Anda di halaman 1dari 35

1

DEKOLONISASI HISTORIOGRAFI INDONESIA


DAN KESADARAN DEKONSTRUKTIF

Pidato Pengukuhan Guru Besar


Bidang Ilmu Sejarah
Pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret

Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka


Universitas Sebelas Maret
Tanggal 2 Desember 2014

Oleh:
Prof. Dr. Warto, M.Hum.

Universitas Sebelas Maret


SURAKARTA
2014
2

Hadirin yang terhormat,


Judul yang saya pilih dalam pidato pengukuhan hari ini didasarkan atas pertimbangan dua hal:
Pertama, bertambahnya pemahaman saya terhadap perkembangan historiografi mendorong untuk
menengok kembali praktik penelitian dan penulisan sejarah yang pernah saya lakukan. Tesis saya
tentang blandong (terbit pada 2001), dan disertasi saya mengenai perubahan masyarakat desa
hutan (terbit pada 2009), belum memuaskan karena masih berada dalam kerangka penulisan
sejarah struktural. Meskipun keduanya mengisahkan sejarah wong cilik di tingkat lokal, yang
dalam beberapa literatur dikategorikan people without history atau kelompok voiceless, namun
penelitian tersebut belum sepenuhnya berhasil memberi gambaran yang utuh mengenai proses-
proses sejarah yang berlangsung dalam masyarakat. Corak quasi-Indonesiasentris masih terasa
sehingga upaya untuk menghadirkan history from below yang sesungguhnya belum sepenuhnya
berhasil. Kedua, sejak beberapa tahun terakhir saya diberi tugas mengampu mata kuliah
historiografi dan teori & metodologi sejarah. Inilah kesempatan baik bagi saya untuk
mengeksplorasi lebih jauh perkembangan historiografi yang berkaitan erat dengan
perkembangan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial/humaniora. Lahirnya pemikiran post-
modernisme dan pascakolonial, misalnya, pada awalnya populer di kalangan para ahli sastra,
seniman, aristektur, dan kemudian juga mempengaruhi pemikiran sejarah yaitu dengan
tumbuhnya kesadaran dekonstruksi dalam penulisan sejarah. Pascakolonial adalah merupakan
bagian dari gerakan pemikiran baru dalam pengkajian ilmu-ilmu humaniora dan seni, yang
menurut saya, mampu memberi jalan alternatif dalam penulisan sejarah Indonesia ke depan.
Penulisan sejarah pasca kemerdekaan mengalami perkembangan pesat. Secara sederhana
perkembangan historiografi Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu historiografi
tradisional (penulisan hikayat, babad, tambo, dll.), historiografi kolonial, dan historiografi
nasional. Pembagian ini sebenarnya hanya mengikuti pembabakan waktu secara linier – pra-
kolonial, masa kolonial, pascakolonial -- tetapi melupakan aspek-aspek lain yang berkaitan
dengan historiografi. Dalam historiografi tradisional seperti babad, misalnya, justru telah
menawarkan semacam genre penulisan sejarah yang sekarang sedang diminati di kalangan
penulis post-modernisme/ pos-strukturalisme. Menulis sejarah bukan sekedar menceritakan masa
lampau itu sendiri melainkan juga merupakan peristiwa sejarah. Historiografi kolonial bukan
hanya sekedar menceritakan peran orang-orang Belanda selama masa penjajahan, melainkan
juga berkaitan dengan persoalan perspektif dalam menuliskan sejarah. Corak kolonial-sentris
3

yang menonjolkan peran elit penguasa yang digambarkan sebagai pembawa misi suci dalam
memberadabkan masyarakat pribumi masih mewarnai penulisan sejarah masa-masa sesudahnya.
Singkatnya, pembedaan historiografi ke dalam tiga fase tersebut tidak selalu relevan untuk
menggambarkan praktik penulisan sejarah Indonesia baik di masa lalu maupun sekarang.
Di samping itu, penulisan sejarah nasional juga dibedakan menjadi tiga tahap atau
gelombang. Gelombang pertama disebut sebagai dekolonisasi sejarah. Setelah kemerdekaan
terdapat keinginan kuat dalam masyarakat untuk memiliki sejarah nasional sendiri yang tidak
lagi ditulis oleh penjajah Belanda. Dalam Seminar Sejarah Nasional I tahun 1957 di Yogyakarta,
masalah ”dekolonisasi pengetahuan sejarah” menjadi tema utama yang dibicarakan. Pendekatan
sejarah yang sifatnya Neerlando-sentris mulai digugat untuk kemudian diganti dengan
pendekatan yang Indonesia-sentris. Gelombang kedua adalah pemanfaatan ilmu sosial dalam
sejarah. Hal ini secara jelas terlihat dalam Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta tahun 1970
dengan pelopornya Sartono Kartodidjo. Pendekatan ilmu sosial dalam sejarah dipandang
memiliki dua keuntungan, secara akademis ia meningkatkan mutu penulisan sejarah, dan secara
politis sejarah bersikap netral terhadap penguasa bahkan jauh dari posisi sebagai kritik sosial.
Gelombang ketiga ditandai munculnya semangat reformasi sejarah yaitu ”pelurusan sejarah”
yang dianggap kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa rezim Orde Baru berkuasa. Di
samping itu bermunculan apa yang disebut sebagai ”sejarah korban”. Mereka yang selama ini
diam atau didiamkan mulai bersuara atau disuarakan. Sebagian dari mereka adalah korban politik
dan kekerasan semasa orde baru (Asvi Warman Adam, 2009: 6-7). Meskipun istilah ”pelurusan
sejarah” banyak yang tidak sependapat, namun mereka yang setuju dengan istilah itu ingin
menyanggah narasi-narasi masa lalu yang ditegakkan negara. Ini berarti ingin menggali kasus-
kasus tertentu atau apa yang terjadi pada berbagai kelompok masyarakat di suatu titik-titik waktu
tertentu (Nordholt et al, 2008:4).

Ibu, Bapak, dan Hadirin yang terhormat


Berikut ini akan dijelaskan ciri-ciri khas dari masing-masing gelombang penulisan
sejarah Indonesia untuk menggambarkan bahwa pembagian fase/gelombang itu masih
menunjukkan tumpang tindih di antaranya sehingga seringkali menimbulkan semacam gugatan
terhadap sejarah yang telah dterima kebenarannya (accepted history). Banyak peristiwa-peristiwa
sejarah Indonesia yang telah diterima ”kebenarannya” oleh masyarakat akademik dan
4

masyarakat lainnya, serta diterima oleh negara sebagai fakta keras yang dijadikan hari-hari besar
nasional dan diperingati setiap tahun, mulai dipertanyakan atau digugat kembali. Timbullah
kontroversi sejarah, bukan dalam tataran teori/metodologis tetapi dalam suasana kronikel dan
kewajaran sejarah. Kebenaran sejarah dapat digugat kembali karena ditemukannya sumber baru
yang lebih sahih/valid dan berubahnya kewajaran sejarah (fairness). Sumber sejarah menjadi
bagian penting dalam proses pengkajian sejarah untuk menentukan kebenaran faktual. Semakin
lengkap dan sahih sumber yang ditemukan, semakin tinggi tingkat kebenaran faktualnya. Hanya
saja, kebenaran faktual itu belum sepenuhnya dianggap ”sejarah” karena kebenaran faktual juga
diselimuti oleh unsur kewajaran sejarah dari komunitas yang diteliti. Bahkan, sejarawan tidak
selamanya mampu mengambil jarak dengan masyarakat yang diteliti karena menjadi bagian
darinya. Fakta sejarah yang telah ditemukan dan dibenarkan secara akademik belum tentu
diterima secara wajar oleh masyarakat yang memiliki sejarah itu. Ukuran kewajaran sejarah yang
bertumpu pada landasan moral atau nilai-nilai kolektif, yang menjadi dasar pengikat hidup
bersama, seringkali sulit diubah meskipun berbeda dengan kebenaran sejarah secara faktual.
Persoalan inilah yang selalu mewarnai perdebatan sejarah dan menentukan corak historiografi
yang dihasilkan.
Fase pertama penulisan sejarah Indonesia disebut fase historiografi tradisional. Dalam
historiografi tradisional, menurut Sartono Kartodirdjo (1982), menulis sejarah termasuk
pekerjaan sakral. Penulisnya harus mendapatkan ”wahyu kapujanggan”, kekuatan magis
sebelum menuliskan sejarah kerajaan atau raja yang sedang berkuasa. Raja digambarkan sebagai
poros makrokosmos, yang menjadi penguasa dunia dan sekaligus pemimpin tertinggi agama
(dewaraja-kultus). Oleh karena itu, untuk meligitimasi kekuasaannya, raja atau kerajaan harus
memiliki wahyu/pulung keraton. Kesaktian raja direpresentasikan melalui lambang-lambang
kerajaan, pusaka, gelar, dan orang-orang tertentu yang berada di sekitar raja. Babad sebagai
sejarah tradisional, misalnya, lebih banyak menceritakan kejadian-kejadian di sekitar atau
tentang raja yang sedang berkuasa, maka sifatnya kraton-sentris dan feodalistik. Peran
masyarakat biasa, kawula, tidak diceritakan di dalam babad karena mereka berada di luar
lingkaran istana. Legitimasi raja juga dibangun melalui genealogi yang disusun berdasarkan cara
berfikir oposisi biner: sejarah pangiwa dan panengen. Secara genealogis, raja-raja Mataram
Islam, misalnya, digambarkan sebagai keturunan para Wali Sanga dan para Nabi (panengen),
dan juga mempunyai garis keturunan dengan tokoh-tokoh wayang dan para dewa-dewa dalam
5

tradisi Hindu (pangiwa). Hal ini untuk menegaskan bahwa raja yang berkuasa bukan keturunan
sembarang orang, tetapi ”manusia setengah dewa” yang berhak menduduki tahta kerajaan.
Babad, selain bersifat anakronistis yaitu tidak ada susunan kronologis yang runtut dalam
menceritakan setiap kejadian, ia juga merefleksikan adanya sinkretisme Jawa, atau meminjam
istilah Ricklefs, disebut ”sintesis mistik” dalam tradisi Islam Jawa (Ricklefs, 2006). Visi dan
perspektif sejarah yang bersifat loko-sentris, istana-sentris, dan etno-sentris sangat menonjol
dalam historiografi tradisional, tetapi belum mengenal kerangka pemikiran teoritis metodologis
ilmiah seperti yang dimiliki oleh para penulis sejarah modern.
Dalam konteks masyarakat tradisi, makna dan fungsi sejarah lebih berarti daripada
peristiwa-peristiwa di hari lampau yang diungkapkan itu. Bukan kebenaran historis yang menjadi
tujuan utama, melainkan pedoman dan peneguhan nilai yang ingin didadapatkan. Karena itu,
dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai karya
imajinatif, dan mitologi sebagai pandangan hidup yang dikisahkan, serta ”sejarah” sebagai uraian
peristiwa masa lampau (Taufik Abdullah dan Surjomihardjo, 1985:xxi). Historiografi adalah
ekspresi kultural dan pantulan dari keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang
menghasilkannya. Historiografi yang dihasilkan para pujangga (literati), yang dipelihara oleh
penguasa, diharapkan dapat berfungsi untuk meneguhkan dinasti atau memperkuat legitimasi,
serta mempertahankan dasar nilai yang menjadi sandaran ideologis dari kekuasaan. Oleh karena
itu, terdapat beragam tradisi kesejarahan dalam berbagai kelompok kesatuan kultural.
Historiografi tradisional memantulkan pandangan dunia dari masyarakat yang menghasilkannya.
Karena itu genre historiografi tradisional dapat dijadikan referensi dalam usaha memahami
realitas di sekitar atau dapat menjadi kerangka dalam memberi interpretasi terhadap situasi.
Maka di samping sebagai sumber sejarah yang dapat membantu memberi kepastian tentang
fakta-fakta sejarah, historiografi tradisional dapat pula digunakan sebagai alat untuk memahami
berbagai pola perilaku kesejarahan dari suatu masyarakat. Seringkali historiografi tradisional
tidak berbeda jauh dengan sejarah spekulatif, yang menekankan pada makna dan tujuan sejarah,
baik yang mempunyai kecenderungan eskatologis maupun yang siklus.
Sehubungan dengan hal ini, penulis sejarah/pujangga keraton yang menulis Babad,
misalnya, selain bercerita masa lalu, juga membuat prediksi masa depan. Babad Jaka Tingkir
(karya PB VI, berkuasa pada 1823-1830) seperti yang dikaji Florida (2003) merupakan
pembacaan kembali secara profetis atas suatu masa silam. Berbeda dengan Babad Tanah Jawi
6

