NIM : B0418027
Soal UTS
1. Sebutkan 3 persamaan dari permasalahan yang ada atau dihadapi oleh tiga kerajaan
tertua di Indonesia! Jelaskan!
2. Sebutkan dan jelaskan 5 perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia akibat
dari adanya kebudayaan India!
3. Perpindahan pusat kerajaan Indonesia lama dari Jawa Tengah ke Jawa Timur terjadi
pada masa Mpu Sindok, jelaskan dengan bukti prasasti!
4. Raja Balitung adalah raja besar, jelaskan hal tersebut dengan 3 prasasti!
5. Sebutkan dan jelaskan 5 macam Cagar Budaya dengan contohnya, seperti dalam UU
No. 11 th 2010!
Jawaban :
Kerajaan Taruma yang terletak di Jawa Barat. Menurut letak prasasti daerahnya
sekitar Krawang-Jakarta-Bogor dan Banten. Dalam prasasti digunakan huruf Pallava
dan bahasa Sansekerta.Bahasa Sansekertanya boleh disebut masih mulus seperti
Kutai. Angka tahunnya tidak ada tetapi menurut Palegrafinya, adalah abad ke V
permulaan, atau paling lambat pertengahan abad ke V.
Pada bukti prasasti Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan, yaitu prasasti Kota Kapur
menggunakan bahasa Melayu kuno campur Sansekerta. Prasasti Kota Kapur bertahun
608 Saka (686AD).Batunya tidak dari Bangka, sebab di situ jenis itu tidak ada. Isinya
berupa ancaman kepada yang berontak terhadap yang diangkat oleh Sriwijaya sedang
yang tunduk akan mendapat kebahagiaan. Dalam prasasti Kota Kapur ada persoalan
ialah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa?Coedes menyamakan dengan Jawa
sekarang dan yang dimaksud kerajaan Taruma.Casperis menyamakan dengan Cho-po
dalam berita Tiongkok dan oleh Casperis dianggap di Malaka.Ada lagi mengatakan
Bangka sendiri.Memang masih sulit untuk menentukan, tetapi kami mendukung
pendapat Coedes.
c. Adanya Sinkretisme
Agama di Kutai menurut N.Y. Krom, Brahmanaisme sebab ada kebiasaan di Kutai
menurut Brahmanaisme sebab ada kebiasaan korban lembu, tetapi menurut
Purbacaraka, Ciwaisma yang terdahulu di Indonesia. Dalam prasasti Kutai tanpa
angka tahun, tetapi menurut paleograpunya adalah huruf abad IV A.D. (Paleo = kono,
graphien = tulisan). Ahli membaca tulisan kuno pada bahan keras (batu dan logam)
disebut epigraphi).Sedang epigrafi adalah cabang ilmu yang mempelajari tulisan kuno
pada bahan yang keras. Dalam kerajaan Kutai terjadi pula sinkretisme keagamaan
yaitu Hindu dan kepercayaan animisme.
3. Raja MPu Sindok sebelum menjadi seorang raja di Jawa Timur telah menjabat
sebagai Rakyan Mapatih I halu dan sebagai Rakyan Mapatih I hino, berturut turut
pada masa pemerintahan Raja Tulodong dan Raja Dyah Wawa.
Sebelum tejadi perpindahan pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur,
telah ada perhatian dari beberapa penguasa di Jawa Tengah hal tersebut dapat
diketahui dari prasasti-prasasti yang ada, seperti prasasti Ketanen berangka tahun 826
saka dan prasasti Kinawu berangka tahun 829 saka yang keduanya berasal dari atau
dikeluarkan oleh raja Balitung. Prasasti Sugih Manik berangka tahun 837 saka dari
raja Daksa. Prasasti Harinjin berangka tahun 726 saka oleh raja Dyabi Tulondong, dan
juga prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahan raja Rakai Sumba dan Dyah
Wawa yaitu prasasti Kenawa (849 saka) dan prasasti Batu Sanguran berasal dari tahun
850 saka.
Perpindahan pusat kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur terjadi pada
waktu pemerintahan raja sindok pada sekitar abad 10 Masehi. Pendapat tersebut
berdasarkan pada kata rakyangta atau yang diperdewakan (kultus dewa raja) yakni
kepercayaan pada roh nenek moyang pada sebuah kalimat kutukan-kutukan prasasti
jaman Sindok yang berbunyi “ kita prasiddha mangkraksa kadatuan rakyangta i ndang
i bhumi mataram”. Yang berarti “kamu sekalian dewa-dewa yang melindungi keraton
(raja-raja) yang telah menjadi dewa di Medang di daerah Mataram” pada kutukan-
kutukan prasasti sebelum Sindok kata rakyangta (: yang telah menjadi
dewa,almarhum) itu belum pernah di temukan. Kata tersebut telah ditambahkan oleh
raja Sendok karena ia telah meninggalkan Istana leluhurnya di Medang.
a. Prasasti gulung-gulung bertahun 929 masehi. Prasasti ini berisi permohonan
seorang rakyan bernama Pu Maduralokaranjana kepada raja agar diperolehkan
menetapkan sawah di desa gulung-gulung dan sebidang hutan di desa Bantaran
menjadi Sima untuk dijadikan Dharmaksetra yaitu tanah wakaf untuk bangunan
suci.
