginsky, V. I. (1998). Yang Indah, Yang Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu

Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

——————— (2004). Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri,

Pemikir dan Penyair Sufi Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Drewes, G. W. J. (1978). An Early Javanese Code of Muslim Ethics. The Hague:

Martinus Nijhoff.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Gellner, Ernest (1992). Posmodernism, Reason and Religion. London and New York:

Routledge.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Gibb, H. R. (1957). Ibn Batuta: Travels in Asia and Africa 1325-1354. London:

Routledge & Kegan Paul.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Hasan Muarif Ambary (1998). Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di

Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Ibrahim Alfian (2005). “Refleksi Gempa-Tsunami: Kegemilangan Dalam Sejarah Aceh”.

Dalam Aceh Kembali ke Masa Depan. Ed. Sardono W. Kusuma. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Iskandar, Teuku (191987). “Shamsuddin as-Sumaterani Tokoh Wujudiyah”. Dalam

Tokoh-tokoh Sastera Melayu. Ed. Mohamad Daud Mohamad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Ismail Hamid (1983). Kesusastraan Melayu Lama dari Warisan Peradaban Islam.
Petaling Jaya, Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Ismail R. Faruqi (1992). Atlas Kebudayaan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Jansen, G. H. (1983). Islam Militan. Terj. Armahedi Ma Mahzar. Bandung: Pustaka.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

John, A. H. (1961). “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”. JSAH

2, July:10-23.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Kern, H. (1917). Versperiche geschifter VI. The Hague: Martinus Nijhoff.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Muhammad Hatta (1979). Bung Hatta Berpidato, Bung Hatta Menulis. Jakarta: Mutiara.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Nicholson, R. A. (1982). The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism by

Ali Uthman al-Hujwiri. New Delhi: Taj Company.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Noordyn (1972). Islamisasi Makassar. Jakarta: Bhratara.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Nurcholis Madjid (1987). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Oman Fathurrahman (2005). “Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Islam Lokal: Contoh

Kasus dari Minangkabau”. Dalam Mimbar Vol. 22. No. 3:260-8.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Ricklefs, M. C. (1993). A History of Modern Indonesia since c. 1300. London:

Macmillan.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Ruslan Abdulgani (1995). Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia


Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Schrieke, B. (1955). Indonesian Sosilogical Studies. The Hague & Bandung: Van Hoeve.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Sidiq Fadil (1990). “Pengislaman Dunia Melayu: Transformasi Kemanusiaan dan

Revolusi Kebudayaan”. Dalam Dewan Budaya 12 Bil 11, November.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Taufik Abdullah (1988). “Ke Arah Perencanaan Strategi Kultural Pembinaan Umat”.

Dalam Pak Natsir 80 Tahun. Ed. H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais. Jakarta:
Media Dakwah.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

——————- (2002). “Pemikiran Islam di Nusantara Dalam Perspektif Sejarah”.

Makalah diskusi peluncuran buku Ensiklopedi Tematos Dunia Islam. Jakarta 5 September.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Tirmingham, J. S. (1972). The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Uka Tjandrasasmita (1975). Sejarah Nasional Indonesia III: Jaman Pertumbuhan dan

Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Winstedt, R. O. (1961). A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpu: Oxford

University Press.

<!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]-->

Wolters, O. W. (970). The Fall of Sriwijaya in Malay History. Ithaca, New York:

Cornell University.