yang sifatnya istana-sentris, Babad Jaka Tingkir mengisahkan masa silam dan sekaligus
menerawang ke depan membeberkan panggung kesejarahan dalam mengantisipasi gerak sejarah
ke masa yang akan datang. Babad ini tak memuat kisah Joko Tingkir justru untuk memberi
pandangan tandingan tentang sejarah dan kuasa. Tokoh-tokoh seperti Brawijaya, Jaka
Prabangkara, para Wali, Sultan Demak, Seh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, semuanya tampil
silih berganti bukan untuk membangun alur tunggal penuturan, tapi untuk membangun jalinan
yang terdiri dari banyak pusat dan peristiwa. Dengan demikian tak ada satu tokoh, wangsa atau
persitiwa yang dominan yang menjadi acuan pengisahan sehingga menjadi penafsir tinggal
kebenaran dalam tindakan yang akan muncul di atas panggung sejarah. Penulisan sejarah seperti
ini jelas berbeda sama sekali dengan penulisan sejarah akademik yang berupaya
mengobjektifkan peristiwa masa silam yang telah mati untuk ditafsirkan. Bagi Florida, penulisan
sejarah tradisional di Jawa (dalam karya manuskrip) merupakan semacam peristiwa sejarah di
mana sejarawan secara sadar ikut aktif membuat sejarah karena teks yang ditulisnya sebagai
suatu konteks potensial yang mampu menghadirkan masa depan.
Tulisan Florida dapat disandingkan dengan tulisan Carey (2014) yang mengupas Babad
Diponegoro (ditulis P. Diponegoro pada 1831-1832 dalam pengasingannya di Manado). Babad
ini bukan hanya bercerita masa lalu tanah Jawa yaitu mulai dari jatuhnya Majapahit (sekitar
1510-an) hingga perjanjian Giyanti (1755), tetapi juga menceritakan sepak terjang Pangeran
sendiri sejak lahir (1785) hingga pengasingannya di Manado. Di bagian kedua ini Diponegoro
merumuskan (meramalkan) masa depan Jawa berdasarkan peristiwa-peristiwa masa lampau,
tetapi bukan dalam pengertian progresi. ”Ketika ramalan atau nujum punya kuasa, dalam arti bisa
menentukan tujuan manusia serta apa yang akan terjadi, ketika ”takdir” dipahami sebagai
ketentuan yang sudah diletakkan, masa depan sebenarnya milik masa lalu” (Carey: xvii). Masa
depan masyarakat Jawa yang harkatnya tercabik oleh kolonialisme Belanda, yaitu masa depan
yang islami dan kuat. Namun, tawaran itu adalah sebuah pemulihan kembali, restorasi, dari
sebuah tatanan yang pernah ada, bukan sesuatu yang baru. Melalui dirinyalah restorasi Jawa
akan terwujud: ...sira sarananipun/mapan iku tan dawa.
Dua contoh penulisan sejarah tradisonal tersebut menegaskan bahwa jenis historiografi
tradisional sebenarnya cukup beragam dan masing-masing mempunyai ciri-ciri yang tidak sama.
Karya babad yang dikenal luas masyarakat Jawa menyajikan keragaman corak penulisan sejarah
itu. Babad tidak selalu bersifat keraton-sentris dan berfungsi sebagai sarana untuk menambah
7

keagungan dan legitimasi kekuasaan raja. Babad jenis ini biasanya ditulis oleh pujangga keraton
di bawah naungan raja yang bekuasa. Sementara itu, di luar tembok keraton, di pusat-pusat
pendidikan Islam (pesantren), padepokan, dan bahkan di pengasingan seperti PB VI dan P.
Dipanegoro, atau tepatnya di wilayah-wilayah ”pinggiran” yang jauh dari pusat kekuasaan,
penulisan sejarah juga dilakukan. Oleh karena itu, historiografi tradisional tidak bisa
diseragamkan karena ia merupakan pantulan budaya komunitas-komunitas lama, yang bersifat
etno-sentrik atau loko-sentrik.

Hadirin yang berbahagia,


Fase berikutnya dari penulisan sejarah Indonesia ialah masa kolonial. Konteks zaman kolonial
melahirkan narasi-narasi sejarah Indonesia yang relatif berbeda dengan narasi sejarah yang
dihasilkan di masa-masa sebelumnya. Historiografi kolonial adalah merupakan produk penulisan
sejarah Indonesia selama di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan merupakan antitesis
sejarah tradisional yang telah berkembang sebelumnya. Karya-karya sejarah umumnya
dihasilkan oleh para penulis/sejarawan Belanda, yang memiliki visi Eropa-sentris dan/atau
Neerlando-sentris. Sejarah Indonesia dipandang sebagai bagian dari sejarah Eropa atau sejarah
Belanda. Eropa dianggap sebagai pusat dan Indonesia sebagai pinggiran. Hubungan pusat-
pinggiran berada dalam relasi asimetris dan hegemonik. Karya de Jonge & van Deventer (1862-
1895) dan Stapel (1938-1940) menjadi contoh klasik jenis penulisan sejarah Indonesia yang
berspektif kolonial. Karya Stapel yang lima jilid itu, dua jilid berkisah tentang kerajaan-kerajaan
lama di Jawa yang bercorak Hindu/Budha dan Islam. Situasi berubah secara tiba-tiba setelah
kedatangan Belanda. Jilid tiga dan seterusnya menjadikan Belanda sebagai aktor utama yang
menentukan jalannya sejarah Indonesia, sedangkan penduduk pribumi tidak diperhitungkan.
Dalam historiografi kolonial, seperti tercermin dalam buku Stapel, ada perbedaan pandangan
tentang kualitas moral pemerintahan kolonial dan peranan negara, yaitu antara kaum liberal yang
memperjuangkan pengurangan campurtangan negara dan mengecam eksploitasi oleh negara
versus kaum konservatif yang membela intervensi negara. Meskipun demikian, Belanda tetap
merupakan pelaku utama yang mewakili pencerahan, kemajuan, dan kemampuan melindungi
kepentingan penduduk asli (Nordholt dkk.,2008: 7).
Berbeda dengan historiografi tradisional yang belum dikerjakan melalui kaidah-kaidah
ilmu pengetahuan modern yang ilmiah, historiografi kolonial disusun berdasarkan landasan
ilmiah seperti yang dikembangkan di Eropa pasca-Pencerahan. Penulisan sejarah Indonesia
8

secara ilmiah yang mengikuti paradigma Rankean yaitu menulis sejarah harus seperti apa adanya
(wie est eigentlich gewessen; as it actually happened), telah diperkenalkan sejak abad ke-19 di
Indonesia. Leopold von Ranke dianggap bapak sejarah modern karena telah merintis sejarah
menjadi cabang ilmu yang sejajar dengan ilmu-imu lainnya. Melalui sekelompok ilmuwan
Belanda (arkeolog, filolog, etnolog, sejarawan) yang bernaung di bawah Perkumpulan Seni dan
Ilmu Pengetahuan Batavia (Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen,(berdiri
pada 1778), sejarah Indonesia mulai mendapatkan perhatian secara serius. Mula-mula oleh para
filolog dan arkeolog, kemudian disusul para sejarawan dan para etnolog. Melalui para ahli itu
sejarah Indonesia diteliti dan dikisahkan secara ilmiah. Masa lalu Indonesia digali melalui
reruntuhan artefak-artefak budaya yang diduga peninggalan masa Hindu-Buda atau masa-masa
sebelumnya, prasasti, manuskrip, dan jejak sejarah lainnya yang masih tersisa. Karya-karya
penulis Eropa seperti History of Sumatra (1810) oleh William Marsden (1810), atau History of
Java oleh Thomas Stanford Raffles (1817) merupakan contoh klasik tentang usaha sejarawan
kolonial merekonstruksi sejarah Indonesia untuk mendokumentasikan kekayaan budaya
Nusantara dan sekaligus untuk mendukung kekuasaannya di Indonesia. Melalui lembaga itu,
konsep-konsep dasar sejarah ilmiah pasca-Renaisanse tersebar luas dan menjadi landasan bagi
penulisan Sejarah Indonesia, misalnya pentingnya batasan waktu dan tempat, pengetahuan masa
lampau harus sekuler dan humanistis, serta fakta dan interpretasi sejarah harus selalu diuji
dengan metode ilmiah.
Dalam sejarah penulisan sejarah Barat, historiografi modern yang bertumpu pada metode
ilmiah dan bersandar pada filsafat positivisme berfungsi sebagai alat legitimasi kebangkitan
negara bangsa dan masyarakat modern yang rasional. ”Sejarah profesional modern” (modern
professional history) seperti diistilahkan Heather Sutherland (Nordholt, 2008: 34), yang
bertumpu pada konvensi ilmiah dan akal sehat (common sense), berperan dalam meligitimasi
terbentuknya entitas politik negara-bangsa dan modernitas (cara berfikir dan cara hidup modern).
Sejarah modern mencapai bentuknya yang khas pada abad ke-19 di Eropa. Baik topik (politik,
diplomasi, militer, kaum elit) maupun metodenya (penelitian arsip) yang dipilih sejarawan
mencerminkan kaitan erat antara ilmu yang baru itu dengan negara modern. Bersamaan dengan
tersebarnya model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi historiografi
Eropa menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah ”nyata”. Sejarah ”nyata” adalah
rekonstruksi dari apa ’yang sebenarnya terjadi’ dan disusun menurut negara-bangsa yang
9

mencerminkan prioritas dan nilai-nilai kelompok elit pemegang kekuasaan negara. Sejarah
modern menampilkan narasi-narasi besar yang dominan yang menampilkan sejarah sebagai
kemajuan menuju kejayaan modernitas negara-bangsa, dan ini berarti kemenangan politik
budaya Barat. Seperti disinggung Florida, “Proyek penulisan sejarah pasca-Pencerahan secara
konvensional dipahami sebagai representasi objektif peristiwa masa silam sebagaimana
dibingkai dan dijelaskan dalam konteks sejarah di mana peristiwa-peristiwa tersebut ditafsirkan
‘benar-benar’ terjadi. Proyek sejarah seperti itu didasarkan pada anggapan bahwa masa silam
secara mutlak berbeda dengan masa kini dan sungguh-sungguh telah mati, bahwa masa silam
merupakan suatu wujut tertentu yang terbuka untuk diketahui dan direkonstruksikan secara tepat
ke dalam tulisan oleh ‘para ilmuwan objektif’ (Florida, 2003: 71).
Dalam konteks seperti ini, historiografi modern tidak bisa dilepaskan dari peran negara
dan kekuasaan politik. Sebagai sarana membangun legitimasi dan identitas nasional, negara
membutuhkan sejarah nasional yang menguraikan tentang lahirnya negara itu. Sejarah modern
yang bercorak profesional, ilmiah, dan disetujui negara tumbuh dari perspektif antroposentrisme
di mana manusia menduduki peran sentral. Pada saat yang sama, ketika narasi besar yang
mendukung kehadiran negara-bangsa telah disusun berdasarkan model historiografi Eropa-
sentris, misalnya narasi besar nasionalis Indonesia ditelusuri hingga kerajaan-kerajaan pra-
kolonial seperti Sriwijaya dan Majapahit, muncul narasi tandingan yang berasal dari komunitas-
komunitas sejarah lama yang tersebar di daerah-daerah atau kelompok-kelompok minoritas.
Dalam sejarah nasional Indonesia, seringkali identitas lokal tidak disinggung dalam narasi
nasional. Dalam konteks sejarah nasional, lokal atau daerah akan sisinggung hanya ketika ia
mempunyai makna atau kontribusi dalam mewujutkan kesatuan dan identitas nasional.
Pemaknaan terhadap peristiwa sejarah menjadi monopoli negara yang ditopang kaum elit di
belakangnya. Maka narasi tradisional yang berbeda dengan narasi modern serta merta ditolak
atau diabaikan.
Pentingnya aspek politik dan kelembagaan seperti nampak dalam pengerjaan sejarah
modern abad ke-19, sangat kuat pengaruhnya dalam historiografi kolonial. Sama seperti
historiografi tradisional yang, beberapa di antaranya, bias kekuasaan raja dan bersifat sentralistik
(istana sentris), historiografi kolonial juga tidak steril dari kepentingan politik negara kolonial
dan budaya modern Barat. Tujuan penulisan sejarah antara lain untuk memperkuat kekuasaan
orang-orang Eropa di Indonesia. Jadi sejarah disusun untuk membenarkan penguasaan orang
10

