Anda di halaman 1dari 1

MIFTAHULA RIZQIN NIKMATULLAH (NPM 2120301105)

Pendapat saya mengenai historiografi sastra Indonesia.


Beberapa faktor yang mempengaruhi saya berpendapat bahwa sastra Indonesia muncul sebelum
terdapat istilah bernama sumpah pemuda, pertama kata atau penamaan Indonesia justru jauh
sebelum adanya sumpah pemuda. Dilansir dari Indonesiabaik.id, nama ‘Indonesia’ pertama kali
muncul di tahun 1850 pada sebuah majalah ilmiah tahunan, yaitu Journal of the Indian Archipelago
and Eastern Asia (JIEA) yang terbit di Singapura. Lalu, nama Indonesia lalu dipopulerkan oleh etnolog
Jerman, Adolf Bastian melalui bukunya, Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels dan Die
Volkev des Ostl Asien (1884). Pada 1924, pemakaian nama Indonesia dimulai dengan terbitnya koran
Indonesia Merdeka milik Perhimpunan Indonesia. Kemudian penggunaan secara nasional bersama-
sama terucap dalam ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 hingga akhirnya Negara kita resmi
bernama Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kedua, terdapat pengaruh dengan sastra peranakan Tionghoa terhadap sastra Indonesia modern
cukup besar. Saya mengutip dari Kompas.com yang berisi penuturan Dwi Susanto, Ketua Program Studi
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret (UNS). Beliau berpendapat bahwa
penelitian yang dilakukan oleh Claudine Salmon pada buku Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang
Tionghoa (dalam Wahyudi, 2012) menyebutkan bahwa novel Indonesia pertama adalah Tjhit Liap Seng
(Bintang Tujuh) karya Lie Kim Hok yang terbit pada 1885. Hal tersebut berkebalikan dengan penulisan
sejarah sastra Indonesia modern, yang menyebutkan bahwa novel Indonesia pertama adalah Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar yang terbit pada awal 1920-an.
Peranakan Tionghoa memiliki kontribusi dalam memperkenalkan genre atau jenis kesastraan
yang modern yang lepas dari pakem-pakem sastra tradisional. Sastra tradisional disini seperti di puisi
ada pepatah atau pantun, bertema istana-sentris. Tetapi peranakan Tionghoa saat itu sudah modern.
Pendapat ini semakin diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh (Bahtiar, 2018). Penelitian tersebut
mendeskripsikan bahwa karya sastra para peranakan Tionghoa berlatar masa 1870-1960. Karya sastra
tersebut menggambarkan bagaimana dimanika yang terjadi semasa puncak penjajahan Belanda dan
beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Seperti novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek
Hoay yang mengangkat peristiwa sejarah pemberontakan November 1926.

Bahtiar, A. (2018). Menafsir Ulang Masa Awal Sastra Indonesia Modern. Institutional Repository UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Bastian, A. (1884). Indonesien: oder, Die inseln des Malayischen archipel (Vol. 1). F. Dümmlers
verlagsbuchhandlung.
Rizal, G. J., Galih, B. (2022). "Pengaruh Peranakan Tionghoa dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern".
Kompas.com diakses 12 September 2023
Wahyudi, I. (2012). Claudine Salmon, Sastra Indonesia awal: Kontribusi orang Tionghoa. Translated by Ida
Sundari Husen et al. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) in collaboration with École Française
d’Extrēme-Orient, Jakarta-Paris Forum, Pusat Bahasa, Yayasan Nabil, Wacana, Journal of the Humanities
of Indonesia, 14(1). https://doi.org/10.17510/wjhi.v14i1.58

Anda mungkin juga menyukai