Anda di halaman 1dari 8

Nama : M Afifudin Khoirul Anwar

Kelas : SPI 4B
NIM : 12307183047
No. Hp: 08990721416
Tugas UAS Filsafat Sejarah

Saya berusaha merefleksikan ulang kembali tentang materi-materi yang telah


dipelajari di kelas maupun kelas online. Sebelum saya membahas lebih lanjut tentang
eksistensi filsafat sejarah dan urgensi filsafat sejarah dalam ilmu sejarah, perlu kita
ketahui terlebuh dahulu apa itu filsafat sejarah?. Menurut Prof. Sartono Kartodirjo
filsafat sejarah adalah merupakan bagian dari ilmu filsafat yang berusaha memberikan
jawaban terhadap pertanyaan mengenai makna dari suatu proses peristiwa sejarah
(Sartono Kartodirjo, 1990: 78). Jadi saya berkaca dari pendapat Prof Sartono Kartodirjo
inilah menyimpulkan bahwa filsafat sejarah menggali makna yang lebih dalam atas
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi sehingga dapat kita ketahui makna yang
terkandung dalam peristiwa tersebut. Selain itu dengan filsafat sejarah kita juga dapat
mengetahui apa penyebab peristiwa sejarah terjadi, dimana dan kapan peristiwa itu
terjadi dan siapa yang menjadi pelaku dalam peristiwa tersebut. Ilmu ini juga
mempelajari secara detail suatu kejadian masa lalu yang menyangkut aspek yang ada
dalam peristiwa tersebut.
Setelah kita berkenalan dengan filsafat sejarah sekarang saya mengupas apa
saja yang ada dalam komponen dalam sejarah?. Terdapat tiga komponen yaitu:
a) Sejarah Deskriptif
Sejarah Deskriptif yaitu terkait apa yang ditulis oleh ahli sejarah, atau bisa
kita sebut dengan Historiografi.

b) Sejarah Spekulatif
Sejarah Spekulatif adalah dasar-dasar yang mendasari sejarah sehingga
sehingga kita dapat melakukan hipotetis kejadian masa lalu. Dalam Sejarah
Spekulatif terdapat dua sifat yaitu Aposteriori yang berarti melihat sesuai
Fakta. Apriori yang berarti tidak sesuai fakta atau Non material. Problem
dalam sejarah Spekulatif ini adalah Pola, Penggerak dan Sasaran.

c) Sejarah Kritis
Sejarah Kritis adalah salah satu unsur obyek filsafat sejarah yang
didasarkan pada obyek. Menurut F. R Anskersmit dalam buku Refleksi
Sejarah ia mengatakan bahwa Filsafat Sejarah kritis ini menyangkut pada
penelitian masa silam yang dilukiskan sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.
Kemudian setelah kita mengetahui kompone/unsur filsafat sejarah. Apa Fungsi
sebenarnya dari Filsafat sejarah filsafat sejarah? Dalam hal ini saya mengambil satu
contoh dari beberapa fungsi Flsafat sejarah yaitu untuk melatih kepekaan kritis
seseorang peneliti sejarah. Dalam artian hal ini para penulis sejarah lebih mampu
mengadakan penilaian pribadi dan koreksi mengenai pengkajian sejarah pada saat
tertentu. Hal ini menurut saya akan lebih bermakna dan memuaskan sehingga kajian
tentang sejarah akan lebih tuntas, menarik, dan bermakna bagi kehidupan manusia hari
ini dan esok.
Kemudian kita masuk keranah pembahasan urgensi filsafat sejarah dan
eksistensi filsafat sejarah. Eksistensi atau keberadaan filsafat sejarah sendiri ini
berusaha dan mengungkap untuk menyelidiki penyebab peristiwa sejarah agar dapat
diungkapkan hakikat dan makna yang terkandung dalam peristiwa sejarah tersebut dan
memberikan jawaban atas pertanyaan kemanakah arah sejarah dengan menggunakan
studi mendalam tentang filsafat sejarah. Sedangkan Urgensi filsafat sejarah ini kalau
menurut saya sendiri akan mempertajam kepekaan seorang peneliyi sejarah. Dalam hal
ini bagi seornang peneliti sejarah atau pengkaji sejarah yang dibekali dengan filsafat
sejarah akan menjadkan dirinya sebaagai kritikus sejarah yang hebat.