Eropa atas penduduk pribumi. Oleh karenanya, historiografi kolonial hanya mengungkapkan
peran orang-orang Belanda di wilayah Timur dan peristiwa-peristiwa penting di negeri Belanda/
Eropa, seraya mengabaikan keberadaan orang Indonesia dalam proses sejarah. Format
historiografi kolonial sama seperti penulisan sejarah Eropa-sentris, yang tetap menonjolkan
peran orang-orang besar dan mengabaikan peran orang-orang pribumi.
Dalam menanggapi tulisan sejarah Indonesia yang bercorak Eropa-sentris/Neerlando-
sentris, van Leur memberikan catatan kritis dengan mengatakan: ”Sejarah Indonesia hendaknya
jangan hanya dilihat dari geladak kapal Belanda dan benteng VOC, tapi hendaknya dilakukan
pendekatan dari dalam, atau pendekatan hendaknya bersifat Indonesia-sentris” (Leur, 1958).
Artinya, menuliskan sejarah Indonesia jangan hanya dari sudut pandang penguasa saja dengan
mengabaikan peran masyarakat pribumi yang sebenarnya juga terlibat dalam proses-proses
sejarah. Namun, rupanya perspektif kolonial-sentris seperti yang direpresentasikan dalam karya
Stapel atau sejarawan klasik lainnya masih sangat kuat pengaruhnya dalam penulisan sejarah
Indonesia hingga kini. Pendekatan dari dalam (history from within) seperti yang disarankan van
Leur masih sulit dilakukan karena beberapa alasan baik menyangkut sumber-sumber sejarah
yang tersedia dan bisa diakses dengan mudah maupun perpekstif yang masih berakar kuat pada
pemikiran kolonial. Secara cerdik Lapian menyindir bahwa ”...dalam kenyataan usaha untuk
mendekati sejarah kepulauan ini ‘dari dalam’ lebih berupa pendekatan ‘dari pedalaman’ dan
sering dilupakan bahwa sejarah dari dalam juga berarti bahwa pendekatan melalui geladak kapal
pribumi dan bandar pelabuhan tidak boleh dilupakan” (Lapian, 2009:1).
Kategori ataupun klasifikasi yang menonjolkan peristiwa-peristiwa politik, kaum elit, dan
narasi-narasi besar dalam sejarah Indonesia nampak, misalnya, adanya pendapat yang
mengatakan bahwa bangsa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun (1595-1545). Hal
ini berarti bahwa bangsa Indonesia dijajah sejak tahun 1595 saat Cornelis de Houtman berangkat
dari negeri Belanda untuk mencari pulau penghasil rempah-rempah di dunia Timur pada tahun
1596. Suatu pendapat yang agak sulit dibuktikan. Demikian pula mengenai periodisasi sejarah
Indonesia yang disusun menurut peran dan kepentingan Belanda selama berada di Indonesia
sejak abad ke-17 hingga menjelang Perang Dunia II. Maka dalam sejarah Indonesia kolonial kita
kenal pembabakan waktu yang menonjolkan aspek-aspek politik, para elit, dan peranan negara.
Periodisasi itu juga menunjukkan bahwa Indonesia – seperti halnya sejarah Eropa – bergerak
menuju ke suatu titik sejarah yang disebut modern. Tahapan yang dilalui mirip seperti sejarah
11

Eropa: zaman klasik, abad tengah, zaman pencerahan, dan masa modern. Sejarah Indonesia lalu
dikerangkai dengan cara yang sama: zaman kuno, zaman Hindu Budha, masa Islam, dan
masuknya Barat di Indonesia. Sejarah kekuasaan kolonial sendiri dibedakan ke dalam beberapa
periode: masa VOC abad ke-17-18, masa Pemerintahan Hindia Belanda abad ke-19, zaman
modern abad ke 20 - hingga berakhirnya masa kolonial tahun 1945. Singkatnya, historiografi
kolonial mewakili nilai-nilai pencerahan, kemajuan, modernitas, serta peradaban maju dan
unggul masyarakat Eropa. Orang kulit putih dicitrakan sebagai bangsa yang unggul
peradabannya dan tugasnya adalah mengemban misi suci (mission sacre) yaitu memberadabkan
bangsa-bangsa lain yang dianggap masih terbelakang, bodoh, miskin, dan belum beradab.
Konstruk berfikir seperti ini menyelinap dalam karya-karya sejarah yang mereka tulis untuk
mengelabuhi masyarakat terjajah agar tidak mempersoalkan kehadiran mereka di tanah koloni.
Mereka datang bukan sebagai penjajah melainkan sedang menjalankan misi suci yaitu mengajari
atau mendidik masyarakat koloni yang masih terbelakang.
Historiografi kolonial banyak dipengaruhi tradisi penulisan sejarah di Eropa abad ke-19
di bawah tokohnya Leopold von Ranke, yang dianggap sebagai “bapak” historiografi modern”.
Lahirnya historiografi modern, seperti telah disinggung, sebagai reaksi terhadap tradisi penulisan
sejarah sebelumnya yang dianggap tidak ilmiah, penuh legenda dan mitos. Pasca masa
Pencerahan berkembang ilmu pengetahuan yang sepenuhnya bersandar kepada rasio/akal sehat.
Kuatnya pengaruh ilmu-ilmu eksakta yang mengandalkan pada kekuatan rasio berpengaruh
terhadap ilmu sejarah dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya yang hendak diilmiahkan seperti
layaknya ilmu eksakta. Maka, kajian kritis terhadap sumber primer (quelllinkritik) sebagai
kaidah penelitian sejarah sangat dianjurkan. Menulis sejarah harus apa adanya seperti yang
terjadi (wie es eigentlich gewesen, as it actually happened), dan tidak boleh dikait-kaitkan
dengan persoalan kekinian. Sejarah yang dususun bukan untuk tujuan-tujuan yang berada di luar
sejarah, misalnya untuk mengadili masa lalu ataupun untuk kepentingan zaman-zaman yang akan
datang. Dalam perspektif Rankean, tema pokok sejarah adalah sejarah politik dan kegiatan-
kegiatan lain yang berkaitan dengan hubungan diplomatik. Semua peristiwa sejarah merupakan
bagian dari politik dan kegiatan berpolitik yang dikendalikan oleh Negara, dan tampuk
kekuasaan Negara berada di tangan pemimpin-pemimpin, bukan rakyat. Ciri-ciri ini
menunjukkan bahwa historiografi model Rankean yang berkembang pertama-tama di Jerman
abad ke-19 dan kemudian menyebar ke Negara-negara lain termasuk yang berkembang di Hindia
12

Belanda menekankan pentingnya sejarah politik dan orang-orang besar sebagai aktor utama
dalam proses sejarah. Historiografi ala Rankean yang menekankan pada sejarah naratif mulai
mendapatkan kritik dari kelompok Annales School yang lahir di Perancis pada tahun 20-an abad
ke-20.
Di Indonesia, perspektif Eropa-sentris ini terungkap dalam cara pandang Belanda
terhadap masyarakat Jawa pasca Perang Diponegoro 1830. Setelah Perang Jawa dapat diakhiri,
menurut Florida, Belanda mulai menyusun strategi kebudayaan Jawa untuk menopang
kekuasaannya. Trauma Perang Jawa yang sangat merugikan itu, menyadarkan Belanda untuk
menjauhkan para elit pribumi dari massa rakyat dan kekuatan Islam fanatik. Kaum elit dikooptasi
ke dalam kepegawaian kolonial, dan Islam dijauhkan dari mereka. Strategi pengendalian ini
menerapkan kebijakan kebudayaan kolonial seperti dilestarikan dan dikembangkannya aturan
hormat guna menopang status dan kewibawaan elit yang mengendur usai perang. Budaya Jawa
dikonstruksikan secara halus, misalnya melalui pembedaan dan identifikasi “budaya tinggi”
sebagai entitas yang berlawanan dengan Islam dan sebagai suatu cagar eksklusif dan konservatif
yang terbatas pada kelas elit yang teramat halus (Florida, 2003).
Historiografi kolonial yang bersandar pada sumber-sumber arsip resmi Negara
mempengaruhi konstruk sejarah yang dihadirkan. Para sejarawan sejarah kolonial sepenuhnya
mengandalkan studi arsip resmi yang dihimpun pemerintah kolonial Belanda yang sebagian
besar merupakan laporan para pejabat baik di pusat maupun daerah. Mudah diduga bahwa
laporan-laporan resmi seperti itu cenderung disusun untuk menyenangkan atasan (ABS) dan
dimanipulasi untuk kepentingan karir mereka masing-masing. Dari sumber sejarah seperti itulah,
para sejarawan merekonstruksi proses sejarah Indonesia yang pada dasarnya hanya menceritakan
sejarah orang-orang Belanda di Indonesia. Pemanfaatan sumber-sumber lokal seperti manuskrip,
sumber lisan, dan artefak lainnya belum banyak diminati sehingga kehadiran penduduk pribumi
dalam historiografi kolonial tidak nampak atau sengaja disingkirkan. Di samping itu,
historiografi kolonial yang bias kepentingan Negara kolonial menutup kemungkinan
dihadirkannya peran pribumi yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pemerintah kolonial
Belanda. Justru yang terjadi pemutarbalikan realitas sejarah untuk mendukung kerangka
historiografi yang bias negara kolonial itu. Misalnya, digambarkan bahwa pergerakan
nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20 itu, menurut para peneliti/sejarawan kolonial,
13

secara ideologis dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu nasionalis, agama/Islam, dan
sosialis/komunis (Blumberger, 1931 dan 1935; Pluvier, 1953).
Historiografi kolonial juga mengandung unsur Islam-phobia. Hal ini berkaitan dengan
pengalaman masa lalu bangsa Eropa pada umumnya dan Belanda khususnya selama di
Indonesia. Misalnya, Belanda mempunyai pengalaman buruk ketika terlibat dalam Perang Jawa
yang berkobar selama lima tahun (1825-30) di bawah P. Diponegoro. Perang itu, secara simbolik
dikobarkan di bawah panji Islam sehingga mendapatkan dukungan luas baik kalangan elit
kerajaan, tokoh-tokoh agama, maupun massa rakyat. Untuk pertama kalinya Belanda
menghadapi perlawanan rakyat jajahan yang begitu lama dan luas lingkupnya sehingga secara
finansial dan moral sangat merugikan. Setelah melalui perang dan perundingan yang melelahkan,
akhirnya Perang Jawa dapat dipadamkan. Namun, perang itu menimbulkan trauma
berkepanjangan bagi pemeintah kolonial, terutama dalam pandangannya terhadap kelompok
Islam. Islam dianggap kekuatan yang membahayakan sehingga harus selalu diawasi secara
cermat agar pengalaman adanya koalisi antara kekuatan Islam dan para Pangeran dalam
menentang Belanda tidak terulang. Usaha memisahkan Islam dengan kekuatan lain di Jawa atau
perasaan keengganan terhadap hal-hal yang berbau Islam ini kemudian dilembagakan melalui
kajian kebudayaan Jawa. Belanda mulai menyadari pentingnya pengkajian kebudayaan Jawa dan
Islam dalam rangka mengeliminasi bahaya yang akan mengancam kedudukannya.

