Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MAKNA DAN KEGUNAAN FILSAFAT SEJARAH

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Filsafat Sejarah

Dosen Pengampu:

Nuriyadin, M.Fil.I

Disusun Oleh:

Mohammad Alwi Shiddiq (A72218061)

Muhamad Ainun Alif (A72218064)

PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Sejarah.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad saw,
yang menjadi panutan seluruh alam.
Disampaikan terimakasih kepada dosen pengampu, yakni Bapak Nuriyadin, M.Fil.I.yang
telah membimbing dan mengarahkan kami untuk menyusun makalah ini, serta orang tua kami
yang do’anya selalu mengiringi kami. Semoga bantuan yang diberikan menjadi suatu amal
yang diridhoi Allah SWT. Aamiin
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik isi maupun dari
segi penyampaiannya. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan kami. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk dapat meningkatkan kualitas
makalah ini.

Ponorogo, 22 Oktober 2020

Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah adalah mengkaji masalah waktu dan peristiwa. Jadi, filsafat sejarah adalah
ilmu filsafat yang ingin memberi jawaban atas sebab dan alasan segala peristiwa sejarah.
Maksudnya, filsafat sejarah adalah salah satu bagian filsafat yang ingin menyelidiki
sebab-sebab dari suatu peristiwa, serta ingin memberikan jawaban atas sebab dan alasan
segala peristiwa sejarah.
Sebagai sampel filsafat sejarah berusaha mencari penjelasan serta berusaha masuk
kedalam dan pikiran cita-cita manusia sendiri dan memberikan keterangan tentang
bagaimana munculnya suatu Negara, bagaimana proses perkembangan kebudayaannya
sampai mencapai puncak kejayaannya dan akhirnya mengalami kemunduran seperti
pernah dialami oleh Negara-negara pada zaman yang lalu disertai peran pemimpin
terkenal sebagai subjek pembuat sejarah pada zamannya. Oleh karena itu, kami akan
menjelaskan mengenai makna dan kegunaan filsafat sejarah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna interpretasi sejarah?
2. Apa makna objektivitas sejarawan?
3. Apa kegunaan filsafat sejarah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui makna interpretasi sejarah.
2. Untuk memahami makna objektivitas sejarawan.
3. Untuk mengetahui kegunaan filsafat sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Interpretasi Sejarah


Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan
antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama,
baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal
sebagai interpretasi berurutan). Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai
suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas
maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi
sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.
Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran
informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik.
Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, matematika, atau berbagai bentuk
bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar
ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya
pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.
1. Tujuan dan Penjelasan Interpretasi
Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang,
seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian
dan membuat kebingungan. Petualangan yang menguntungkan dalam penelitian sejarah
hanya dapat kita memulainya bila mengidentifikasikan suatu masalah yang
membingungkan dan kemudian merumuskannya dengan benar. Dalam kasus ini, seorang
sejarawan dituntut untuk dapat menginterpretasikan sebuah masalah dengan cukup
obyektif, sesuai dengan materi yang sebenarnya. Di sinilah imajinasi dalam sejarah
diperlukan. Sebuah imajinasi dengan batasan keadaan yang sebenarnya. Penggunaan
imajinasi dalam interpretasi dan eksplanasi menjadi mutlak disaat kasus yang sulit
menjadi penghalang dalam meng-interpretasikan masalah yang dihadapi.
Selain batasan tersebut diatas, faktor continuitas dan akronisme menjadi faktor yang
harus diperhatikan. Kesinambungan dan urutan waktu dalam interpretasi maupun
ekplanasi menjadi hal yang wajib ditaati agar tidak terjadi fallacies (kesalahan-kesalahan
dalam penulisan). Sangat lucu jika fakta yang kita rangkai tidak sinambung dan urutan
waktunya berloncatan. Maka tuntutan seorang sejarawan dalam meramu fakta secara
continuitas dan akronisme, sangat mutlak dilakukan. Hal ini untuk menghindari
kerancuan dalam sejarah dan sebagai landasan yang kuat dalam menerima serbuan kritik.
Setiap rekontruksi sejarah menghasilkan suatu konstruktur atau bangunan,
gambaran atau gubahan. Kontruktur mengandung unsur-unsur subjek yang menjadi
interpretasi. Jadi, kontruktur tidak sama dengan gambaran lengkap atau dengan potret
dari apa yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena setiap kontruktur senantiasa dituntut
menghasilkan sesuatu yang utuh dan bulat, baik itu naratif maupun deskriptif, maka bagi
penyusunan fakta-fakta dan dalam penafsiran dalam penukisan sejarah jadi sangat
penting dan sangat diperlukan dan harus ada tambahan-tambahan unsure-unsur lainnya.
Masing-masing generasi memiliki persoalan dan masalahnya sendiri. Sehingga memiliki
kepentingan dan sudut pandang sendiri. Setiap generasi berhak memikirkan dan
mereinterpretasi sejarah menurut caranya sendiri. Interpretasi tiap-tiap generasi akan
saling komplementer, dalam artian interpretasi generasi sekarang akan bersifat
komplementer dengan interpretasi generasi sebelumnya. Seluruh sejarah bergantung
pada interes kita. Yang ada ialah berbagai sejarah, dan tidak pernah ada sejarah tunggal.
Orang mempelajari sejarah paling tidak memiliki 2 motif, ketertarikan pada sejarah,
dan pemahaman bahwa belajar sejarah merupakan belajar tentang persoalan kita sendiri.
Menurut Popper tujuan dari 2 motif ini tidak akan tercapai jika pengaruh ide
objektivisme yang sesungguhnya tidak dapat diterapkan masih kuat, dan apabila kita
ragu-ragu mempresentasikan masalah-masalah historis dari sudut pandang kita. sikap
yang seharusnya dimiliki adalah kita mestinya tidak berpikir bahwa sudut pandang kita,
jika secara sadar dan kritis diterapkan pada masalah ini, akan bersifat inferior terhadap
sudut pandang penulis yang secara naif menyakini bahwa ia tidak menginterpretasikan
dan telah mencapai suatu tingkat objektivitas yang mengizinkannya mempresentasikan
peristiwa-peristiwa masa lalu seolah-olah peristiwa tersebut benar-benar terjadi secara
aktual.
Menurut Kuntowijoyo, dalam pekerjaannya harus dapat membayangkan apa yang
sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudahnya. Dalam kasus-
kasus yang ada ini, batasan yang dipakai sangat jelas. Pembatasan yang seharusnya
dilakukan adalah, membatasi interpretasi yang berkembang khusus pada keadaan yang
sebenarnya terjadi. Jadi jika imajinasi yang berkembang menjadi meng-interpretasi-kan
keadaan yang bukan sebenarnya terjadi, maka telah terjadi manipulasi peristiwa yang
sebenarnya.Kemampuan interpretasi adalah menguraikan fakta-fakta sejarah dan
kepentingan topik sejarah, serta menjelaskan masalah kekinian. Tidak ada masa lalu
dalam konteks sejarah yang benar-benar aktual terjadi. Yang ada hanyalah interpretasi-
interpretasi histories.
Tidak ada interpretasi yang bersifat final. Sehingga, setiap generasi berhak
mengkerangkakan interpretasinya sendiri. Bukan hanya mengkerangkakannya, setiap
generasi juga wajib melakukan interpertas sendiri. Persoalan krusial kita, bagaimana
sulitnya kita berhubungan dengan masa lalu. Namun, di sisi lain kita ingin melihat garis
yang bisa membawa kemajuan menuju solusi atas apa yang kita rasakan dan apa yang
kita pilih sekarang-masa depan. Jika kebutuhan ini tidak kita jawab secara rasional dan
jujur, maka kita akan kembali jatuh pada interpretasi historisis yang tak lebih dari
keputusan historis.
Jika kita melihat dalam wilayah fisika, yang banyak persedian fakta dan lebih dapat
diandalkan, eksperimen-eksperimen penting yang baru terus dibutuhkan. Sehingga
berpijak pada hal ini kita akan meninggalkan kepercayaan yang naif bahwa semua
perangkat catatan historis hanya dapat diinterpretasi dengan satu cara.Adanya interpretasi
lain tentang sejarah merupakan hal yang sangat mungkin. Hal ini dikarenakan banyak
interpretasi, bahkan semua interpretasi belum tentu memberikan manfaat yang sama.
Pandangan ini didasarkan pada 3 argumen, yaitu:
Selalu ada interpretasi-interpretasi yang sama sekali tidak bersesuaian dengan
laporan sejarah yang disepakati. Ada beberapa interpretasi yang memerlukan sejumlah
hipotesisi yang kurang lebih bersifat membantu jika mereka hendak bebas dari falsifikasi
yang dilakukan oleh laporan. Ada beberapa interpretasi yang tidak mampu
mengubungkan fakta-fakta yang dapat dihubungkan oleh interpretasi lain. Tiga landasasn
ini jika kita praktekan akan membawa kemajuan bagi interpretasi sejarah. Pemahaman
merasa cukup dengan satu interpretasi baku saja yang selama ini menjangkiti para
sejarahwan mesti ditinggalkan. Kita baru dapat menguji suatu teori jika kita
memperhitungkan contoh-contoh yang berlawanan. Interpretasi-interpretasi bisa bersifat
bertentangan. Namun, hal ini tidak akan menjadi masalah apabila kita meletakkannya
sebagai kristalisasi-kristalisasi sudut pandang yang saling melengkapi.