Pembahasan berlanjut dalam buku A New Philosophy Of History bab 1 sampai 9.
Pada bab 1 yang membahas Sejarah dalam Zaman Realitas Fiksi. Saya
mengambilkesimpulan dari beberapa tugas dari teman saya dan menyimpulkan sebagai
berikut, Dalam bab pertama ini dijelaskan bahwasannya sifat refleksi tentang Sejarah
telah berubah dengan jelas selama 25 tahun terakhir, selama itu telah terjadi gerakan
yang secara sinoptik disebut sebagai “pergantian bahasa” yang menciptakan dan
memediasi perkembangan manusia baik itu berupa pengetahuan tentang diri kita
sendiri sebagai manusia, institusi kita, dan sejarah kita, yakni sejarah yang dianggap
sebagai praktik dan produk.
Kuam intelektual Yunani menganggap fiksilah yang mengangkat sejarah dari
sekedar catatan deskriptif peristiwa menjadi sebuah narasi sejarah yang dianggap
benar padahal sebuah sejarah tidak diperbolehkan menjadi fiksi. Terdapat perbedaan
yang jelas antara fiksi dan non-fiksi adalah aturan penulisannya. tetapi kaum intelektual
Yunani malah mempertahankan tradisi dan mengagungkan masa lalu serta
mensosialisasikan kepada generasi muda lebih diutamakan dari pada realitas sejarah
itu sendiri. Sehingga menimbulkan pertanyaan kepada sejarawan kuno tentang
mengapa mereka begitu tidak masuk akal dan tidak cenderung diskiminatif terhadap
kebenaran sejarah? Sehingga menimbulkan banyaknya mitos yang tidak jelas, legenda
yang tidak berdasar, dan mengisi kekosongan sejarah dengan sejarah yang mereka
buat sendiri.sehingga mengakibatkan terlalu nyamannya antara sejarah dan fiksi maka
akan mengaburkan makan sejarah bagi para pembaca.
Perbedaan yang mendasar antara sejarah dan fiksi adalah terletak pada
pertanggungjawaban ilmiahnya. Sejarawan juga disebut sebagai pembuat tulisan yang
mereka dapatkan dari narasi dan imajinasi mereka sendiri. Sejarah tidak dapat
memisahkan diri dari fiksi karena makna sejarah tergantung pada makna fiksi itu
sendiri. Fiksi dalam sejarah juga selalu dinilai sebagai faktor penyimpangan, namun
unsur fiksi itu sendiri justru yang membuat sejarah mudah diterima masyarakat. Namun
tanpa adanya fiksi, sejarah hanya akan menjadi catatan suatu peristiwa yang terbatas.
Memang terjadi sebuah pertdebatan yang mempermasalahkan perihal Fiksi dan Non-
fiksi, teapi sejauh yang saya pahami sebenarnya yang menjadi maslah disini adalah
sebuah kebenaran, sejak dulu manusia terobsesi dengan kebenaran terutama
bagamana menyatakjan bahwa kebenaran itu benar. Sejarawan mengkaji lewat kajian
ilmiah sehingga fiksi tersingkir dari pembahsan sejarah. Hal ini dikarenakan bahwa
setiap sejarawan memiliki pola sendiri dalam menarasikan cerita sejarah selain itu
memang terjadi bentrokan penulis satu sama lain akan yang mempermaslahkan fakta
atau kebnaran dalam sajian sebuah karya.
Belanjut pada bab 2 yang membahas tentang Mengubah Linguistic Sejarah
dan Teori. Saya mengambil kesimpulan sebagai berikut. Terdapat hal yang menarik
bagi saya dalam bab 2 ini Prihal kuantitas dari kadar penulisan sejarah sendiri di bab
ini. Dijelaskan mengalami pergeseran paragdimatik bagi penulis sejarah atau filsuf.
Namun, mereka masih belum bisa lepas dari tradisi penulisan lama yang mengandung
unsur mitos dalam fakta untuk menulis sejarah seperti yang sudah dibahas dalam bab
1.