FRIDAY, SEPTEMBER 21, 2007

KEPERCAYAAN ORANG MELAYU ISLAM DAHULUNYA 
KEPERCAYAAN ORANG­ORANG MELAYU SEBELUM KEDATANGAN ISLAM 
­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­Sebelum kedatangan Islam ke Tanah 
Melayu, anutan masyarakat Melayu pada ketika itu, boleh di bahagikan kepada tiga 
kumpulan agama yang terbesar iaitu :­ 1. Agama Buddha Puja Dewa 2. Agama 
Hindu Puja Dewi 3. Amalan orang­orang Asli. ( Animisme ) Orang­orang Asli sangat 
kuat berpegang kepada berbagai­bagai kaedah pemujaan Jin sehingga Tok­tok Batin 
orang Asli di ukur akan kehebatan diri mereka, dengan had ukuran panjang rambut 
di kepala mereka. Percantuman 3 puak ini samada melalui nikah kahwin atau 
seumpamanya menghasilkan suatu kemantapan yang kukuh dalam adat resam dan 
istiadat kebudayaan orang Melayu, di samping membuahkan pelbagai rupa bentuk 
ilmu, amalan dan kaedah pemujaan dengan tujuan untuk mendapatkan sesuatu 
perkara yang luar biasa dan mencarik adat, berlumba­lumba untuk menjadi jaguh 
atau orang yang paling handal di kalangan mereka, untuk bermegah­megah, gagah, 
orang yang paling berkuasa, orang yang paling di hormati, di segani dan sebagainya. 
(Lihat carta amalan­amalan Khurafat ) Islam datang ke Asia Tenggara samada 
melalui Negeri China, Yaman, Parsi atau India dan bertapak kukuh sehingga lebih 
kurang 200 tahun sahaja. Selepas itu masuklah pula pengaruh agama Kristian 
melalui penjajahan kuasa­kuasa Barat. Manakala di dalam masyarakat Islam sendiri 
pula telah di pengaruhi oleh pengaruh­pengaruh Rafidiah, Kharijiah, Qadariah, 
Jabariah dan sebagainya sehingga menimbulkan berbagai­bagai kefahaman dan 
aliran dalam mempraktikan ajaran Islam. Keadaan ini menyebabkan sesetengahnya 
pula terjerumus kedalam gaung kesesatan berikut : 1. Bida’ah Dholalah yang 
Karohah dan Bida’ah yang haram dalam Syariat 2. Berada dalam salah satu 
daripada 72 puak yang sesat lagi menyesatkan dalam bab Aqidah. 3. Berada dalam 
salah satu daripada 13 puak yang sesat lagi menyesatkan dalam bab Sufi Daripada 
pecahan di atas maka wujudlah berbagai­bagai kelompok masyarakat Melayu yang 
mempunyai fahaman dan amalan masing­masing . Dari situ lahirlah amalan­amalan 
yang di panggil amalan "Kebatinan ´ atau " Ilmu Hakikat " ( Ilmu Isi ) yang 
meninggalkan amal syariat sehinggakan sembahyang hanyalah dengan niat sahaja. 
Puak­puak yang sesat ini dapat di lihat menerusi amalan yang mereka lakukan 
dalam menunaikan ibadat kepada Allah. Ringkasnya apa jua amalan yang tidak 
mengikut garis panduan Al­Quran, Hadis Rasullullah s.a.w, Ijma dan Qias adalah 
termasuk dalam salah satu daripada fahaman­fahaman yang sesat daripada tiga 
kelompok besar di atas. Jenis Amalan Beragama Orang­Orang Melayu Sebelum 
Islam. Pada dasarnya amalan beragama orang­orang Melayu sebelum kedatangan 
Islam bolehlah dibahagikan kepada tiga kepercayaan yang besar iaitu :­ 1. Orang­
orang Melayu yang beragama Buddha Puja Dewa 2. Orang­orang Melayu yang 
beragama Hindu Puja Dewi 3. Orang­orang Melayu yang berpegang dan beramal 
dengan amalan orang­orang Asli. ( Animisme ) Akibat dari ajaran dan pegangan 
mereka itu lahir dan wujudlah berbagai­bagai bentuk kebudayaan dan adat resam 
mengikut jenis agama dan kepercayaan yang mereka anuti. Kedatangan Islam ke 
Nusantara selepas itu telah berjaya membasmi kepercayaan karut dalam 