B. Makna Objektivitas Sejarah


1. Pengertian

Objektivitas adalah suatu sikap yang mengusahakan untuk memperoleh suatu


kebenaran yang apa adanya mengenai objek yang diamati oleh sejarawan tanpa
melibatkan perasaan atau tafsiran terhadap objek tersebut. Sikap objektivitas tidak akan
di pengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan di dalam pengambilan keputusan
sehingga pada saaat penulisan sejarah mereka tidak melibatkan rasa emosional maupun
perasaannya terhadap suatu peristiwa yang terjadi.
Pada umumnya suatu peristiwa atau benda dikatakan subjektif jika benda atau
peristiwa itu dapat didengar, dilihat, dikecap, maupun dirasakan oleh panca indera kita.
Karena pada umumnya kita tidak berada dalam kejadian sejarah tersebut maka
diperlukan interpretasi dan fakta ataupun peninggalan sejarah. Fakta atau peninggalan
sejarah itulah yang disebut objek. Sejarawan selalu dituntut supaya dengan sadar dan
jujur mengikatkan diri pada objek dan berfikir secara objektif. Bukan karena adanya
subjektivitas sejarah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki kebenaran, justru karena
adanya subjektivitas tersebut yang akan menghadirkan objektivitas.
Seorang sejarawan asal Amerika Serikat yaitu Garraghan mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:
a. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari
kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama dan budaya.
b. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas
dari semua prinsip, teori dan falsafah hidupnya.
c. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian
atau penarikan konklusi.
d. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan
peristiwa sejarah dicatat sesuai dengan kejadiannya.
2. Unsur-unsur
a. Kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak merupakan sesuatuyang tidak dapat
terbantah lagikebenarannya. Misalkandalam suatu peristiwa, peristiwa itu sudah
jelas kapan, dimana, apa dan siapa tokok-tokoh dalam suatu peristiwa itu.
b. Sesuai dengan kenyataan dan termasuk juga yangtersembunyi. Bahwa suatu
kejadian tersebut sesuai dengankenyataan atau relevan.
c. Tidak memihak atau tidak terikat. Tidak memihak atau tidak terikat maksudnya
suatu peristiwa atau penggambaran suatukisah tersebut tidak berat sebelah.
d. Kondisi-kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa.Dalam penulisan
suatu peristiwa sejarah harus lengkap dan tidak boleh dikurang.
3. Alasan Objektivitas Sejarawan
Bagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains
hanya bersifat gradual dan tidak esensial, karena objektifitas dalam hasil penelitian
sains jarang disangsikan (sifatnya mutlak-pasti), maka cenderung membela
kemungkinan penulisan sejarah yang objektif.
a. Memilih Objek Penelitian
Seorang sejarawan sudah bersifat subjektif ketika memilih objek bagi penelitian
sejarahnya, karena pilihan itu ditentukan oleh kesukaan pribadi seorang sejarawan.
Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan mungkin didorong oleh pertimbangan
subjektif, tetapi ini tidak berarti bahwa hasil penelitiannya juga bersifat subjektif, bisa
juga bersifat objektif. Objektif dalam artian ini merupakan sebuah kenyataan historis
dalam suatu peristiwa sejarah di masa lampau.
b. “Wertung” dan “Wertbeziehung”
Seorang sejarawan selalu bersifat subjektif karena bahan yang ditelitinya ialah
perbuatan manusia pada masa silam, yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Kita perlu
membedakan antara wertbeziehung dan wertung. Yang pertama adalah pertalian
dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku
sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya.
Sedangkan yang kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku
sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.
c. Alasan Seleksi
Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam
sejarah, padahal menurut faham subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa
jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh pendukung objektivisme, argumen
ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap, tidak berarti ia
tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil
secara detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang
tidak berubah bagian-bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang
saling memengaruhi satu sama lainnya, sifatnya dinamis, sehingga menampilkan
salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan kenyataannya yang
sesungguhnya.
d. Alasan Antiskeptisisme atau Relativisme
Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara
implisit, mereka masih mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh
pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit menolaknya. Hal itu karena para
skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah subjektif kalau ia
memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif.
e. Alasan Sebab Musabab (Kausalitas)
Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti
bahwa pendapat-pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau
penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar,
bukankah terdapat banyak aspek dalam.
f. Alasan Propaganda
A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam
pengetahuan historis, maka penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari
propaganda. Keduanya menjadi sama kerena hanya merupakan tindak bahasa yang
ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda dengan tulisan
sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya.Propaganda
bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya. Akan
tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan
nilai-nilai itu menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap
sebagai bagian pokok itu hanyalah kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan
unsur penting di dalalamnya. Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak
berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir sudah diketahui bahwa ia
memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama,
penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah
diasumsikan begitu saja sebagai sejarah, sehingga dianggap ilmiah.
g. Alasan Analogi
Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk
mendapatkan objektivitas. Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas.
Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas masih diperdebatkan. Hukum
gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga munculah Einstein
dengan hukum relativitasnya.
C. Kegunaan Filsafat Sejarah
Kegunaan filsafat sejarah akan memperoleh nilai tambah, yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui pemikiran dari setiap zaman berdasar pada masa lampau, dengan
demikian pemikiran ini dapat dipahami dengan suatu lampiran perkembangan
sejarah.
2. Ahli filsafat memberikan pertimbangan untuk menjadi seorang sejarawan, tidak
mutlak perlu memiliki pengetahuan filsafat sejarah.. Tetapi yang ditawarkan oleh
seorang ahli filsafat bagi sejarawan adalah dapat mempertajam kepekaan kritis
seorang peneliti sejarah.
3. Dengan dilatarbelakangi filsafat sejarah seorang peneliti sejarah lebih mampu
mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai keadaan pengkajian sejarah agar
dapat mengapresiasi pengkajian sejarah masa kini dengan memuaskan.
4. Filsafat sejarah tidak mengajarkan bagaimana pengkajian sejarah harus dilakukan.
Akan tetapi, filsafat sejarah dapat menawarkan pengertian mengenai untung
ruginya berbagai pendekatan terhadap masa silam dan menjadikan kita waspada
terhadap pendapat-pendapat keliru mengenai pengkajian sejarah.
Filsafat sejarah adalah salah satu bagian filsafat yang ingin menyelidiki sebab-sebab
dari suatu peristiwa serta ingin memberikan jawaban atas sebab dan alasan segala
peristiwa sejarah. Dalam rangka studi untuk mendalami filsafat sejarah perlu diketahui
apa sebenarnya tujuannya, yaitu:
a. Untuk menyelidiki sebab–sebab terakhir peristiwa sejarah agar dapat diungkapkan
hakekat dan makna yang terdalam tentang peristiwa sejarah.
b. Untuk Memberikan jawaban atas pertanyaan ”kemanakah arah sejarah” serta
menyelidiki semua sebab timbulnya perkembangan segala sesuatu yang ada.
c. Melalui studi mendalam tentang filsafat sejarah, dapat membentuk seseorang
memiliki vision atau wawasan dan pandangan yang luas.
d. Studi filsafat sejarah dapat menjadikan seseorang berfikir analitis kronologis serta
arif dan bijaksana.
e. Filsafat sejarah bertujuan membentuk dan menyusun isi, serta menberi makna dari
pengkajian sejarah, menyusun suatu pandangan dunia untuk filsafat sejarah, serta
pandangan berwawasan nasional untuk filsafat sejarah nasional Indonesia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Interpretasi merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi
yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Makna yang
kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar ataupun tidak melakukan
rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman
dan pengetahuan yang lebih luas.
Objektivitas adalah suatu sikap yang mengusahakan untuk memperoleh suatu
kebenaran yang apa adanya mengenai objek yang diamati oleh sejarawan tanpa
melibatkan perasaan atau tafsiran terhadap objek tersebut. Sikap objektivitas tidak akan
terpengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan di dalam pengambilan keputusan
sehingga pada saaat penulisan sejarah mereka tidak melibatkan rasa emosional maupun
perasaannya terhadap suatu peristiwa yang terjadi.
Kegunaan filsafat sejarah adalah dapat mengetahui pemikiran dari setiap
zaman berdasar pada masa lampau dapat mempertajam kepekaan kritis seorang peneliti
sejarah, mampu mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai keadaan pengkajian
sejarah agar dapat mengapresiasi pengkajian sejarah masa kini dengan memuaskan,
memahami untung ruginya berbagai pendekatan terhadap masa silam dan menjadikan
kita waspada terhadap pendapat-pendapat keliru mengenai pengkajian sejarah.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, H. Mohammad. 2011. "Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan

Logika Ilmu. Pengetahuan". Pustaka Pelajar.

Badar, Muhamad Zainul. 2020. "PEMIKIRAN SEJARAH KUNTOWIJOYO

DALAM KAJIAN FILSAFAT SEJARAH." Tesis Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran

Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Consuelo G. Sevilla et.al. Pengantar Metodologi Penelitian. UIP.

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Tamburaka, Rustam E.. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah,

Sejarah Filsafat dan IPTEK. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai