Anda di halaman 1dari 5

GERAK SEJARAH

Dalam filsafat sejarah kita mengenal dua kategori, yaitu filsafat sejarah spekulatif atau kontemplatif, dan
filsafat sejarah kritik. Filsafat sejarah spekulatif merupakan suatu perenungan filsafati mengenai sifat-
sifat, gerak sejarah, sehingga dapat diketahui struktur terdalam yang terkandung dalam proses gerak
sejarah itu. Menurut Angkersmith dalam filsafat sejarah spekulatif ada tiga hal pokok yang dibahas, yaitu:
pola gerak sejarah, motor penggerak sejarah, dan tujuan gerak sejarah. Gerak sejarah itu sendiri
merupakan sebuah aktifitas kehidupan baik dalam bobot sejarah kecil maupun besar yang nampak dan
dapat ditangkap oleh indra. Dan dibalik yang dapat dilihat oleh indra terdapat struktur terdalam yang
menggerakan sebuah peristiwa, struktur terdalam itulah yang akan menjadi kajian khusus dalam filsafat
sejarah spekulatif ini.

Pengungkapan sejarah spekulatif lebih berat dibandingkan dengan mengungkapkan peristiwa sejarah
pada umumnya. Ketika sebuah sejarah telah diketahui bagaimana alur perjalanannya, maka
pengungkapan mengenai peristiwa akan terhenti sampai di situ. Namun dalam sejarah spekulatif hal
tersebut baru merupakan sebuah permulaan saja, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa
yang dicari dalam filsafat sejarah spekulatif adalah struktur terdalam dari sebuah peristiwa bukan hal
yang secara gamblang dapat terlihat oleh indra. Hal ini perlu dilakukan agar apa yang terjadi pada masa
lampau dapat memberikan sebuah makna penting untuk masa depan yang akan dijalani. Agar sebuah
peristiwa sejarah tidak hanya menjadi nostalgia saja ketika dikisahkan kembali. Banyak ungkapan bahwa
sejarah itu sangat penting dipelajari untuk kepentingan masa depan yang lebih baik lagi, agar kita tidak
jatuh pada lubang yang sama. Maka untuk kepentingan ini filsafat sejarah spekulatif diperlukan agar
sejarawan dapat dengan tangkas menangkap alur peristiwa yang akan terjadi di masa depan dari
berbagai peristiwa masa lalu dan kekinian.

Filsafat sejarah spekulatif juga membahas mengenai pola gerak sejarah beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya sehingga timbul pola-pola tertentu. Sehingga filosof sejarah membagi pola gerak
sejarah menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Pola gerak sejarah maju, di mana sejarah berjalan secara progresif, maju ke depan.

2. Ada gerak sejarah maju maka akan ada sejarah gerak mundur, atau pola gerak sejarah regresif.

3. Pola gerak sejarah daur kultural, bahwa sejarah berputar mengelilingi dirinya sendiri, namun tidak
melewati jalan yang sama.

Dalam praktiknya penggunaan pola gerak sejarah ini sering dicampuradukan. Karena ketiganya ini
memiliki kebenaran yang dapat dibuktikan dengan fakta, namun di sisi lain memiliki berbagai kelemahan.

1. Pola Gerak Sejarah Maju (Progresif)

Tokoh dalam pola gerak sejarah maju adalah Bacon dan Descartes. Teori kemajuan ini sangat erat
kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Seperti telah kita rasakan bersama, bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi pada masa ini dibandingkan pada zaman dahulu memang mengalami
kemajuan. Berarti gerak sejarah yang kita alami bersifat maju, jika ilmu pengetahuan dijadikan
ukurannya. Karena bertambahnya jaman, maka semakin banyak hal yang tadinya tidak diketahui kini
menjadi tahu. Apalagi dalam kemajuan teknologi sekarang, adanya internet kemudian alat komunikasi
lain seperti telephone, handphone, dan lain sebagainya sangat memudahkan komunikasi, tidak seperti
jaman dulu yang dengan segala keterbatasannya menghambat kita untuk berkomunikasi.