Agaknya saya tertarik tentang pembahsan penulisan sejarah dalam bab ini ,
penulisan sejarah bukanlah langsung lahir begitu saja, melainkan melewati serangkaian
proses. Proses penulisa sejarah ini Berawal dari kecenderungan budaya lama yang
terfokus pada Filsafat analitis sejatrah yang kemudian mengikutii alur fakta sejarah.
Disini yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa tugas seorang sejarawan ialah
menyuguhkan kronologis kejadian secara baik dan jelas. Disini penggunaan kata dalam
penulisan sejarah untuk memberi pertanggungjawaban secara kritis. Sekiranya kita
menarasikan sejarah berbeda dengan zaman dahulu. Disini pergerakan dari
historiografi mengalami pergeseran dan perkembangan.
Pada awalnya sejarah ini dituliskan secara bebas dalam artian tergantung si
penulis sehingga hal ini di kemudian hari menuai kritik. Kemudian pada fase
kedepannya sejarah dituliskan dengan menyertai analisis wacana terhadap peristiwa
sejarah yang terjadi dan didukung dengan refernsi yang ketat seperti catatan kaki atau
sumber lain. Meskipun penulisan sejarah ini mengalami perombangakan yang maju,
justru gaya penulisan sejarah seperti ini menjadikan sejarah terjebak pada aturan
kepenulisanan. Sehingga penulisan seperti ini menjadii bias. Peran dari keterlibatan
sastra dibidang sejarah berpengaruh juga dalam hal penulisan sejarah. Disini saya
menyebut dengan penggunaan seperti majas metafora (persamaan/pembanding) serta
penggunaan diksi sastra dalam penulisan sejarah melemahkan standar yg sebelumnya
dijaga ketat. Tentunya disini penulisan sejrah kecolongan dengan adanya sastra dalam
bidang penulisan sejarah dan mengembalikan aspek budaya dalam hal ini saya
contong kepenulisan yang berbaur dengan mitos ke dlm historiografi.
Kemudian kita lanjut bab 3 yang membahas tentang Kemunduran dan
Runtuhnya Filsafat Analitis. Saya menyimpulakn sebagai berikut, Dalam bab ini
dijelaskan bahwa pada dasarnya filsafat analitis ini berawal dari makalah klasik milik
Hampel pada yang berjdul fungsi hukum umum dalam sejarah pada tahun 1942.
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filsafat yang muncul di abad duapuluh, terutama
di Amerika dan Inggris. Gerakan ini memfokuskan perhatiannya pada upaya
menganalisis pernyataan dalam konteks kebahasaan yang bersandar pada tehnik
linguistik dan analisis logis ( Muhmidayeli, 2014: 2). Di sini mereka fokus kepada
analisis pernyataan dalam konteks kebahasaan, konteks tersebut disandarkan pada
teknik kebahasaan dan analisis yang sesuai dengan logika. Seperti yang telah
digambarkan oleh tokoh Bertrand Russell yang menjelaskan bahwa filsafat itu sebagai
suatu wilayah pemikiran manusia antara teologi dan di sisi lain adalah ilmu
pengetahuan. Bisa dikatakan teologi karena sifat dan watak filsafat di sini yaitu tentang
pengetahuan yang sudah pasti namun itu tidak dapat dipastikan. Penjelasan Filsafat
bagi seorang Bertrand Russell itu berprinsip pada logika. Dalam proses pengembangan
ilmu pengetahuan harus didasari dengan memperhatikan hukum-hukum logika
sehingga itu dapat menerangkan ide-ide pokok. Filsafat analitis ini ada karena adanya
kekacauan dan kurang jelasnya penggunaan bahasa dalam penulisan sejarah.
Urgensi dalam filsafat analitis ini terletak pada begitu pentingnya penulisan
sejarah karena filsafat analitis sejarah ini memasukan gaya bahasa dalam penulisan
sejarah dan si penulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh oembaca
supaya tidak merasa kebingungan. Saya kira hal ini sangat penting bagi sejarawan.