Hadirin yang terhormat,


Setelah Indonesia merdeka, tuntutan untuk menulis sejarah Indonesia dari perspektif orang
Indonesia sendiri semakin kuat. Nilai-nilai revolusi seperti anti kolonial, anti feodal, kebebasan,
demokrasi, dan persamaan hak mempengaruhi wacana penulisan sejarah nasional Indonesia. Di
samping itu, dikembangkannya penulisan sejarah Indonesia secara akademik semakin nyaring
disuarakan. Di samping nilai-nilai nasionalisme yang ditonjolkan, penulisan sejarah nasional
hendak diwujudkan dengan prinsip ”supaya dilaksanakan secara sintesis” menurut istilah Yamin
atau multiple-approach menurut Soedjatmoko (Soedjatmoko et al, 1995), dan secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan. Jadi, ditekankan pentingnya dimensi kebenaran atau kepastian historis
dalam pengerjaan sejarah. Pemikiran ini merupakan antitesa terhadap kecenderungan
dekolonisasi sejarah yang bercorak oral, bukan perspektif, dan terhadap kuatnya dimensi
kewajaran historis, bukan dimensi kebenaran, dalam penulisan sejarah. Sejak itulah, periode
14

penulisan sejarah yang bertolak dari dimensi kebenaran dan dilandasi oleh studi sejarah kritis,
serta kesadaran metodologis akan pentingnya pendekatan multidimensonal mulai dikembangkan.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penelitian sejarah yang dilakukan untuk menemukan
kebenaran ilmiah sambil memperkecil kemungkinan sejarawan tergelincir dalam mitologi sejarah
akibat tuntutan kewajaran sejarah yang dipaksakan. Baik dilihat dari segi pendekatan maupun
tema-tema yang dikaji, penulisan sejarah sejak tahun 70an semakin bervariasi. Para peneliti
sejarah tidak lagi terkungkung oleh pendekatan konvensional yang menekankan pada peristiwa-
peristiwa politik dan orang-orang besar, tetapi mulai memperluas cakrawala teori dan metodologi
dalam usaha memahami berbagai aspek kehidupan manusia Indonesia di masa lampau. Sudah
tentu kecenderungan seperti ini dipengaruhi oleh adanya kesadaran di kalangan sejarawan
mengenai pentingnya pemahaman masa lampau secara menyeluruh dengan melihat berbagai
dimensinya.
Jadi, historiografi Indonesia modern, menurut Djoko Surjo (2009), ”...merupakan produk
penulisan sejarah sejak kemerdekaan tahun 1945, yang ditulis oleh sejarawan profesional, hasil
pendidikan akademik modern, memiliki visi dan perspektif sejarah yang luas, mengenal
kerangka pemikiran teoritis metodologis, pendekatan dan metode penggarapan penelitian yang
didasarkan pada landasan akademik ilmiah”. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pada fase penulisan
historiografi modern ini dapat diidentifikasi fase-fase penggarapan kajian sejarah Indonesia
modern. Fase pertama disebut fase perkembangan awal atau dekade kelahiran perintis sejarawan
Indonesia baru. Fase ini ditandai dengan dibukanya Jurusan Sejarah di Perguruan Tinggi tahun
50 dan 60-an. Sejak itu ilmu sejarah beserta perangkat teori dan metodologinya mulai diajarkan
dan dipraktikkan di Indonesia. Fase kedua (1970-80) merupakan masa pemekaran sejarawan
akademik yang ditandai semakin banyak karya sejarah yang dihasilkan secara akademik. Fase
ketiga (1990-2000-an) merupakan fase kelanjutan dari sebelumnya, tetapi sejarawan mulai
dihadapkan pada tantangan perubahan zaman yang cepat, termasuk tatanan politik dunia dan
nasional. Fase terakhir merupakan fase yang disebut ”krisis sejarah” (Djoko Surjo, 2009: 6-8).
Pada fase pertama perkembangan historiografi Indonesia modern, usaha merintis
penyusunan sejarah dengan perspektif Indonesia-sentris dimulai. Puncaknya ketika diadakan
Seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta tahun 1957. Usaha serius ke arah pengembangan
sejarah yang ilmiah dan sekaligus dapat memupuk semangat nasionalisme diperdebatkan.
Namun dua keinginan ini juga memunculkan dilema yang sulit diatasi. Dilema ini tercermin dari
15

beberapa topik yang menjadi pembicaran dalam seminar itu, yaitu: 1) Konsep filosofis Sejarah
Nasional, 2) periodisasi sejarah Indonesia, 3) syarat penulisasn buku pelajaran sejarah nasional
Indonesia, 4) pengajaran sejarah Indonesia di sekolah-sekolah, 5) pendidikan sejarawan, dan 6)
pemeliharaan dan penggunaan bahan-bahan sejarah. Topik 1-4 mencerminkan keinginan untuk
menyusun sejarah nasional yang seragam, karena penyeragaman itu dianggap penting dalam
membentuk kepribadian bangsa (Soedjatmoko et al, 1995:2).
Namun, usaha untuk menyusun sejarah (nasional) Indonesia, yang menggabungkan aspek
filosofis sejarah nasional dan aspek akademik sejarah ilmiah, masih jauh panggang dari api.
Perdebatan di sekitar konsep filosofis sejarah Nasional, persoalan periodisasi, dan penyusunan
buku pelajaran sejarah gagal memperoleh kesepakatan. Pandangan Muhammad Yamin yang
ultra-nasionalis dengan menekankan pentingnya penulisan sejarah Indonesia yang dapat
memperkuat perasaan nasionalisme berhadapan atau berseberangan dengan pandangan
Soedjatmoko yang menghendaki agar sejarah Indonesia disusun melalui kajian ilmiah dan
ditempatkan dalam konteks sejarah dunia agar bangsa Indonesia terhindar dari sikap
chauvinistik. Kecenderungan Yamin yang meromantisir masa lalu bangsa Indonesia, misalnya
dikatakan bahwa Bendera Merah Putih itu sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu, atau persatuan
Indonesia itu dapat dilacak kembali akarnya pada kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan
Majapahit, ditolak oleh Soedjatmoko. Soedjatmoko memandang bahwa sejarah Indonesia harus
dilihat secara akademik-rasional dan ditulis berdasarkan nilai-nilai humanisme universal.
Seminar Sejarah akhirnya hanya menjadi forum ’untuk membentangkan pendapat-pendapat
tentang sejarah dan tentang paham kebangsaan serta watak bangsa tanpa didukung fakta-fakta
sejarah sekaligus tanpa kesadaran sejarah’ (Soedjatmoko et al, 1995:3).
Dalam seminar itu juga dibicarakan perbedaan antara yang disebut ”sejarah Bangsa
Indonesia”, sejarah Indonesia, dan sejarah kolonial. Sejarah Indonesia dianggap sebagai sintesis
dari sejarah bangsa Indonesia dan sejarah kolonial. Seperti telah dijelaskan, sejarah kolonial
merupakan sejarah bangsa-bangsa asing di Indonesia, ditinjau dan dituturkan menurut pengertian
dan kepentingan bangsa-bangsa asing itu. Sementara itu, sejarah bangsa Indonesia belum
disusun secara baku. Ia masih berupa kumpulan cerita sejarah daerah/suku bangsa yang sudah
dikenal maupun yang masih harus diteliti: babad, sujarah, kisah, silsilah, hikayat, tambo, dan
sebagainya. Jadi, menurut Moh. Ali, masalah pokok historiografi Indonesia adalah:
16

”menemukan titik temu antara berbagai sejarah lokal dari bangsa Indonesia dengan sejarah
kolonial, dan menentukan bagaimana cara mempersatukannya. Kriteria apa yang harus
digunakan untuk mendapatkan sebuah cerita tunggal dari sekian banyak cerita itu.
Mungkinkah memadukan sejarah Indonesia yang Indonesia-sentris dari sejarah-sejarah
lokal yang bersifat regio-sentris atau etno-sentris serta dari sejarah-sejarah kolonial yang
bersifat asing (xenocentric). Penyatuan alur-alur sejarah ini ke dalam ”sejarah Indonesia”
yang memenuhi standar ilmiah yang ketat, akan menjadi ujian untuk menilai mutu
penulisan sejarah Indonesia. Sejarah umum semacam itu harus mencapai keseimbangan
yang rumit antara imajinasi sejarah an data yang faktual. Itu harus berlaku adil terhadap
unsur-unsur daerah serta unsur asing dalam pengungkapan berbagai kemungkinan
pandangan sejarah bagi bangsa Indonesia” (Soedjatmoko, et al, 1995: 8).
Fase kedua ditandai berkembangnya secara kritis dengan pendekatan multidimensional.
Adalah Sartono Kartodirdjo, Guru Besar Sejarah dari UGM, yang pertama kali mempopulerkan
sejarah kritis yang sebelumnya telah dikembangkan kelompok Annales dengan istilah sejarah
struktural. Pendekatan ilmiah ini muncul sebagai kritik terhadap pendekatan narativisme yang
berkembang pada abad ke-19 di bawah Leopold von Ranke, yang dianggap terlalu menonjolkan
peran aktor/tokoh besar. Mazhab struktural menekankan bahwa seorang tokoh besar tidak lahir
dan berkembang dalam ruang hampa, melainkan ia hadir dalam konteks struktur sosial tertentu.
Mazhab struktural memaparkan bahwa struktur sosial dapat terbentuk karena pengaruh kondisi
fisik/geografis. Dalam strukturalisme yang ditekankan justru adalah struktur sosial masyarakat,
bukan individu atau pelaku perorangan. Struktur membutuhkan elemen (individual/manusia),
tetapi itu hanya sebagai bagian dari hukum atau aturan yang berlaku. Bagaimanapun, setiap
tindakan individu pada hakekatnya dilandasi norma-norma yang berlaku pada masyarakatnya.
Manusia tidak bisa menjadi individu, kecuali dalam lingkungan sosialnya (Burke, 2001). Jadi,
sadar atau tidak, apa yang dilakukan manusia tidak bisa lepas dari struktur. Karenanya penjelasan
teoritik dan analitik terhadap apa yang dilakukan harus diurai dalam konteks struktur. Untuk
itulah seorang sejarawan hendaknya tidak hanya memahami fakta-fakta suatu peristiwa,
melainkan juga harus memahami ilmu-ilmu bantu/teori-teori sosial untuk membedah sebuah
struktur peristiwa. Pemikiran strukturalisme dalam sejarah yang dadaptasi oleh sejarahwan
madzab Annales seringkali disebut dengan istilah new history (nouvelle histoire), yang lebih
banyak mengkaji sejarah kebudayaan dan sejarah mentalitas (histoire des mentalités) (Burke,
1992).
Dalam konteks sejarah struktural itulah Sartono Kartodirdjo menekankan pentingnya
pendekatan multidimensional dan multidisipliner dalam penulisan sejarah Indonesia, serta
17

pentingnya menggunakan teori dan konsep ilmu sosial dalam pengkajian sejarah. Pendekatan
multidimensional bertolak dari praduga teoritis bahwa sejarah sebagai untaian peristiwa-
peristiwa di masa lampau hanyalah mungkin dikisahkan dan diterangkan dalam konteks
struktural yang merupakan wadah peristiwa itu. Suatu peristiwa tidak ditimbulkan oleh faktor
tunggal, tetapi oleh konvergensi berbagai faktor. Kedekatan berbagai faktor dengan peristiwa
hanya mungkin diketahui dengan pengujian kritis dan empiris. Karena itulah, rekonstruksi
sejarah yang telah menggabungkan secara utuh unsur-unsur kronikel, kisah, dan keterangan
peristiwa dianggap sebagai a crowning achievement. Multidimensional bukanlah sebuah teori
yang tertutup, melainkan suatu sikap ilmiah yang bertolak dari pengakuan umum tentang sifat
sejarah yang berdimensi majemuk dan beraspek pluralistik, serta kesadaran sejarah yang bersifat
kontekstual. Gagasan ini terus dikembangkan oleh generasi sejarawan berikutnya, misalnya
Djoko Suryo yang kemudian menulis sejarah sosial Semarang (1989) dan Kuntowijoyo menulis
tentang sejarah sosial Madura (2002). Hingga saat ini, penulisan sejarah sosial atau sejarah
masyarakat masih terus berkembang, meskipun dalam beberapa segi, mengalami penyimpangan
(Bambang Purwanto, 2006).
Sehubungan dengan ”penyimpangan” terhadap pendekatan multidimensioanl itu, Djoko
Surjo (2009) mengatakan, saat ini terjadi ”krisis sejarah”, yaitu keraguan terhadap arah, tujuan,
pendekatan dan bidang kajian, sehingga muncul gugatan terhadap historiografi Indonesia yang
dianggap gagal mewujudkan sejarah Indonesiasentris. Gugatan diarahkan bukan hanya
menyangkut kepastian historis yang telah lama dianggap ”benar”, yang kemudian menimbulkan
sejarah kontroversial di masyarakat (Asvi Warman Adam, 2007), melainkan juga, dan ini yang
lebih penting, menyangkut metodologi dan perspektif yang digunakan dalam menulis sejarah
(Bambang Purwanto, 2006; Bambang Purwanto & Asvi Warman Adam, 2013). Oleh karena itu,
agar ”krisis sejarah” dapat diatasi, diperlukan perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia,
yaitu dengan meninjau kembali beberapa segi dalam penulisan sejarah Indonesia yang cenderung
meninggalkan esensi ilmu sejarah dan terjebak pada prasangka-prasangka yang keliru. Misalnya,
pengertian multidisipliner dipahami secara keliru yaitu meminjam atau menerapkan konsep dan
teori ilmu-ilmu sosial dalam penulisan sejarah. Teori lalu diujikan dalam penelitian sejarah,
bukannya dijadikan sarana untuk eksplanasi. Kedua, penulisan sejarah masih dipenuhi perasaan
dendam sejarah. Perspektif Indonesia-sentris tergelincir menjadi perasaan balas dendam untuk
menggantikan perspektif kolonial-sentris. Akibatnya, penulisan sejarah Indonesia hanya
18

mempertentangkan apa yang disebut penjajah (Belanda) dan terjajah (bangsa Indonesia). Yang
menonjol kemudian adalah penilaian moral bahwa Belanda adalah jahat dan pribumi adalah
korban kejahatan. Dengan begini, penulisan sejarah hanya menjadi ajang balas dendam dan
kehilangan substansinya yaitu sebagai sarana untuk menampilkan proses-proses sejarah yang
sifatnya muldimensional dengan melibatkan banyak aktor sejarah.