b. Prasasti Anjuk Ladang tahun 937 Masehi.Prasasti tersebut berisi tentang perintah
raja Pu Sendok agar sawah kakatikan (?) di Anjukladang di jadikan sima dan
dipersembahkan kepada bhatara di Sang Hyang Prasada kabatyan di Sri Jayamerta
dharma dari sangat Anjukladang. Hal itu merupakan anugerah dari raja bagi
penduduk desa tersebut.
c. Prasasti Muncang berangka tahun 944 Masehi. Prasasti ini berisi tentang
peringatan perintah raja untuk menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan pasar
di desa Muncang yang masuk wilayah rakyan Anjung menjadi Sima Dang
Acaryya Hitam, untuk mendirikan prasada kebaktyan bernama
Siddrayoga,merupakan tempat para pandita melakukan persembahan kurban
bunga. Dari berbagai bangunan suci tersebut masih sulit diidentifikasikan atau
dialokasikan secara tepat.
d. Prasasti Turyyan berangka tahun 929 Masehi berisi tentang suatu permohonan
untuk memperoleh sebidang tanah untuk pembuatan bangunan suci, permohonan
tersebut dikabulkan oleh raja dengan diberi sebidang tanah di turyyan, sebidang
tanah lagi disebelah barat sungai dan kemudian ditambah sebidang tanah yang
berada di Utara pasar desa turyyan. Dan dari ketiga ketiga bidang tanah tersebut
mempunyai kegunaannya, yaitu sebidang tanah yang berada di sebelah Barat
sungai sebagai tempat dididrikannya suatu bangunan suci, sedangkan tanah di
desa turyyan mempunyai peran sebagai sumber pembiayaan pembangunan,
kemudian tanah yang berada di utara pasar sebagai sumber pemelihara bangunan
suci. Selain dari pada itu juga disebutkan berkenaan dengan kerja bakti yang
dilakukan oleh penduduk untuk membuat bendungan di sungai tersebut.
Berkenaan dengan masalah pembangunan bendungan yang disebut dalam prasasti
wulig berangka tahun 935 Masehi. Dalam prasasti itu disebutkan adanya
pembangunan bendungan oleh penduduk desa wulig, pengikatan, padi-padi,
pikatan dan Busuran atas perintah rakyan Binihaji, Rakyan Mangibil melalui
sangat susuhan. Dalam pada itu juga disebutkan di larangnya penduduk untuk
mengusir atau menganggu dan mengambil ikannya. Kemudian juga disebutkan
bahwa pada tanggal 8 Januari tahun 935 Masehi bangunan tersebut telah
diresmikan oleh rakyan Binihaji.
Setelah terjadi pemindahan ibu kota, tercatat dalam Prasasti Siwagraha (778
Saka/856 M) dan Prasasti Mantyasih I (829 Saka/907 M) yang menyebutkan
bahwa Mamratipura dan Poh Pitu sempat mejadi ibu kota.
4. Raja Balitung merupakan seorang raja terbesar dari Mataram. Hal ini dapat dibuktikan
dari prasastinya yang berasal dari daerahnya sampai di Jawa Timur. Beberapa bukti
prasasti tersebut yaitu :
a. Prasasti Penampihan tahun 989 M.
Prasasti Penampihan merupakan tamra prasasti atau prasasti pada lempeng
tembaga yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara tahun 1269M. Dinamakan prasasti
Sarwwadharma karena prasasti ini berisi anugerah kepada sang hyang
Sarwwadharma. Dinamakan Prasasti Penampihan II karena prasasti ini merupakan
prasasti kedua yang sementara ditemukan di Penampihan gunung Wilis
Tulungagung. Sri Kertanagara mengeluarkan prasasti ini untuk mengukuhkan
anugerah yang pernah dikeluarkan Bhatara jaya Sri Wisnuwarddhana atau sri
maharaja Seminingrat kepada sang hyang Sarwwadharma. Jadi yang pertama
memberi anugerah sima swatantra kepada sang hyang Sarwwadharma bukan
Sri Kertanagara.
Isi prasasti Wanagiri tentang pembebasan orang naik Gethek pada penyebrangan
Sungai Bengawan Sala. Prasasti ini pernah ditranskripsi oleh Stutterheim dengan
keterangan. 1) dalam prasasti pertama nama sungai disebut Sang Mahawan.
Dalam prasasti kedua disebut Sang Mahardhika.
c. Prasasti Randusari I
Randusari letaknya dekat Prambanan, isinya pembebasan desa Poh untuk Sima
guna kepentingan “Hyang Caitya Silunglung Sang dewata Sang Lumah i Pastika”.
Jadi untuk yang wafat di Pastika. Silunglung menurut Stutterheim bangunan yang
sifatnya sementara, tetapi menurut Zoetmulder suatu bekal untuk mencapai
moksha.
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan
Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan.”
Ada 5 macam bentuk Cagar Budaya berdasarkan UU no.11 Tahun 2010 yaitu :