Beberapa faktor penentu filsafat sejarah analitis yakni, bahasa, sudut pandang,
empirisme, terbuka, rasional/logika, dan beberapa pendekatan. Adapun faktor
kemunduran filsafat ini adalah fikiran/nalar yg terbatas, sudut pandang setiap individu,
serta tidak dapat memposisikan diri sebagai objek. Filsafat sejarah analitis tidak akan
jauh-jauh dari historisasi, konseptual, dan logis. Filsafat ini bekerja menekankan pada
gaya bahasa dan tidak hanya itu bahasa sebagai lambang wujud manusia di dunia,
karena memang dengan bahasalah setiap anak manusia dapat berkomunikasi dan
proses adaptasi dengan lingkungannya. Dalam sejarah analitis penggunaan bahasa
menjadi aspek yg sangat fundamental dimana dengan bahasa dapat menuangkan
pemahaman yg konkrit terhadap teks sehingga pemilihan diksi kata sangat diperhatikan
dalam penggunaan bahasa sejarah analitis. Bahasa yg cenderung tidak ilmiah akan
ditinggalkan disini. Jadi dari sini dapat kita simpulkan bahwa dua hal yang saling
berkaitan dengan erat adalah sejarah dan bahasa. Para sejarawah harus pandai
menyusun kata dengan baik agar mudah dipahami oleh pembaca.
Kemudian kita berarlih di bab 4 yang membahas tentang Gambar Intim:
Subjektivitas dan Sejarah. Menurut pemahaman saya intimate image merupakan
hubungan antara Subjektivitas dan sejarah yang diusung oleh tiga tokoh Stael,
Michelet, dan Tocqueville dimana ketiga tokoh tersebut mencoba memasukkan unsur
emosional dalam pola narasi sejarah. Jadi dari sini saya menyimpulkan bahwa intimade
image secara singkat adalah penggambaran sejarah secara mendalam melalui
subjektivitas. Dikelas bab ini dibahas dan menarik bagi saya prihal bagaimana kita
mengetahui bahwa sejarah itu bersifat sebjektif? Menurut apa yang saya pahami
subjektifitas ini dapat kita ketahui dari sejarawan sendiri yang membuat mereka
memiliki pamdangan yang bersifat subjektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah
berdasarkan pamdanganya sendiri.
Namun meskipun begitu keberadaan subjektivitas sejarah hingga saat ini masih
menuai kritik, disisi lain ada yang menganggap dengan dimasukkan unsur emosional
dalam narasi sejarah akan membuat sejarah menjadi lebih hidup dan tidak cenderung
monoton seperti halnya dapat dibayangkan novel yg menceritakan sejarah akan
terkesan kaku jika tidak dibumbui dengan unsur emosional dari penulisnya. Namun ada
juga yg menganggap Subjektivitas sejarah justru malah dapat merusak keotentikam
sejarah itu sendiri karena dinilai akan rentan dimasuki unsur pribadi didalamnya. Unsur
emosi ini sangat penting untuk membangun narasi dalam proses penulisan sejarah
dengan memasukan unsur rasa yang dapat membawa dan merubah suasana
Kita sebagai penikmat sejarah harus mengetahui latar belakang subjek
dikarenakan hal ini sangat pengaruh bagi penulisan sejarah dan mereka memasukan
padangan pribadi terhadap suatu peristiwa. Agar suatu subjeytifitas ini bisa kita ketahui
olwh pembaca melalui peristiwa yang ditampilkan, maka si pembaca perlu
membandingkan peristiwiwa tersebut. Disini sejarawan memilih peristiwa yang akan
ditampilkan ke public. Sejarah yang dituliskan oleh si penulis ini sangat erat
hubunganya dengan suasana emosi pribadi si penulis. Jadi pada dasarnya subyektifitas
ini dapat kita ketahui dengan mengetahui latar belakang si penulis dan kisah yang
ditampilkan ke publik.