Hadirin yang saya hormati,


Bersamaan dengan berkembangnya semangat post-modernisme sebagai cara berfikir dewasa ini,
dekolonisasi sejarah Indonesia yang dibarengi oleh kesadaran dekonstruksif menjadi alternatif
penulisan sejarah baru. Dekolonisasi sejarah juga sebagai antitesis terhadap corak penulisan
sejarah yang berkembang sebelumnya yaitu historiografi kolonial yang bercorak Eropa-sentris
dan/atau Neerlando-sentris. Dekolonisasi sejarah mengusung gagasan tentang pentingnya
menempatkan sejarah dalam konteksnya (historizing history), dengan menekankan sudut
pandang orang dalam (history from within) sebagai tanggapan terhadap karya-karya sejarah
konvensional yang bias kolonial, yang menempatkan kekuasaan Belanda/kolonial sebagai
kekuatan sentral dan menyeluruh di balik pengembangan kehidupan modern. Di samping itu,
dekolonisasi sejarah Indonesia yang dimaksudkan bukan hanya membicarakan karya-karya
sejarah Indonesia yang terbit di masa kolonial Belanda dan yang ditulis oleh para sarjana
Belanda atau sarjana asing lainnya, melainkan juga meninjau kembali arah dan kecenderungan-
kecenderungan yang masih nampak dalam penulisan sejarah Indonesia modern yang
menggunakan perspektif dan genre penulisan sejarah kolonial. Dengan demikian pengertian
dekolonisasi historiografi sejarah Indonesia juga dapat diartikan sebagai usaha desentralisasi atau
demokratisasi sejarah, yang mencoba mengoreksi atau mengkritisi cara-cara lama dalam
penulisan sejarah Indonesia. Hal ini berarti menyelidiki bagaimana klasifikasi dan kategori
diciptakan, baik pada periode kolonial maupun pascakolonial, dan bagaimana kategori
pascakolonial diciptakan untuk menggantikan kategori kolonial (Nordholt et al., 2008:5).
Kategori dan klasifikasi yang disusun dalam historiografi kolonial dan sekarang mulai
dipertanyakan para peneliti karena tidak relevan lagi untuk menggambarkan proses sejarah yang
berlangsung, dapat dicontohkan berikut ini. Pertama, klasifikasi tentang “sastra keraton” atau
ketagori “budaya adiluhung” yang tercermin dari manuskrip-manuskrip yang disusun para
pujangga keraton. Javanologi kolonial memberi sumbangan penting dalam membingkai kasanah
budaya Jawa ke dalam kategori dikotomik kraton vs luar keraton, kraton vs Islam, atau
19

adiluhung vs rendahan. Oposisi biner semacam ini menyederhankan realitas yang sesungguhnya
dan meninggalkan proses-proses sejarah yang berlangsung secara rumit karena melibatkan
berbagai faktor dan aktor. Historiografi tradisional tidak hanya ditulis dan ditemukan di dalam
keraton, tetapi sebenarnya juga dikenal luas di luar tembok keraton. Corak historiografi
tradisional dengan demikian juga tidak seragam (keraton-sentris) melainkan menunjukkan
keragaman sesuai dengan konteks masing-masing teks sejarah yang dihasilkan. Adanya
keengganan terhadap Islam dan “hal-hal yang berbau keislaman” seperti terlihat dalam
historiografi keraton-sentris, menjadi sifat tradisi Javanologi yang berasal dari Eropa abad ke-
19. Dalam historiografi kolonial kemudian berkembang cara pandang yang dikotomis, bahwa
antara Islam dan keraton merupakan dua entitas budaya yang berbeda atau bahkan bertentangan.
Hal ini berbeda dengan cara berfikir pascakolonial yang memahami “Jawa tradisional” sebagai
dunia diskursif yang tak tunggal, yang di dalam dan melaluinya masyarakat Jawa yang cukup
heterogen hidup berabad-abad yang lalu.
Pemerintah kolonial berusaha menolak kehadiran keislaman dan kejelataan dalam situs-
situs yang paling mendapatkan privelige bagi pengungkapan budaya yang mereka bayangkan itu.
Keraton dianggap sebagai suri tauladan budaya tinggi Jawa murni yang paling otoritatif, situs
budaya yang paling sejati. Yang tidak boleh nampak, misalnya, adanya pendidikan keislaman
pesantren bagi para pujangga keraton, kandungan keislaman dalam sastra keraton, serta ribuan
orang kebanyakan yang menjadi bagian dari masyarakat keraton (Florida, 2003: 27). Konstruk
seperti itu dilestarikan melalui apa yang disebut sastra keraton untuk membingkai budaya Jawa.
Filolog Javanologi kolonial lalu asyik mencari masa keemasan sastra Jawa yaitu masa Hindu
Budha (kakawin Jawa Kuna, abd 9-15) sebelum kemudian terdesak oleh kedatangan Islam yang
disebutnya zaman kegelapan yang ditandai budaya sastra Islami yang merambat dari pesisir utara
Jawa. Lalu para filolog mengajarkan bahwa dengan terbentuknya Pax Neerlandica pada akhir
abad ke-18, sastra Jawa mengalami semacam kelahiran kembali (renaisans) di keraton baru di
Surakarta. Renaisans ditandai dengan penerjemahan karya-karya klasik kawi Jawa Kuna ke
dalam Jawa baru oleh pujangga keraton. Para cendekiawan Jawa memalingkan perhatiannya dari
naskah-naskah keislaman ke kakawin-kakawin Jawa Kuna. Citra ‘kebudayaan Jawa asli’
dikonstruksikan melalui kebijakan kolonial yaitu melalui penggalian karya sastra pra-Islam
seraya melupakan atau meminggirkan karya-karya Islam dan massa rakyat.
20

Kedua, penggambaran bahwa Kompeni/VOC di Jawa pada abad ke-18 menjadi determinant
factor dalam menentukan jalannya sejarah Jawa. Kompeni digambarkan menjadi kekuatan
sentral yang mempunyai sumberdaya melimpah untuk dapat menundukkan raja-raja Mataram
dan dalam menyelesaikan setiap konflik intern Mataram. Dalam beberapa buku pelajaran di
sekolah selalu disajikan gambaran yang sifatnya tunggal, umum, dan anakronistik tentang
keberadaan Kompeni di Indonesia pada abad ke-18, yaitu sebagai faktor penentu jalannya
perubahan sosial ekonomi masyarakat Jawa. Gambaran seperti ini tidak didukung fakta yang
akurat. Seperti disampaikan Ricklefs, sejak Sunan PB II (memerintah 1726-1749) secara resmi
menyerahkan kerajaannya kepada Kompeni pada 1749, klaim Belanda untuk “berkuasa” atas
Mataram tak pernah dapat ditegakkan. Dalam kata-kata Ricklefs: “…hanya serdadu dan bubuk
misiu yang dapat menyelesaikan itu, dan untuk komoditas-komoditas sejenis ini, suplai Belanda
tidak mencukupi untuk sampai pada abad ke-19” (Ricklefs, 2002). Memandang Kompeni pada
abad ke-18 seharusnya dibedakan dengan memandang orang Belanda pada abad ke-19. Peran
Kompeni pada abad ke-18 di Jawa hanya terbatas sebagai pedagang dan bukan sebagai kekuatan
penentu dalam menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di kerajaan Mataram. Perpecahan
dinasti Mataram sesungguhnya disebabkan oleh penguasa Mataram sendiri, sedangkan VOC
hanyalah tamu yang kadangkala diundang untuk turut membantu ”menyelesaikan” perselisihan
itu.

”Sejarah krisis dinasti Mataram, dan sejarah penyelesaiannya, pada dasarnya merupakan
sebagian dari sejarah otonom masyarakat Jawa sendiri, bukan sejarah kolonial. Kehadiran
Belanda mungkin bisa dilihat sebagai kekuatan yang terutama mengacau, tetapi mereka
tidak mengendalikan juga tidak memahami arus-arus politis Jawa yang mereka hadapi. Yang
penting adalah kenyataan bahwa kehadiran Belanda itulah yang menghalangi terjadinya
penyelesaian krisis, bukan keputusan-keputusan yang diambil di Semarang, Batavia, atau di
negeri Belanda yang hanya kadang-kadang saja mempunyai dampak atas jalannya peristiwa-
peristiwa di Jawa Tengah” (Ricklefs, 2002: 48).
Ketiga, penggambaran tokoh secara berlebihan. Dalam buku-buku sejarah resmi, Diponegoro
digambarkan secara berlebihan dengan melekatkan nilai-nilai tertentu yang melampaui dirinya
sebagai manusia biasa yang telah membuat sejarah. Hal ini tentu berbeda dengan penggambaran
yang didasarkan pada kajian akademik, bahwa Diponegoro adalah manusia biasa yang pada
waktu itu (konteks zamannya) melakukan perlawanan terhadap kekuatan asing yang dianggap
menindas, tetapi belum mempunyai ambisi politik untuk kemerdekaan Indonesia. Diponegoro
hanya ingin mengembalikan orde sosial Jawa seperti masa lalu sebelum dirusak oleh Kompeni.
21

Buku karya Carey, Takdir (2014), mengoreksi sebagian besar narasi-narasi sebelumnya
tentang Diponegoro (1785-1855) yang digambarkan sebagai sosok Pangeran yang sempurna,
pahlawan yang tanpa cacat, dan punya jiwa nasionalisme yang tak tertandingi. Carey
menunjukkan bahwa Perang Jawa di bawah Diponegoro bukan didorong oleh alasan perebutan
dinasti semata, melainkan oleh kuasa ramalan dan takdir yang harus dijalani Diponegoro untuk
mengembalikan orde sosial Jawa (sintesis-mistik) yang telah rusak akibat kehadiran orang asing.
Ia tidak menciptakan masa depan, tetapi mengembalikan ke tatanan lama. Bukan progresi tapi
restorasi (pemulihan). Diponegoro berada di antara masa lalu yang mutlak dan masa kini yang
berubah. Takdir itu ia terima ketika ia bertapa di Pantai Selatan (Parangkusuma). Salah satu
bagian dari Babad Diponegoro menuliskan: “tidak ada yang lain: Engkau sendiri hanyalah
sarana, namun itu tidak akan lama, hanya agar terbilang di antara para leluhur. Ngabdulkamit,
selamat tinggal, engkau harus pulang ke rumah’. Di bagian lain berbunyi: “sudah menjadi
kehendak ilahi (Sukma), (sebab) takdir Jawa sudah ditentukan oleh Hyang Widi, yang harus
melakoni peran ini adalah kamu (kang duwe lakon sira), sebab tidak ada orang lain lagi” (Carey,
2014: 68 dan 280). Sebagai Muslim yang taat, ia menjadi personifikasi “sintesis mistik” Jawa.
Seorang muslim Jawa tidak melihat ada masalah bila harus berhubungan dengan Dewi Laut
Selatan, berziarah ke tempat-tempat suci yang berhubungan dengan penguasa dan penjaga dunia
roh halus di Jawa, atau minum anggur manis dari Tanjung Harapan. Di bawah bayang-bayang
Sultan Agung, Diponegoro berjuang merestorasi cita-cita masyarakat Jawa masa silam dan
menegakkan tatanan moral baru yang didasarkan pada ajaran Islam.
Dalam Perang Jawa, Diponegoro juga tampil sebagai manusia biasa yang memiliki
keterbatasan dan kesalahan. Di tengah-tengah berkecamuknya Perang Jawa, Pangeran
Diponegoro mengalami perubahan sikap terhadap orang-orang Cina yang sebelumnya kurang
mereka sukai. Namun entah apa alasannya tiba-tiba Diponegoro mempunyai sikap yang
sebaliknya. Dalam babad Diponegoro dikisahkan, Pangeran telah tergoda oleh pesona seorang
perempuan Tionghoa, yang dibawanya sebagai tawanan, lalu dikaryakan menjadi juru pijat persis
sebelum pertempuran Gawok yang dasyat itu, pertengahan Oktober 1826. Babad menuliskan:
“Di Kedaren, pada waktu malam, yang disuruh memijit adalah boyongan nyonyah Cina. Kanjeng
Sultan salah bertindak. Rasa rindu pada istri tercinta (Raden Ayu Maduretna), maka terjadilah itu
(hubungan suami isteri) untuk penglipur hati” (Carey: 312). Diponegoro menyesalkan perilaku
“bersenang-senang dengan nyonyah Cina ini” sebagai biang keladi kekalahan pasukannya. Dua
22

