Historiografi Kolonial
Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi kolonial merupakan
penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas bangsa
Indonesia oleh Belanda. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda
dan banyak di antara penulis-penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia.
Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda
dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan
sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya yaitu historiografi kolonial,
maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih
HISTORIOGRAFI MODERN
Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah Indonesia yang lebih
modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu yaitu historiografi tradisional,
historiografi masa kolonial atau masa reformasi. Tumbuhnya historiografi Indonesia modern
merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah
secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat
mungkin. Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa baru dikembangkan di Indonesia dan
Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19. Perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang tidak
merata di seluruh wilayah dan sumber bahan yang sedikit tidak memungkinkan adanya
perkembangan historiografi modern, maka tulisan yang dihasilkan orang–orang Eropa pada
abad ke 16 sampai ke 19 tidak mempengaruhi penulisan orang–orang Asia khususnya Indonesia.
Historiografi Indonesia Modern dimulai pada tanggal 14-18 Desember 1957, ketika itu
kementrian pendidikan mengadakan Seminar Nasional Sejarah yang pertama di Yogyakarta
untuk merancang sejarah nasional yang resmi. Pembangunan nasional adalah salah satu tema
utama pada tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari proses ini. Seminar itu membicarakan tentang usaha penulisan sejarah nasional yang
berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional diharapkan menjadi alat pemersatu dengan
memberikan penjelasan tentang keberadaaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan
demikian tentu objektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan karena yang menulis sejarah
adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi atau setidaknya adalah orang
Indonesia asli.
Pada saat Seminar Nasional Sejarah yang pertama muncul perselisihan pendapat antara
Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah seharusnya
mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat kesadaran
nasional. Sodjatmoko berpendapat nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah murni,
karena itu ia menjunjung tinggi tanggung jawab perorangan dan semacam universalisme abstrak.
Soedjatmoko kalah suara dikarenakan pendekatannya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
tahun 1950-an, saat rakyat di Indonesia didorong untuk menjadi orang Indonesia.
Gambar: Soedjatmoko
Para sejarawan baru membangun sejarah nasioanl mereka diatas basis kolonial. Meskipun
demikian asal usul Indonesia tetap dipancang kuat–kuat pada masa imperialisme Majapahit yang
berpusat di Jawa. Kaum intelektual seperti Muhammad Hatta, Takdir Alisjahbana, dan para
pemuka politik diluar Jawa menentang imperialism Majapahit baru yang terpusat di Jawa.
Roeslan Abdul Gani mengemukakan sejarah yang diilhami Marxisme yang menunjukan
antithesis antara kekuatan terang dan kekuatan gelap pada akhirnya membuahkan kebebasan bagi
rakyat jelata, sementara Hatta menekankan bahwa historiografi sejati Indonesia berkaitan dengan
wujudnya manusia pancasila.
Menjelang akhir tahun 1950-an upaya untuk membentuk lembaga–lembaga demokrasi dan
otonomi daerah mengalami kegagalan akibat nasionalisme otoriter Soekarno. Indonesia masih
menjadi negara tanpa sejarah karena niat konstituante 1957 untuk menulis sejarah nasional yang
baru tidak terwujud. Menurut Pramodya Anata Toer yang mempunyai pandangan sama dengan
Yamin dan lain–lain beranggapan bahwa meskipun historiografi Indonesia sebaiknya
menggunakan metode modern penulisan sejarah yang berkembang di barat, tetapi historiografi
Indonesia harus membedakan diri dari yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional
Indonesia. Sementara itu disisi lain, para wakil militer juga ikut serta menulis ulang sejarah
nasional dan memasukannya ke dalam mata pelajaran sejarah. Nugroho Notosusanto pada tahun
1970-an berhasil melakukan militerisasi historiografi Indonesia terutama menyoroti peranan
militer dalam menjaga keselamatan negara.
Historiografi Indonesia Modern saat itu juga menekankan arsip negara sebagai fakta–fakta yang
dapat dipercaya berbeda dengan historiografi lokal yang dimasukkan kedalam kategori dongeng
rakyat. Buku–buku pelajaran sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan kesadaran sejarah
dan kesadaran nasional sebagaimana dilihat oleh negara. Sebagian besar sejarawan selama
periode orde baru berhasil menghindarkan diri dari fokus kepada negara sebagai penindas dan
peranannya dalam penulis dan sejarah nasional dan lokal. Dengan demikian sejarawan
professional di Indonesia lebih memusatkan perhatiannya pada topik–topik penelitian yang tidak
terlalu peka yang seringkali disponsori pemerintah.