Kemudian bab selanjutnya bab 5 yang membahas teatang Pelepasan Sejarah
dan Sekolah Annales. Sejauh yang saya pahami ketika saya membaca bab 5 file dari
teman saya sebagai berikut, Sekolah Annales memperkenalkan konsep baru sejarah
yang bertemakan sejarah sosial yang betujuan untuk menggantikan model
konvensional yang hanya focus pada peristiwa politik dan milter saja. Sehingga Annales
menawarkan tiga poin utama, yakni sejarah analitik yang berorientasi masalah untuk
menggantikan narasi peristiwa tradisional, sejarah seluruh rangkaian aktivitas manusia
untuk menggantikan model sejarah politik, untuk mencapai dua tujuan ini, Annales
menganjurkan kolaborasi dengan disiplin lain seperti geografi, sosiologi, psikologi,
ekonomi, linguistik, sosial, antropologi, dan sebagainya. Sehingga sekolah Annales
mengeksplorasi dan mengembangkan jenis sejarah baru yang didukung oleh ilmu
sosial. Hasilnya adalah sejarah total, sejarah yang berorientasi pada masalah, sejarah
komperatif, sejarah psikologi, geo-sejarah, sejarah jangka panjang, sejarah serial, dan
antropologi sejarah.
Jadi disini seorang sejarawan tidak bisa menyebutkan dirinya ataupun ikut
campur dalam penulisan sejarah kecuali dalam hal kesaksian dan pengatur wacana.
Karena hal ini akan berpengaruh pada efek realitas yang kuat dari sebuah historiografi.
Sejarawan juga dilarang menuliskan orang pertama tunggal apalagi sejarawan
tersebuat adalah seorang pelajar atau cendekiawan muda yang kepribadiannya tidak
diketahui ia seorang sejarawan atau tidak.. Tetapi kita diizinkan untuk menuliskan
bentuk orang pertama jamak karena dinilai lebih elegan dan sopan. Ilmu sejarah tidak
dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan kolaborasi dari berbagai ilmu sosial lain untuk
dapat menyajikan peristiwa secara kompleks. Hal ini tidak lepas dari objek sejarah
sendiri yakni manusia.
Ada yang menarik tentang Annales ini ketika ilmu lain terfokus membahas ilmu
politik dan bahasa, justru Annales mengkaji beberapa ilmu sosial. Annales yang telah
memperkenalkan konsep sejarah yang bertemakan sosial. Hal ini sangat penting
menurut saya terletak pada fungsi dari ilmu sosial itu sendiri yang dapat digunakan
untuk mencari data guna mengetahui latar belakang sejarah. Disamping itu terdapoat
upaya agar kita melihat sejarah secara keseluruan melalui ilmu-ilmu sosial sehingga
menghaslkan kajian sejarah yang luas dan utuh. Jadi disini dapat kita simpulkan bahwa
Annales tidak hanya mengkaji satu keilmuan saja melainkan ilmu-ilmu yang lain yang
mencakup ilmu sosial.
Lanjut ke bab 6 yang membahas tentang Relavansi, revisi dan ketakutan
terhadap buku panjang. Sejarah senantiasa berevolusi. Dan dalam perkembangannya
ini, sejarawan lebih selektif lagi dalam menulis historiografi. Menurut `sistem relevansi`,
periode tertentu dan beberapa bagian dianggap lebih penting bahkan lebih `historis`.
Oleh karena itu lebih layak dikategorikan dalam wacana sejarah daripada yang lain.
Dalam hal ini, pengalaman secara efektif diabaikan, dianggap tidak menarik, tidak dapat
dipahami, dan tidak layak diperhatikan secara historiografis. Bisa diambil contoh pada
peristiwa Abad Pertengahan. Sejarah ini digambarkan aneh, kacau membingungkan
dan tidak jelas. Karena sulit dipahami oleh sejarawan zaman akhir, akhirnya mereka
mengabaikannya/menyingkatnya.
Agar pembahasan suatu sejarah tidak terlalu panjang, perlu adanya struktur
yang jelas. Hierarki penulisan bergerak dari pusat pembahasan sejarah lalu meluas.
Misalkan saja menulis tentang bangunan pusat, katakanlah sebuah istana. Fokus
utama penulisan adalah istana tersebut, kemudian meluas ke tahap pertama yaitu
bangunan yang berdekatan dengan istana. Biasanya ditempati oleh orang-orang
penting terdekat raja, seperti pejabat, dewan kerajaan dan sebagainya. Lantas lebih
luas lagi pada bangunan pekerja seni, buruh tani dan lain-lain. Setelah penjelasan
mengenai tata letak, beralih ke kompleks yang lebih luas lagi seperti jenis kegiatan
yang dilakukan ditempat tersebut, kondisi kehidupannya, kegiatan sehari-hari, dan
sebagainya. Perluasan ataupun penyingkatan pembahasan ini harus ditentukan dengan
batas-batas yang telah diputuskan.