luka yang ia dapat di medan tempur dalam pandangannya juga merupakan petunjuk bahwa
kekuatan spiritual yang membuat dirinya kebal telah hilang untuk sementara.
Tulisan Carey tersebut mencoba mengisi kekosongan historiografi Perang Jawa melalui
pendekatan yang lebih manusiawi. Dengan memanfaatkan sumber tradisional, naskah-naskah
Jawa termasuk yang utama Babad Diponegoro, Carey berhasil menyajikan sosok Diponegoro
seperti apa adanya. Diponegoro yang digambarkan sebagai seorang Pangeran dengan sosok
manusia biasa yang jauh dari sempurna, tentulah tidak cocok dengan “sejarah nasional” yang
seringkali tergelincir menjadi semacam pembuatan mitos zaman kini. Pemanfaatan sumber-
sumber langsung dari masa Perang Jawa memberi goncangan pada narasi-narasi sejarah yang
telah mapan. Kenyataan bahwa sejak Indonesia merdeka Diponegoro telah resmi menjadi
Pahlawan Nasional pada 10 November 1973, namanya telah menghiasi jalan-jalan besar di
berbagai kota di Indonesia, juga diabadikan dalam TNI sebagai Divisi Kodam di Jateng, sulit
untuk mendekonstruksi gambaran Diponegoro yang telah mapan itu.
Keempat, masa Tanam Paksa selalu dinarasikan sebagai periode yang menyengsarakan bagi
rakyat Indonesia. Penderitaan hebat yang ditanggung penduduk pribumi akibat dari kebijakan
Tanam Paksa digeneralisasi secara serampangan tanpa didukung fakta yang akurat. Cara pandang
ini dikembangkan terus oleh kelompok liberal yang ingin memperluas usahanya di daerah
jajahan tanpa campur tangan pemerintah kolonial. Gambaran negatif tentang dampak Tanam
Paksa bagi penduduk di daerah jajahan, mulai direvisi setelah melihat kenyataan bahwa Sistem
itu mampu mendinamisir ekonomi pedesaan, membuka kesempatan dan peluang-peluang usaha
baru, dan kemampuan penduduk desa dalam menyesuaikan secara luwes terhadap perubahan.
Gambaran negatif bahwa penduduk pribumi adalah terbelakang, bodoh, malas, kurang kreatif,
dan enggan berubah adalah gambaran keliru yang terus dikembangkan untuk mempertahankan
status quo. Penilaian moral tidak mampu menangkap proses sejarah yang sebenarnya berjalan.
Memandang Tanam Paksa selalu buruk bagi orang Indonesia dan baik bagi Belanda mulai
dipertanyakan. Pada tahun 1970-an gelombang baru para ilmuwan tergerak untuk mengadakan
penilaian ulang secara luas mengenai hubungan antara kaum petani dengan produksi ekspor di
Jawa abad ke-19. Dengan khusus menyoroti daerah geografis tertentu, serta mendasarkan
pendapatnya kepada bahan arsip yang tersedia, beberapa ahli telah memperhatikan aneka
perkembangan pada tingkat lokal. Mereka mempertanyakan kesan umum masa lampau, yaitu
bahwa dampak sosial dan ekonomi dari Tanam Paksa dan kewiraswastaan Barat adalah
23

sederhana, seragam, dan hampir sepenuhnya bersifat negatif. Hasil penelitian mereka
menunjukkan sebaliknya, yakni bahwa Tanam Paksa dan perkebunan swasta membuka
keleluasaan lebih besar pada penduduk pribum untuk menetapkan kegiatan ekonominya sendiri,
dan perkembangan ekonomi di berbagai tempat sangat beraneka ragam.
Kesan umum yang cenderung menggeneralisasi dampak perkebunan ekspor selama abad
ke-19 di Hindia Belanda terhadap kehidupan sosial ekonomi penduduk telah menguasai cara
pandang kita terhadap sejarah sosial ekonomi pedesaan dalam waktu yang cukup lama.
Pandangan ini direproduksi dan diteruskan melalui buku-buku sejarah resmi yang disusun untuk
pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Tujuannya untuk memberi kesadaran sejarah pada
generasi muda bahwa perkebunan ekspor yang diusahakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan
swasta asing memberi dampak buruk terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara
keseluruhan. Barat atau pemerintah kolonial dianggap menjadi penyebab penderitaan masyarakat
petani yang distigma secara negatif: lemah, terbelakang, dan tidak kreatif itu. Dengan cara
seperti ini, aspek lain dan atau aktor lain yang turut memberi tekanan terhadap penduduk pribumi
dikesampingkan. Bagaimana dengan pemimpin-pemimpin pribumi yang turut berperan memberi
tekanan pada rakyatnya seperti digambarkan dalam novel Max Havelaar karya Multatuli?
Eksplanasi sejarah yang cenderung seragam dan menyederhanakan proses-proses sejarah di
tingkat lokal banyak mendapatkan tantangan. Dalam membahas sistem Tanam Paksa, misalnya,
kepustakaan mengenai sistem itu memerlukan hampir seabad penuh untuk beralih dari
pandangan “sistem itu jahat” menuju ke pandangan “Sistem itu baik untuk tanah Belanda namun
jahat untuk Indonesia”. Sedangkan dalam waktu yang relatif singkat, pandangan itu beralih dari
pandangan “sistem itu jahat bagi Indonesia” ke arah pandangan “sistem itu bagus untuk sebagian
penduduk Indonesia namun ia jahat untuk golongan penduduk lainnya”. Dan, kini bahkan
mencapai suatu situasi di mana sejarawan dapat mengatakan dengan yakin bahwa “sistem itu
bagus untuk segolongan penduduk Indonesia di daerah-daerah tertentu yang membudidayakan
beberapa jenis tanaman tertentu, namun ia jahat bagi penduduk lainnya” (Booth et al, 1998:36).
Penelitian yang dilakukan Elson (1979), Fernando (1982), dan Knight (1982), membuktikan
bahwa dampak Tanam Paksa di daerah-daerah cukup beragam, baik positif maupun negatif,
tergantung dari jenis tanaman ekspor yang diusahakan dan kemampuan adaptasi masyarakat
terhadap perubahan di sekitarnya.
24

Kelima, pengkategorian pergerakan nasional ke dalam kelompok nasionalis, agama,


komunis juga gagal menangkap realitas sejarah. Trikotomi pembagian orientasi ideologis
organisasi pergerakan ini serampangan kalau tidak boleh dikatakan menyesatkan karena tidak
selalu menggambarkan fakta sejarah yang ada. Pergerakan nasional Indonesia dimasukkan ke
dalam “rumah kaca” sehingga mudah diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda dari singgasana
kekuasaannya. Dalam hal ini, Takashi Shiraishi (2005) menjelaskan dengan gamblang bahwa
pembagian seperti itu bertentangan dengan kenyataan dan sulit dijadikan kerangka kategori dan
klasifikasi penulisan sejarah pergerakan di Indonesia. Contohnya Haji Misbach dari Solo. Ulama
yang sangat disegani ini sulit diklasifikasikan ke dalam salah satu organisasi yang memiliki
haluan politik dan ideologis dari tiga aliran yang disebutkan, karena Haji Misbach sekaligus
seorang Islam yang taat, nasionalis militan, dan percaya bahwa Islam dan komunis tidak ada
perbedaan karena sama-sama memperjuangan kepentingan rakyat. Jika pergerakan hanya
dibatasi pengertiannya pada organisasi sosial politik modern yang dipimpin kaum terpelajar
perkotaan, maka pemahaman kita terhadap sejarah pergerakan menjadi bias dan terperangkap
pada kategori yang diciptakan kolonial. Bagi Shiraishi, “zaman bergerak” itu bukan hanya
melibatkan golongan terpelajar di perkotaan, dengan orientasi ideologi besar seperti nasionalis,
islamis, atau sosialis, tetapi sebenarnya juga melibatkan hampir semua golongan masyarakat.
Para petani di Klaten dan Boyolali, misalnya, bergerak melalui penolakan untuk bekerja di
perkebunan, para wartawan dan kaum professional lainnya mengekspresikan gerakannya melalui
tulisan, pamphlet, dan pertemuan-pertemuan (vergadering) serta pemogokan (staking).
Keenam, dalam kajian Indonesia modern, kategori dan klasifikasi masyarakat Jawa
seperti dilakukan Belanda abad ke-19 ditegaskan kembali melalui studi antropologi. Studi
Clifford Geertz tentang Religi Jawa (1984), misalnya, membedakan orang Jawa ke dalam tiga
varian subbudaya yaitu Abangan, Santri, Priyayi. Model trikotomi dalam melihat realitas sosial
budaya masyarakat Jawa ini hingga sekarang masih menjadi kerangka acuan ahli-ahli ilmu sosial
pada umumnya dan sejarah khususnya, meskipun kritik yang diajukan sudah cukup banyak.
Pengklasifikasian yang dibuat Geertz melalui model sterotipe sesungguhnya tidak jauh berbeda
dengan model klasifikasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda abad ke-19. Bedanya,
kajian Geertz dilakukan secara akademik dan untuk mencari kebenaran ilmiah (meskipun tidak
sepenuhnya dapat dilepaskan dari kepentingan AS dalam konteks Perang Dingin), sementara
kajian pemerintah kolonial terhadap budaya Jawa sebagai bagian dari politik kolonial untuk
25

menopang kekuasaannya. Hanya saja, kajian Geertz ahistoris karena hanya memotret masyarakat
Jawa pada tahun 50-an melalui studi kasus di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Seperti sudah
banyak disampaikan, kategori Geertz dilihat dari perspektif sosiologis mengandung kelemahan
mendasar karena kategori sosial dicampur dengan kategori agama. Golongan santri dan abangan
dapat ditemukan di kalangan kelas priyayi dan wong cilik. Dengan terbitnya buku Geertz seolah-
olah perjumpaan Islam, budaya Jawa, dan perkembangan sosial telah terhenti digambarkan
dalam penggolongan tiga varian itu. Studi mutakhir menunjukkan adanya kelas sosial-
keagamaan lain yang berbeda dengan kelas abangan yaitu tangklukan. Istilah tangklukan berasal
dari kata takluk atau tunduk. Tangklukan juga berarti orang yang ditaklukan. Pengertian
tangklukan dalam konteks keagamaan adalah ‘orang yang mulai sadar akan kebenaran ajaran
atau syariat Islam dan berusaha untuk dapat melaksanakannya secara baik. Sedangkan abangan
adalah istilah untuk orang yang belum taat menjalankan ajaran agamanya’ (Ahmad Syafi’i
Mufid, 2006 :2). Studi Geertz juga tidak menjelaskan kapan sebenarnya tiga varian kebudayaan-
keagamaan itu mulai muncul di Jawa. Menurut Ricklefs, golongan masyarakat yang disebut
abangan itu sesungguhnya baru muncul sekitar pertengahan abad ke-19 yang dibedakan dengan
kelompok mutihan. Dalam sejarah Jawa, keduanya hidup berdampingan dan mempraktikkan
kebudayaan yang hampir sama kecuali tingkat ketaatannya dalam beribadah menurut ajaran
Islam. Perbedaan itu baru nampak semakin mengeras ketika Islam dipandang the other oleh
pemerintah kolonial Belanda karena dianggap telah mencemari kebudayaan Jawa dan
membahayakan kepentingan kolonial. Kelompok mutihan atau santri kemudian dipertentangkan
dengan kelompok abangan yang masih mempraktikkan anasir-anasir budaya pra-Hindu/Budha
dan Islam.
Keenam, klasifikasi masyarakat jajahan ke dalam Eropa, Timur Asing, dan Inlander secara
inheren merefleksikan adanya pengkastaan dalam masyarakat, yang menempatkan golongan
yang satu lebih unggul daripada golongan lainnya. Klasifikasi semacam ini baru dikenal pada
akhir abad ke-19 dan semakin dipertegas pada abad ke-20. Bagaimana dengan keberadaan orang-
orang Indo dengan budaya mestizonya (Wertheim, 1956) atau budaya Indis (Joko Sukiman,
2000) yang mereka kembangkan. Kebudayaan Indis merupakan perpaduan antara budaya Barat
dan unsur-unsur budaya Timur, khususnya Jawa, yang tumbuh di kota-kota besar sejak abad ke-
18 hingga awal abad ke-20. Golongan Indo adalah golongan mengambang yang secara fisik dan
budaya sulit dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga golongan penduduk yang diakui
26