masyarakat Melayu pada ketika itu. Namun tidak semua masyarakat Melayu yang 
mahu meninggalkan kepercayaan mereka secara keseluruhan dan sehingga ke hari 
ini, kita masih dapat melihat betapa amalan Khurafat itu masih tegak dan tetap hidup 
dalam adat resam dan kebudayaan Melayu terutamanya dalam majlis perkahwinan, 
kematian, perbomohan dan perbidanan, latihan pertahanan diri dan sebagainya. Di 
samping itu kepercayaan kepada benda­benda keramat seperti keris, kubur, pokok 
besar, batu dan sebagainya begitu kuat sehingga dapat di lihat sesetengah orang 
Melayu yang masih menjaga dan menyimpan dengan baik keris pesaka sejak turun 
temurun, yang dikatakan sebagai "Penjaga keluarga." Kepercayaan seperti ini ada 
hubungannya dengan asal­usul orang Melayu yang kebanyakannya berasal dari 
Kepulauan Indonesia yang memang terkenal pada suatu masa dahulu dengan adat 
dan kepercayaan Hindu serta Buddha. Walaupun Islam mula bertapak di Mataram, 
Majapahit dan seluruh Kepulauan Jawa namum sisa­sisa peninggalan Hindu dan 
Buddha masih kuat dalam pegangan mereka. Di Semenanjung Malaysia sendiri 
terdapat berbagai keturunan seperti Melayu, Bugis, Mendiling, Rawa, Jawa, Banjar, 
Petani, Siam dan sebagainya dan terdapat juga yang berasal dari keturunan orang­
orang Asli. Setelah memeluk Islam mereka telah membawa adat resam masing­
masing di dalam agama Islam. Walaupun mereka berbeza dari segi suku 
keturunannya, namun mereka masih lagi tidak terlepas dari adat resam Hindu dan 
percampuran dengan adat dan amalan orang Asli. Amalan­amalan kuno seperti puja 
tanduk lembu/kerbau, hantaran perkahwinan, sireh junjung, nasi tinggi, kelapa­
garam­gula dan sebagainya, lenggang perut, kenduri 40/100 hari selepas kematian, 
sembelih ayam semasa buka gelanggang latihan pertahanan diri, sangkak/ancak 
untuk jamu Jin dan sebagainya adalah contoh amalan yang ada hubungan dengan 
pengaruh Hindu dalam adat resam orang­orang Melayu. Begitu juga adat resam, 
tingkah laku orang­orang asli sebelum Islam di ambil sebagai adat resam atau 
sebagai cara beragama yang mesti didahulukan, di tokok tambah lagi dengan redha 
dan lahapnya kita menerima membabi buta pengaruh kebudayaan penjajah yang 
memang merupakan suatu perancangan jangka panjang Yahudi dan Kristian 
khasnya untuk membunuh keperibadian muslim orang­orang Melayu yang 
berpegang teguh dengan agama Islam. Sehingga kini amalan­amalan tersebut 
masih lagi hidup subur, walaupun telah berkali­kali seruan dakwah sampai kepada 
mereka supaya meninggalkan amalan tersebut, namun bagi sesetengah daripada 
mereka itu telah beranggapan bahawa adat­adat tersebut seolah­olah sebahagian 
daripada ajaran Islam yang mereka anuti. Maka dengan sebab itulah mereka telah 
mencampuradukkan antara ajaran Islam yang suci ini dengan adat resam yang karut 
lagi menyesatkan itu, yang semata­mata mengikut khayalan, kebijaksanaan 
pemikiran dan tahsinul ‘aqli mereka semata­mata sahaja.. Perkara Luar Biasa Yang 
Mencarik Adat Allah telah menganugerahkan kepada manusia khusus dan awam 8 
perkara luar biasa yang mencarit adat yang boleh berlaku ke atas manusia. Perkara 
luar biasa itu bolehlah dibahagikan kepada 2 bahagian iaitu, 4 perkara yang di puji 
dan 4 perkara yang di keji dan menyalahi ajaran Islam. Ramai daripada kalangan 
orang Islam sendiri yang terkeliru tentang konsep dan perbezaan perkara­perkara 
