Anda di halaman 1dari 4

Nama : Andri Setyawan

NIM : B0418006

Kelas : Ilmu Sejarah A

“Dekolonisasi Historiografi Indonesia Dan Kesadaran Dekonstruktif”

Secara sederhana perkembangan historiografi Indonesia dapat dibagi menjadi tiga


fase, yaitu historiografi tradisional (penulisan hikayat, babad, tambo, dll.), historiografi
kolonial, dan historiografi nasional. Pembagian ini sebenarnya hanya mengikuti pembabakan
waktu secara linier – prakolonial, masa kolonial, pascakolonial. Tetapi melupakan aspek-
aspek lain yang berkaitan dengan historiografi. Pembedaan historiografi ke dalam tiga fase
tersebut tidak selalu relevan untuk menggambarkan praktik penulisan sejarah Indonesia baik
di masa lalu maupun sekarang.

Penulisan sejarah nasional juga dibedakan menjadi tiga gelombang. Gelombang


pertama disebut dekolonisasi sejarah. Setelah kemerdekaan ada keinginan kuat masyarakat
untuk memiliki sejarah nasional sendiri yang tidak lagi ditulis oleh penjajah Belanda. Dari
pendekatan sejarah yang sifatnya Neerlando-sentris diganti dengan pendekatan yang
Indonesia-sentris. Gelombang Kedua, pemanfaatan ilmu sosial dalam sejarah. Gelombang
ketiga ditandai munculnya semangat reformasi sejarah yaitu “pelurusan sejarah”. Masing-
masing gelombang penulisan sejarah Indonesia untuk menggambarkan bahwa pembagian
fase atau gelombang itu masih menunjukkan tumpang tindih di antaranya sehingga seringkali
menimbulkan semacam gugatan terhadap sejarah yang telah diterima kebenarannya
(accepted history). Kebenaran sejarah dapat digugat kembali karena ditemukannya sumber
baru yang lebih sahih atau valid dan berubahnya kewajaran sejarah (fairness).

Fase historiografi tradisional menurut Sartono Kartodirjo bahwa menulis sejarah


termasuk pekerjaan sakral. Penulisnya harus mendapatkan “wahyu kapujanggan”, kekuatan
magis sebelum menuliskan sejarah kerajaan atau raja yang sedang berkuasa. Visi dan
perspektif sejarah yang bersifat loko-sentris, istana-sentris, dan etno-sentris sangat menonjol
dalam historiografi tradisional, tetapi belum mengenal kerangka pemikiran teoritis
metodologis ilmiah seperti yang dimiliki oleh para penulis sejarah modern. Historiografi
tradisional memantulkan pandangan dunia dari masyarakat yang menghasilkannya. Oleh
karena itu, genrenya dapat dijadikan referensi dalam usaha memahami realitas di sekitar atau
dapat menjadi kerangka dalam memberi interpretasi terhadap situasi. Maka di samping
sebagai sumber sejarah yang dapat membantu memberi kepastian tentang fakta-fakta sejarah,
historiografi tradisional dapat pula digunakan sebagai alat untuk memahami berbagai pola
perilaku kesejarahan dari suatu masyarakat.

Fase berikutnya adalah historiografi kolonial. Historiografi kolonial adalah


merupakan produk penulisan sejarah Indonesia selama di bawah pemerintahan Kolonial
Belanda dan merupakan antitesis sejarah tradisional yang telah berkembang sebelumnya.
Karya-karya sejarah umumnya dihasilkan oleh para penulis atau sejarawan Belanda, yang
memiliki visi Eropa-sentris atau Neerlando-sentris. Historiografi kolonial disusun
berdasarkan landasan ilmiah seperti yang dikembangkan di Eropa pasca-Pencerahan.
Historiografi kolonial juga tidak steril dari kepentingan politik negara kolonial dan budaya
modern Barat. Tujuan penulisan sejarahnya adalah untuk memperkuat kekuasaan orang-orang
Eropa di Indonesia. Sejarah disusun untuk membenarkan penguasaan orang Eropa atas
pribumi. Oleh karena itu, historiografi kolonial hanya mengungkapkan peran orang-orang
Belanda di wilayah Timur dan peristiwa-peristiwa penting di negeri Belanda atau Eropa,
seraya mengabaikan keberadaan orang Indonesia dalam proses sejarah. Format historiografi
adalah menonjolkan peran orang-orang besar dan mengabaikan peran orang-orang pribumi.
Historiografi kolonial banyak dipengaruhi tradisi penulisan sejarah di Eropa abad ke-19 oleh
Leopold von Ranke. Historiografi kolonial juga bersandar pada sumber-sumber arsip resmi
Negara mempengaruhi konstruki sejarah yang dihadirkan. Selain itu, Historiografi kolonial
juga mengandung unsur Islam-phobia.

Selanjutnya, fase historiografi nasional. Setelah Indonesia merdeka, tuntutan untuk


menulis sejarah Indonesia dari perspektif orang Indonesia semakin kuat. Nilai-nilai revolusi
seperti anti kolonial, anti feodal, kebebasan, demokrasi, dan persamaan hak mempengaruhi
wacana penulisan sejarah nasional Indonesia juga dikembangkannya penulisan sejarah
Indonesia secara akademik semakin nyaring disuarakan. Selain nilai nasionalisme yang
ditonjolkan, penulisan sejarah nasional hendak diwujudkan dengan prinsip “supaya
dilaksanakan secara sintesis” menurut Yamin atau multiple-approach menurut Soedjatmoko,
dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Pemikiran ini merupakan antitesa terhadap
kecenderungan dekolonisasi sejarah yang bercorak oral, bukan perspektif, dan terhadap
kuatnya dimensi kewajaran historis, bukan dimensi kebenaran, dalam penulisan sejarah.