pemerintah kolonial Belanda. Dengan kata lain, mereka disebut “Cina wurung, Londo durung,
Jawa tanggung” karena posisi sosial mereka yang sulit. Meskipun demikian, golongan ini
mempunyai peran penting dalam proses perubahan sosial budaya di Indonesia. Sementara itu,
kata inlander (bumi putera) dalam konteks masyarakat kolonial yang hirarkis mengandung
makna merendahkan dan memarjinalkan. Kata inlander selalu dikonotasikan bodoh, terbelakang,
miskin, dan hanya cocok menjadi budak atau jongos yang melayani kelas sosial yang lain.
Ketujuh, periodisasi sejarah Indonesia. Sejarah Indonesia secara tidak langsung
mengikuti periodisasi sejarah Barat yang dibagi ke dalam zaman kuna/klasik, zaman abad
tengah, zaman pencerahan, dan zaman modern. Sejarah Barat bergerak secara linier menurut
garis waktu yang lurus menuju satu tujuan akhir (telos) yaitu masyarakat modern. Terbitnya
Sejarah Nasional Indonesia (1975) dan kemudian baru-baru ini terbit buku lain yang berjudul
Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS, 2014) belum mampu menghadirkan periodisasi yang
sesuai dengan perjalanan sejarah rakyat Indonesia. Periodiasi seperti yang dibuat Ricklefs
(2005), Lombart (1996), dan Sartono Kartodirdjo (1987) belum menjadi rujukan pembanding
untuk meninjau kembali periodisasi konvensional sejarah Indonesia. Periodisasi merupakan
usaha untuk menemukan ”pesan sejarah”. Periodisasi merupakan sendi analisis sejarah dan ini
menyangkut simplifikasi dalam derajat tertentu, dalam arti bahwa kejadian tertentu dan bukan
kejadian lain yang dipandang sebagai ciri utama periode tertentu. Periodisasi dan waktu sejarah
selalu dikaitkan dengan pembentukan negara/negara bangsa. Masalahnya, bagaimana daerah dan
lapisan masyarakat lainnya mengalami periodisasi sejarah resmi? Apakah ada waktu untuk
sejarah versi lokal yang lebih bermakna daripada periodisasi resmi?
Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban akademis, dekolonisasi penulisan
sejarah Indonesia perlu dilakukan. Bukan mempersoalkan landasan moral dan kewajaran historis
semata, melainkan mempersoalkan perspektif dan kebenaran ilmiah. Seperti dikatakan oleh
Heather Sutterland, ”There are two abvious ways of writing obout the ’state of Indonesian
history’. The first could be called Rankean: objective, scientific, and buttressed with a scolarly
apparatus of typologies, tables, inventories and notes. The second is more post-modern: aware
of artifice, admitting the influence of context, accepting subjectivity, and sensitive to the need for
disclosure” (Sutherland, 1994: 785). Perspektif post-modernisme membuka peluang baru bagi
penelitian sejarah yang tidak hanya terkungkung pada dokumen-dokumen/arsip negara yang
cenderung bias politik atau kepentingan elit penguasa. Hal ini tidak berarti bahwa cara kerja
27

sejarawan konvensional dalam rangka menemukan kebenaran sejarah melalui studi dokumen
tidak relevan lagi. Justru ketika ”kebenaran sejarah” menjadi puncak tujuan sejarawan dalam
melakukan penelitian sejarah, dokumen menjadi salah satu unsur penting yang mesti ditemukan
untuk mendukung kebenaran peristiwa yang dikisahkan. Kebenaran faktual menjadi utuh
manakala didukung dokumen tertulis yang valid. Hanya saja, sejarawan pos modern tidak cukup
berhenti di sini. Di samping tuntutan akademik dan kejujuran ilmiah, sejarawan post-modern
harus peduli terhadap hal-hal yang kurang mendapatkan perhatian dalam sejarah resmi,
memperhatikan pengaruh konteks peristiwa, menerima subjektivitas (tidak ada kebenaran
tunggal), dan peka terhadap makna di balik peristiwa agar dalam menulis sejarah tidak berat
sebelah, diskriminatif, lebih demokratis, dan manusiawi.
Narasi sejarah Indonesia yang disusun pemerintah kolonial Belanda tentang penaklukan
dan modernisasi tampaknya sudah usang, karena gagal menangkap dinamika sosial ekonomi
secara lebih nyata. Adanya narasi yang cenderung menyederhanakan dan menggeneralisasi setiap
peristiwa sejarah mendorong lahirnya narasi-narasi sejarah alternatif, baik pada tingkat lokal
maupun nasional, yang digerakkan oleh golongan yang merasa terpinggirkan dalam proses
terbentuknya negara nasional. Namun, dalam kenyataannya, para sejarawan pascakolonial masih
cenderung menggunakan tipologi-tipologi warisan yang dibentuk oleh narasi besar dan
paradigma politik yang dominan yaitu nasionalisme dan modernisasi. Dekolonisasi yang ingin
memastikan terjadinya perubahan mendasar pada pendekatan-pendekatan kolonial terhadap
sejarah Eropasentrisme gagal diwujudkan. Sejarawan tetap berpaku pada asumsi kaum elit
mengenai peranan kolonial sebagai penjunjung tinggi negara dan modernitas. Sejarah-sejarah tua
yang berakar pada pandangan hidup yang berbeda didiskualifikasi (Nordholt et al, 2008:59)
karena menjadi penghalang jalan menuju kemajuan. Ada tarik menarik antara kekuasaan elit
terhadap masyarakat luas dan kekuasaan tradisi Barat atas tradisi-tradisi yang lain. Sejarawan
modern yang menjadi bagian dari elit terpelajar kota bekerja atas dasar asumsi-asumsi yang
dibingkai dalam paradigma yang berorientasi kepada negara dan modernitas peninggalan masa
lalu. Agus Suwignya mengatakan: ”The Indonesiacentric historiography was thus originally a
political tools for the nationalist in order to bolster the construction of Indonesian national
identity and unity. It conveys a retrospective postcolonial perspective in the framing and re-
presenting of the past. But it also reproduces the state centered approach of the Dutch”
(Suwignyo, 2014: 114). Oleh karena itu, historiografi pasca Orba belum menunjukkan kemajuan
28

berarti karena masih berada dalam bayang-bayang negara-bangsa yang dipahami secara statis
dan kurang memberi ruang bagi suara-suara plural, dan tidak menempatkan dalam konteks yang
lebih luas dalam percaturan global. Di sisi lain muncul historiografi Islam-sentris sebagai
tandingan terhadap historiografi Indonesia-sentrik. Lebih dari seratus tahun historiografi
Indonesia terperangkap ke dalam perspektif ekstrim yang satu ke ekstrim lainnya: kolonial
Belanda, nasional Indonesia, dan Islam. Kategori tentang waktu, ruang, dan identitas sosial yang
dipakai dalam historiografi kolonial masih terus digunakan hingga saat ini (Noordholt et al,
2008:797), sehingga praktik penulisan sejarah yang disebut new history belum banyak dilakukan.

Hadirin yang terhormat,


Dalam konteks post-modernisme, kajian sejarah mau tidak mau harus ditinjau ulang
kaitannya dengan perspektif yang digunakan. Pergeseran perspektif ini akan berpengaruh
terhadap teori dan metodologi sejarah yang hendak dipakai dalam penelitian sejarah. Dokumen
yang selama ini dipandang satu-satunya sumber utama penelitian sejarah, sekarang dianggap
tidak memadai lagi. Di luar itu masih banyak sumber lain yang penting dijadikan sumber
informasi dalam merekonstruksi peristiwa sejarah. Dalam masyarakat tradisi yang bertumpu
pada tradisi lisan, masa lalu mereka banyak tersimpan dalam cerita-cerita rayat, mitos, dongeng,
legenda, tembang, dan folklore setengah lisan dan verbal lainnya seperti upacara adat. Sumber
seperti inilah yang akan memperkaya informasi kita tentang masa lalu dan sekaligus menjadi
penyeimbang narasi yang bias elit/kekuasaan. Persoalannya, sejauh mana sejarawan mampu
memahami dan mengakses sumber-sumber itu baik yang berupa manuskrip maupun sumber lisan
yang tersebar di masyarakat. Kemampuan membaca sumber tertulis berupa arsip peninggalan
pemerintah kolonial Belanda masih menjadi persoalan bagi sebagian sejarawan, disusul
persoalan lain yaitu kesediaan dan kemampuan membaca sumber tradisional.
Dampak adanya dominasi penulisan sejarah yang dikendalikan oleh golongan elit tertentu
atau penguasa tertentu dan Negara ataupun ilmuwan Barat cenderung meninggalkan atau
meminggirkan sejarah masyarakat tradisi/lokal yang telah hidup ratusan tahun yang lalu di
wilayah Nusantara. Masyarakat lokal yang hidup dalam tradisi lisan tidak banyak menyimpan
masa lalunya dalam bentuk tulisan, sehingga para peneliti sejarah modern kesulitan menemukan
fakta-fakta sejarah di tingkat lokal. Sumber lisan dalam bentuk folklore dan lainnya dianggap
bukan sumber sejarah karena lebih banyak memuat mitos dan legenda daripada memuat fakta
sejarah yang masuk akal. Akibatnya, semua kekayaan tradisi lisan dipandang tidak berguna
29

dalam penelitian sejarah dan pada gilirannya pemilik tradisi itu juga dianggap tidak mempunyai
sejarah yang otonom. Mereka hanya diceritakan dalam sejarah manakala mempunyai kaitan
dengan golongan lain atau punya makna penting bagi masyarakat di luarnya. Sejarah kaum
marjinal terus menerus dimarjinalkan karena dua hal: pandangan ilmu sejarah yang positivistik
dan rasional menghilangkan jejak sejarah masyarakat tradisi, dan pandangan yang bias elit yang
menempatkan masyarakat tradisi/lokal hanya sebagai pelengkap penderita.
Kaum post-modernis yang mempertanyakan kembali batasan “objektif” dalam penulisan
sejarah, selain meragukan akan kebenaran sejarah yang ditulis oleh para sejarawan, juga
menyejajarkan karya sejarah itu sama seperti karya sastra lainnya yang penuh dengan imajinasi
(Cameron, 1989; LaCapra, 1985, 1987, 1989; Gandhi, 2006). Bagi kaum post-modern,
rekonsruksi sejarah sesungguhnya juga berlandaskan pada sesuatu yang “lemah” atau “rapuh”
yaitu berupa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan peristiwa yang diteliti. Dokumen dalam
segala wujutnya juga sangat sulit dipercaya sepenuhnya karena ia sudah melalui proses
reproduksi yang dibuat oleh seseorang pada suatu zaman atau waktu tertentu setelah peristiwa
terjadi. Tidak ada jaminan bahwa dokumen itu tidak didistorsikan oleh banyak kepentingan atau
ketidaksengajaan. Kritik kaum post-modern membuka peluang untuk meninjau kembali
kebenaran sejarah yang tunggal, umum, dan sentralistik. Meskipun demikian, dekonstruksi
sejarah harus tetap bertumpu pada fakta-fakta sejarah yang disusun berdasarkan bukti-bukti yang
sahih dan bebas dari kepentingan ideologis dan politis. Dekonsruksi sejarah menjadi tidak
produkstif bagi pengembangan historiografi Indonesia ketika ia terjebak pada hal-hal yang
sifatnya non-akademik tetapi cenderung mempertanyakan persoalan kewajaran sejarah
(fairness).
Ada hubungan dialektis antara sejarah yang dikisahkan dan masyarakat yang menjadi
objek kajian sejarah. Masyarakat tidak hanya terdiri atas berbagai kelas dan status, melainkan
juga atas berbagai komunitas sejarah yang diikat oleh kewajaran-historis yang sama. Komunitas
sejarah bisa disatukan oleh ikatan etnis-kultural, ideologi, dan solidaritas politik. Ketika terjadi
peralihan struktural, dari dasar solidaritas lama ke solidaritas baru, komunitas sejarah justru
makin intens mengadakan hubungan dengan sejarah yang dikisahkan. Timbullah disintegratif
kesejarahan. Kasus-kasus ”Surat-surat Bung Karno dari Sukamiskin”, ”perumusan Pancasila”,
”Dalang G30S”, ”Supersemar”, ”Buku pelajaran sejarah”, ”pengangkatan pahlawan nasional”,
30