tersebut, kadang­kala masyarakat tidak dapat membezakan yang mana baik dan 
yang mana mesti dijauhi. Bagi menjelaskan kekeliruan itu maka diperturunkan serba 
ringkas tentang perkara­perkara tersebut, agar pembaca semua dapat membuat 
penilaian dengan sebaik­baiknya. Empat Perkara Yang Di Puji 1. Irhas. Irhas ialah 
perkara luar biasa yang di anugerahkan oleh Allah kepada Nabi­Nabi dan rasul­rasul 
semasa baginda masih kecil. Contohnya seperti Nabi Isa boleh bercakap semasa 
baginda masih dalam buaian. Perkara ini tidak menjadi kekeliruan kerana Nabi dan 
rasul telah tiada pada masa sekarang. 2. Mukjizat. Mukjizat ialah suatu perkara luar 
biasa yang dikurniakan oleh Allah hanya kepada Nabi­Nabi dan rasulnya sahaja bagi 
melancarkan usaha rasul­rasul tersebut menyampaikan dakwah dan risalah Allah. 
Contohnya seperti Mukjizat Nabi Sulaiman yang boleh memahami bahasa semua 
binatang. 3. Karamah. Karamah ialah suatu perkara luar biasa yang Allah kurniakan 
kepada orang­orang mukmin yang berakhlak rasul dan benar­benar berpegang 
dengan ajaran Islam zahir dan batin. Hal ini adalah perkara biasa bagi Mereka. 
Karamah merupakan suatu kemuliaan yang Allah kurniakan kepada diri zahir dan 
batin hamba­hambanya yang arif tentang Allah ( Arifbillah ) . Mereka ini adalah 
merupakan orang­orang yang alim dan sentiasa beramal soleh. Mereka mahir 
sekurang­kurangnya tentang ilmu fardhu Ain, Usuluddin, Fekah dan tasauf serta 
mereka sentiasa beramal dengannya pada setiap masa dan kelakuan. Ikatan diri 
mereka sentiasa dengan Allah tanpa dapat dipengaruhi oleh alam sekeliling. Mereka 
dimuliakan oleh ahli di langit dan diperhinakan oleh kebanyakan ahli di bumi. 4. 
Maunah. Maunah ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang 
mukmin awam yang soleh, yang apabila di timpa sesuatu musibah atau hal ke atas 
dirinya, mereka terus melipat gandakan pergantungan dan keimanan kepada Allah 
serta memantapkanya melalui berbagai­bagai wirid, jampi dan doa serta amalan­
amalan sunat yang lain. Maunah ini merupakan satu kemuliaan yang Allah kurniakan 
kepada diri zahir dan batin hamba­hambanya yang soleh. Mereka arif tentang ilmu 
fardhu Ain, Usuluddin, Fekah dan tasauf tetapi kemampuan beramal mereka adalah 
terhad. Apabila berlaku sesuatu hal ke atas diri mereka samada mutlak dari Allah 
atau yang bersangkut paut dengan manusia, mereka terus melipatgandakan 
pergantungan diri dan keimanan kepada Allah serta memantapkan lagi dengan 
berbagai­bagai wirid, jampi, doa dan segala amalan sunat. Mereka tidak merasa 
sedih atau kecewa sekiranya permintaan mereka tidak ditunaikan oleh Allah. Empat 
Perkara Yang Di Keji Perkara luar biasa yang di keji oleh Allah ialah perkara luar 
biasa yang berlaku ke atas orang biasa melalui pertolongan selain daripada Allah. 
Contohnya melalui pertolongan khadam­khadam yang terdiri daripada Jin dan 
Syaitan dan sebagainya. Perkara luar biasa jenis ini mestilah di jauhi oleh setiap 
orang Islam kerana ianya sesat dan menyesatkan. Perkara­perkara tersebut ialah :­ 
1. Istidraj Istidraj ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada mereka yang 
berpura­pura beramal dengan amalan soleh, walaupun diri mereka mahir dengan 
fardhu ain, Usuluddin, fekah dan tasauf. Mereka berbangga dengan perkara luar 