Jadi, historiografi Indonesia modern yang menurut Djoko Surjo (2009), adalah produk
penulisan sejarah sejak kemerdekaan tahun 1945, yang ditulis oleh sejarawan profesional,
hasil pendidikan akademik modern, memiliki visi dan perspektif sejarah yang luas, mengenal
kerangka pemikiran teoritis metodologis, pendekatan dan metode penggarapan penelitian
yang didasarkan pada landasan akademik ilmiah. Lebih lanjut, bahwa pada fase penulisan
historiografi modern dapat diidentifikasi fase-fase penggarapan kajian sejarah Indonesia
modern. Fase pertama disebut fase perkembangan awal atau dekade kelahiran perintis
sejarawan Indonesia baru dan usaha merintis penyusunan sejarah dengan perspektif
Indonesia-sentris dimulai. Fase ini ditandai dengan dibukanya Jurusan Sejarah di Perguruan
Tinggi tahun 50 dan 60-an. Fase kedua (1970-80) merupakan masa pemekaran sejarawan
akademik yang ditandai semakin banyak karya sejarah yang dihasilkan secara akademik dan
berkembangnya secara kritis dengan pendekatan multidimensional. Fase ketiga (1990-2000-
an) merupakan fase kelanjutan dari sebelumnya, tetapi sejarawan mulai dihadapkan pada
tantangan perubahan zaman yang cepat, termasuk tatanan politik dunia dan nasional. Fase
terakhir merupakan fase yang disebut ”krisis sejarah”.

Bersamaan dengan berkembangnya semangat post-modernisme sebagai cara pikir


dewasa ini, dekolonisasi sejarah Indonesia yang dibarengi oleh kesadaran dekonstruksif
menjadi alternatif penulisan sejarah baru serta sebagai antitesis terhadap corak penulisan
sejarah Eropa-sentris dan Neerlando-sentris. Dekolonisasi sejarah mengusung gagasan
tentang pentingnya menempatkan sejarah dalam konteksnya (historizing history), dengan
menekankan sudut pandang orang dalam (history from within) sebagai tanggapan terhadap
karya-karya sejarah konvensional yang bias kolonial, yang menempatkan kekuasaan Belanda
atau kolonial sebagai kekuatan sentral dan menyeluruh di balik pengembangan kehidupan
modern. Selain itu, tidak hanya membicarakan karya sejarah Indonesia yang terbit masa
kolonial Belanda dan ditulis oleh sarjana asing, tapi meninjau kembali arah dan
kecenderungan yang nampak dalam penulisan sejarah Indonesia modern yang menggunakan
perspektif dan genre penulisan sejarah kolonial. Oleh karena itu, dekolonisasi historiografi
sejarah Indonesia juga dapat diartikan sebagai usaha desentralisasi atau demokratisasi
sejarah, yang mencoba mengoreksi atau mengkritisi cara-cara lama dalam penulisan sejarah
Indonesia.

Kategori dan klasifikasi yang disusun dalam historiografi kolonial dan sekarang mulai
dipertanyakan para peneliti karena tidak relevan lagi untuk menggambarkan proses sejarah
yang berlangsung, dapat dicontohkan berikut ini. Pertama, klasifikasi tentang “sastra keraton”
atau ketagori “budaya adiluhung” yang tercermin dari manuskrip-manuskrip yang disusun
para pujangga keraton. Kedua, penggambaran bahwa Kompeni/VOC di Jawa pada abad ke-
18 menjadi determinant factor dalam menentukan jalannya sejarah Jawa. Ketiga,
penggambaran tokoh secara berlebihan, seperti dalam buku-buku sejarah resmi, Diponegoro
digambarkan secara berlebihan dengan melekatkan nilai tertentu yang melampaui dirinya
sebagai manusia biasa yang telah membuat sejarah. Keempat, masa Tanam Paksa selalu
dinarasikan sebagai periode yang menyengsarakan bagi rakyat Indonesia. Kelima,
pengkategorian pergerakan nasional ke dalam kelompok nasionalis, agama, komunis juga
gagal menangkap realitas sejarah. Keenam, dalam kajian Indonesia modern, kategori dan
klasifikasi masyarakat Jawa seperti dilakukan Belanda abad ke-19 ditegaskan kembali
melalui studi antropologi. Ketujuh, klasifikasi masyarakat jajahan ke dalam Eropa, Timur
Asing, dan Inlander secara inheren merefleksikan adanya pengkastaan dalam masyarakat,
yang menempatkan golongan yang satu lebih unggul daripada golongan lainnya. Kedelapan,
periodisasi sejarah Indonesia.

Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban akademis, dekolonisasi penulisan


sejarah Indonesia perlu dilakukan. Bukan mempersoalkan landasan moral dan kewajaran
historis semata, melainkan mempersoalkan perspektif dan kebenaran ilmiah. Perspektif post-
modernisme membuka peluang baru bagi penelitian sejarah yang tidak hanya terkungkung
pada dokumen-dokumen atau arsip negara yang cenderung bias politik atau kepentingan elit
penguasa. Dalam konteks post-modernisme, kajian sejarah mau tidak mau harus ditinjau
ulang kaitannya dengan perspektif yang digunakan dan akan berpengaruh terhadap teori dan
metodologi sejarah yang hendak dipakai dalam penelitian sejarah. Dekolonisasi sejarah
Indonesia membuka peluang untuk meninjau kembali historiografi kolonial dalam penulisan
sejarah Indonesia yang secara akademis dan politis sulit diterima.

Anda mungkin juga menyukai