dll., memperlihatkan betapa unsur disintegratif (kepastian dan kewajaran historis) telah berperan.
Kewajaran sejarah yang telah dirasakan sebagai suatu kepastian, tergoncang oleh tantangan baru.
Suasana dilematis di atas terhampar di depan sejarawan. Apalagi dalam masyarakat yang
sedang dalam proses perubahan ketika tatanan sosial baru telah dibayangkan tetapi idealisasi dari
tatanan lama tetap mencekam, kasus-kasus perdebatan kesejarahan sering muncul ke permukaan.
Kasus-kasus itu juga sekaligus mengingatkan kepada sejarawan agar selalu merenungkan
fungsinya sebagai cendekiawan, serta betapa mutlaknya integritas ilmu sehingga sejarawan perlu
selalu mempertanyakan keampuhan teknis dan metodologis sebagai pekerja ilmiah. Perdebatan
yang bergumul dalam suasana kronikel (unsur-unsur faktual dipertanyakan) itu tidak
menyumbang apa-apa dalam wawasan teori dan metodologi sejarah, tetapi mencerminkan
suasana kultural. Suasana ini perlu dijadikan ancang-ancang sejarawan agar tidak tergelincir
pada kecenderungan antikuariat, atau sebaliknya menjadikan dirinya seorang ideolog yang
mencari ”pembenaran”, bukannya ”kebenaran”.
Dekolonisasi sejarah Indonesia membuka peluang untuk meninjau kembali historiografi
kolonial dalam penulisan sejarah Indonesia yang secara akademis dan politis sulit diterima.
Secara akademis, historiografi kolonial menciptakan klasifikasi-klasifikasi dan kategori-kategori
sosial berdasarkan prasangka dan asumsi-asumsi yang keliru. Kategori sosial yang diciptakan
cenderung menegasikan kenyataan yang sesungguhnya sehingga seringkali anakronistik dan bias
kepentingan Negara. Secara politis, penulisan sejarah ditujukan untuk kepentingan politik/
Negara. Sejarah dijadikan alat peneguh bagi kekuasaannya agar memperoleh dukungan luas.
Historiografi kolonial cenderung melihat proses-proses sejarah dari atas, seragam, dan umum,
sehingga mengesampingkan keragaman sejarah yang berkembang di masyarakat. Salah satu
sendi utama untuk mempersatukan berbagai macam perbedaan yang ada adalah narasi sejarah
yang mampu mengeliminir semua perbedaan itu. Namun, di sisi lain, perspektif ini beresiko
mengabaikan sejarah komunitas-komunitas lokal yang telah berkembang sebelumnya. Namun,
penulisan sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan belum sepenuhnya keluar dari bayang-bayang
historiografi kolonial. Usaha mendokonstruksi kategori dan klasifikasi yang dikenal dalam
historiografi kolonial belum berhasil, bahkan tetap dijadikan rujukan dalam menyusun sejarah
Indonesia. Untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan nasional, misalnya, narasi-narasi
kecil komunitas tradisional tidak semuanya dihadirkan ke dalam narasi besar yang bernama
Sejarah Nasional Indonesia.
31

Perspektif pascakolonial bukan sekedar membalikkan model penulisan sejarah


konvensional menjadi model penulisan sejarah jenis lain, melainkan memunculkan kesadaran
baru bahwa sejarah lokal dari komunitas-komunitas sejarah lama mempunyai makna penting
dalam penulisan sejarah nasional. Dilihat dari sisi akademik, hal ini akan membuka cakrawala
baru dalam penelitian sejarah yang mengarah pada berbagai dimensi kehidupan kemanusiaan.
Pengkajian sejarah tidak lagi terperangkap pada usaha merekonstruksi struktur-struktur besar dan
peran aktor-aktor utama dalam perubahan masyarakat, tetapi diperluas pada usaha menarasikan
berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat luas. Sejarah bukan hanya
meliputi peristiwa-peristiwa besar yang dianggap mempunyai makna besar dalam perubahan
skala besar, melainkan juga meliputi peristiwa-peristiwa kecil, kehidupan sehari-hari yang
menjadi nafas kehidupan masyarakat kecil. Peristiwa mikro dan keseharian ini menjadi darah
daging dari tubuh atau kerangka sejarah yang lebih besar.
Di samping itu, perspektif pascakolonial mensyaratkan pemahaman yang lebih mendalam
terhadap objek kajiannya melalui ekspresi bahasa yang digunakan. Sejarah konvensional yang
hanya mengandalkan arsip-arsip Negara atau catatan-catatan resmi para pejabat Negara kurang
berhasil menangkap dinamika dan denyut kehidupan masyarakat yang dikajinya. Catatan laporan
para pegawai pemerintah yang dihimpun menjadi arsip Negara cenderung mengesampingkan
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalam masyarakat lokal. Peristiwa lokal baru menarik
perhatian bila mempengaruhi jalannya pemerintahan pusat atau membahayakan kepentingan
yang lebih besar. Oleh karena itu, kajian sejarah lokal harus disertai kemampuan mengusai
sumber lokal berupa bahasa daerah dan tradisi lokal yang beragam. Pendekatan pascakolonial
mengisayaratkan dua hal: pertama harus berhati-hati dalam menggunakan arsip Negara karena di
dalamnya sudah didistorsi oleh pembuatnya melalui manipulasi bahasa. Bahasa resmi para
pejabat merupakan interpretasi atas interpretasi sehingga mudah sekali terjadi kekeliruan. Kedua,
mengandalkan sumber arisp saja dalam menulisa sejarah kurang lengkap dan mudah tergelincir
pada pandangan satu arah. Ingatan kolektif masa lalu masyarakat tradisi yang umumnya
tersimpan dalam folklore atau cerita rakyat, misalnya, perlu dikaji secara kritis dan cermat untuk
memperoleh fakta-fakta sejarah. Hal ini juga menjadi persoalan lain lagi yaitu bahwa tradisi
lisan belum sepenuhnya diterima sebagai sumber sejarah karena dianggap penuh dengan mitos
dan irasionalitas. Sementara itu, sumber utama untuk memahami sejarah masyarakat tradisi
adalah tradisi lisan karena mereka tidak mengenal tradisi tulis. Inilah tantangan lain yang harus
32

dihadapi oleh sejarawan baru, yang tidak hanya berkutat dengan arsip Negara melainkan juga
perlu menggali sumber-sumber lain di masyarakat agar proses-proses sejarah bisa dipahami
secara lebih komprehensif dan beragam. Seperti dinasihatkan Pujangga Ranggasasmita seabad
yang lalu:

Siyang dalu, den talaten maca iku/ sagung kang lepiyan/ supaya dadiya misil/ masalahe
wasiteng tyas aja samar/ / yen tan kaur, mamaca ing saben dalu/ yen ratri kewala/ den
sregep ngeling-ilingi/ rasakena murade lan masridinira [maksudira] // den-gumathuk, ing
tekadnya nyambut-nyambut/ Manawa kapiran/ utawa kang tutul petis (“Suluk Martabat
Sanga”, karya Mas Rongosasmita, dalam Florida, 2003)
Siang malam, dengan curahan hati membaca/para karya simpanan mulia/supaya menjadi
misal/masalahnya wangsit, jangan samar. Kalau tak ada waktu, baca tiap malam/dan kalau
malam saja/ yang rajin mengamat-amati/rasakan murad dan maknanya. Hubung-
hubungkanlah, beranilah sambut-menyambut/jikalau kapiran/atau diangap teramat gampang.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suwignyo, 2014. “Indonesian National History Texbooks after the New Order”, Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 170, p.113-131.

Ahmad Syafi’i Mufid, 2006. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Asvi Warman Adam, 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

_____, 2009. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Bambang Purwanto & Asvi Warman Adam, 2013. Mengugat Historiografi Indonesia.
Yogyakarta: Ombak.

Bambang Purwanto, 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Ombak.

Blumberger, Petrus, 1931. De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie.

_____, 1935. De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie.

Booth, Anne, W.J O’Malley, Anna Weidemann (eds.), 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia.
Jakarta: LP3ES.

Burke, Peter, (ed.), 2001. New Perspectives on Historical Writing. Cambridge: Polity Press.
33

_____, 2001. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Cameron, Averil (ed), 1989. History as Text, London: Duckworth.

Carey, Peter, 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro. Jakarta: Kompas.

Djoko Sukiman, 2000. Kebudayaan Indis. Yogyakarta: Bentang.

Djoko Surjo, 1989. Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta:
PAU Studi Sosial UGM.

Djoko Surjo, 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern.
Yogyakarta: STPN Press.

Elson, R.E., 1979. Sugar and Peasants: The Social Impact of the Western Sugar Industry on the
Peasantry of the Pasuruan Area, East Java. Thesis Doctor, Monash University,
Melbourne.

Fernando, M.R., 1982. Peasants and Plantation Economy. The Sosial Impact of the Eoropean
Plantation Economy in Cirebon Residency. Thesis Doctor, Monash University,
Melbourne.

Florida, K. Florida, 2003. Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang, Sejarah sebagai
Nubuat di Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta: Bentang.

Gandhi, Leela, 2006. Teori Pascakolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:
Qalam.

Geertz, Clifford, 1984. Abangan, Santri, dan Priyayi. Jakarta: Pustaka Jaya

Knight, G.R., 1982. “Capitalism and Commodity Production in Java”, dalam Alavi et al (ed.),
Capitalism and Colonial Production. Croom Helm, London, pp. 119-158.

Kuntowijoyo, 2002. Madura: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris 1850-1940.


Jogyakarta: Mata Bangsa.

LaCapra, Dominick, 1985. History & Critisism. Ithaca and London: Cornell University Press.

_____, 1987. History, Politics, and The Novel. Ithaca and London: Cornell University Press.

_____, 1989. Soundings in Critical Theory. Ithaca and London: Cornell University Press.

Lapian, Adrian B., 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Jakarta: Komunitas Bambu

Leur, J.C.van, 1956. Indonesian Trade and Society. Den Haag.


34

Lloyd, Christoper, 1993. The Structure of History. Oxford: Blackwell.

Lombart, Denys, 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Marsden, William, 2011. The History of Sumatra. London: Black-Horse-Court.

McCullagh, C. Behan, 2004. The Logic of History. Lomdon: Routledge.

Munslow, Alun, 1997. Deconstructing History. London: Routledge.

Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (eds.), 2008. Perspektif Baru
Penulisan Sejarah Indonesia. Yayasan Obor Indonesia-KITLV Jakarta: Pustaka Larasan.

Pluvier, Jan Meinhard, 1953. Overzicht van de ontwikkeling der nationalistische beweging in
Indonesia in de jaren 1930 tot 1942.

Raffles, Thomas Stanford, 2008. The History of Java. Yogyakarta: Narasi.

Ricklefs, M.C., 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian
Jawa. Yogyakarta: MataBangsa.
_____, 2009. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

_____, 2006. Mystic Synthesis in Java; A History of Islamization from the Fourteenth to the
Early Nineteenth Centuries. EastBridge, Nortwalk: Signature Books.

Sartono Kartodirdjo, 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Sebuah


Alternatif. Jakarta: Gramedia.

_____, 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: Gramedia.

Shiraishi, Takashi, 2005. Zaman Bergerak. Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Soedjatmoko, Moh. Ali, Resink, Kahin (eds.), 1995. Historiografi Indonesia: sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia.

Sutherland, Heather, 1994. “Writing Indonesian history in the Nethelands, Rethinking the past”,
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 150-IV, p.785-804.

Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo, 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah
dan perspektif. Jakarta: Gramedia.

Taufik Abdullah dan Lapian, 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.

Warto, 2001. Blandong: Kerja Wajib Eksploitasi Hutan di Keresidenan Rembang Abad ke-19.
Surakarta: Cakra Pustaka.
35

_____, 2009. Desa Hutan dalam Perubahan: Eksploitasi Kolonial terhadap Sumber Daya Lokal
di Keresidenan Rembang 1865-1940. Yogyakarta: Ombak.

_____, 2010. 'Memorie van Overgave (M.v.O) Potret Hindia Belanda dalam Ingatan Residen
Rembang 1905-1936'. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.

Anda mungkin juga menyukai