biasa yang berlaku ke atas diri mereka sedangkan mereka mengetahui punca 
sebenar datangnya perkara luar biasa tersebut. Lazimnya golongan ini terikat 
dengan perjanjian serta mewujudkan pantang­larang yang selari dengan hukum 
syarak. Ini kerana khadam­khadam mereka adalah terdiri daripada golongan Jin 
Islam samada yang soleh, fasik atau terdiri daripada Jin yang kafir. Setiap amalan 
wirid, jampi dan doa itu ada penjaganya (Khadam). Orang yang beramal dengan 
kaedah ini kebiasaannya mempunyai suatu perasaan tidak baik yang telah tersemat 
dalam diri mereka. Antara matlamat mereka ialah :­ a) Ingin di puja. b) Ingin 
dikunjungi oleh orang ramai c) Cinta kepada pangkat dan kebesaran d) Ingin 
mendapatkan harta dan kuasa Golongan khadam ayat dari golongan puak rohani 
alam rendah memang dijadikan Allah untuk menyukakan golongan yang seumpama 
itu dengan beberapa perkara luar biasa. Mereka pada zahirnya kelihatan seperti 
orang yang beriman dan sentiasa menjaga syariat Islam serta berakhlak Rasul tetapi 
sebenarnya mereka beramal dengan perkara­perkara kufur dan telah terjun ke 
lembah kekufuran, samada mereka sedari atau tidak. Punca kesesatan golongan ini 
ialah apabila rohani­rohani alam yang rendah mengunjungi mereka dalam tidur 
ataupun semasa jaga, dengan rupa atas nama­nama orang­orang soleh samada 
yang masih hidup ataupun yang telah mati atau mereka membuat Tajalli ketuhanan. 
Lazimnya mereka dibebankan dengan beberapa syarat yang menepati hukum 
syarak untuk diamalkan sebagai syarat perjanjian persahabatan dalam semua 
kelakuan melalui lidah, anggota dan hati, di semua tempat, waktu dan masa. Maka 
bermula di saat itu diri mereka berada di dalam Syirik Uluhiyyah dan segala rupa 
bentuk amalan syariatnya tidak ada nilai di sisi Allah. Mereka sebenarnya 
mengetahui dari mana datangnya zahir perkara luar biasa pada perkataan, 
perbuatan dan kasad hati, tetapi mereka enggan meninggalkan amalan tersebut 
kerana mereka ingin menjadi jaguh dalam bidang perubatan dengan mengadakan 
beberapa keajaiban dari berbagai­bagai jenis ubatan, kaedah perubatan dan 
sebagainya. Kadang­kadang melalui langkah mempertahankan diri. Mereka juga 
terjebak dalam permainan tunjuk kuat kebatinan supaya mereka di anggap orang 
yang paling makbul doanya atau paling keramat. Jika dia seorang ulama, maka dia 
inginkan supaya di kunjungi, di puja dan di hormati sebagai seorang Ahlillah secara 
mutlak, sedangkan dalam masa yag sama dia akan terasa hina dan hilang 
kewibawaan sebagai ulama, jika tiada pada dirinya, nyata beberapa perkara yang 
luar biasa. 2. Sihir. Sihir ialah perkara luar biasa yang Allah kurniakan kepada orang­
rang Islam yang durhaka (‘asi ) yang tidak faham aqidah, syariat dan ubudiah serta 
tidak beramal dengannya dan orang­orang yang fasik. Sihir juga diberikan oleh Allah 
kepada pendita­pendita bukan Islam samada Yahudi, Buddha, Nasrani, Majusi dan 
yang seumpama dengannya. Sihir ini terjadi melalui pertolongan daripada rohani Jin 
Islam yang fasik dan Jin­Jin yang kafir melalui perjanjian tertentu. Kebiasaannya 
golongan ini terikat dengan perjanjian dan mengadakan jamuan yang harus dan 
haram di sisi Syarak. Mereka mendapat perkara yang luar biasa ini adalah melalui 
pertolongan kumpulan Jin Islam yang fasik dan daripada Jin yang kafir. Golongan 
orang Islam yang mendapat perkara luar biasa melalui kaedah ini selalunya sentiasa 