Jika dalam penulisan sejarah tidak terfokuskan topik yang dibahas, maka perlu
dikritisi dan dilakukan reorganisasi materi. Gagasan tentang eksperimen dan
ketidaksempurnaan dalam penulisan sejarah bertentangan dengan kecenderungan
umum untuk mempertimbangkan penulisan sejarah dalam suatu karya. Dengan
memperkenalkan kemungkinan ketidakjelasan dan kompromi ke dalam pertimbangan
teoritis penulisan sejarah, ini menjadi menarik untuk mempertimbangkan kembali
bagaimana penulisan sejarah berkembang bagaimana sejarawan saling menstimulasi
untuk menindaklanjuti topik tertentu, bagaimana mungkin dipengaruhi dalam pilihan
subjek oleh fiksi novelistik, dan bagaimana mereka belajar dari kesalahan masing-
masing. Karya-karya yang dipertimbangkan di sini menyarankan bahwa proses ini
melibatkan daur ulang dan adaptasi diskursif, tetapi juga perubahan konsepsi apa yang
tepat dan subjek yang ‘dapat dikelola’ untuk wacana historis.
Kemudian kita di bab 7 membahas tentang Narasi Besar dan Disiplin Sejarah.
Sederhananya begini sejauh pemahaman saya di bab ini Mengenai adanya peralihan
dari sejarah kuno dalam artian ini masih berada sangat erat kaitannya dengan sastra
dan masih bersifat makro untuk kemudian berganti kepada sejarah baru dengan
menggunakan fokus disiplim ilmu sosial dan lebih bersifat mikro. Sejarah Dari yang
bersifat naratif kepada sejarah yang bersifat deskriptif. Seperti contoh begini Jika dulu
data atau sumber yang ada itu disajikan kembali dalam bentuk naratif sehingga banyak
terjadinya kekaburan pada suatu peristiwa tersebut. Hal ini tentunya berbeda dengan
sejarah masa modern dimana sejarah mencoba untuk menyajikan dengan disiplin ilmu
sosial dan mocoba berkolaborasi dengan ilmu sosial yang lain, sehingga sejarah
menjadi tidak kabur dan mudah dipahami oleh pembaca.
Dijelaskan pula apa yang menjadikan tulisan sejarah dimasa lalu dirasa kurang
tepat, karena pada dasarnya tulisan sejarah itu ditulis secara utuh dan runtut sesuai
kejadian perkara. Seorang penulis sejarah harus memiliki komitmen bahwa ilmu sejarah
dalam membangun keilmuan lainya dengan ketat dan diperjuangkan oleh si penulis
sejarah sendiri dalam hal tersebut melibatkan semua aspek tidak terkecuali ilmu lain.
Disini sejarah harus dikaji dan ditulis secara utuh dan konkret serta jelas dan dapat
dioertanggungjawabkan keabsahannya.
Saya kira ada yang menarik di bab ini bahwa dikatakan bahwa ilmu sosial lebih
berpihak ke ilmu alam karena ingin mempertahankan keaslian dari ilmu alam. Kita
masuk kesejarah ilmu alam tersendiri jauh ada sebelum ilmu sosial ditemukan. Jadi
disini metode yang digunakan pun beranekaragam. Ilmu sosial berkembang stelah ilmu
alam otomatis eksistensi dari ilmu sosial ini mengalami berkembang belakang daripada
ilmu alam yang lebih dahulu ada, disini tidak jarang ilmu sosial menhambil sebgian dari
ilmu alam. Maka dari sinilah ilmu sosial berbaur dengan alam dan menjadi satu.
Di bab 8 ini kita berbicara mengenai Sudut Pandang dalam Praktek Sejarah.
dalam bab ini kita membahas bahwa Sejarawan selalu menghadapi masalah suara dan
sudut pandang. Masalah suara dan sudut pandang muncul belakang ini dalam
perdebatan tentang siapa yang dapat memahami dalam hal gender, ras, etnis, dsb.