Meski dirasa benar, namun pola gerak sejarah maju ini dikritik oleh berbagai pihak. Kritik tersebut
menyoroti tentang nilai-nilai yang dikemukakan. Ada juga kritik dari penganut relativisme historis,
mereka memandang teori kemajuan hanya sebagai salah satu pola organisasi sosial yang berupaya
menganalisis realitas dan mengorganisasikannya berdasarkan percobaan-

percobaan masa lalu, guna terjadinya perubahan yang lebih besar dan demi kebaikan sebanyak mungkin
anggota-anggota masyarakat. Selain itu juga jika pola gerak sejarah ini diukur dari segi lain, maka akan
lebih terlihat kelemahannya. Jika diukur oleh aspek lain maka yang timbul adalah sebuah kemunduran,
sangat bertentangan dengan pola gerak sejarah maju ini.

2. Pola Gerak Sejarh Mundur (Regresif)

Jika gerak sejarah maju diukur oleh materi, maka memang benar gerak sejarah yang dialami memiliki
kemajuan. Namun jika alat ukurnya adalah moral maka kemunduranlah yang nampak. Seperti ungkapan
para ahli berikut ini yang mendukung teori bahwa gerak sejarah itu mundur (regresif). Menurut Goethe,
"Kini manusia menjadi lebih cerdas dan sadar, namun ia tidak menjadi lebih berbahagia dan bermoral".
Dengan kata lain Goethe memang mengkui bahwa manusia dalam hal materi mengalami gerak sejarah
yang maju, namun semakin maju dalam materi maka manusia itu akan semakin mundur dalam hal
moral. Pendapat lain dikemukakan oleh G.B. Shaw yang menyatakan "Sejak masa kaum Hittit, selangkah
pun kebudayaan tidak pernah maju". Dengan kata lain secara tegas ia menanyakan di manakah kemajuan
yang diklaim oleh orang kebanyakan itu karena yang dirasakan hanyalah kemunduran dalam
kebudayaan.

Pendapat lain adalah dari Spengler, kehancuran kebudayaan itu karena pada zaman modern ini alam fisik
berubah menjadi alam industrial yang hampa dari semangat dan kehidupan. Dan Albert Schweitzer,
aspek kehidupan modern membuat manusia kehilangan substansi spiritualnya. Mereka berpendapat
bahwa derita yang dialami kebudayaan Barat modern merupakan derita luar biasa yang akan berakhir
menjadi malapetaka bagi kebudayaan itu. Namun pada dasarnya setiap kebudayaan itu tidak hanya diam
selau bersinggungan dengan yang lainnya sehingga pada kenyataannya ada yang mengalami kemajuan
atau kemunduran. Selain itu ketika kita mengungkapkan sesuatu itu mengalami kemunduran, karena di
lain pihak kita mengetahui kemajuan, ada maju dan ada mundur, semuanya itu bukan merupakan
sesuatu yang mutlak.

3. Pola Gerak Sejarah Daur Kultural

Pola gerak sejarah ini merupakan sebuah aliran yang terus berulang dengan orang, waktu yang berbeda
tapi substansinya sama. Seperti layaknya sebuah perputaran, namun dalam hal ini ia tidak mengelilingi
dirinya sendiri tidak ke arah semula melainkan ke arah lain yang berpola sama seperti lingkaran spiral.
Tokoh dalam teori daur kultural ini ada empat yaitu: Ibnu Khaldun, Vico, Spengler, dan Toynbee.
Pendapat ke empat tokoh ini akan dibahas di bawah ini:

- Ibnu Khaldun

Terakait peristiwa yang dialami oleh manusia, maka kebudayaan merupakan hal pertama yang akan
sering bersinggungan. Kebudayaan menurut Ibnu Khaldun adalah masyarakat manusia yang dilandaskan
di atas hubungan antara manusia dan tanah dari satu segi, dan dari segi lain di atas hubungan antara
seorang manusia dengan lainnya yang berakibat timbulnya upaya mereka untuk mematahkan kesulitan-
kesulitan lingkungan, pertama-tama, kemudian untuk mendapatkan kesenangan dan kecukupan dengan
membangun industri, menyusun hukum, dan menertibkan transaksi. Tahapan yang diungkapkan oleh
Ibnu Khaldun ini sama dengan pola peristiwa yang dialami dalam sejarah umat manusia.