bergelumang dengan kejahatan dalam semua hal. Golongan ini sebenarnya Mulhid 
dan Zindik dalam bab aqidah. Selalunya mereka akan mengadakan berbagai cara 
atau upacara yang berselindung di sebalik ajaran Islam. Antara mereka yang 
termasuk dalam golongan ini ialah :­ a) Kumpulan Hassan Anak Harimau b) Wali 
Suci c) Budi (Buddha) Suci d) Batin Sakti e) Hakikat Insan f) Pati Geni g) Fahaman 
Wahdatul Ujud dalam I’itiqad h) Baginda Mukhtar i) Lain­lain kumpulan yang tumbuh 
bagaikan cendawan di negara ini. 3. Silap Mata. Silap Mata adalah perkara luar 
biasa yang Allah kurniakan kepada orang­orang Islam yang fasik dan juga kepada 
orang­orang kafir, melalui pertolongan daripada Jin kafir. Oleh itu mereka juga terikat 
dengan perjanjian dan membuat perkara­perkara yang diharamkan oleh hukum 
syarak. 4. Sya’wazah. Sya’wazah ialah perkara yang di kurniakan oleh Allah, yang 
berlawanan sama sekali daripada kehendak asal. Kebiasaannya perkara ini Allah 
berikan kepada golongan yang angkuh daripada orang­orang kafir. Misalnya apabila 
mereka meminta sesuatu yang baik, tetapi Allah kurniakan dengan sesuatu 
kejahatan yang berlipat ganda.
Sebelum kedatangan Islam di Nusantara, penduduk di Asia Tenggara adalah terdiri daripada 
penganut fahaman Buddha Syinrawath ( Buddha Puja Dewa ). Pada ketika itu penganut­
penganutnya sudah pun sedia mengamalkan perkara­perkara luar biasa yang menyalahi 
kebiasaan iaitu " Mencarik adat " yang lahir hasil daripada pemuJaan ‘ dewa­dewi’, jampi 
serapah atau yang seumpamanya. Keadaan ini berlaku adalah hasil daripada pertolongan 
jembalang­jembalang yang terdiri daripada Jin samada dengan menjelma ke dalam diri 
pemujanya ( Tanasukh Aruah ), Istidraj, Sihir atau silap mata. Semua amalan ini amat kuat 
pengaruhnya dalam kehidupan seharian mereka pada waktu itu. Mereka mengabdikan diri 
hanya kepada Dewa­Dewi semata­mata. Dalam konteks ini pegangan fahaman beragama 
adalah bersumberkan daripada Rahib­rahib yang dikatakan mendapat ilham dari tuhan 
dewa­dewi samada Dewa Rama, Dewa Sita, Dewa Siva dan yang seumpamanya. Ketika 
Islam tersebar luas di Semenanjung Arab hingga ke Eropah dan juga ke Asia, maka 
banyaklah mubaligh­mubaligh Islam dari kalangan orang­orang Arab dan bukan Arab yang 
datang membawa agama Islam ke sebelah Asia Tenggara sebagai pedagang. Dari situ 
Islam mula bertapak dengan kuatnya di negeri­negeri bawah angin ini. Gejala isma­isma 
yang tidak sihat pada waktu itu beransur­ansur hilang kegemilangannya bahkan di 
sesetengah tempat, umpamanya Acheh isma­isma tersebut telah di benteras sehingga ke 
akar umbinya. Inilah hasil daripada tarbiah dan didikan mubaligh­mubaligh dan para Daei 
Islam yang benar­benar alim lagi sufi. Kehadiran mubaligh­mubaligh tersebut seumpama 
membawa sirna kegemilangan dan kecemerlangan kepada penduduk tempatan sehingga 
pada satu ketika Acheh mendapat jolokan sebagai Serambi Mekah. Setelah sekian lama 
gejala pemujaan jampi serapah hilang, akhirnya ia timbul semula setelah Portugis, Belanda, 
Spanyol, Perancis, Amerika dan Inggeris berusaha menakluki Asia Tenggara dengan 
memperkenalkan agama Kristian di samping perdagangan yang menyebabkan orang Islam 
bangun menentang mereka. Pada suatu ketika Belanda telah membunuh lebih daripada 
6,000 Ulama Islam di Tanah Jawa. Pada ketika itu ulama merupakan tokoh pemimpin yang 