Dalam hal ini, suara dapat diartikan ucapan atau jawaban tentang siapa yang berbicara
dalam teks. Sedangkan sudut pandang yaitu perspektif dalam memahami analisis
sejarah.
Sudut pandang memiliki empat tingkatan, sebagai berikut, Pertama Tingkat
Literal yaitu sudut pandang melihat dunia yang diwakili dalam teks melalui mata
seseorang dalam hal aspek fisiknya. Kedua Tingkat Figuratif atau Konseptual yaitu
sudut pandang memahami dunia yang diwakili dari perspektif sistem kepercayaan,
ideologi atau kerangka konseptual. Ketiga Tingkat Evaluatif yaitu sudut pandang menilai
dunia yang diwakili dari sudut pandang kepentingan, yang ada, sistem laba atau nilai.
Keempat tingkat Psikologis atau Emosi yaitu sudut pandang merasakan dunia yang
diwakili menurut jiwa seseorang.
Di bab ini dapat kita ketahui bahwa sudut pandang dibagi menjadi dua
pandangan yaitu, Pertama, Pandangan penulis pandangan ini terletak di suatu tempat
antara langit dan bumi, cukup tinggi sehingga tindakan individu dan keseluruhan yang
terpadu dapat dilihat dengan jelas. Kedua pandangan karekter yang melihat hal-hal dari
perspektif mereka yang kontemporer hingga aktor sejarah. Menurut Lottinville, sudut
pandang seperti itu sangat sesuai untuk biografi tetapi dapat digunakan dalam jenis
sejarah lainnya. Sudut pandang dalam sejarah ini memiliki peranan yang vital untuk
memberikan gambaran atau melihat masa lalu sebagai sejarah dalam wacana sejarah,
tentunya hal ini mengacaukan praktik dalam sejarah. karena Semakin banyak
sejarawan menafsirkan dalam teks, semakin banyak aspek sudut pandang yang
dimasukkan ke dalam wacana sejarah. Semakin banyak aspek sudut pandang yang
dianut dalam wacana, semakin banyak bias dalam menciptakan sejarah itu.
Kemudian kita lanjut bab 9 yang membahas tentang 9 Sejarah Sebagai
Kompetensi dan Pertunjukan: Catatan Tentang Museum Ironic. Dalam bab ini
dielaskan bagaimana sejarah sebagai kompetensi dan pertunjukan. Museum menjadi
tempat yang penting bagi sejarawan karena dengan adanya museum melalui
koleksinya peristiwa masa lampu dihidupkan kembali. Jika sebelumnya sejarahwan
telah menuliskan catatan-catatan tentang sejarah, maka kali ini museum berusaha
mempertunjkan sejarah sebagai peristiwa penting. Mungkin saja jika tidak terdapat
museum kit akan kesulitan terlebih para pakar sejarah untuk mencari bukti yang dirasa
otentik dimasa lalu.
Dari sini kita dapat tarik kesimpulan bahwa sejarah berkembang kea rah
kebudayaan dengan hadirnya museum ini menghidupkan gairah dari sejarah menjadi
lebih hidup dari sebelumnya. Bahwa sejarah tidak hanya dipaparkan melalui tulisan
sejarah atau historiografi saja melainkan juga melaluin pameran. Museum juga
menyimpan banyak benda-benda bersejarah sehingga dengan adanya museum ini
paling tidak membantu para sejarawan untuk menggali data ataupun sumber sejarah
yang diingkan. Museum menghadirkan bentuk bukti fisik yang dapat dilihat ke depan
publik, karena dengan adanya benda-benda yang ada di museum menjadi bukti yang
paling nyata dipercaya keberadaanya.

Daftar Pustaka

Kartodirjo,Sartono. 1990. Ungkapan-Ungkaan Filsafat Sejarah Barat dan Timur:


Penjelasan berdasarkan Kesadaran Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Muhmidayeli. 2014. Filsafat Analitik Kritik Epistemologi Ide Analitik Logis Bertrand
Russe. Jurnal Teologi, Vol. 25, No.1.

Anda mungkin juga menyukai