Menurutnya kehidupan berbudaya yang dialami manusia mengalami empat fase yaitu fase primitif atau
nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan kemunduran yang mengantarkan pada kehancuran.
Pada fase pertama manusia masih hidup berpindah-pindah dengan gaya hidup yang primitif sama halnya
seperti yang dialami oleh manusia purba pada zaman dahulu. Kemdian pada fase urbanisasi, manusia
mulai berpindah mencari penghidupan yang layak dan akan menetap bersama yang lainnya pada suatu
tempat yang dapat memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dalam fase kemewahan, hidup manusia berada
pada titk puncak kehidupan. Namun lama kelamaan kemewahan itu akan terus menurun hingga pada
akhirnya manusia mengalami kehancuran.

- Vico

Dalam karyanya The New Science Vico, Vico menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan bisa diletakkan di
bawah interpretasi ilmiah yang teliti. Ia menyimpulkan bahwa manusia melalui fase-fase pertumbuhan,
perkembangan, kehancuran tertentu. Dalam fase mana pun sejarah membentuk pola-pola sama yang
saling berkaitan satu sama lainnya secara substansial dan esensial. Jadi, apabila dalam suatu masyarakat
berkembang suatu aliran seni atau keagamaan tertentu, maka berkembang pula bersamanya pola-pola
tertentu dari sistem-sistem politik, ekonomi, hukum, pikiran dan sebagainya. Itulah beberapa hal yang
diungkapkan Vico, dan juga menjadi landasan utama bagi teori yang ia pegang.

Teori Vico ini diikuti oleh filosof sejarah setelahnya, seperti Herder, Hegel, dan Karl Marx, dengan caranya
masing-masing. Dalam teorinya perjalanannya sejarah bukan merupakan roda yang berputar mengitari
dirinya sendiri sehingga seorang filosof dapat dengan mudah dapat meramalkan terjadinya hal yang
sama pada masa depan. Namun sejarah berputar dalam gerakan spiral yang mendaki dan selalu
memperbaharui diri, seperti gerakan pendaki gunung yang mendakinya dengan melalui jalan melingkar
ke atas di mana setiap lingkaran selanjutnya lebih tinggi dari lingkaran sebelumnya. Seperti cara kerja
pengukit sederhana skrub dalam ilmu fisika, bentuk melingkari sebuah benda secar spiral.

Selain teori daur kultural seperti yang diungkapkannya di atas, Vico juga membagi sjearah kemanusiaan
menjadi tiga fase yang berkesinambungan, yaitu fase teologis, fase herois dan fase humanistis. Fase yang
kedua akan lebih maju atau lebih tinggi dari fase yang pertama, begitu juga fase yang ketiga akan lebih
tinggi dari fase yang kedua, dan begitu seterusnya.
- Spengler

Berbeda dengan teori kebudayaan yang dikemukakan oleh Vico, teori Spengler didasarkan pada konsepsi
biologi. Dalam karyanya, Spengler berpendapat bahwa kebudayaan merupakan makhluk organis alamiah
yang timbul, tumbuh, mekar, dan menua sehingga tertimpa kehancuran. Karyanya ini

menguraikan pembentukan kebudayaan secara komparatif dengan berbagai berbentuk seperti: puisi,
retorika, intuisi pribadi, dan wawasan spiritual khusus tentang ide. Bukan merupakan uraian yang
metodis serta analisis yang logis dan sistematis.