utama dalam semua aktiviti harian bermula dari aspek agama, sosial dan kemasyarakatan, 
ketenteraan hinggalah kepada perubatan dan sebagainya. Mereka inilah yang banyak 
memainkan peranan penting dalam menggerakkan penentangan terhadap penjajahan barat, 
kerana merekalah yang terlebih dahulu mengenali erti hidup beragama serta beramal 
dengannya, lebih dahulu merasai bahang campurtangan asing, lebih dahulu menghidu bau 
najis Mughalazah penjajahan dalam kebudayaan, tipu daya pemerintahan dan tipu daya 
dalam ketenteraan dan sebagainya ke atas negerinya dan anak­anak bangsanya. Akibat 
daripada peristiwa itu, maka saki baki pahlawan Islam yang hilang pedoman telah cuba 
meneruskan perjuangan menentang Belanda dan Inggeris dengan kekuatan dan keilmuan 
apa saja yang ada pada mereka asalkan mereka mampu. Dalam keadaan terdesak itu 
mereka berusaha memperolehi daya kekuatan yang yang luar biasa melalui amalan­amalan 
cara hulubalang, wirid­wirid, jampi serapah dan yang seumpama dengannya, melalui kaedah 
biasa dan setengah daripada mereka melalui Uzlah ( bertapa dan riadah ), maka datanglah 
pula jembalang­jembalang daripada Jin samada Jin Islam atau Jin Kafir yang berhubung 
dengan mereka, dengan cara Tanasukh Aruah ( penjelmaan ke dalam diri ), istidraj, sihir 
atau silap mata yang menolong mereka menghasilkan hajat mereka, yang pada sangkaan 
mereka adalah malaikat­malaikat atau wali­wali atau Nabi Khaidir yang telah datang 
berhubung dengan mereka. Sementara itu di Tanah Jawa timbul pula fahaman Wahdatu 
Ujud yang tidak dapat membezakan di antara Wahdatul Ujud Marhumah ( dalam bab Sufi ) 
dengan Wahdatul Ujud Mazmumah ( dalam I’tiqad di panggil Hulluliah, Mulhid, Zindik ) 
sehingga tertegaklah kerajaan yang seumpama itu, iaitu kerajaan Mataram. Fahaman ini 
adalah hasil daripada pengaruh Syiah. Bermula dari sinilah wujud semula berbagai­bagai 
rupa bentuk amalan kerohanian, wirid­wirid dan jampi serapah yang menyeleweng dari 
aqidah syari’at Ubudiah Islamiah yang sebenar ke hadrat Allah seperti yang dibentangkan 
oleh ulama­ulama terdahulu yang mahir dan ahli pada babnya di dalam kitab­kitab karangan 
mereka. Terdapat juga dari golongan ini yang memesongkan amalan­amalan mereka bagi 
kepentingan diri, dengan tujuan : 1. Langkah mempertahankan diri bagi mendapatkan 
kemegahan dunia ( hanya kepada bangsa semata­mata ) 2. Amalan­amalan kebatinan 
dalam menuntut kemegahan. 3. Perubatan ( bomoh, tok pawang, tok bidan dan sebagainya ) 
4. Berlagak jadi tok sufi ( wali ) yang sentiasa mendapat jazbah ketuhanan. Dari sini 
merebaklah amalan ­amalan karut yang mendapat kekuatan luar biasa daripada bantuan 
Jin­Jin. Maka ramailah pahlawan­pahlawan Melayu mengambil amalan­amalan ini dengan 
tujuan untuk mempertahankan diri sendiri dan untuk menewaskan musuh di samping untuk 
kepentingan masyarakat sekitarnya. Akhirnya mereka telah lupa kepada ajaran­ajaran 
agama yang telah disampaikan kepada mereka, lalu mereka lebih mementingkan kekuatan 
material dan kebendaan semata­mata daripada kepentingan akhirat. Lebih jahat lagi, 
mereka menjadikan adat resam keturunan ke dalam syariat agama Islam sebagai satu 
amalan yang dimestikan, walaupun terang­terang amalan itu menyalahi ajaran Islam, 
samada dari segi Fiqh, Akidah, dan Akhlak.

Anda mungkin juga menyukai