Spengler menyatakan bahwa setiap kebudayaan agar dikaji secara mandiri tidak dihubungkan atau
dikaitkan dengan kebudayaan lain. Dalam pandangan Spengler, sejarah seperti sebuah gerak
perkembangan dan disintegrasi alamiah yang menimpa kebudayaan-kebudayaan, sama halnya seperti
menimpa setiap makhluk hidup. Dengan demikian kita seakan-akan dapat menelusuri perkembangan
periodik dari kebudayaan-kebudayaan. Dan juga mungkinkan kita untuk meramalkan perkembangan
yang akan dilaluinya, seperti peramalan mengenai akan datangnya musim panas setelah musim semi dan
musim dingin setelah musim-musim gugur.

- Toynbee

Meski dalam beberapa teori Tonybee memiliki perbedaan pemikiran dengan Spengler, namun dalam
sebuah teori mereka sependapat. Bahwa tidak adanya pengaruh ras dalam kebudayaan. Teori ini
sebelumnya adalah teori tentang kebudayaan yang paling terkenal dalam menganalisis pertumbuhan
dan perkembangan kebudayaan, di mana keunggulan spiritual erat kaitannya dengan kekurangan relatif
dalam kekelaman warna kulit. Padahal, menurut Toynbee, separuh dari kebudayaan Barat berasal dari
kebudayaan bangsa lain yang tidak satu ras. Karena kebudayaan itu tidak akan diam, bisa mnerima
kebudayaan lain, melebur dengan kebudayaan lain, atau bahkan menggantikan kebudayaan lain. Ia juga
menolak ide lingkungan geografis dan dampaknya atas pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan
dan sejarah manusia. Sebab bukti-bukti yang ada, tidak menunjukkan adanya hubungan antara
lingkungan geografis dan kebudayaan yang timbul di dalamnya. Sehingga faktor ras dan lingkungan
bukan merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam kebudayaan dan berkaitan dengan sejarah
manusia.

Kemudian faktor memang berperan dalam menciptakan kebudayaan, menurut Toynbee adalah factor
tantangan dan respons. Karena penciptaan pada dasarnya merupakan hasil pertemuan berbagai upaya
manusia, dan permulaan kebudayaan adalah merupakan hasil interaksinya. Jadi, kondisi-kondisi yang
sulitlah, bukan yang mudah, yang membuat tegaknya kebudayaan berbagai bangsa, sebab kemudahan
adalah musuh kebudayaan. Selain itu kebudayaan timbul dari jawaban yang berhasil atas tantangan yang
dihadapi masyarakat. Sedangkan mengenai kehancuran Toynbee berpendapat bahwa kehancuran
kebudayaan-kebudayaan terjadi karena ketiadaan tenaga kreatif dalam kelompok minoritas yang ada
dalam masyarakat, yaitu kelompok minoritas yang biasanya memimpin kelompok mayoritas yang tidak
kreatif.
Sejarah menurut Toynbee seakan merupakan satu pengalaman yang belangsung dalam berbagai periode
atau daur, dan semua kebudayaan yang dikajikannya melalui periode-periode yang serupa dalam
pertumbuhan, kelangsungan kemajuan, dan peningkatan kekuatannya. Kemudian setelah itu kebudayaan
itu menghadapi berbagai kendala, baik dari dalam maupun luar, yang terefleksikan dalam berbagai
bentuk tantangan. Jika kebudayaan berhasil menghadapi tantangan maka ia akan mengalami kemajuan,
sedangkan jika ia tidak berhasil menghadapi tantangan maka kehancuranlah yang akan datang. Dan pada
akhirnya, keruntuhan suatu kebudayaan menurut Toynbee bukanlah merupakan keburukan mutlak,
sebab semua pengalaman kebudayaan terdahulu, dalam suatu bentuk atau lainnya, akan terefleksikan
dalam kebudayaan baru. Maka menurut Toynbe, sejarah tidak mengenal adanya suatu kebudayaan yang
hilang sepenuhnya, tapi yang terjadi pada umumnya adalah bahwa kebudayaan itu, setelah hilang pada
suatu bangsa, menjadi renta, membeku, dan kemudian unsur-unsurnya memencar pada suatu bangsa
atau bangsa-bangsa dan setelah itu timbul suatu kebudayaan atau berbagai kebudayaan baru

Anda mungkin juga menyukai